Senin, 01 September 2008

Pewarisan Budaya Sunda

Pewarisan Budaya Sunda

Oleh Atep Kurnia

Pareumeun obor. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi generasi muda Sunda kiwari. Generasi muda Sunda sekarang tampak gelagapan dan tertatih-tatih mengenal dan memahami tata nilai kesundaan.

Hal tersebut, menurut saya, disebabkan oleh proses pewarisan budaya yang selama ini berlangsung cenderung dipaksakan tanpa mencermati perubahan yang terjadi dalam segala aspek kehidupan masyarakat Sunda kiwari.

Adapun perhatian generasi tua Sunda umumnya tersita dengan panineungan-panineungan masa lalunya. Selain itu, banyak di antara mereka yang menganggap nilai-nilai tradisi Sunda masa lalu sebagai sesuatu yang serba luhur.

Hal ini tentu saja kurang bijak dilakukan untuk sebuah pewarisan budaya. Selain kurang tepat sasaran, hal tersebut tentu akan berbenturan dengan konteks generasi muda Sunda sekarang.

Sebab, bisa jadi nilai-nilai tradisi Sunda yang selama ini dianggap bernilai tinggi oleh generasi tua Sunda sebenarnya mengandung unsur-unsur yang justru tidak bernilai luhur. Sebab, bisa jadi hal tersebut hanya sesuai dengan zamannya.

Selain itu, yang lebih dikhawatirkan adalah generasi yang mewarisi budaya Sunda yang berorientasi kepada orang tua nantinya justru akan menjadi generasi yang back to the past, nyoreang mangsa ka tukang.

Hal ini bisa jadi dapat menciptakan budaya Sunda yang mandek. Padahal, budaya bukanlah sesuatu yang baku dan statis, tetapi sebaliknya merupakan sesuatu yang terus bergerak dinamis dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Akses informasi

Nilai-nilai tradisi Sunda dapat dibagi dua. Pertama, nilai tradisi Sunda yang terkandung dalam explicit knowledge (pengetahuan yang tersurat), seperti peribahasa, dongeng, sisindiran, dan naskah-naskah kuno.

Kedua, nilai tradisi Sunda yang bersumber dari tacit knowledge (pengetahuan yang tersirat). Pengetahuan ini terdiri dari pola pikir, sikap, dan kearifan orang Sunda di dalam menghadapi dan mengatasi masalah kehidupannya.

Pewarisan budaya Sunda tentu harus mengutamakan keduanya. Sayangnya, hal tersebut tampak masih jauh dari harapan. Dari segi pengetahuan tersurat, akses informasi untuk mengetahui dan mempelajari khazanah kebudayaan Sunda masih kurang.

Jumlah buku-buku yang memuat pengetahuan kesundaan sedikit. Adapun jumlah peneliti naskah-naskah Sunda kuno juga kurang. Selain itu, tradisi-tradisi lisan banyak ditinggalkan. Sungguh kontras bila dibandingkan dengan akses informasi untuk mengenal budaya asing yang terasa begitu dekat dan mudah diperoleh.

Demikian pula dengan pengetahuan yang tersirat. Pengetahuan ini sepertinya tidak sampai kepada generasi muda Sunda. Bisa jadi hal itu karena adanya gap antara generasi tua dan generasi muda Sunda. Akibatnya, pewarisan budaya Sunda dari generasi tua ke generasi muda tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Generasi tua Sunda terkesan mengawang-awang, bahkan romantis. Mereka tampak enggan turun langsung melihat kondisi riil di lapangan. Mereka enggan mencoba terjun langsung ke "kantong-kantong" pewarisan budaya-dalam hal ini arena generasi muda-misalnya mendatangi sekolah-sekolah dasar dan menengah.

Selain itu, mereka merasa cukup dengan hanya mengeluarkan uang untuk membiayai hal-hal yang bersifat seremonial belaka, tanpa berusaha mencoba memikirkan cara yang lebih berkesinambungan.

Akan tetapi, yang lebih mengkhawatirkan adalah tidak adanya inisiatif dari generasi muda menyerap nilai-nilai kesundaan. Mereka tidak suka membaca buku Sunda. Mereka enggan mengkaji kearifan budaya Sunda yang terdapat di dalam tradisi lisan. Mereka tidak kreatif menimba khazanah pengetahuan yang tersirat dari generasi tua Sunda. Solusi

Menurut Hendayana (2004), ada tiga langkah yang perlu dilakukan untuk mempertahankan hubungan orang Sunda dengan nilai tradisinya.

Pertama, inventarisasi. Kegiatan ini mencakup pemilahan nilai-nilai luhur yang cocok untuk menghadapi tantangan-tantangan yang datang menerjang kebudayaan Sunda. Dengan demikian, orang Sunda, terutama generasi mudanya, diharapkan memiliki bargaining position atau counter culture ketika tantangan datang.

Kedua, redefinisi. Menurut Hendayana, redefinisi mengacu kepada upaya membuat teks (nilai tradisi) itu mempunyai konteks dengan zaman sekarang, yaitu Sunda yang berpikiran maju, bukan sekadar Sunda yang berkutat dengan nilai-nilai tradisi tanpa terdorong menatap nilai-nilai masa depan.

Kegiatan ini berupa pengkajian ulang dan pemberian tafsir baru terhadap nilai-nilai kesundaan yang dirasa menghalangi gerak langkah orang Sunda. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan, seperti caina herang laukna beunang atau bengkung ngariung bongkok ngaronyok, haruslah ditinjau ulang, sejauh mana manfaat dan mudaratnya.

Ketiga, revitalisasi. Alwasilah (2006) memaknai revitalisasi sebagai upaya terencana, sinambung, dan diniati agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh para pemiliknya, melainkan juga membangkitkan segala wujud kreativitas dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menghadapi berbagai tantangan.

Selain itu, untuk memperkuat pemahaman generasi muda kepada budaya Sunda, penting sekali mengintensifkan pengajaran bahasa Sunda kepada mereka.

Hal ini tetap saja berpangkal pada peran orang tua. Orang tua atau generasi tua Sunda harus rela mengesampingkan ego mereka dan tetap memperkenalkan dan menjaga budaya Sunda.

Cara yang bisa ditempuh, misalnya selalu menggunakan bahasa Sunda kepada anak-anaknya di rumah. Cara ini berguna untuk menjaga agar tidak terjadi adanya gap antargenerasi dalam rangka mewariskan bahasa daerah.

Cara yang lain adalah melalui peran sekolah. Dalam hal ini, pengajaran budaya Sunda dan bahasa Sunda harus dianggap sangat penting dan mendesak. Faktor guru juga sangat penting diperhatikan. Para guru dituntut lebih kreatif dengan mencari jalan agar pengajaran bahasa Sunda lebih efektif.

Demikianlah masalah yang dihadapi generasi muda Sunda sekarang. Saya rasa, peran orang tua dan pendidikanlah yang bisa diharapkan dapat menumbuhkan dan mengembangkan bahasa dan budaya Sunda sehingga generasi muda dapat melangkah ke depan dengan langkah yang yakin, seperti berjalan di waktu malam dengan diterangi obor.

ATEP KURNIA Penulis Lepas, Tinggal di Bandung

Tidak ada komentar: