Senin, 01 September 2008

KERAJAAN SALAKANAGARA (BANTEN, TELUK LADA -PANDEGLANG)

KERAJAAN SALAKANAGARA (BANTEN, TELUK LADA -PANDEGLANG)

Masa pemerintahan kerajaan ini dari tahun 200 SM (menurut catatan sejarah dari India yang menyebutnya sebagai Java Dwipa) sampai tahun 362 M. Tokoh awal dari kerajaan ini bernama Aki Tirem. Kerajaan ini berkedudukan di Teluk Lada Pandeglang namun ada juga yang menyatakan kerajaan ini berkedudukan di sebelah Barat Kota Bogor di kaki gunung Salak, konon nama gunung Salak diambil dari kata Salaka.

1. Dewawarman I
2. Dewawarman II
3. Dewawarman III
4. Dewawarman IV
5. Dewawarman V
6. Dewawarman VI
7. Dewawarman VII
8. Dewawarman VIII

KERAJAAN TARUMANAGARA

1. Jayasingawarman (358 – 382) dia adalah menantu dari Dewawarman VIII
2. Dharmayawarman (382 – 395)
3. Purnawarman (395 – 434)
4. Wisnuwarman (434 – 455)
5. Indrawarman (455 – 515)
6. Candrawarman (515 – 535)
7. Suryawarman (535 – 561)
Tahun 526 menantu Suryawarman yang bernama Manikmaya mendirikan kerajaan baru di wilayah Timur (dekat Nagreg Garut) yang kemudian cicit dari Manikmaya yang bernama Wretikandayun mendirikan kerajaan baru tahun 612 yang kemudian dikenal dengan nama kerajaan Galuh.
8. Kertawarman (561 – 628)
9. Sudhawarman (628 – 639)
10. Hariwangsawarman (639 – 640)
11. Nagajayawarman (640 – 666)
12. Linggawarman (666 – 669)
Anak Linggawarman yang bernama Sobakancana menikah dengan Daputahyang Srijayanasa yang kemudian mendirikan kerajaan Sriwijaya. Anaknya yang bernama Manasih menikah dengan Tarusbawa yang kemudian melanjutkan kerajaan Tarumanagara dengan nama kerajaan Sunda. Karena Tarusbawa merubah nama kerajaan Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda maka Wretikandayun pada tahun 612 menyatakan kerajaan Galuh adalah sebagai kerajaan yang berdiri sendiri bukan dibawah kekuasaan kerajaan Sunda walaupun sebenarnya kerajaan-kerajaan itu diperintah oleh garis keturunan yang sama hanya ibukotanya saja yang berpindah-pindah (Sunda, Pakuan, Galuh, Kawali, Saunggalah).

KERAJAAN SUNDA/GALUH/SAUNGGALAH/PAKUAN

1. Tarusbawa (670 – 723)
2. Sanjaya/Harisdarma/Rakeyan Jamri (723 –732) ibu dari Sanjaya adalah putri Sanaha dari Kalingga sedangkan ayahnya adalah Bratasenawa (raja ke 3 kerajaan Galuh) Sanjaya adalah cicit dari Wretikandayun (kerajaan Galuh) Sanjaya kemudian menikah dengan anak perempuan Tarusbawa yang bernama Tejakancana.
3. Rakeyan Panabaran/Tamperan Barmawijaya (732 - 739) adalah anak Sanjaya dari istrinya Tejakancana. Sanjaya sendiri sebagai penerus ke 2 kerajaan Sunda kemudian memilih berkedudukan di Kalingga yang kemudian mendirikan kerajaan Mataram Kuno dan wangsa Sanjaya (mulai 732)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (795 – 819)
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (891 – 895)
10. Windusakti Prabu Dewageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916 – 942)
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (954 – 964)
15. Prabu Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Prabu Brajawisesa (989 – 1012)
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030 – 1042) Ayah Sri Jayabupati (Sanghyang Ageng) menikah dengan putri dari Sriwijaya (ibu dari Sri Jayabupati) sedangkan Sri Jayabupati sendiri menikah dengan putri Dharmawangsa (adik Dewi Laksmi istri dari Airlangga)
21. Raja Sunda XXI
22. Raja Sunda XXII
23. Raja Sunda XXIII
24. Raja Sunda XXIV
25. Prabu Guru Dharmasiksa
26. Rakeyan Jayadarma, istri Rakeyan Jayadarma adalah Dyah Singamurti/Dyah Lembu Tal anak dari Mahesa Campaka, Mahesa Campaka adalah anak dari Mahesa Wongateleng, Mahesa Wongateleng adalah anak dari Ken Arok dan Ken Dedes dari kerajaan Singasari.
Anak Rakeyan Jayadarma dengan Dyah Singamurti bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya. Karena Jayadarma meninggal di usia muda dan Dyah Singamurti tidak mau tinggal lebih lama di Pakuan maka pindahlah Dyah Singamurti dan anaknya Raden Wijaya ke Jawa Timur yang kemudian Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit pertama.
27. Prabu Ragasuci (1297 – 1303) dia adalah adik dari Rakeyan Jayadarma. Istri Ragasuci bernama Dara Puspa seorang putri dari Kerajaan Melayu. Dara Puspa adalah adik Dara Kencana (yang menikah dengan Kertanegara dari Singasari).
28. Prabu Citraganda (1303 – 1311)
29. Prabu Lingga Dewata (1311 – 1333)
30. Prabu Ajigunawisesa (1333 – 1340) menantu Prabu Lingga Dewata
31. Prabu Maharaja Lingga Buana (1340 – 1357)
32. Prabu Mangkubumi Suradipati/Prabu Bunisora (1357 – 1371) adik Lingga Buana
33. Prabu Raja Wastu/Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475) anak dari Prabu Lingga Buana. Istri pertamanya bernama Larasarkati dari Lampung memiliki anak bernama Sang Haliwungan setelah menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri keduanya adalah Mayangsari putri sulung Prabu Mangkubumi Suradipati/Bunisora memiliki anak yang bernama Ningrat Kancana setelah menjadi Raja Galuh bergelar Prabu Dewaniskala.
Setelah Prabu Raja Wastu meninggal dunia kerajaan dipecah menjadi 2 dengan hak serta wewenang yang sama, Prabu Susuktunggal menjadi raja di kerajaan Sunda sedangkan Prabu Dewaniskala menjadi raja di kerajaan Galuh.
Putra Prabu Dewaniskala bernama Jayadewata, mula-mula menikah dengan Ambetkasih putri dari Ki Gedeng Sindangkasih kemudian menikah lagi dengan Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa yang menjadi raja Singapura) setelah itu ia menikah lagi dengan Kentringmanik Mayang Sunda, putri Prabu Susuktunggal.
Pada tahun 1482 Prabu Dewaniskala menyerahkan kekuasaan kerajaan Galuh kepada puteranya (Jayadewata), demikian pula dengan Prabu Susuktunggal, ia menyerahkan tahta kerajaan kepada menantunya (Jayadewata), maka jadilah Jayadewata sebagai penguasa kerajaan Galuh dan Sunda dengan gelar Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.

KERAJAAN PAJAJARAN

1. Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi / RADEN DJAYADEWATA (1482 – 1521) A.D /MASEHI
Pada masa inilah kerajaan Pajajaran mengalami kemajuan serta kemakmuran.
2. Surawisesa (1521 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5. Raga Mulya (1551 – 1579)
Sekelumit tentang kisah kerajaan Pajajaran sampai dengan tanggal penetapan hari jadi kota Bogor telah ditulis dibagian awal dari tulisan ini.

Bila kita bandingkan dengan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, maka kerajaan Salakanagara di Jawa Barat-lah yang pantas dikatakan sebagai kerajaan tua, dan dari situlah seharusnya asal muasal sejarah Indonesia ini diungkapkan dengan benar.

Semoga tulisan ini bermanfaat, terima kasih.

disadur dari sahabat sejati

Tambahan.....

Salakanagara

Asal Muasal

Sejarah menurut G.R. Elton dan Henry Pirenne berdasarkan studi displin ilmu yang bersumber pada ; 1.Filologi (ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa pada naskah-naskah kuno; daun lontar, daluwang, kertas).2. Epigraf (ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa kuno pada batu, kayu, logam, dikenal sebagai prasasti), 3.Arkeologi (ilmu yang mempelajari benda-benda peninggalan sejarah/artefak).

Kerajaan Hindu pertama Salakanagara menurut Yoseph Iskandar dibuktikan berdasarkan literatur yang sebelumnya pernah ada. Sumber literatur berasal dari Pangeran Wangsakerta-Kasepuhan Cirebon dan bukti-bukti fisik yang ada di Pulau Panaitan serta tersebar diwilayah Gunung Pulosari.

Menurut pakar sejarah Edi S. Ekajati, dalam buku Naskah Sunda (1988), Pangeran Wangsakerta pada tahun 1677 M hasil pertemuan kekeluargaan (mapulung rahi) dan musyawarah (gotraswala) menyusun naskah berseri berjumlah 47 naskah, 4 (empat) diantaranya ditemukan di Banten. Huruf yang ditulis umumnya berasal dari Bahasa Kawi (Jawa Kuno) gaya Cirebon dengan menggunakan tinta Jafaron.

4 (empat) naskah kuno Pustaka Wangsakerta tersebut yaitu :

1. Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara,
2. Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadhipa
3. Pustaka Nagara Kretabhumi,
4. Pustaka Carita Parahiyangan.

Dari 47 naskah Pangeran Wangsakerta tebal tiap jilid bervariasi antara 100-250 halaman, dengan isi 21 sampai 23 baris tiap halaman.Naskah kuno tersebut mencakup pengetahuan sejarah, hukum, kesehatan, dsb. Bahasa yang digunakan juga terdiri dari; Jawakuna, Melayukuna, Balikuna, dan Sundakuna.

Setiap jilid karya Wangsakerta terdiri dari 3 (tiga) bagian : 1.Purwaka, 2.Uraian kisah sejarah, 3. Kolofon (sumber : ayatroehadi, 1985: 530-557)

Purwaka, memberikan keterangan tentang nama naskah, parwa dan sarga, penyusun, sumber, alasan penyusunan, tujuan penyusunan, dsb. yang berkaitan dengan tanggung jawab secara ilmiah dari para penyusun.

Bagian kedua, merupakan bagian isi tentang sejarah sesuai dengan jilid yang bersangkutan.

Kolofon, berisi akhir penulisan jilid tersebut.

Pertemuan (mapulung rahi) dan musyawarah (gotraswala) Nusantara tersebut diakomodir oleh Pangeran Wangsakerta dan dihadiri para ahli sejarah serta arkeolog dimasanya pada tahun 1677 M (1599 Saka), sebagai pengemban amanat dari Sultan Kasepuhan sebelumnya yaitu Pangeran Girilaya. Banyak karya dari berbagai penjuru nusantara tersebut disalin dan diambil isinya bahkan diserahkan kepada Sultan Cirebon, termasuk diantaranya karya Mpu Prapanca yang dibawa mahakawi dari Bali.

Pertemuan dan musyawarah tersebut juga mendapat restu sangat kuat dari Susuhunan Banten (Sultan Ageng Tirtayasa) dan Susuhunan Mataram (Sultan Amangkurat II). Bukti otentik dan tradisi lisan yang diperoleh merupakan referensi sejarah yang tidak ternilai harganya.

Yosep Iskandar sebagai penulis sejarah Salakanagara selain menggunakan data pustaka Wangsakerta, juga menggunakan data Sejarah Babad Banten yang ditulis oleh Hussein Djayadiningrat.

Sebelumnya pakar sejarah Ayatroehadi dan Edi S Ekadjati pada tahun 2001 dalam acara Bedah Naskah Sejarah Banten di Puri Salakanagara milik Triana Syamun menyimpulkan, bahwa Kerajaan Salakanagara pernah ada di wilayah pesisir barat Pandeglang.
Kerajaan tersebut dipimpin oleh Dewawarman I (130-168 M) sampai dengan IX. Terakhir merdeka hanya pada masa dinasti Dewawarman VIII (348-363 M), sebelum akhirnya takluk oleh Purnawarman raja ketiga yang perkasa (434-455M) dari Kerajaan Tarumanegara pada masa dinasti Dewawarman IX, raja terakhir Salakanagara.

Kerajaan Salaka Nagara

Salakanagara, berdasarkan Naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara.
Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang.

Raja pertama Salakanagara bernama Dewawarman yang berasal dari India. Ia mula-mula menjadi duta negaranya (India) di Pulau Jawa. Kemudian Dewawarman menjadi menantu Aki Tirem atau Sang Aki Luhurmulya. Istrinya atau anak Aki Tirem bernama Pohaci Larasati. Saat menjadi raja Salakanagara, Dewawarman I ini dinobatkan dengan nama Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 363 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Sementara Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman pemuja fanatik Dewa Wishnu aliran Hindu itu mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara disebelah barat Citarum. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.

Referensi
Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005
Iskandar, Yoseph: Sejarah Banten, Dari Masa Nirleka (Prasejarah) Hingga Akhir Masa Kejayaan Kesultanan Banten (abad ke 17), Tryana Syam'un Corp. Jakarta, 2001

disadur dari sahabat sejati

Tambahan Kedua...........

Sejarah Sunda (130 - 1579 M)

* Purwacarita
Pengertian sejarah secara tradisi adalah beberapa kisah dongeng, legenda, babad, tambo dll. Sesungguhnya hal itu berada dibawah disiplin ilmu sastra, sedangkan sejarah, pembuktiannya harus berdasarkan disiplin ilmu : filologi (ilmu yang mempelajari naskah kuna), epigrafi (ilmu yang mempelajari aksara prasasti), arkeologi (ilmu yang mempelajari artefak-artefak peninggalan sejarah), dan geografi (ilmu yang mempelajari permukaan bumi).
Karya sastra bisa diuji dan dikaji oleh disiplin ilmu sejarah sejauh karya sastra yang bernilai sejarah itu dapat menunjang temuan sejarah itu sendiri. Sebaliknya hasil penelitian sejarah dapat disusun menjadi karya sastra yang sering kita sebut roman sejarah. Naskah Pangeran Wangsakerta, menurut Edi S. Ekadjati dan menurut Ayat Rohaedi, adalah naskah sejarah. Sistematika dan pengungkapannya sudah dalam bentuk sejarah, menggunakan referensi atau sumber-sumber tertulis lainnya.

* Purwayuga
Sejarah Sunda dimulai dari masa Purwayuga (jaman purba) atau dari masa Nirleka (silam), yang terbagi atas :
o Prathama Purwayuga (jaman purba pertama), dengan kehidupan manusia hewan Satwapurusa, antara 1 jt s.d. 600 rb th silam
o Dwitiya Purwayuga (jaman purba kedua), dengan kehidupan manusia yaksa, antara 500 rb sampai 300 rb tahun silam
o Tritiya Purwayuga (jaman purba ketiga), dengan kehidupan manusia kerdil (wamana purusa), antara 50 rb sampai 25 rb tahu silam.

* Dukuh Pulasari Pandeglang
o menurut naskah Pangeran Wangsakerta, kehidupan masyarakat Sunda pertama di pesisir barat ujung pulau Jawa, yaitu pesisir Pandeglang. Dipimpin oleh seorang kepala suku (panghulu) Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya. Sistem religi mereka adalah Pitarapuja, yaitu pemuja roh leluhur, dengan bukti sejumlah menhir seperti Sanghiyang Dengdek, Sanghiyang Heuleut, Batu Goong, Batu Cihanjuran, Batu Lingga Banjar, Batu Parigi, dll. Refleksi dukuh Pulasari dapat kita lihat di kehidupan masyarakat Sunda Kanekes (Baduy).

* Salakanagara
o Putri Aki Tirem yaitu Pohaci Larasati, menikah dengan seorang duta niaga dari Palawa (India Selatan) bernama Dewawarman. Ketika Aki Tirem wafat, Dewawarman menggantikannya sebagai penghulu dukuh Pulasari.
o Dewawarman mengembangkan Dukuh Pulasari hingga menjadi kerajaan corak Hindu pertama di Nusantara, yang kemudian diberi nama Salakanagara. Salaka berarti Perak dan Nagara berarti negara atau negeri. Oleh ahli dari Yunani, Claudius Ptolomeus, Salakanagara dicatat sebagai Argyre. Dalam berita China dinasti Han, tercatat pula bahwa raja Yehtiao bernama Tiao-Pien mengirimkan duta keChina tahun 132 M. menurut Ayat Rohaedi, Tiao berarti Dewa, dan Pien berarti Warman.
o Salakanagara didirikan tahun 130 M, dengan raja pertamanya Dewawarman I dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Rakja Gpura Sagara. memerintah hingga tahun 168 M. Wilayahnya meliputi propinsi banten sekarang ditambah Agrabintapura (Gunung Padang Cianjur) dan Apuynusa (Krakatau).
o Raja Terakhir (ke-8) Dewawarman VIII bergelar Prabu Darmawirya Dewawarman (348-363 M).

* Tarumanagara
o Didirikan oleh Jayasingawarman pada 358 M dengan nobat Jayasingawarman Gurudarmapurusa.
o Penerusnya adalah Purnawarman yang memindahkan pusat pemerintahan dari Jayasingapura (mungkin Jasinga) ke tepi kali Gomati (bekasi) yang diberi nama Sundapura (kota Sunda), bergelar Harimau Tarumanagara (Wyagraha ning tarumanagara), dan disebut pula Sang Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng) dan juga Panji Segala Raja. Sedangkan nama nobatnya adalah Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati.
o Raja terakhir Sang Linggawarman sebagai raja ke-12

* Kerajaan Sunda
o Tarumanagara dirubah namanya menjadi Kerajaan Sunda oleh Tarusbawa, penerus Linggawarman. Akibatnya belahan timur Tarumanagara dengan batas sungai Citarum memerdekakan diri menjadi Kerajaan Galuh
Kerajaan Sunda berlangsung hingga tahun 1482 M, dengan 34 raja.
o Prabu Maharaja Linggabuana dinobatkan menjadi raja di kerajaan Sunda pada 22 februari 1350 M. Ia gugur bersama putrinya, Citraresmi, dalam tragedi Palagan Bubat akibat ulah Mahapatih Gajahmada. Peristiwa itu terjadi pada 4 September 1357 M.
o Mahaprabu Niskala Wastu Kancana menggantikan posisi Linggabuana pada usia 9 tahun. Dia membuat Prasasti Kawali di Sanghiyang Linggahiyang atau Astana Gede Kawali. Dia juga yang membuat filsafat hidup :" Tanjeur na Juritan, Jaya di Buana" (unggul dalam perang, lama hidup di dunia).
o Wastukancana memerintah selama 103 tahun 6 bulan dan 15 hari dalam keadaan damai.
o Sri Baduga Maharaja adalah putra Prabu Dewa Niskala, cucu dari Prabu Wastukancana. Ia adalah pemersatu kerajaan Sunda, ketika Galuh kembali terpisah. Kerajaan ini lebih dikenal dengan sebutan Pajajaran. Dialah raja pertama yang mengadakan perjanjian dengan bangsa Eropa, yaitu Portugis. Ia berkuasa dari tahun 1482 s.d. 1521M.

* Kerajaan Galuh
o Pendirinya adalah Prabu Wretikandayun pada 612 M.
o Prabu Sanjaya Harisdarma. Ia disebut Taraju Jawadwipa, dan sempat menjadi Maharaja di tiga kerajaan : Kalingga - Galuh - Sunda.
o Sang Manarah yang dalam dongeng disebut Ciung Wanara. Ia putera Prabu Premana Dikusumah dari Naganingrum.

* Kerajaan Pajajaran
o Pajajaran adalah sebutan pengganti atas bersatunya kerajaan Galuh dengan kerajaan Sunda, yang dipegang oleh satu penguasa : Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran atau Sri Sang Ratu Dewata.
o Penggantinya adalah Prabu Sanghyang Surawisesa, yang berkuasa di belahan barat Jawa barat, karena di sebelah timur sudah berdiri kerajaan Islam Pakungwati Cirebon, yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah Iman. Dia adalah putra sulung Sri Baduga Maharaja dari Subanglarang yang beragama Islam. Subanglarang adalah murid Syekh Quro Hasanudin Pura Dalem Karawang.
o Tahta kerajaan Pajajaran berlangsung turun-temurun : Ratu Dewata; Ratu Sakti, Prabu Nilakendra dan yang terakhir Prabu Ragamulya Suryakancana.
o Di pihak Cirebon sendiri, putera Susuhunan Jati Cirebon, yaitu Pangeran Sabakingkin, telah berhasil mendirikan kerajaan bercorak Islam Surasowan Wahanten (Banten) dan melakukan beberapa kali penyerbuan ke Pajajaran.
o Pakuan Pajajaran direbut dan dimusnahkan oleh Maulana Yusuf, putra Maulana Hasanudin.
o Pajajaran sirna ing bhumi, atau Pajajaran lenyap dari muka bumi pada tanggal 11 bagian terang bulan wasaka tahun 1511 Saka atau 11 Rabi'ul Awal 978 hijriah atau tanggal 8 mei 1579 M.
o Sebagai tunas-tunas Pajajaran, muncullah 3 kerajaan Islam di tatar Sunda :
+ Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon;
+ Kerajaan Islam Surasowan Banten; dan
+ Kerajaan Islam Sumedanglarang.

disadur dari sahabat sejati

Tambahan Ketiga.........

SEJARAH SUNDA

Apakah manfaat pengetahuan sejarah bagi kita ?
Pertanyaan itu dijawab oleh Muiler (1952:38), "Our task is to creatiea "usable past" for our own living purpose" yaitu tugas kita ialah mereka instruksi masa lalu untuk mencari manfaat bagi kehidupan sekarang jelasnya lagi, yaitu kita harus mampu menyerap unsur sejarah yang bermanfaat bagi
kemajuan bangsa dan dapat mentransformasikan dalam kehidupan.

Manfaat sejarah dapat disimpulkan dalam Ciri Jati Diri (Identitas)
a. Sejarah untuk menjadikan Ciri Jati Diri (Identitas): Identitas diri atau kelompok dapat tumbuh dari rasa bangga akan hasil peradaban atau kebudayaannya. Sehingga pada akhirnya memotivasi generasi penerus untuk lebih berprestasi kerja agar terwujud identitas diri dan bangsa.
b. Sejarah Sebagai Sumber Nilai Budaya Dan Peradaban: Dalam kandungan sejarah banyak terdapat nilai-nilai peradaban yang menjadi ukuran derajat peradaban bangsa tersebut. Nilai peradaban itu harus dapat disampaikan kepada generasi selanjutnya.

Periodesasi Sejarah Sunda
Drs. Saleh Danasasmita, pakar Sejarah Sunda membuat periodesasi Sejarah Sunda berdasarkan "Ide Dasar" yang menjiwai masyarakat pada masanya. Pembagiannya yaitu:
A. Ide dasar Nusantara, Bercirikan Megalitik.
B. Ide dasar Hinduisme.
C. Ide dasar Budisme.
D. Ide dasar Islamisme.
E. Ide dasar Kejawen.

Tetapi ada pula pakar yang membuat periodesasi berdasarkan kurun waktu. Periodesasi sejarah sunda Sbb :
a) Jaman Pra Sejarah (Purwayuga), Pada jaman ini dikatakan bahwa mahluk yang pernah hidup disebutnya.
- Satwapurusa (manusia hewan), 1.000.000 - 600.000 th S.M.
- Bhutapurusa (manusia bhuta, Raksasa) 750.000 - 300.000 th S.M.
- Yaksapurusa (manusia yaksa, sejenis raksasa) 500.000 - 300.000 th S.M.
- Wamanapurusa (manusia cebol) 50.000 - 25.000 th S.M.
- Antara 25.000 - 10.000 th S.M. berdatangan manusia dari Yuwana, Campa, Syangka, hidup berbaur dengan penduduk asli.
- Antara 10.000 S.M. sampai dengan awal tarikh Masehi, berdatangan manusia baru dari daerah utara.
Catatan: pada jaman pra-sejarah terdapat tradisi Nusantara (Megalitik). Manusia penghuni asli berbaur dengan pendatang baru.

b) Jaman Sunda Mandiri (Yuga ning Rajakawaca)

- Kerajaan Salakanagara :
ini adalah kerajaan yang pertama yang ada di tatar Sunda, juga di Nusantara. Salakanagara (Negara Perak), kotanya Rajatapura (Kota Perak). Rajanya yaitu Dewawarman, yang berasal dari India Selatan dan menikah dengan Pohaci Larasati, putra dari Aki Tirem (Aki Luhur Mulya). Wilayah negaranya adalah daerah Banten sekarang sampai ke pesisir Sumatera Selatan.
Catatan :
A. Sudah ada ahli ilmu hundagi (arsitektur).
B. Konsep kerajaan bersumber kepada tradisi India.
C. Raja Yeh-Tiao yang bernama Tiao-piem, kemungkinan yang dimaksud yaitu Yavadwipa dengan Dewawarman.
D. Dalam pemerintahan Dewawarman VII baru terceritakan adanya kerajaan Bakulapura (Kutai) di Kalimantan. Jadi lebih awal adanya Kerajaan Salakanagara daripada Kutai.

- Kerajaan Tarumanagara :
Tahun 348 M, seorang Maharesi dari Calakayana, India selatan, datang ke tatar sunda, membuka pedesaan di tepi sungai Citarum. Diambil mantu oleh Dewawarman VIII, diberi julukan Jayasingawarman (sang resi Rajadi Rajaguru). Jayasingawarman inilah yang menurunkan raja-raja di kerajaan Tarumanagara (dari tahun 568 M – 669 M).
Catatan:
A. agamanya Hindu, istilah kasta yang menyerap sampai sekarang dalam bahsa Sunda ialah kata : nista, maja (madya), utama.
B. Yang paling termashyur adalah Raja Purnawarman dari tahun (395-434 M) bergelar Narendrayajabutena (Panji Sagala Raja). Raja ke III Tarumanagara. Raja yang namanya ditulis dalam prasasti paling lama memerintah (Prasasti Ciaruteun). Memerintah untuk menggali sungai (Bangawan) Gamati. Mendirikan Kota Sundapura, membuat pelabuhan angkatan perang, Ahli perang, sudah mengenakan pakaian dari besi (kere, zirah). Bergelar Wyagra Tarumanagara (maung Tarumanagara). Nyusuk, membendung dan memelihara sungai Gangga (Cirebon), sungai Cupu Nagara, sungai Surasah Manukrawa (Cimanuk), sungai Gomati, sungai Candrabaga, sungai Citarum. Armada perangnya paling hebat dan kuat. Pimpinan perang dipegang sendiri mentampas bajak laut di laut Jawa. Kerajaan-kerajaan kecil yang dibawahinya terdiri atas 46 kerajaan.
C. Raja terakhir dari kerajaan Tarumanagara, yaitu Linggawarman (666-669 M). Menantunya bernama Tarusbawa, sejak raja inilah nama Raja Wreti Kandayun dari negara Galuh (di daerah Ciamis sekarang), melepaskan negaranya dari Tarumanagara, jadi negara Galuh mandiri, kedudukannya di daerah selatan tatar sunda. Tahun 670 M wilayah Tarumanagara dibagi dua, yaitu kerajaan Sunda di daerah barat, kerajaan Galuh (Parahyangan) disebelah timur. Batasnya Sungai Citarum.

- Kerajaan Galuh:
Menerangkan kerajaan Galuh, harus dimulai dari awal yaitu dari mulai Kendan (Daerah Nagreg, Cicalengka). Kendan adalah asal muasalnya Kerajaan Galuh. Tokohnya bernama Resiguru Manikmaya, Orang India (Wangsa Calakayana). Diangkat rajaresi di daerah Kendan (536-568 M). Raja Kendan yang tidak mendirikan lagi keraton yaitu ialah Wretikandayun. Wretikandayun meneruskan wangsa Kendan dengan mendirikan Kerajaan Galuh tempatnya di daerah Karang Kamulyan sekarang Ciamis. Jaman Wretikandayun, Galuh lepas dari kerajaan Tarumanagara. Galuh ada hungungan yang erat sekali dengan Kalingga, karena Raja Galuh (Sang Mandiminyak) menikah dengan Dewi Parwati, putranya Ratu Sima dari Kerajaan Kalingga. Kerajaan Galuh berdiri sejak tahun 591-852 M.
Catatan:
A. Cerita asal muasal Kerajaan Galuh, ada dalam naskah kuna 'Carita Parahyangan' (Naskah akhir abad Ke 16).
B. Di Galuh pernah terjadi perang saudara, disebabkan diangkatnya sang Sena menjadi raja di Galuh, dan ini menimbulkan amarah dari putra Mandiminyak yang sah, yaitu Purbasora dan Demunawan. Sang Sena bisa lolos dan melarikan diri ke Kalingga Utara (Jawa tengah).
C. Sena (putra Mandiminyak + Rababu) menikah dengan Sahana (putra Mandiminyak + Parwati) mempunyai putra Sanjaya.
D. Sanjaya (putra Sena) yang ada di Kalingga Utara, membalaskan sakit hati ke ayahnya dengan menyerang Kerajaan Galuh. Sanjaya berhasil merebut Galuh dari Purbasora.
E. Sanjaya menikah dengan Teja Kancana, putra dari Tarusbawa (Raja Sunda) dan akhirnya diangkat menjadi Raja Nagara Sunda.
F. Akhirnya Sanjaya menjadi Raja yang mengusasai Nagara Sunda dan Nagara Galuh. Berdiamnya tidak di kota Galuh tapi di keraton (Purasaba) Sunda.
G. Di Galuh mengangkat wakilnya, yaitu Premana Dikusumah (cucunya Purbasora), mempunyai putra Surotama (Manarah, Ciung Manarah).
H. Premana Dikusumah suka bertapa. Patihnya yang bernama Tamperan mempunyai hubungan gelap dengan istri kedua Premana Dikusumah, maka lahirlah Banga.

- Kerajaan Sunda :
Kerajaan Sunda adalah nama baru dari Kerajaan Tarumanagara. Di dirikan oleh Tarusbawa (669 M). Keratonnya di daerah Batu tulis, Bogor. Kotanya disebut Pakuan. Istananya (keraton) disebut Sang Bima –Punta-Narayana Madura-Suradipati, disingkat Sang Bima atau Sri Bima. Salah seorang raja dari nagara Sunda yang termasyur, bernama Sri Jayabhupati (Prabu Detya Maharaja). Dalam Prasasti Citatih disebut Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Cakala bhuwanamanda-laeswaranin-dita Hargowardhana Wikromotunggaluewa.
Catatan:
A. Waktu jaman kerajaan Sunda, ada di dalam daerah khusus yang dianggap mandiri yaitu kerajaan Galunggung. Rajanya bernama Batari Hyang menurut prasasti Geger Hanjuang.
B. Mengenai raja Sunda yang bernama Darmasiksa (1175-1297 M), ini ada fragmennya dalam naskah kuna carita parahyangan. Beliau mendirikan pusat pemerintahan baru di daerah Tasikmalaya sekarang, yang disebut Saunggalah (senama dengan Saunggalah di Kuningan).

- Kerajaan Kawali :
Raja kerajaan Sunda yang pertama di Kawali yaitu Ajiguna Linggawisesa, menantu prabu Linggadewata. Kejadian perang Bubat (pasundan Bubat) yaitu pada jaman Raja Linggabuana (1350-1357 M). Dua putranya yang tersohor yaitu bernama Dyah Pitaloka (Citraresmi) seorang putri yang terkenal dengan kecantikannya dengan Niskala Wastu Kencana. Citraresmi tadinya akan dipersunting oleh Prabu Hayam Wuruk dari Majapahit. Tetapi pernikahan tidak terlaksana karena terjadinya peristiwa Bubat. Prabu Wastukancana (Niskala Wastu Kancana, Prabu Resi Buanatunggal dewata, Prabu Linggawastu). Prabu Niskala Wastukancana yang membuat prasasti di Astana Gede yang berbunyi :

Prasasti I: Nihan tapa kawali nu siya mulia tanpa bhagya parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali nu mahayu na kadatuan surawisesa nu marigi sakuliling dayeuh nu najur sagala desa aya ma nu padeuri pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana.

Dalam bahasa sunda: Nu tapa di Kawali ieu teh nu mulya nu tapa nu bagja Prabu Raja Wastu nu jumeneng di kota Kawali nu mapaes karaton Surawisesa, nu nyusuk (kakalen) sakuriling dayeuh, nu ngaraharjakeun sabudeureun nagri. Muga-muga aya nu pandeuri nu ngabiasakeun migawe karahayuan malar lila jayana di buana.

Dalam Bahasa Indonesia : Yang bertapa di Kawali ini yang mulia yang bertapa yang bahagia Prabu Raja Wastu yang berkedudukan di Kota Kawali yang menghiasi keraton Surawisesa, yang menggali parit sekeliling kota, yang mensejahterakan sekeliling negri. Mudah-mudahan ada yang dibelakang yang membiasakan mengerjakan kebajikan supaya berjaya di buana.

Prasasti II: Aya ma nu ngeusi bhagya kawali bari pakena bener pakeun najeur na juritan.

Dalam Bahasa Sunda: Muga-muga aya nu pandeuri nu ngeusian nagara kawali ku kabagjaan bari ngabiasakeun diri migawe karaharjaan Sajati supaya tetep unggul dina pangperangan.

Dalam bahasa Indonesia : Mudah-mudahan ada yang dibelakang yang mengisi negara kawali dengan kebahagiaan, dengan membiasakan diri mengerjakan kesejahteraan sejati agar tetap jaya dalam peperangan. Kerajaan Talaga daerah Talaga (Majalengka) besar kaitannya dengan Kawali. Kerajaan Talaga ialah salah satu (satu-satunya) yang menganut Agama Budha.
Catatan:
A. Naskah Kuna Carita Parahyangan banyak membahas mengenai Kawali.
B. Wastu Kancana meninggal tahun 1475 M. Putranya yang bernama Ningrat Kancana (Prabu Dewa Niskala) menggantikannya menjadi Raja Kawali. Putranya yang seorang lagi bernama Sang Haliwungan (Prabu Susuk Tunggal) jadi raja di nagara Sunda, berkedudukan di daerah Pakuan.
C. Putra Dewa Niskala,bernama Jayadewata di ambil menantu oleh Prabu Susuk Tunggal. Oleh karena itu nantinya Jayadewata menjadi raja di dua negara yaitu di Kawali dan di Sunda. Kerajaan yang dipegang oleh oleh Prabu Jayadewata disebut Pajajaran (1482-1579 M).
D. Prabu Jayadewata dikenal juga dengan nama Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi (1482-1521 M).

- Kerajaan Pajajaran :
Raja pertama kerajaan Pajajaran adalah Prabu Jayadewata (Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi, sang pemanah rasa, Keukeumbingan Raja Sunu) menikah dengan Ambetkasih (dari daerah Sindangkasih), dengan putri Subanglarang, dengan Kentringmanik Mayang Sunda, (Putra raja Susuk tunggal, dari Nagara Sunda). Beliau disebut Siliwangi, karena dianggap keharuman namanya mengganti keharuman nama Sang Prabu Wangi (Linggabuana) yaitu uyutnya, yang meninggal di Bubat. Prabu Siliwangi menjadi raja dari tahun 1482-1521 M. Jasa-jasa Prabu Siliwangi dicatat dalam prasasti Kebantenan dan Batu Tulis. Terdapat pada prasasti yang lainnya, isinya mengenai kewajiban rakyat kepada negara. Karya Prabu Siliwangi antara lain Telaga dengan nama Rena. Mahawijaya, membuat jalan, membuat benteng kota, memberikan daerah baru kepada para pendeta demi kemajuan agama, membuat keputren, kesatriaan, menciptakan formasi perang, tempat kesenian, menyusun angkatan perang, mengatur undang-undang, dll. Pada jaman Pajajaran inilah di mulai ada hubungan dengan Portugis yaitu tahun 1513 M. Tome Pires (bangsa Portugis) seorang penjelajah mengatakan Nagara Sunda (Pajajaran) disebutnya negara Ksatri yang dipimpin oleh seorang pahlawan laut. Raja Pajajaran yang terakhir bernama Ragamulya Suryakencana (1567-1579 M).
Catatan:
A. Kerajaan Pajajaran paling dikenal oleh orang Sunda, dengan rajanya yang sangat terkenal yaitu Prabu Siliwangi.
B. Pada jaman Pajajaran mulai masuk pengaruh agama Islam dengan derasnya.

- Kerajaan Surasowan :
Berkedudukan di Banten, merupakan kerajaan yang meneruskan kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang sudah bubar. Di mulai dengan pemerintahan Sultan Hasanuddin (1478 M). Termasyur sebagai kerajaan Banten-Islam. Putra Hasanuddin yaitu Panembahan Yusuf, yang menumpas Pakuan Pajajaran tahun 1579 M. Raja terakhir kerajaan Surasowah ialah Pangeran Muhamad (Kangjeng Ratu Banten 1580-1605 M).
Catatan:
Kerajaan Surasowan erat kaitannya dengan Cirebon dan Demak.

- Kerajaan Pakungwati :
Pakungwati adalah nama dari keraton di Cirebon di dirikan oleh Walang Sungsang. Cirebon Larang di dirikan tahun 1445 M. Sultan-sultan dari Pakungwati (Cirebon) mempunyai tempat khusus dalam sejarah Sunda terutama erat kaitannya dengan menyebarnya Agama Islam.
Catatan:
A. Salah satu tokoh yang terkenal dari Kerajaan Pakungwati ialah Sunan Gunung Jati, salah satu wali yang paling melekat di hati masyarakat sebagai tokoh Islam.
B. Keraton Cirebon, terhitung tempat yang paling lengkap yang memberi informasi mengenai sejarah Sunda.

- Kerajaan Sumedang Larang :
Pusat di kota Sumedang sekarang. Di Dirikan oleh Prabu Tajimalela kurang lebih tahun 1340-1350 M. Waktu yang memegang tampuk pemerintahan Ratu Sintawati hubungan dengan kerajaan Talaga (di Majalengka sekarang) terjalin erat sekali. Putrinya yaitu Ratu Satyasih (pucuk umum) nikah dengan Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang, cucu dari pangeran Panjunan dari Cirebon). Pangeran Santri adalah Raja Sumedang Larang yang pertama menganut Agama Islam. Salah satu putera Pangeran Santri yang terkenal yaitu Pangeran Angkawijaya (Geusan Ulun).
Catatan:
A. Senapati/pembesar Pajajaran yang membantu Geusan Ulun, yaitu Jaya Perkosa, Wiradijaya (Nangganan), Kondang Hapa, Pancar Buana. Senapati berempat inilah yang membawa mahkota Pajajaran dengan atribut lainnya, diserahkan kepada Geusan Ulun. Sekarang ada di museum Sumedang. Atribut ini dipakai sebagai pengesahan (Legitimasi), bahwa Sumedang Larang meneruskan Kerajaan Pajajaran.
B. Geusan Ulun erat sekali dengan kejadian Ratu Harisbaya.

- Kerajaan Galuh Pakuan :
Kedudukannya di Pasir Huut, Kampung Galuh Pakuan, Kecamatan Blubur –Limbangan sekarang. Dari situ pindah ke daerah Limbangan-Leles (Windupepet). Tokoh terkenal yaitu Prabu Sangkan Beunghar, keturunan dari Prabu Siliwangi.
Catatan:
Kerajaan Galuh Pakuan sering disebut dalam cerita Babad dan Pantun, namun tidak ada tertulis dalam naskah-naskah Kuno sekalipun.

c) Jaman Kasosok Ti Luar (pengaruh dari luar), yaitu maksudnya banyaknya pengaruh baik kekuasaan, budaya, tekhnik dari luar daerah Sunda. Umpamanya saja pengaruh dengan datangnya bangsa Belanda dan Inggris. Pengaruh kekuasaan dan Budaya dari Jawa (Kejawen, Mataram). Pengaruh budaya dari Timur Tengah. Mengenai periodesasi Jaman ini sudah banyak di bahas di buku-buku sejarah, diantaranya buku-buku pelajaran di SD, SLTP, SLTA, dari perguruan Tinggi.
d) Jaman Tandangna Kebangsaan, Kebangkitan nasional di tandai dengan berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908 dan organisasi-organisasi lainnya. Adapun kebangkitan rasa kebangsaan di tatar Sunda di tandai dengan berdirinya Organisasi Paguyuban Pasundan pada September 1914.
e) Jaman Bhinneka Tunggal Ika, Yang dimaksud adalah peran sejarah Sunda setelah berkumandangnya Kemerdekaan republik Indonesia, dari tahun 1945 sampai sekarang.


Seperti yang sudah ditulis dalam Purwa Carita, tulisan ini hanya memberi ciri-ciri sejarah Sunda. Semoga Ki Sunda tidak selebar daun kelor, namun sunda selebar jagat. Nenek moyang sunda telah memperlihatkan kesadaran mengenai pentingnya kesejarahan yang paling hakiki yaitu isi Prasasti Kawali I, II dan isi Kropak 632 dari kabuyutan Ciburuy yang berbunyi:

Hana nguni hana mangketan hana nguni tan liana mangke aya ma baheula hanteu tu ayeuna hana tunggak hana ratan tan hana tunggak tan hana watang hana ma tunggulna aya tu catangna.

Aya bihari aya kiwari teu aya baheula moal aya ayeuna ku ayana baheula nya ayana ayeuna mun taya bihari moal aya kiwari aya tunggak (tangkal) aya dahan mun taya tunggak moal aya dahan mun aya tunggulna tangtu aya sirungna.

Ada dulu ada sekarang tidak ada dahulu tidak ada sekarang adanya sekarang adanya dahulu kalau tidak ada dahulu tidak ada sekarang ada batang ada cabang kalau tidak ada batang tidak ada cabang kalau ada tunggulnya mungkin ada tunasnya.

Artinya : Tunggul = metafora dari arti Karuhun (leluhurnya), Sirung = metafora dari Urang Pisan (keberadaan keturunannya).***



Tambahan Keempat........

SEJARAH PENGGUNAAN BAHASA SUNDA DI TATAR SUNDA

Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.

Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).

Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi "Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana"
(inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).

Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw'un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.

Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas. Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:

1) Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) "Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu" (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)

2) Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) "Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma" (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).

Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.

Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.

Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.

Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.

Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi sosial secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.
Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.

Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.

Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.

Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.

MOGA BERMANFAAT BAGI SEMUA.AMIEN

Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh


Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.

Karena Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batas.


Lokasi ibukota Sunda

Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya, di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.

Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.

Keterlibatan Kalingga

Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Cicit Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.

Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.

Prasasti Jayabupati

Isi prasasti

Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):

D 73 :
//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-

D 96 :
gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.

D 97 :
sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.

sekilas Galunggung

Biru Langit Galunggung
Galunggung

Biru langit Galunggung
Rumput bergoyang menggapaimu
Saat kutiup bunganya
Terbang berhamburan terbawa angin

Kaldera
Kawah raksasamu
Ada pulau samosir di tengah
Ada bangunan mungil di tepinya
Ada rakit untuk berlayar

Air terjun menyembul di antara pepohonan
Hijau daun
Terjalnya bukit-bukitmu
Adalah harmoni

Air dingin menyapu wajahku
Mengalir tanpa henti
dari pancuran alami
yang mengalir lembut dari dalam bumi.
Perang Bubat dan Prabu Siliwangi
Perang Bubat dan Prabu Siliwangi



TULISAN Her Suganda, "Memandang Bubat dari Jauh", menarik untuk diberi catatan tambahan. Artikel tersebut menegaskan bahwa Perang Bubat itu benar-benar pernah terjadi dan membuat luka batin yang panjang dalam relung hati orang Sunda. Menafikan Perang Bubat tidak hanya membuang sebagian memori kolektif orang Sunda, lebih jauh berarti menghilangkan pula peran historis Prabu Siliwangi. Tanpa peristiwa syahidnya Prabu Wangi, tidak akan ada sang pengganti bernama Silih-wangi itu. Padahal semua orang Sunda bangga mengaku sebagai seuweu-siwi Siliwangi.

Artikel ini coba melihat Bubat dari sisi lain, yakni hikmah sejarah dari peristiwa Bubat, munculnya tokoh Siliwangi. Allah Anu Maha Ngersakeun, telah menganugerahkan Siliwangi kepada orang Sunda, sebagai pengganti dan pemimpin dari tewasnya Linggabuana dan Dyah Pitaloka.

Siapakah Prabu Siliwangi?

Dalam prasasti Batutulis, Prabu Surawisesa tidak menuliskan nama Siliwangi untuk ayahnya. Prasasti untuk mengabadikan jasa-jasa Sri Baduga Maharaja, itu dibuat tahun 1455 Saka atau 1533 M, dua belas tahun setelah ayahnya wafat. Dalam prasasti itu disebutkan, "Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (bagi) prabu ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga! Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusalarang. yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan-jalan yang diperkeras dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuatnya). (dibuat) dalam tahun Saka 1455".

Demikian pula dalam prasasti yang lain, nama Siliwangi tidak tertera. Fakta ini sempat membuat penasaran para sejarawan yang bertemu di Keraton Kasepuhan Cirebon tahun 1677 M. Sebagaimana diketahui, di keraton itu pernah diadakan gotrasawala sejarah, yang hasilnya kemudian dikenal sebagai naskah Wangsakerta. Mengenai naskah ini bisa dilihat dalam polemik di harian ini antara Edi S. Ekadjati (1) Persoalan Sekitar Hari Jadi Jawa Barat (2/2/ 2002), (2) Sekitar Naskah Pangeran Wangsakerta (19/2/2002), (3) Sekali Lagi Sekitar Naskah Wangsakerta (27/5/ 2002), dan Nina H. Lubis (1) Naskah "Wangsakerta" dan Hari Jadi Jawa Barat (20/1/2002), (2) Naskah Wangsakerta Sebagai Sumber Sejarah? (6-7/03/2002).

Karena menjadi pembicaraan luas pada gotrasawala itu, secara khusus Sultan Sepuh I menugaskan adiknya, Pangeran Wangsakerta, yang menjadi ketua panitia pertemuan, untuk meneliti lebih jauh mengenai tokoh tersebut. Terlepas dari sifat "kontroversi"-nya, naskah Wangsakerta memberikan gambaran cukup jelas mengenai tokoh Siliwangi.

Pangeran Wangsakerta mencatat, pertama, dalam Nusantara Parwa II Sarga 2 (1678 M), "Sesungguhnya tidak ada raja Sunda yang bernama Siliwangi, hanya penduduk Tanah Sunda yang menyebut Prabu Siliwangi."

Kedua, dalam Kretabhumi I/4 (1695: 47), "Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua penduduk Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi itu bukan pribadinya. Jadi, siapa namanya Raja Pajajaran ini?"

Ketiga, dalam naskah yang sama halaman 47-48, "Raja Pajajaran dinobatkan dengan nama Prabu Guru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata."

Keempat, masih dalam Kretabhumi halaman 51, "Rahiang Dewa Niskala berputra Sri Baduga Maharaja Pajajaran yang menurut (oleh) orang Sunda disebut Prabu Siliwangi."

Dengan demikian, nama Siliwangi adalah julukan penduduk Sunda untuk Sri Baduga Maharaja (w. 1521). Nama ini sebenarnya sudah muncul ketika beliau masih hidup, sebagaimana termaktub dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) yang ditulis tahun 1518 M. Dalam naskah itu disebutkan, "Bila ingin tahu tentang pantun, seperti Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun."

Siliwangi berarti silih-wangi, pengganti Prabu Wangi (Linggabuana) yang gugur tahun 1357 M bersama putrinya Dyah Pitaloka. Jayadewata (Manahrasa) dianggap memiliki keberanian seperti buyutnya itu. Karena itu, ia berhak menyandang gelar Sri Baduga Maharaja. Sementara dalam perilakunya, ia merepresentasikan pribadi, Wastukancana, kakeknya (w. 1475 M).

Jayadewata memang sangat layak dikenang segenap orang Sunda. Hingga sekarang kita bangga disebut sebagai seuweu-siwi Siliwangi. Keagungannya itu antara lain ditandai oleh kemampuannya menyatukan kembali kerajaan Sunda. Setelah Wastukancana wafat, kerajaan terbagi dua. Anak sulungnya, Susuktunggal (Sang Haliwungan), bertakhta di Pakuan (Bogor), sementara anaknya yang lain, Dewa Niskala (Ningrat Kancana), berkedudukan di Kawali (Ciamis).

Lalu datanglah cobaan besar pada tahun 1478 M, ketika Majapahit diserang Demak. Sejumlah pembesar dari timur melarikan diri ke arah barat, meminta suaka kepada penguasa Kawali. Di antara pengungsi itu terdapat Raden Baribin (putra Brawijaya IV) dan seorang "istri larangan" (gadis yang sudah bertunangan). Dalam hukum Sunda, perempuan seperti itu "haram" dinikahi kecuali tunangannya sudah meninggal atau pertunangannya dibatalkan. Namun Dewa Niskala tetap menikahi "istri larangan" itu dan Raden Baribin dijadikan menantunya, dinikahkan dengan Ratu Ayu Kirana.

Tindakan Dewa Niskala itu membuat keluarga keraton dan Susuktunggal marah. Mereka menganggapnya telah melanggar hukum yang berlaku dan "tabu kerajaan". Sebagaimana diketahui, setelah peristiwa Bubat, keluarga Keraton Kawali ditabukan menikah dengan keluarga dari Majapahit. Maka perbuatan Dewa Niskala dianggap sebagai pelanggaran yang tidak bisa dimaafkan. Di tengah suasana genting itulah, Jayadewata tampil sebagai penengah. Ia mewarisi kerajaan dari ayah dan mertuanya tahun 1482 M. Oleh karena itu, ia dinobatkan dua kali, di Kawali dan Pakuan, serta memperoleh dua gelar, Prabu Guru Dewataprana dan Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Harta karun Siliwangi

Salah satu harta karun paling berharga dari Prabu Siliwangi ialah naskah bernama Sanghyang Siksa Kangda ng Karesian (SSKK). Naskah ini ditulis pada tahun 1518. Naskah ini secara jelas memaparkan apa yang harus dilakukan oleh pemimpin (menak) dan rakyat (somah), jika ingin meraih keunggulan. Menegaskan apa yang bisa membuat tugas hidup kita di dunia ini paripurna. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kupasan optimal atas naskah ini setelah ditransliterasi oleh Atja dan Saleh Danasamita tahun 1981.

SSKK adalah penjelasan dari Amanat Galunggung/AG (+ 1419 M). AG ditulis sebagai nasihat Prabu Darmasiksa kepada putranya, Sang Lumahing Taman. Dalam AG tercatat bahwa nasihat-nasihat itu bersumber kepada tokoh nu nyusuk na Galunggung (yang membuat parit di Galunggung). Menurut prasasti Geger Hanjuang, pada tahun 1033 Saka atau 1111 M, Batari Hyang membuat parit pertahanan. Di rajyamandala (kerajaan bawahan) Galunggung. Tepatnya di Rumantak, Linggawangi (sekarang Leuwisari, Singaparna, Tasikmalaya). Tokoh Batari Hiyang inilah yang dianggap telah mengodifikasi petuah-petuah yang kelak menjadi AG dan SSKK.

Menurut Ayatrohaedi (2001), dalam bagian pertama naskah ini tercatat Dasakrjta sebagai pegangan orang banyak, dan bagian kedua disebut Darmapitutur berisi hal-hal berkenaan dengan pengetahuan yang seyogianya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup berguna di dunia. Uraian naskah itu tampak didasarkan kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara. Atau dalam bahasa Atja dan Saleh Danasasmita (1981), naskah tersebut berisi aturan hidup warga negara (citizenship).

Substansi naskah itu masih sangat relevan untuk dikaji pada saat sekarang. Terutama ajaran tentang kejujuran dan keluhuran perilaku hidup lainnya. Naskah ini dibuka dengan anjuran menjaga sepuluh anggota tubuh (dasaindria) yang kita miliki, dari mata hingga kaki. Misalnya tangan, dianjurkan agar tidak sembarang mengambil segala sesuatu yang bukan haknya, karena akan menjadi pintu bencana dan kenistaan. Dalam konteks sekarang bisa dimaknai, jangan korupsi.

Demikian pula dengan dasapasanta yang menjelaskan sepuluh syarat jika seorang pemimpin ingin berwibawa di mata rakyatnya. Ditaati dan dijalankan perintah/instruksinya. Yaitu guna (bijaksana), rama (ramah), hook (proporsional, bukan like and dislike), pesok (membangkitkan semangat), asih (penuh kasih), karunya (pembagian tugas yang jelas), mupreruk (membujuk), ngulas (membangkitkan harga diri), nyecep (menumbuhkan percaya diri), dan ngala angen (mengambil hati).

Walhasil, sambil terus beradaptasi secara kritis dengan setiap perkembangan zaman, menjaga tradisi leluhur yang baik itu tetaplah penting dan relevan.***



Ranggap, Raja Pisang yang Kesepian


PISANG ranggap cukup besar dibandingkan dengan pisang-pisang yang lain. Besarnya sekitar dua kali pisang ambon cavendis. Rasanya juga lain dari yang lain, sehingga pisang ini sering dikatakan sebagai raja pisang. Pisang ranggap sementara ini hanya ditemui di sekitar kaki Gunung Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Karena letaknya di daerah sepi, maka pisang itu juga disebut sebagai raja yang kesepian. Keberadaannya belum diketahui banyak masyarakat. Seandainya banyak orang tahu, sudah pasti diserbu banyak orang. Apalagi pisang ranggap diyakini berkhasiat sebagai obat beberapa penyakit.

"Saya belum pernah mendengar nama pisang itu," kata Kepala Sub-Dinas Hortikultura, Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, Turjaman, terheran-heran ketika ditanya perihal pisang ranggap. Oleh karena belum mengetahuinya, Dinas Pertanian Tasikmalaya tidak memasukkan pisang ranggap menjadi salah satu dari sekitar 10 jenis pisang yang banyak dikembangkan di Kabupaten Tasikmalaya.

Kesepuluh jenis pisang yang sekarang mendominasi rumpun pisang yang di Tasikmalaya jumlahnya sekitar 2.933.056 buah, menurut Turjaman, antara lain pisang ambon, raja bulu, nangka, kapas, kepok, raja cere, dan siam.

Keheranan serupa juga disampaikan Rohayah, penjual pisang goreng di Jalan Pemuda, Tasikmalaya. Rohayah yang sejak dua tahun terakhir biasa membeli pisang tanduk atau pisang kapas untuk digoreng ini, mengaku juga belum mengetahui perihal pisang ranggap. "Saya tidak pernah melihat pisang itu di Pasar Cikurubuk," katanya.

Dari puluhan pedagang pisang yang ada di Pasar Induk Cikurubuk, Tasikmalaya, selama ini memang tidak ada seorang pun yang menjual pisang ranggap. Bahkan ketika ditanya perihal pisang tersebut, umumnya mereka menjawab tidak mengerti.

Namun, jawaban sebaliknya akan ditemui jika pertanyaan itu ditujukan kepada para pedagang kaki lima (PKL) yang ada di sekitar kompleks pemandian air panas Cipanas Gunung Galunggung, sekitar 20 kilometer sebelah barat Kota Tasikmalaya. Dengan lancar, mereka akan menawarkan dan menjelaskan asal usul serta khasiat dari pisang ranggap yang banyak mereka jual di kios-kios sederhana yang ada di tempat tersebut.

Bahkan, seandainya pisang tersebut sedang tidak tersedia karena kebetulan telah habis atau tidak ada pasokan dari para petani, para pedagang akan memberi informasi kapan pisang itu akan kembali tersedia.

Di kompleks pemandian air panas Cipanas Gunung Galunggung, keberadaan pisang ranggap ini mudah dikenali dari ukurannya yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pisang lainnya. Panjang pisang ranggap memang hanya sekitar 25 sentimeter, atau sedikit lebih panjang dari pisang ambon. Namun, diameter buah ini sekitar tujuh sentimeter atau lebih dari dua kali diameter pisang ambon.

Besarnya ukuran pisang ranggap membuat berat sebuah pisang ini dapat mencapai 0,5 kilogram atau sekitar tiga kali berat umumnya pisang ambon.

Ciri lain untuk mengenali pisang ranggap adalah dari kulitnya yang jika sudah masak akan berwarna merah dengan buah berwarna kuning tua seperti buah pisang kepok. "Jangan memakan pisang ranggap yang kulitnya masih kuning keemasan seperti pisang mas. Apalagi yang kulitnya masih hijau karena belum matang. Pisang ranggap yang belum matang akan menimbulkan rasa gatal di mulut jika dimakan," jelas Fatonah (29), seorang PKL di kompleks pemandian air panas Cipanas Gunung Galunggung.

Menurut Fatonah, adanya rasa gatal dari pisang ranggap yang rasanya seperti pisang kepok ini, kabarnya justru merupakan salah satu indikasi bahwa pisang itu berkhasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit. "Tahun 1999 lalu ada seorang dokter dari Tasikmalaya yang membeli satu sisir pisang ranggap untuk diteliti di laboratorium. Namun, sampai sekarang saya belum tahu hasil penelitian itu," ujar Fatonah yang tinggal di Dusun Gedong Muncang, Desa Linggajati, Kecamatan Sukaratu, Tasikmalaya.

Meski demikian, lanjut Fatonah, dari pengalaman sendiri dan penjelasan para pembeli pisang ranggap selama ini, pisang itu berkhasiat untuk menyembuhkan sakit ginjal, pinggang, dan memperlancar buang air kecil. Namun, setelah makan pisang ranggap, untuk sementara waktu air seni akan berwarna kuning tua.

Untuk menghilangkan rasa gatal dari pisang ranggap, sebagian besar PKL di Cipanas Gunung Galunggung menjual pisang tersebut dalam bentuk digoreng atau direbus. Sebab, dengan dimasak seperti itu, rasa gatal akan hilang. "Jika digoreng atau direbus, pisang juga dapat dipotong-potong menjadi lebih kecil. Sehingga dapat langsung habis dalam satu kali makan," tutur Fatonah.

Dari sisi rasa, pisang ranggap setelah direbus tidak banyak berbeda dengan pisang kepok yang sudah direbus.

MESKI diyakini berkhasiat menyembuhkan beberapa penyakit, keberadaan pohon pisang ranggap sekarang hanya ditemui di sekitar kaki Gunung Galunggung. Itu pun jumlahnya tidak banyak.

"Di Tasikmalaya, pohon pisang ranggap memang hanya tumbuh di Galunggung, khususnya di Desa Linggajati. Di kabupaten lain saya tidak tahu," kata Dede, warga Dusun Jalan Cagak, Desa Linggajati.

"Beberapa waktu lalu ada orang yang bermaksud menanam pisang ini di Bandung, Jawa Barat. Namun, saya tidak tahu hasilnya. Yang jelas, pisang ranggap hanya dapat tumbuh di daerah yang memiliki banyak air dan bersuhu dingin," tambah Dede yang memiliki tiga rumpun pohon pisang ranggap.

Selain untuk sementara waktu diketahui hanya tumbuh di Gunung Galunggung, masa pertumbuhan pisang ranggap juga relatif lambat. Jika pohon pisang lain sudah dapat diambil buahnya ketika berumur sekitar sembilan bulan, maka pisang ranggap baru dapat dipanen saat berusia dua tahun.

Lamanya pertumbuhan ini mungkin dikarenakan pohon pisang ranggap yang memiliki tinggi sama dengan pohon pisang lainnya, yaitu sekitar empat meter, ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperkuat batangnya. Sebab, meskipun memiliki ukuran batang yang sama dengan pohon pisang lainnya, batang pohon pisang ranggap memang tampak lebih kuat untuk menahan buah. Pasalnya, tandan buah dari pisang ranggap tidak ke bawah seperti layaknya pisang lainnya, tetapi terus menjulur ke atas.

"Setelah melihat letak buahnya yang tegak mengarah ke atas, sebagian orang Jakarta menyebut pisang ranggap dengan pisang merdeka," tegas Dede.

Setiap pohon pisang ranggap, selama ini juga diketahui hanya memiliki satu hingga tiga anak. Jumlah itu jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan anak pohon pisang lainnya yang dapat mencapai lima batang. "Selain sedikit, anak pohon pisang ranggap juga belum tentu dapat hidup semua," tambah Dede.

Menurut Dede, anak pohon pisang ranggap pasti akan mati jika dipisahkan dari induknya ketika induk belum berbuah sampai matang. "Jadi, anak hanya dapat dipisahkan dari induknya ketika induk sudah mau ditebang karena buahnya telah matang," tutur Dede.

Pohon pisang ranggap yang tumbuh baik, ketika berbuah dalam satu tandan dapat berisi hingga 70 pisang yang terbagi dalam enam hingga delapan sisir. Sementara pohon yang kurang baik hanya menghasilkan sekitar 20 pisang. (Rakaryan S/M Hernowo)


Sejarah Singkat Kabupaten Tasikmalaya

Dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, diketahui adanya suatu bentuk Pemerintahan Kebataraan dengan pusat pemerintahannya di sekitar Galunggung, dengan kekuasaan mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan.

Kerajaan ini bernama Kerajaan Galunggung yang berdiri pada tanggal 13 Bhadrapada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111 dengan penguasa pertamanya yaitu Batari Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya. Dari Sang Batari inilah mengemuka ajarannya yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.

Periode selanjutnya adalah periode pemerintahan di Sukakerta dengan Ibukota di Dayeuh Tengah (sekarang termasuk dalam Kecamatan Salopa, Tasikmalaya), yang merupakan salah satu daerah bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Penguasa pertama adalah Sri Gading Anteg yang masa hidupnya sejaman dengan Prabu Siliwangi. Dalem Sukakerta sebagai penerus tahta diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (1521-1535 M) Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi.

Pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Sunan Gunung Jati sejak tahun 1528 berkeliling ke seluruh wilayah tanah Sunda untuk mengajarkan Agama Islam. Ketika Pajajaran mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri. Mungkin sekali Dalem Sukakerta atau Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Sukakerta yang merdeka, lepas dari Pajajaran. Tidak mustahil pula kedua penguasa itu sudah masuk Islam.

Periode selanjutnya adalah pemerintahan di Sukapura yang didahului oleh masa pergolakan di wilayah Priangan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII Masehi: Mataram, banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Wirawangsa sebagai penguasa Sukakerta kemudian diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura, dengan gelar Wiradadaha I, sebagai hadiah dari Sultan Agung Mataram atas jasa-jasanya membasmi pemberontakan Dipati Ukur. Ibukota negeri yang awalnya di Dayeuh Tengah, kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan "negara" disebut "Sukapura".

Pada masa pemerintahan R.T. Surialaga (1813-1814) ibukota Kabupaten Sukapura dipindahkan ke Tasikmalaya. Kemudian pada masa pemerintahan Wiradadaha VIII ibukota dipindahkan ke Manonjaya (1832). Perpindahan ibukota ini dengan alasan untuk memperkuat benteng-benteng pertahanan Belanda dalam menghadapi Diponegoro. Pada tanggal 1 Oktober 1901 ibukota Sukapura dipindahkan kembali ke Tasikmalaya. Latar belakang pemindahan ini cenderung berrdasarkan alasan ekonomis bagi kepentingan Belanda. Pada waktu itu daerah Galunggung yang subur menjadi penghasil kopi dan nila. Sebelum diekspor melalui Batavia terlebih dahulu dikumpulkan di suatu tempat, biasanya di ibukota daerah. Letak Manonjaya kurang memenuhi untuk dijadikan tempat pengumpulan hasil-hasil perkebunan yang ada di Galunggung.

Nama Kabupaten Sukapura pada tahun 1913 diganti namanya menjadi Kabupaten Tasikmalaya dengan R.A.A Wiratanuningrat (1908-1937) sebagai Bupatinya.

Tanggal 21 Agustus 1111 Masehi dijadikan Hari Jadi Tasikmalaya berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang dibuat sebagai tanda upacara pentasbihan atau penobatan Batari Hyang sebagai Penguasa di Galunggung.
Prasasti Geger Hanjuang Bukti Sejarah Tasik

Peletakan Prasasti Geger Hanjuang yang berada di Monumen Geger Hanjuang, Desa Linggamulya Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya, menjadi bukti adanya peninggalan sejarah Pemerintahan Tasikmalaya.

Kendati keberadaan prasasti di dalam monumen yang belum memperlihatkan pembangunan secara menyeluruh, batu bertulis tersebut cukup menjadi daya tarik tersendiri bagi warga setempat. Terbukti, mereka datang berduyun-duyun menuju lokasi itu untuk menanti Wakil Bupati Tasikmalaya, H.E. Hidayat yang akan meresmikannya dalam acara "Napak Tilas Mengenang Perjalanan Sejarah Tasikmalaya", Jumat (18/8).

Dalam kesempatan itu, Hidayat menjelaskan penyebab belum dituntaskannya pembangunan monumen tersebut karena keterbatasan dana. Sementara, keberadaan monumen itu diharapkan dapat menjadi salah satu objek wisata maupun kajian bagi anak sekolah, mahasiswa, dan pihak yang berkepentingan.

Pada kesempatan itu, Asisten Daerah (Asda) II, Drs. Tahman Iding Husain, membacakan fungsi dari prasasti yang ditemukan oleh K.F. Holle pada tahun 1877 di Jawa Barat tersebut. Dalam riwayat prasasti yang disimpan di Museum Pusat Jakarta itu diterangkan adanya tulisan tentang pusat organisasi ketertiban masyarakat dalam bentuk Pemerintahan Galunggung pada 21 Agustus 1111.

Dengan demikian, muncul riwayat Pemerintahan Tasikmalaya terutama setelah mengalami beberapa periode, dari periode pemerintahan di Galunggung, Sukakerta, Sukapura, Manonjaya, dan di Tasikmalaya hingga kini yang telah mencapai usia ke-895 tahun.
Penelusuran Awal Letusan Gunung Galunggung

Penelusuran Awal Letusan Gunung Galunggung

SECARA alami, bumi Jawa Barat memang lebih tua. Ia lebih dahulu ada dibandingkan dengan bagian Pulau Jawa lainnya. Batuan yang paling tua berumur berjuta-juta tahun ditemukan di Ciletuh, Kabupaten Sukabumi. Proses pengangkatan dan pembentukan gunung api di Jawa Barat sungguh luar biasa.

Gunung-gunung lahir jauh sebelum manusia menghuni kawasan ini, bahkan banyak kawasan yang asalnya berupa gunung api, saat ini sepertinya bukan bekas kawah atau bekas kaldera gunung api lagi. Oleh karena itu banyak peristiwa alam yang tidak tercatat kegiatan letusannya.

Begitupun setelah manusia mengenal tulisan. Tradisi mencatat peristiwa-peristiwa alam tampaknya belum biasa untuk periode tertentu. Banyak peristiwa alam yang luar biasa lewat begitu saja tak diketahui waktu dan kejadiannya. Kalaupun sudah ada yang mencatatnya, tapi tidak dicantumkan kapan suatu peristiwa alam itu terjadi.

Sesungguhnya buku Paririmbon merupakan kumpulan hasil catatan dari setiap peristiwa alam, misalnya tentang peristiwa gempa bumi (lini/lindu). Pencatatan dalam waktu yang sangat panjang, sehingga dapat dianalisis pola guncangan per harinya, lalu dihubungkan dengan upaya penanggulangannya. Paririmbon, pada zamannya merupakan jawaban akan peristiwa alam yang berlaku saat itu.

Gunung, pasir/bukit, merupakan bagian dari permukaan bumi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah di sekelilingnya. Begitu kuatnya pengaruh gunung, nama-nama kawasan sering menggunakan nama gunung yang paling berpengaruh terhadap kehidupan. Ini artinya, masyarakat di sana sudah mengamati. Mereka sudah mengenal hubungan antara manusia dengan gunung. Masyarakat sudah menamai gunung–gunung itu. Adakah dalam catatan sejarah, sejak kapan gunung itu diberi nama, dan mengapa diberi nama demikian?

Nama Galunggung, misalnya. Sebagai nama mandala, Galunggung tercatat dalam Carita Parahiyangan:

"…Dalam perkawinannya, Dewi Candrarasmi dengan Sang Wretikandayun, beranak laki-laki tiga orang, masing-masing namanya adalah: Pertama Sang Jatmika atau Rahyangta Sempakwaja namanya. Ia diangkat sebagai resi guru di wilayah Galunggung. …"

(Carita Parahiyangan Sakeng Bhumi Jawa Kulwan, Prathama Sargah, diterjemahkan Drs. Atja dan Dr. Edi S. Ekadjati, Jakarta: 1998).

Berdasarkan Carita Parahiyangan, Kerajaan Galuh berdiri tahun 570/571 M. Rajanya adalah Sang Wretikandayun dengan gelar penobatan Maharaja Suradharmma Jayaprakosa. Ia menikah dengan Pwahaci Bungatak Mangalengale, yang ketika masa kanak-kanak sampai remaja namanya Manawati.

Setelah menjadi Ratu, Sang Wretikandayun mengganti nama istrinya menjadi Dewi Candrarasmi. Pasangan Raja dan Ratu Galuh ini dikaruniai tiga putra, salah satunya adalah guru resi Sempakwaja yang dinobatkan di Galunggung.

Rahiyangta Sempakwaja menikah dengan Pwahaci Rababu atau Dewi Wulansari. Mereka dikaruniai dua anak laki-laki, yaitu Rahiyangta Purbasura (lahir 643/644 M), dan Rahiyangta Demunawan (lahir 646/647 M).

Dalam Carita Parahiyangan (Koropak 406), seperti dikutip Saleh Danasasmita (1975), batas kawasan (alas) Galunggung adalah Gunung Sawal di Utara, Pelangdatar di Timur, Ciwulan di Selatan (dan lebih ke Selatan, walaupun tidak tertulis, pastilah Samudra Hindia). Saat ini kawasan itu meliputi Tasikmalaya, Ciamis, dan bagian barat Banyumas.

Galunggung sebagai mandala, termuat juga dalam naskah nasihat panjang Rakeyan Darmasiksa kepada keturunannya dan masyarakat pada umumnya. Naskah itu berasal dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Kabupaten Garut.

Naskah itu kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta, dengan kode nomor Koropak 632. Drs. Saleh Danasasmita menjuduli naskah ini "Amanat dari Galunggung".

"Peliharalah (agar tetap) ditaati oleh orang banyak, agar aman tenteram, menghimpun bahan makanan, sang disi unggul perangnya. Tetaplah mengikuti ucap orang tua, melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya (panjang umur), sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama, warisan dari para suwargi." (Saleh Danasasmita, dkk., Amanat Galunggung, Bandung: 1987).

Kata Galunggung sebagai mandala juga terdapat dalam catatan yang lebih muda lagi (setelah Islam masuk?), yaitu dalam Babad Sajarah Galuh Bareng Galunggung. Dalam babad ini ditulis, mandala Galunggung dipimpin Syekh Batara Galunggung atau Syekh Batara Guru Haji. (Edi S. Ekadjati, dkk., Naskah Sunda Lama Kelompok Babad, Jakarta: 1985).

Warga Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya adalah masyarakat yang bermukin di tebing dengan ramah lingkungan. (Naga bisa juga ditafsirkan berasal dari singkatan na gawir, na atau dina = di, gawir = tebing). Warga Sanaga adalah seuweu-siwi Eyang Singaparana. Oleh karena itu bagi mereka terasa calutak, tidak sopan, bila menyebut nama tempat yang hampir sama dengan nama leluhurnya itu.

Warga Sanaga tak kuasa menyebut nama tempat Singaparna, sehingga mereka menggantinya dengan kata Galunggung. Jadi kalau ada warga kampung Naga yang menyebut akan pergi ke Galunggung, sangat mungkin mereka akan pergi ke Singaparna!

Letusan sebelum 1822

Letusan Gunung Galunggung yang tercatat dalam sejarah adalah letusan pada tanggal 8 Oktober 1822. Titimangsa letusan Gunung Galunggung ini didasarkan pada laporan Reindwart, seperti ditulis K. Kusumadinata (Bandung: 1979). Padahal, letusan yang sangat dahsyat hingga meruntuhkan sebagian besar badan gunung ini terjadi sebelum tahun 1822.

Para ahli ilmu-ilmu kebumian mencoba merekonstruksi peristiwa itu, dikaitkan dengan evolusi pembentukan perbukitan yang jumlahnya begitu banyak di sekitar Kota Tasikmalaya sekarang. Bagi masyarakat saat itu, jumlah seribu, sarewu, merupakan jumlah yang sangat banyak, malah cenderung tak terhitung. Oleh karena itu masyarakat di sana menyebutnya Pasir/Gunung Sarewu untuk menyebut perbukitan yang begitu banyak yang tersebar di sana.
Namun bagi ahli geologi Escher (1925), ukuran seribu masih kurang menunjukkan jumlah yang banyak, maka ia menyebutnya The Ten Thousand hills of Tasikmalaya (Bukit Sepuluh Ribu di Tasikmalaya) untuk menyebut perbukitan yang jumlahnya lebih dari 3.684 bukit.

Escher mengajukan hipotesis rekonstruksi letusan gunung ini yang disertai giga banjir lahar. Material lahar beserta blok lava berdiameter hingga 10 meter mengendap di Tenggara gunung ini antara Manonjaya hingga Tasikmalaya. Bahkan tersebar menyeberang Sungai Citanduy hingga kaki Gunung Sawal. Setelah tererosi, material itu membentuk perbukitan yang sangat banyak, yang tingginya antara 5 – 100 meter.
Kalau dihubungkan dengan mandala Galunggung, adakah resi guru atau para bujangga yang menyaksikan letusan Gunung Galunggung sebelum tahun 1822? Resi guru di wilayah Galunggung adalah Rahyangta Sempakwaja yang menikah dengan Dewi Wulansari.

Mereka dikaruniai dua putra, yang pertama lahir tahun 643/644 M., dan yang kedua lahir tahun 646/647 M. Kalau saja pernikahan resi guru ini tiga tahun sebelum mereka mempunyai anak, maka akan diperoleh tahun pernikahannya, yaitu tahun 640 M.
Apakah resi guru Sempakwaja adalah orang yang membabad alas membangun mandala Galunggung, ataukah hanya melanjutkan resi guru sebelumnya?

Kalau berpegang pada tarih di atas, berarti penobatan resi guru Sempakwaja di mandala Galunggung terjadi tahun 1182 atau sebelum Gunung Galunggung meletus di tahun 1822. Periode letusan Gunung Galunggung yang tercatat adalah tahun 1822, 1894, 1918, 1982-1983.

Antara letusan tahun 1822 – 1894 rentang waktunya 72 tahun, dari 1894 – 1918 selama 72 tahun pula, dan antara tahun 1918 – 1982 rentang waktunya 64 tahun. Jadi, kalau dihitung mundur dengan rata-rata setiap 72 tahun dari letusan tahun 1822 sampai waktu atau tahun penobatan resi guru Sempakwaja di mandala Galunggung, maka telah terjadi setidaknya 16 kali letusan ([1822 – 640]/72 = 16), yaitu sekira tahun-tahun: 1750, 1678, 1606, 1534, 1462, 1390, 1318, 1246, 1174, 1102, 1030, 956, 886, 814, 742, 670, 598, 526, 454, …. dan seterusnya.

Kalau melihat angka-angka tahun di atas, seharusnya ada catatan yang menerangkan terjadinya letusan Gunung Galunggung. Sangat mungkin, rakyat di mandala Galunggung mengalami letusan dahsyat yang mengakibatkan giga banjir lahar dan blok lava yang membentuk Pasir Sarewu atau The Ten Thousand hills of Tasikmalaya.

Para ahli atau siapa saja yang paham membaca naskah-naskah Sunda kuno, harus terus menggali informasi ini karena akan sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan mitigasi bencana alam di Tatar Sunda.

Para ahli bahasa, ahli arkeologi, ahli sejarah, geologi, geomorfologi, geografi, geogesi, ahli serbuk sari purba, seniman, budayawan, dan ahli stategi perang kuno harus berupaya untuk terus menggali naskah-naskah itu untuk dimanfaatkan dalam penelitian lapangan.

Sampai saat ini kita hanya mengetahui bagaimana dahsyatnya bencana di Pompei, padahal tak jauh dari kita, di Tasikmalaya, peristiwa serupa pernah terjadi. Ini merupakan PR bagi kita. Penelitan ini penting agar sejarah alam dan sejarah manusia dapat segera terbuka.

Ada yang selamat?

Walaupun Escher menyebut letusan sebelum tahun 1822 itu sebagai letusan prasejarah, karena tak ditemukan dalam catatan para penjelajah atau ahli sejarah, sesungguhnya mandala Galunggung sudah menjadi tempat berlangsungnya pemerintahan sejak 11 abad lebih (1822 M – 640 M = 1182 tahun) sebelum letusan Gunung Galunggung tahun 1822.

Menurut Brandes, seperti dikutip Saleh Danasasmita (Bandung: 1975), jauh sebelum Bangsa Eropa datang ke nusantara, penduduknya sudah memiliki sepuluh keahlian/kemahiran. Kesepuluh kemahiran itu adalah wayang, gamelan, astronomi, pelayaran, sistem uang, sistem ukuran, pengolahan logam, bertenun, bersawah, dan pemerintahan.

Sesungguhnya masyarakat yang dipimpin resi guru Sempakwaja dan penggantinya, sudah mempunyai kemahiran yang tinggi. Rasanya tidak mungkin para bujangganya tidak mencatat peristiwa alam yang luar biasa dahsyatnya. Saya berkeyakinan, masih banyak naskah kuno yang belum digarap, yang mungkin saja ada informasi kejadian alam, khususnya tentang letusan Gunung Galunggung. Atau, naskah kuno yang ada sudah hancur dimakan zaman, sebelum isinya kita pahami? Sungguh sayang.

Namun, bila mempelajari penamaan kawah di Gunung Galunggung, terdapat kawah yang bernama Kawah Guntur. Sangat mungkin penamaan ini setelah terjadinya letusan mahadahsyat yang telah menyebabkan amblasnya sebagian gunung, sehingga kawahnya berbentuk seperti sepatu kuda yang mengarah ke tenggara, dan membentuk Pasir Sarewu jauh di bawahnya.

Dalam peristiwa letusan maha dahsyat itu ada penduduk yang selamat. Mereka dapat menyaksikan peristiwa alam yang luar biasa. Penduduk yang selamat lainnya ada juga yang menyaksikan begitu banyaknya pasir (keusik) dan bongkah batuan dari ukuran yang kecil hingga yang seukuran gajah, yang ngalayah menutupi suatu wilayah.

Dalam kebiasaan memelihara ikan di balong (kolam), bila lumpur di kolam itu sudah terlalu banyak sehingga mendangkalkan kolam, maka lumpur itu akan dihanyutkan dengan bantuan derasnya air. Lumpur (leutak) akan dibuang, dibersihkan dengan cara mendorong dan membuangnya bersama derasnya air mengalir. Membersihkan lumpur di kolam biasa disebut ngaguguntur (Kamus Umum Basa Sunda, LBSS, Bandung: 1980).
Kebiasaan ngaguguntur itu, dianalogkan pada giga banjir lahar dan blok lava yang luar biasa, sehingga kawah sebagai pusat letusan yang letah menyebabkan suatu wilayah terkubur, maka kawah tersebut dinamai Kawah Guntur.

Karena giga banjir lahar dan blok lava itulah maka kawasan di tenggara gunung ini ditutupi pasir (keusik) dan bongkah bebatuan. Tafsiran nama Tasikmalaya pun berasal dari kata tasik dan malaya, lautan gunung, atau keusik ngalayah, pasir yang terhampar luas. Penamaan ini pun sangat berhubungan dengan peristiwa alam sebelum letusan Gunung Galunggung tahun 1822.
Jadi sangat tidak mungkin peristiwa alam yang luar biasa dahsyatnya itu tidak ada dalam catatan atau cerita lisan masyarakat di bekas mandala Galunggung! Saya berkeyakinan ini hanya belum terungkap.

Peristiwa alam yang dahsyat, biasanya yang menyebabkan pusat kota berpindah. Di Tasikmalaya ada tempat seperti Sukaraja, Manonjaya, Rajapolah, perlu menjadi perhatian untuk diamati, karena sangat mungkin mempunyai hubungan dengan mandala Galunggung, atau dengan kepindahan pusat kota karena peristiwa alam.

Dua puluh tiga tahun yang lalu, Gunung Galunggung meletus luar biasa. Letusannya berkali-kali dengan rentang waktu yang cukup lama, sejak 5 April 1982 hingga Januari 1983.

Mempelajari sejarah alam, akan sangat bermanfaat bagi manusia-manusia yang hidup saat ini dan nanti. Misalnya saja bila diketahui ada catatan sejarah peristiwa alam, apakah itu letusan gunung api atau gempa bumi, akan sangat membantu dalam mempelajari perilaku letusan di suatu kawasan.

Bila para bujangga mencatat peristiwa alam di mandala Galunggung selama hampir 12 abad, rasanya lebih dari cukup untuk mempelajari perilaku alam di kawasan itu. Ini akan menjadi peringatan bagi penduduk dalam mempersiapkan diri menghadapi suatu peristiwa alam bila siklusnya sudah matang.
Para perencana kota pun dapat mempelajari catatan sejarah bencana itu ketika membuat rancangan suatu kawasan. Dengan cara ini, kita berusaha untuk meminimalkan korban manusia. Dari pengungkapan ini kita dapat mengambil hikmahnya untuk kesejahteraan di dunia, dan sebagai bekal untuk kembali ke keabadian yang hakiki. Insya Allah!***


Prasasti Geger Hanjuang

Ngahanjuang-siangkeun Hari Jadi Tasikmalaya

[Mangle No. 495, September 1975]

Sabada sawala dua poe lilana, tanggal 1 Agustus 1975, DPRD DT. II
Tasikmalaya netepkeun yen Hari Jadi Tasikmalaya teh ninggang kana tanggal:
21 Agustus 1111. Ari mimitina mah puguh ge loba anu heran jeung ngarasa
kurang percaya kana tanggal jeung taun anu kasebut di luhur teh. Tapi da
kitu buktina, hasil panalungtikan "Team Peneliti Hari Jadi Tasikmalaya"
teh, puguh cukcrukan galurna, puguh sasaran bejana, jeung puguh bukti
historisna anu jadi panyangga kana kuatna jeung benerna katangtuan tanggal
21 Agustus 1111 teh. Kuat teh dina harti kamampuan hasil panalungtikan
kiwari anu maksimal. Cenah, eta ka hareup aya deui anu mampuh menerkeun,
eta mah da ciri elmu nu sipatna salawasna teu weleh panasaran, anu pancenna
neangan bebeneran, teu aya halanganana mun salah tea mah pada nalungtik
jeung pada menerkeun.
Team Peneliti Hari Jadi Tasikmalaya mimitina diangkat ku Bupati
Tasikmalaya, Kolonel Husen Wangsaatmadja, tanggal 11 Desember 1973,
diketuaan ku Sdrk. Herniwan Wirasubrata (Sekda). Team ieu teh kakara nyieun
dadasar panalungtikan jeung nangtukeun lengkah-lengkah pikeun ngumpulkeun
sumber-sumber sajarah. Ku lantaran tugas Sekda pohara lobana, nya tanggal
11 Mei 1974 Team dirobah deui ku Drs. Kartiwa Suriasaputra, Bupati nu
ngaganti Kolonel Husen Wangsaatmadja. Nu diangkat Ketua: Sdrk. R. Unang
Sunardjo, SH (Petinggi), ari anggota-anggotana mah kawilang angger keneh,
nyaeta: Drs. Agus Permadi, Drs. Ietjeu Marlina, Drs. Edi Ekadjati, jeung R.
Djaka Suryawan. Ari anu dijieun Konsultan Ahli nyaeta Drs. Atja ti Bandung
jeung Drs. Saleh Danasasmita ti Bogor.
Dasar pamikiran Team, mimiti nyeleser ti wewengkon pamarentahan anu
disebut Tasikmalaya. Katimu wae, yen Tasikmalaya mah minangka pucukna.
Tasikmalaya teh pindahan ti Manonjaya, ari Manonjaya pindahan ti Sukapura,
Sukapura teh pindahan ti Sukakerta, ari Sukakerta teh pindahan ti
Galunggung. Nepi ka Galunggung kandeg bongkotna mah kurang tetela laratan
sajarahna.
Nya ti dinya Team ngaleunjeurkeun sajarahna. Lain neangan iraha kota
Tasikmalaya diadegkeun, nya kitu deui lain neangan iraha ngadegna Kabupaten
Tasikmalaya, tapi neangan sajarah anu aya patalina jeung Tasikmalaya. ari
dipapay, enya runtuyanana teh masih natrat bisa kapapay. Harita ge timbul
rupa-rupa pertanyaan, atuh rek neangan Hari Jadi Tasikmalaya mah ti kota
Tasik we da ari ti Galunggung mah meureun kudu disebut Hari Jadi
Galunggung. Kacindekan Team, ari neangan Hari Jadi teh, lain neangan iraha
ngadegna kota, da Kabupaten Bandung ge moal ngarobah hari jadina ku
diadegkeunana kota Bale Endah, tapi bakal angger mieling tanggal anu aya
tumalina jeung sajarah Kabupaten Bandung.
Jadi, Tasikmalaya di dieu mah, nyaeta ngaran tempat anu nuluykeun
ayana organisasi kamasarakatan atawa pamarentahan ti baheula nepi ka
ayeuna, anu geus kungsi ngalaman robahan struktur, legana wewengkon, jeung
robahna ngaran pamarentahan atawa pusat pamarentahan. Sabab, ngaran
Tasikmalaya moal aya hartina mun henteu jadi ngaran pameungkeut ayana hiji
pamarentahan. Ajenna teh moal beda ti ngaran-ngaran kampung atawa tempat
anu bacacar di wewengkon Tasikmalaya.
Naon atuh nu jadi udagan tujuan nalungtik Hari Jadi teh? Naha gehgeran
bae, pedah batur nyarieun Hari Jadi?

Lain gehgeran, tapi perluna mah ngawawuhkeun diri. Hari Jadi tangtu
kaguarna teh tina sajarah kamekaran manusa-manusa nu ngancik di hiji
wewengkon. Manusa, tempat, jeung waktu ngarupakeun hiji katunggalan kapan,
dina sajarah mah. Dina patilasan-patilasan budaya anu ditinggalkeun, bakal
bisa nerangkeun olahan kamekaran tina usaha-usaha manusa ngahontal
kabagjaan lahir batin. Patilasan-patilasan budaya teh bakal jadi sumber
sajarah anu bisa dicokot kacindekan-kacindekan. Sumber jeung fakta sajarah
kudu ditapsirkeun, dianyam deui jadi leunjeuran sajarah. Ku hasil eta urang
bakal bisa ngadeukeutan hadirna jeung kagiatan-kagiatan manusa di jero
masarakatna dina mangsa biharina. Tinemuna sajarah daerah pribadina, bakal
tumuwuh rasa reueus. Tina rasa reueus, tumuwuh harga diri. Tina harga diri,
bakal tumuwuh kamotekaran-kamotekaran anu bisa dimangpaatkeun pikeun
nunjang pembangunan nagara urang kiwari, boh jasmani, boh rohani. Tujuan
kadua, milu neangan bahan pikeun milu "nyambungan" kana sajarah regional
Jawa Barat, nu engkena meureun bakal disusun. Atuh jembarna mah kaentragan
nu pandeuri sina boga rasa talungtik pikeun nguatan rasa harga dirina, jadi
bangsa anu merdika, tur ngabogaan katahanan nasional anu kuat.
Dina panalungtikan Team manggihkeun 6 moment anu jadi puncak
kajadian-kajadian kamekaran Tasikmalaya ti mimiti Galunggung nepi ka jadi
Tasikmalaya ayeuna:
1. Pusat Pamarentahan di Galunggung, anu disaksian ku prasasti Geger
Hanjuang.
2. Pusat Pamarentahan di Sukakerta.
3. Ngadegna Kabupaten Sukapura jeung kamekaranana.
4. Pindahna Ibu Kota Kabupaten Sukapura ka Manonjaya.
5. Pindahna Ibu Kota Kabupaten Sukapura ti Manonjaya ka Tasikmalaya, anu
disusul ku robahna ngaran Kabupaten Sukapura jadi Kabupaten Tasikmalaya.
6. Tasikmalaya dina lingkungan Nagara Republik Indonesia.

Tah anu 6 moment ieu teh, mangrupa milik masarakat Tasikmalaya anu
henteu bisa dileungitkeun kitu bae. Turug-turug deuih, jajaran caritana
masih natrat anu dikuatkeun ku saksi-saksi anu bisa nunjang benerna eta
kajadian-kajadian. Dina 6 moment anu kasebut di luhur teh, ngandung
galeuh-galeuh parumajaan, kamotekaran, karancagean, kasadaran masarakat,
kasadaran boga pamarentahan sorangan jeung kadaolatan dina wilayahna.
Sanajan tangtu, ajen tina galeuh-galeuh anu dikandung unggal moment teh
henteu sarua.

NGARAN TASIKMALAYA

Aya dua katerangan anu nerangkeun harti Tasikmalaya. Nu kahiji,
nerangkeun yen Tasikmalaya teh tina kecap "tasik" jeung "laya", hartina
"keusik ngalayah". Maksudna mah pedah di Tasikmalaya loba keusik di
mana-mana. Harti ieu bisa ditumalikeun jeung bituna Gunung Galunggung anu
nyemburkeun keusik panas ka kota Tasikmalaya ayeuna. Anu kadua nerangkeun,
asal tina kecap "tasik" jeung "malaya", hartina "tasik" = talaga, laut, cai
ngembeng, atal. "Malaya" dihartikeun "jajaran gunung-gunung" (di basisir
Malabar, India). Harti sagemblengna "jajaran gunung-gunung lir ibarat cai
laut lobana", atawa "talaga gunung-gunung". Ieu oge ditumalikeun kana
bituna Gunung Galunggung keneh. Malah cek para ahli mah lobana
gunung-gunung anu parentul di kota Tasikmalaya teh aya kana 3.648 gunung
(laleutik) lobana.
Kawasna anu merenah mah katerangan anu kadua, anu dumasar kana
katerangan ti Topographisen Dienst anu biasana sok sakalian nerangkeun
asal-usul ngaran tempat (toponimi).
Upama nitenan kitu, ngaran Tasikmalaya mimiti aya teh, kudu sabada
bituna Gunung Galunggung samemeh taun 1822, da dina bitu taun 1822 mah
sabagian tina gunung-gunung eta mah geus aya.
Memeh dipake ngaran Tasikmalaya, tempat nu ayeuna disebut Tasikmalaya
teh tadina mah disebut "Tawang Galunggung", nyaeta tempat panyawangan anu
plungplong ka ditu ka dieu. Mimiti dipake ngaran resmi nu dipake meungkeut
organisasi kamasarakatan mah:
Hiji, dina taun 1813, waktu R.T. Surialaga, tedak Sumedang diangkat Bupati
Sukapura. Nya ku lantaran Gedong Kabupaten Sukapura di Sukaraja harita mah
lain Gedong Nagara, bupati nu lain terah Sukapura mah henteu bisa nempatan
Gedong Kabupaten di Sukaraja. Dina taun 1813-1814 kalungguhan Bupati
Sukapura aya di kota Tasikmalaya.
Dua, dina taun 1821 ayana Afdeeling Tasikmalaya.
Tilu, dina tanggal 1 Oktober 1901, Ibu Kota Kabupaten Sukapura ti Manonjaya
pindah ka kota Tasikmalaya.
Opat, dina taun 1913, ngaran Kabupaten Sukapura diganti jadi Kabupaten
Tasikmalaya, jaman Bupati R.A.A. Wiratanuningrat.

GALUNGGUNG NGABOGAAN AJEN ANU LEUWIH LUHUR

Saenyana mah, ayana karajaan Galunggung teh geus lana kakubur ku usum.
Dongeng-dongengna ngan kapanggih sesemplekanana mimitina mah. Tapi ku
lantaran kaancikan ku panasaran, Team terus maluruh. Nya kapanggih mimitina
mah tina Laporan Kepurbakalaan Jawa Barat (Rapporten Oudheidkundige Dienst
van West Java) anu disusun ku Dr. N.J. Krom. Dina kaca 73 nepi ka kaca 82
eusina husus ngeunaan barang-barang purbakala anu aya di wewengkon
Tasikmalaya. Nya di antarana disebutkeun yen di Geger Hanjuang kapanggih
batu tulis anu eusina aya tilu jajar, kaasup tipe Pajajaran. Ngandung taun
saka 1333.
Disusud terus, katimu tulisan K.F. Holle anu judulna "Beschrevensteen
uit de afdeeling Tasikmalaya" TBG XXIV, 1877. Tulisan C.M. Pleyte anu
ngaitkeun oge Geger Hanjuang dina bukuna "Het Jaartal op den Batoe Toelis
na bij Buitenzorg" TBG, 53, 1911; jeung tina "Twentieth Century Impressions
of Netherlands India" anu disusun ku Triscott & Son (1910).
K.F. Holle nerangkeun yen, ari aksarana mah tetela, ngan henteu bisa
meunangkeun katerangan anu leuwih gampang, sabab dina jajaran kadua teu
bisa kabaca kalimah anu aya hartina. Tapi, tanpa katerangan anu rada
lengkep, Holle geus netepkeun yen ea prasasti teh ngabogaan candrasangkala
1333 Saka. Hasil transkripsi Holle kana Prasasti Geger Hanjuang:
bah o goenna apuy le-
dya (?) wwang ga bu ti sakakala ru mata-
k di yuyu ku batari hyang pun
C.M. Pleyte sapamadegan tina candrasangkala 1333 Saka, ngan Pleyte
netelakeun angka rebuan anu teu tetela diterangkeun ku Holle. Anu dibaca
"ledya" (?) ku Holle, ku Pleyte mah dibaca "dica", nya eta ngandung angka
hiji (rebuan).
Sabada Holle jeung Pleyte, teu aya deui sarjana anu nalungtik Prasasti
Geger Hanjuang anu masih atah keneh tina panalungtikan. Malah loba anu tega
penulis sajarah ngaluarkeun Prasasti Geger Hanjuang tina jalur sajarah kuno
Jawa Barat. Dianggapna meureun, ku lantaran ngan tilu jajar ieuh, moal aya
matakna kana leunjeuran sajarah kuno Jawa Barat. Jeung meureun, bisi kudu
nyieun tiori anyar upama Prasasti Geger Hanjuang disebut-sebut. Padahal ku
saeutikna prasasti nu kapanggih di Jawa Barat, eta teh sakuduna mah sing
jadi bahan panasaran anu enya-enya.

HASIL BACA JEUNG KOREKSI

Sabada nitenan jeung ngabanding-banding ti nu sejen, jeung nalungtik
kasang tukang tina kahirupan masarakat Sunda, Drs. Saleh Danasasmita
ngaluarkeun tulisan anu make judul "Hubungan antara Sri Jayabhupati dengan
Prasasti Geger Hanjuang" anu dikaluarkeun ku Lembaga Kebudayaan Unpad 1974
jeung tulisan anu make judul "Prasasti Geger Hanjuang, Kabuyutan
Linggawangi, Singaparna, Tasikmalaya".
Ringkesna mah hasil titenan Drs. Saleh Danasasmita jeung Drs Atja mah
tulisan dina Prasasti Geger Hanjuang teh:
1. tra ba i gunna apuy na-
2. sta gomati sakakala nu mata-
3. k disusu(k) ku batari hyang pun
Memang aya aksara anu samar-samar, nyaeta aksara panungtung dina jajaran
kahiji, tapi upama neangan nu ngandung harti mah dibacana teh kudu "nasta"
atawa "lesta" (aksara n meh sarua jeung aksara l). Hartina kabehanana ge
sarua ngandung harti 0.
"Tra" tina "trayodasi", hartina 13 (tiluwelas), luyu jeung prasasti
Mantyasih, yen kecap "tra" teh mangrupa akronim (wancahan) tina
"trayodasi". "Ba" - wancahan tina "Badrapada", ngaran bulan anu dipake
baheula, anu dina jaman kiwari mah sarua jeung bulan Agustus. Jadi, "tra ba
i gunna apuy nasta gomati sakakala" teh hartina: 13 Badrapada dina 1033
waktu Saka. Atawa sanggeus diitung, kapanggih eta teh sarua jeung: tanggal
13 Sapar 505 Hijriah, atawa sarua jeung 21 Agustus 1111 Masehi.

{ terakeuneun ]

Pulau Jawa adalah satu daerah penuh dengan legenda, kekuatan gaib dan mistis serta kepercayaan manusia tentang hantu-hantu, roh-roh leluhur, mahluk halus dan sebagainya. Laporan ini adalah satu pemeriksaan ke dalam dunia gaib yang berada di Jawa terutama kepercayaan manusia Jawa terhadap gunung-gunung. Saya dulu menjadi tertarik dalam topik ini waktu saya naik sampai puncak Gunung Merapi pada bulan Oktober tahun 1999. Kemudian waktu saya baru datang di Malang saya berjalan ke Gunung Bromo di daerah Tengger. Waktu saya sedang naik Gunung Bromo tersebut saya melihat keindahan dan kekuatan gunungnya hingga membuat saya merasa terpesona. Dari pengalaman itu saya kemudian ingin tahu lebih banyak hingga kalau saya bisa merasa terpesona dari gunungnya, bagaimana perasaan masyarakat setempat dan peran yang ada pada gunungnya dalam sistim kepercayaan masyarakatnya. Sejak waktu itu saya hanya memikirkan tentang hal-hal gaib untuk memeriksa aktivitas para mahluk halus, terutama memeriksa hubungan dunia manusia dengan dunia gaib.
Walaupun fokus topik saya adalah kepercayaan manusia terhadap gunung, penelitian ini tidak hanya tentang legenda atau upacara tradisional tetapi juga mengarahkan saya kepada bidang-bidang yang lain. Bidang-bidang tersebut termasuk kosmologi dan pemandangan dunia masyarakat Jawa, agama Islam, agama Hindu-Budha, kepercayaan animisme serta kepercayan masyarakat Jawa terhadap dunia akhirat. Dalam bab II laporan ini saya berbicara tentang agama di Jawa saat ini dan latar belakang mengenai kepercayaan manusia dan gunung-gunung. Walaupun kebanyak orang di Jawa beragama Islam, agama Islam yang dilakukan di Jawa berada perbedaan dari agama Islam ortodoks yang dilakukan di daerah Timur Tengah. Agama Islam yang dilakukan di Jawa juga punya unsur-unsur yang lain, yaitu kepercayaan animisme dari zaman prasejarah serta agama Hindu-Budha dari zaman kerajaan Hindu-Budha. Mengenai pemeriksaan saya ke dalam kepercayaan masyarakat terhadap gunung, itu perlu untuk saya berbicara tentang dua unsur terakhir yaitu kepercayaan animisme dan agama Hindu-Budha. Agama Hindu-Budha menguasai pulau Jawa selama delapan abad, abad 8 sampai abad 16. Orang beragama Hindu percaya dalam Gunung Meru sebagai rumahnya para dewa-dewa serta gunungnya melambangkan hubungan diantara dunia manusia (bumi) dan Kayangan atau dunia para dewa-dewa. Kepercayaan tersebut memang pengaruhi kepercayaan masyarakat Jawa mengenai gunung. Orang Jawa percaya gunung adalah tempat sakral dan biasanya didiami oleh mahluk halus, roh-roh leluhur atau dewa. Selain unsur agama Hindu-Budha, manusia Jawa juga punya kepercayaan bahwa tempat-tempat atau obyek punya semangat diri sendiri. Kepercayaan manusia seperti di atas adalah kepercayaan animisme dan termasuk kepercayaan tentang mahluk halus, roh-roh leluhur atau hantu-hantu yang mendiami macam-macam tempat. Kedua unsur di atas dicampurkan dengan agama Islam dan masih ada sampai saat ini.
Salah satu masalah dengan penelitian lapangan saya semester ini adalah bahwa setiap daerah di Jawa berada kepercayaan manusia diri sendiri terhadap gunung di daerahnya. Oleh karena itu saya memfokuskan penelitian saya di dalam dua daerah. Daerah penelitian yang pertama adalah daerah Tengger yang termasuk Gunung Mahameru serta Gunung Bromo. Saya tinggal di daerah Tengger tersebut selama tiga minggu pada bulan Maret tahun 2000. Sementara di daerah itu saya melakukan wawancara dengan orang dukun dan berbicara dengan penduduk daerah Tengger serta orang non-Tengger yang datang ke daerahnya. Selain wawancara dan pembicaraan dengan penduduk daerah Tengger saya juga membaca banyak buku latar belakang yang saya pakai untuk menyiapkan laporan saya.
Pada zaman kerajaan Hindu-Budha daerah Tengger dipakai sebagai tempat semedi dan untuk menghormati dewa Brama, yaitu dewa api serta dewa arah selatan dalam kosmologi Hindu. Orang Tengger beragama Hindu dan Gunung Bormo adalah gunung paling penting untuk orangnya, juga gunungnya mendapat namanya dari dewa Brama. Mengenai kepercayaan manusia Tengger terhadap gunung dulu saya menemukan cerita dari para dukun tentang Legenda Kasada serta Upacara Kasada. Legenda Kasada itu adalah cerita mengenai asal usul cikal bakal manusia Tengger dan hubungan mereka dengan mahluk halus Gunung Bromo. Dalam legenda itu satu nenek moyang Tengger bernama 'Dewa Kusuma' mengkorbankan jiwanya untuk kemakmuran anak cucunya. Akibatnya dari legendanya adalah perjanjian diantara manusia Tengger dan Dewa Kusuma untuk memberi sesajian setiap satu tahun sekali di Gunung Bromo. Perjanjian itu berbentuk Upacara Kasada yang dilakukan setaip pada tanggal 14 bulan Kasada dalam ketanggalan Tengger.
Selain legenda Kasada dan upacaranya saya juga menemukan kosmologi manusia Tengger yang menanggap Gunung Bromo sebagai tengah alam semesta serta perlabuhan kosmologinya. Selamatan orang Tengger selalu dilakuakan berhadap Gunung Bromo atau ke arah selatan. Ada teori bahwa perbedaan itu muncul dari kosmologi manusia Tengger pada zaman dulu yang percaya dari desanya selau berada Gunung Bromo ke selatan menurut kosmologi Hindu. Perbedaan muncul dari waktu orang Tengger mulai memakai sistim mata angin yang sama dengan orang Jawa yang lain. Selain itu di dalam desa-desa Tengger yang terpisah ada kepercayaan manusia tentang dunia akhirat yang termasuk Gunung Mahameru dan Gunung Bromo. Gunung di daerah Tengger tidak hanya penting untuk orang Tengger, juga untuk orang non-Tengger punya kepercayan tersendiri. Ada penduduk daerah lebih rendah yang menghormati mahluk halus yang menjaga sumber mata airnya serta orang daerah lainnya yang mau mendengar suara tuhan.
Setelah saya selesai meneliti daerah Tengger saya pindah sampai daerah penelitian kedua saya, yaitu daerah Gunung Merapi. Saya meneliti di dalam daerahnya selama empat minggu pada bulan April tahun 2000. Daerah Gunung Merapi dipilih sebagai daerah perbandingan terhadap Daerah Tengger, karena dua daerah beragama dan bersejarah yang berbeda. Daerah Tengger di atas orang beragama Hindu-Budha serta di Daerah Gunung Merapi orang beragama Islam dan bersejarah Kerajaan Mataram. Gunung Merapi adalah salah satu gunung berapi paling aktif di kepulauan Indonesia. Oleh karena itu menurut penduduk daerahnya, Gunung Merapi adalah pemberi dan pengambil yaitu memberi pupuk dari letusan gunungnya yang penting untuk kehidupan manusia dan juga letusan yang sama sudah mematikan ribuan jiwa sepanjang sejarah letusannya.
Kepercayaan serta kosmologi manusia Gunung Merapi didasarkan dalam Legenda Kyai Sapujagad. Cerita legenda itu terjadi pada waktu Kerajaan Mataram kedua muncul dan mengambarkan hubungan pendiri kerajannya yaitu 'Panembahan Senopati' dengan dunia gaib. Kosmologi manusia Daerah Gunung Merapi terdiri dari lima bagian yaitu Kraton Mataram Yogyakarta di tengah yang berada di dunia manusia dan Kraton Mahluk Halus Gunung Merapi ke utara, Kraton Laut Selatan ke selatan, Gunung Lawu ke timur dan Khayangan, Dlephi ke barat yang berada dalam dunia gaib. Akibatnya dari Legenda Kyai Sapujagad adalah perjanjian bahwa Kraton Mataram Yogyakarta bertanggungjawab untuk memberi sesajian kepada para mahluk halus di empat tempat yang lain dalam kosmologi manusia. Dalam kembalinya rakyatnya akan dilindungi oleh para mahluk halus tersebut. Perjanjian itu berbentuk Upacara Labuhan yang dilakukan setiap tahun sekali dan mulai pada tanggal 25 bulan Bakdamulud di Laut Selatan.
Kraton Mahluk Halus Merapi di dalam kosmologi Kraton Yogyakarta dipercayai oleh penduduk dipimpin oleh mahluk halus bernama 'Empu Rama' dan 'Permadi' dan menurut orang yang lain oleh 'Kyai Merlapa. Selain pemimpin di dalam kratonnya penduduk juga percaya dalam macam-macam tokoh lain yang mendiami kraton itu. Kepercayaan manusia tentang Kraton Mahluk Halus Merapi tidak hanya dipercayai oleh Kraton Yogyakarta tetapi juga memperluas sampai rakyat desa-desa di lereng gunungnya. Rakyat tersebut punya kepercayaan tentang dunia akhirat. Menurut mereka waktu manusia meninggal rohnya akan mendiami tempat-tempat yang tergantung pada perlakuan hidupnya. Kalau orang waktu manusia melakukan hidupnya yang baik, rohnya akan tinggal di dalam Kraton Mahluk Halus Merapi atau Kraton laut Selatan. Sebaliknya kalau orang waktu manusia melakukan hidupnya yang tidak baik, rohnya akan dibuang dari kratonnya dan mendiami batu, pohon, tempat sepi dan sebagainya. Selain kepercayaan dunia akhirat itu manusia Gunung Merapi juga punya kepercayaan mengenai tempat-tempat angker serta binatang-binatang sakral di daerahnya.
Menurut kepercayaan penduduk daerah Gunung Merapi kalau gunungnya akan meletus mahluk halus Kraton Merapi akan memberikan tanda kepada manusia. Biasanya tanda itu dalam bentuk mimpi yang termia oleh para dukun atau 'juru kunci' Gunung Merapi. Saat ini ada ramalan bahwa Gunung Merapi sedang menjadi aktif lagi, menurut para paranormal dan para dukun. Ramalan itu didasarkan dalam rasionil bahwa manusia akan kena kemarahan para mahluk halus karena keadaan politik dan manusia di Indonesia pada saat ini. Walaupun menurut Direktorat Vulkanologi di Yogyakarta Gunung Merapi masih sedang tidur selama dua tahun sekarang. Kalau Gunung Merapi akan meletus tahun 2000 ini atau tidak, kami harus tunggu saja.
Dari dua daerah yang saya melakukan penelitian lapangan semester ini saya menemukan beberapa persamaan dan hanya sedikit saja perbedaan. Walaupun kepercayaan manusia di dalam kedua daerah penelitian memang adalah kepercayaan berbeda, kepercayaannya didasarkan dalam asal usul yang sama. Dalam pemeriksaan saya ke dalam asal usulnya saya menemukan tiga unsur yang bersama. Semua legenda dan upacara didasarkan dan disah dalam sejarah, yaitu Daerah Tengger bersejarah kerajaan Majapahit dan Daerah Gunung Merapi bersejarah kerajaan Mataram kedua. Lagi pulau kebanyakan kepercayaan manusia terhapap gunung berunsur agama Hindu-Budha dari zaman kerajaan Hindu-Budha atau kepercayaan animisme dari zaman prasejarah. Kalau orang Jawa beragama Islam, Kristen atau agama yang lain biasanya mereka juga punya kepercayan yang berasal Jawa. Dalam kepercayaan manusia berasal Jawa tersebut gunung-gunung memang berperan yang sangat penting.

galunggung ??? yg kanglana bikin banga meskipun kanglana blom ke galunggung lagi , terakhir kali aku ke galunggung th 2002 ,ga nyangka aku dah 5 tahun .rasanya kangennnnnnnnn..... pengen ke gunung galunggung lagi . dan sekarang kanglana ga tau lagi perobahan gunung galunggung mudah mudahn masih indah alami pemandangannya yg super dingin dg bermacam macam jenis pohon yg lebat bikin suasana alam yg maikin betah dibarengi dg kicowan burung ..serasa alam ini menyatu dg alam.....

Tidak ada komentar: