Senin, 01 September 2008

8 Raja - raja Galuh (Tarumanagara 14)

8 Raja - raja Galuh (Tarumanagara 14)


Manarah menjadi penguasa Galuh dari tahun 739 - 783 M dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana. Gelar ini diperolehnya dalam musyawarah di galuh. Karena Banga, raja Sunda, menjadi raja bawahannya, maka wilayah kekuasaan Manarah sama dengan Tamperan. Seperti kedudukan Premana Dikusuma terhadap Sanjaya, demikian pulalah posisi Banga terhadap Manarah.

Dari permaisuri Kancana Wangi, Manarah memperoleh puteri bernama Puspasari. Mungkin tokoh inilah yang disebut Purbasari dalam lakon pantun dan babad sebab dalam silsilah versi babad, Prabu Lutung Kasarung itu di-sebutkan menantu Prabu Ciungwanara. Dalam tahun 783 M, Manarah meng-undurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan manurajasunya (fcirun tahta untuk melakukan tapa sampai akhir hayat). Ia wafat tahun 798 M dalam usia 80 tahun (dalam CP I 80 tahun itu disebutkan sebagai mana pemerintahannya).

Manarah digantikan oleh menantunya, Manisri, dengan gelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara (783 — 799 M). Dalam kisah tradisional tokoh ini lebih terkenal dengan nama Guru Minda atau Lutung Kasarung. Sumber yang dikutip oleh Pangeran Wangsakerta tidak menyebutkan tempat asal atau pun asal-usul tokoh ini. Mungkin karena 'kegelapan" asal-usulnya itulah kemudi-an juru pantun melegalisirnya sebagai orang kahiyangan.

Manisri kemudian digantikan oleh puteranya, Sang Tariwulan (799 -806 M), dengan gelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh berikut-nya ialah Sang Welengan (806 - 813 M) dengan gelar Prabu Brajanagara Jayabuana. Ia digantikan oleh Prabu Linggabumi (813 - 852 M).

Karena Linggabumi tidak mempunyai keturunan, maka tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya, yaitu Rakeyan Wuwus, raja Sunda keturun­an Banga. Keturunan Manarah dan Banga lewat para puteri Saung Galah akhirnya bercampur. Posisi Galuh dengan Sunda sudah sederajat. Dalam tahun 759 M setelah Banga memperkuat kedudukannya dengan menunduk-kan kerajaan-kerajaan lain di daerah sebelah barat Citarum, ia melepaskan kedudukannya sebagai raja bawahan Galuh.
Hal itu tidak menimbulkan pertentangan tajam dengan Manarah karena

dilaksanakan dengan perantaraan jasa-baik Resiguru Demunawan. Raja Saung Galah ini baru wafat dalam tahun 774 M setelah mencapai usia 128 tahun, jauh melebihi ayahnya, Sempakwaja (109 tahun) dan kakeknya, Wretikanda-yun (111 tahun). Sanjaya wafat tahun 754 M masih sempat menyaksikan cucunya, Banga, menjadi penguasa Kerajaan Sunda yang merdeka. Sebalik-nya, Resiguru Demunawan pun membuktikan kejujurannya dalam Perjanjian Galuh tahun 739 M. Penempatan Sunda sebagai bawahan Galuh merupakan kemungkinan maksimal yang dapat diupayakannya waktu itu. Setelah keada-an niemungkinkan ternyata ia bersedia menghubungi Manarah untuk meya-kinkannya bahwa agar kerukunan Sunda — Galuh lebih abadi, seyogyanya kedua negara itu hams berdiri sejajar sebagai negara yang mahardhika.

Perkawinan Rakryan Wuwus, raja Sunda keturunan Banga, dengan adik linggabumi raja Galuh membuktikan bahwa kedua belah pihak sangat rukun. Terbukti kesediaan Manarah untuk mengikuti saran Resiguru Demunawan itu merupakan langkah politik yang bijaksana untuk kepentingan anak-cucunya. Resiguru Demunawan alias Sang Seuweukarma atau Rahiyangtang Kuku telah berhasil menghapus noda darah yang pemah menggenangi keraton Galuh akibat ulah kakaknya, Sang Purbasora. Dia itulah yang mengawali pisuna di Galuh dengan menyingkirkan Sena.

Bayang-bayang Kerajaan Galunggung

Sri Jayabupati wafat tahun 1042 M. la digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabuana (1042 - 1065 M) atau sang mokteng Winduraja. Jadi, ia dipusarakan di Win-duraja. Tempat bernama demikian dan menyimpan pantulan kepurbakalaan adalah Desa Winduraja di Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis. Ada gcjala bahwa setelah Sri Jayabupati wafat sampai tahun 1187 M pusat pemerintahan terletak di kawasan timur tidak di Pakuan. Cicit raja ini, Prabu Darmakusuma (1157 - 1175 M) juga dipusarakan di Winduraja.

Prabu Darmaraja digantikan oleh puteranya yaitu Prabu Langlangbumi (1065 - 1155 M) atau sang mokteng Kerta. Mungkin sekali salah seorang cucunya diperisteri oleh penguasa Kadiri-Janggala Maharaja Jayabuana Ke-sanananta Wikramotunggadewa (1102 - 1104 M) atau Prabu Surya Amiluhur. Raja ini hanya dua tahun memerintah karena kekuasaannya direbut oleh Jayawarsa Digjaya Sastraprabu. Prabu Jayabuana melarikan diri ke Jawa Barat karena permaisurinya berasal dari sini. Mungkin tokoh inilah yang disebut Prabu Banjaransari pelarian dari Kediri dalam Babad Galuh.
Peristiwa sejarah yang menarik dalam masa pemerintahan Maharaja Langlangbumi ialah berita yang termuat dalam prasasti Gcgcr Hanjuang atau prasasti Galunggung karena ditemukan di lereng Gunung Galunggung, Prasasti ini ditemukan di bukit Geger Hanjuang yangoleh penduduk setempat disebut Kabuyutan Linggawangi karena terletak di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor D-26.

Isi prasasti itu ditulis dalam huruf dan bahasa Sunda Kuno yang cukup terang untuk dibaca. Walau pun hanya liga baris pendek namun di dalamnya tercantum tanggal dan tahun. Bacaannya baris demi baris sebagai berikut :

tra ba i gune apuy na- sta gomati sakakala rumata- k disusu(k) ku batari hyang pun



Prasasti itu bertanggal tra (trayodasi = ke-13) ba (badramasa = bulan Badra) atau tanggal 13 bulan Badra (Agustus/September) tahun 1 (gomati) 0 (nasta) 3 (apuy) 3 (gune). Arti lengkapnya: Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (seleai) disusuk oleh Batari Hyang.

Karena tidak disebutkan paksa (separuh bulan) dalam prasasti ini diguna-kan sistem amanta (perhitungan tanggal dari bulan baru ke bulan baru) yang hitungan tanggalnya diteruskan sampai 30. Perhitungan menurut tarih Masehi kira-kira tanggal 21 Agustus HUM.

Rumatak yang oleh penduduk setempat disebut Rumantak adalah bekas ibukota Kerajaan Galunggung yang terletak tidak jauh dari bukit Geger Han­juang tempat prasasti itu ditemukan. Disusuk berarti dikelilingi dengan parit untuk pertahanan. Berita serupa dapat kita baca dalam prasasti Kawali dan Batutulis di Bogor. Dengan demikian tokoh Batari Hyang pun dapat kita duga sebagai penguasa Kerajaan Galunggung waktu itu. Ia tentu keturunan dan ahli waris Resiguru Sempakwaja pendiri Kerajaan Galunggung.

Prasasti itu membuktikan bahwa perjanjian Galuh tahun 739 masih tetap dihomiati. Dalam kropak.632 tokoh Batari Hyang disebut sebagai nu nyusuk na Galunggung. Ajaran yang tertulis dalam naskah itu disebutkan sebagai ajarannya. Tokoh ini pula yang dalam kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian) disebut sang sadu jati (sang bijaksana atau sang budiman). Cukup unik karena "pencipta" ajaran tentang kesejahteraan hidup yang harus men­jadi pegangan para raja dan rakyatnya itu adalah seorang wanita.
Mengapa Batari Hyang membangun parit pertahanan sebagai perlindung-an pusat pemerintahannya beluni dapat dijelaskan secara memuaskan. Mungkin ia beijaga-jaga karena melihat pusat pemerintahan Kerajaan Sunda-Galuh berada di kawasan timur atau mungkin karena sebab lain. Kerajaan Galunggung dapat mempertahankan kehadirannya setelali Galuh dan Pajaja-ran runtuh. Dalam awal abad ke-18 sisa kerajaan itu masih ada dengan nama '"Kabupaten" Galunggung dan berpusat di daerah Singaparna. Karena alasan historis, penduduk kampung Naga di Salawu tabu menyebut nama Singapar­na. Mereka berkukuh menggunakan nama Galunggung.

Dalam tradisi masa silam Galunggung dianggap sebagai sumber ilmu karena sejak didirikannya merupakan "kerajaan agama". Batas-batas alas Galunggung menurut fragmen Carita Parahiyangan ialah: Gunung Sawal di sebelah utara, Pelang Datar di sebelah timur dan Ciwulan di sebelah selatan. Sebuah naskah yang dimiliki oleh sesepuh di Singaparna (berbahasa Sunda berhuruf Arab) dan berasal dari bagian akhir abad ke-19 masili menyebutkan tokoh Sempakwaja di antara generasi pertama Kerajaan Galunggung. la masih dikenal dan disebut dalam berbagai mant.ra dan do'a. la sudah "didewakan" orang.
Jalan Panjang Menuju Gunung Galunggung, Tasikmalaya
Jalan Panjang Menuju Gunung Galunggung, Tasikmalaya
Located in Tasikmalaya, West Java

Gunung Galunggung, Singa yg Tidur Lelap

Gunung berketinggian 2,167m mdpl, terletak 20km baratdaya kota Tasikmalaya. Dalam sejarahnya pernah meletus bbrp kali, terakhir tahun 1982. Letusan terakhir bertipe "vulcanian vertical" (spt letusan cendawan bom atom) mencapai ketinggian 20 km ke angkasa, diikuti semburan piroclastic (debu halus) yg menghujani kota Bandung, Tasik, Garut, Cianjur dan kota lainnya dlm radius 100km. Debu tebal selama 4 bulan yg mengguyur kota2 tsb. membuat kesengsaraan yg cukup. Setelah letusan, 100,000 ha daerah sekitar rata dgn tanah tertimpa batu, lahar dan debu, Puncak gunungnya telah runtuh hanyut terbawa lahar dingin ke daerah sekitarnya, batu dan pasirnya menjadi berkah yg tidak habis2nya untuk ditambang.

Pada saat letusan tsb, sebuah Jumbo Jet Boeing 747 British Airways Sidney- London yg sedang melintas diselatan Jabar di ketinggian jelajah 11,000 meter, keempat mesinnya mati tiba2 pada saat yg hampir bersamaan, menghisap debu Galunggung, namun menit2 terakhir berhasil dihidupkan kembali dan mendarat darurat di Soekarno Hatta dan kembali diterbangkan setelah mengganti seluruh mesinnya dan winshield yg tergores berat debu2 silika.

Saat ini Gunung Galunggung sedang dlm keadaan tidur lelap, sehingga dpt. Didekati dgn aman. Menilik sejarahnya, siklus berikutnya mungkin 43 tahun lagi.. Kepundan Galunggung saat ini sudah diberi 620 anak tangga utk menggapi 200m sisa ketinggianya dari tempat parkir terakhir. Dari bibir kawah, kota Tasik terlihat jelas berada di sebelah timurnya. Sejauh mata memandang terlihat pepohonan berwarna hijau, dgn batangnya yg nampak masih kecil2. Memandang kearah dalam, dpt disaksikan 40 ha danau baru bentukan letusan 1982 berwarna kehijauan.

Air danau dijaga tidak melebihi 1 juta m3 dgn mengalirkan sisanya melalui terowongan pelimpah ke sungai Cibanjaran dan Cikunir di timur kaldera. Tanpa campur tangan manusia ini, dinding kawah bisa jebol membuat air bah dahsyat spt. yg pernah terjadi di G. Kelud di Kediri ditahun 1920-an. Air sungai yg cukup hangat, bisa dinikmati di pemandian bernama Cipanas atau sungainya yg berada 3km sebelum kawah tak jauh dari tempat parkir bawah.

Dinding kaldera berbentuk tapal kuda. Dari kedua ujungnya kita bisa turun ke dasar kaldera dgn hati2. Di lantai kawah, selain danau juga terdapat aliran sungai dgn batu batuan yg sebesar kepala kerbau berserakan dimana-mana. Salah satu tempat yg dituju didasar kaldera adalah sebuah Mesjid yg berada kira2 2 km di ujung selatan dekat dinding kawah baru. Dibelakang mesjid tsb. terdapat semacam gua kecil, tempat bermeditasi. Di dasar kawah, di pinggir danau, di sepanjang sungai yg mengalir ataupun didekat Masjid, adalah tempat yg biasa dipakai utk berkemah.

Untuk mencapai kawah Galungggung tdk terlalu sulit, dari tepi jalan Bandung-Tasikmalaya tepatnya di kawasan Indihiang belok kanan kearah selatan, menempuh 15km jalan desa yg agak sempit bercabang-cabang tanpa plang penunjuk jalan yg jelas, cukup membingungkan pada awalnya, jadi harus sering bertanya. Juga akan sering berpapasan dgn truk pasir yg kadangkala salah satu kendaraan harus mundur krn di bbrp bagian jalan dan belokan yg sempit.

Tantangan Sejarah "Urang" Sunda

Keterbatasan sumber

Untuk bisa mengenali secara utuh sejarah Sunda bukanlah merupakan sesuatu yang mudah. Hal itu khususnya akan terjadi pada sejarah Sunda dari masa prasejarah dan masa Hindu-Budha. Dari kedua masa tersebut sumber-sumber yang tersedia dapat dikatakan sangat terbatas. Oleh karenanya, tidak mengherankan misalnya bila upaya untuk melakukan rekonstruksi sejarah kerajaan Tarumanegara dan kerajaan Sunda secara relatif lengkap masih sulit untuk dilakukan. Hal yang sama juga sebenarnya terjadi dengan masa sesudahnya. Namun, keterbatasan sumber pribumi dari masa pasca. Hindu-Budha seringkali "terselamatkan" oleh ketersediaan sumber-sumber kolonial, khususnya arsip-arsip berbahasa Belanda, baik dari masa VOC maupun pemerintah Hindia Belanda.

Keterbatasan sumber pribumi dalam sejarah Sunda besar kemungkinan berkorelasi dengan rendahnya budaya tulis pada masyarakat Sunda. Padahal, sejarah membuktikan bahwa urang Sunda termasuk etnis terdepan yang pertama kali melek huruf. Menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa hal ini bisa terjadi. Benarkah etnis Sunda miskin akan budaya tulis sebagaimana terlihat dari sedikitnya sumber-sumber pribumi yang mampu menjelaskan sejarah Sunda? Ataukah sebaliknya bahwa etnis Sunda tidaklah miskin akan budaya tulis.

Adapun realitas sejarah yang hingga kini tampil ke permukaan belumlah dapat menggambarkan realitas sebenarnya karena sesungguhnya masih banyak sumber-sumber sejarah milik etnis Sunda, khususnya sumber benda dan tertulis, yang masih "terkubur" alias belum tergali oleh para sejarawan dan peminat sejarah pada umumnya. Kalaulah boleh memilih, mudah-mudahan kondisi kedualah yang kini tengah terjadi sehingga menjadi tantangan bagi siapa saja, khususnya mereka yang mengaku urang Sunda untuk terus berupaya keras menggali sumber-sumber sejarah milik urang Sunda sehingga dapat lebih memperjelas perjalanan sejarah urang Sunda, khususnya perjalanan sejarah urang Sunda di tatar Sunda.

Frame sejarah nasional

Realitas keterbatasan sumber-sumber pribumi yang mampu menjelaskan sejarah Sunda dalam masa-masa awal perkembangannya tentu tidak terjadi pada masa-masa sesudah kemerdekaan. Untuk era pascakemerdekaan kalaupun sumber-sumber tertulis masih sangat terbatas masih dapat ditutupi oleh sumber lisan, benda, bahkan visual. Seiring dengan ketersediaan sumber yang relatif lengkap, kajian-kajian tentang sejarah Sunda pun kini cukup banyak dilakukan, meskipun sebagian besar lebih terfokus di perguruan-perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi yang memiliki jurusan sejarah.

Kalaulah akan dikemukakan tantangan bagi penulisan sejarah Sunda di era kemerdekaan maka salah satunya adalah bagaimana membuat sejarah Sunda agar tidak terperangkap kaku dalam frame sejarah nasional. Dalam kaitan itu, perlu ada pengayaan pendekatan dalam melakukan rekonstruksi sejarah Sunda. Sejarah Sunda dapat direkonstruksi melalui berbagai pendekatan, seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Sebagai contoh, melalui pendekatan politik, sejarah Sunda di era kemerdekaan dapat dipilah ke dalam masa pemerintahan para gubernur yang pernah dan sedang memerintah di tatar Sunda.

Anggapan bahwa putra daerah akan lebih baik dalam membangun geliat daerah dibanding yang bukan putra daerah, bisa benar tetapi bisa jadi juga jauh dari kebenaran. Oleh karenanya, dari eksplanasi perjalanan pemerintahan para gubernbur yang kebanyakan urang Sunda dapat diformulasikan pula dengan lebih cerdas tentang konsep putra daerah di tatar Sunda.

Pencerahan konsep isu putra daerah dalam era yang serba kompetitif tentunya sangat diperlukan agar urang Sunda tidak terkerdilkan oleh tujuan sempit, "pokoknya urang Sunda", "asal urang Sunda", "yang penting urang Sunda". Dengan demikian, kalaulah konsep putra daerah hendak dikembangkan sebagai wacana politik bagi kepemimpinan di tatar Sunda maka profil putra daerah tersebut setidaknya harus diformulasikan dengan memperhatikan dua parameter. Pertama, keturunan atau hubungan darah, serta sosial budaya. Kedua, dan yang lebih penting, track record-nya yang berkaitan dengan kapasitas kepemimpinan dan manajerial serta dalam memperjuangkan nasib urang Sunda dan budaya Sunda, baik di tatar Sunda maupun di luar tatar


Perilaku ahistoris

Permasalahan sekaligus tantangan sejarah Sunda dalam perkembangannya yang paling kontemporer adalah rendahnya kesadaran urang Sunda akan pentingnya sejarah Sunda. Sejarah Sunda sebagai milik urang Sunda tampak kurang mendapat perhatian untuk dimumule (dipelihara) dengan baik. Sejarah Sunda sepertinya sudah dianggap tidak penting oleh sebagian besar urang Sunda. Belajar sejarah Sunda adalah belajar sesuatu yang membosankan dan sia-sia. Jadilah, sejarah Sunda teralienasikan dari pemiliknya.

Realitas ahistoris urang Sunda terhadap sejarah Sunda ini sebenarnya bukanlah milik eksklusif urang Sunda tetapi juga sepertinya sudah menjadi milik nasional. Artinya, perilaku dan pola pikir ahistoris urang Sunda terhadap sejarah Sunda tercermin pula dalam perilaku dan pola pikir ahistorisnya bangsa Indonesia terhadap sejarah nasional. Akibatnya, tidak mengherankan bila urang Sunda saat ini tampak seperti kehilangan jati dirinya. Tidak jelas lagi siapa dirinya dan bagaimana bumi tempat dirinya berpijak.

Lepasnya roh kesejarahan (historisitas) dari urang Sunda membawa akibat lanjutan pada memudarnya rasa memiliki terhadap sunan ambu (ibu pertiwi) yang menjadi lemah cai urang Sunda. Oleh karenanya untuk menyikapi itu semua dan agar urang Sunda dapat kembali menemukan identitas dirinya maka penanaman nilai-nilai kesejarahan perlu dilakukan. Jadikanlah sejarah sebagai inspirasi urang Sunda dalam mengenal identitas dirinya. Belajarlah dari sejarah Sunda dan jadilah urang Sunda yang sadar akan kekuatan dan kelemahan dirinya. Bacalah dengan saksama "pelajaran" yang terkandung dalam sejarah Sunda dan jadilah urang Sunda yang memiliki kekuatan dalam mengenal dan memaknai masa lalu untuk kemudian dijadikan pijakan dalam memahami masa kini dan mengekstrapolasikannya bagi kepentingan masa yang akan datang.
Daftar raja-raja Sunda
Daftar raja-raja Sunda

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati yang berjumlah 20 orang :

1. Maharaja Tarusbawa (669 - 723 M)
2. Sanjaya Harisdarma, cucu-menantu no. 1,(723-732 M).
3. Tamperan Barmawijaya (732-739 M).
4. Rakeyan Banga (739-766 M).
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M).
6. Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M).
7. Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).
9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 - 895 M).
10. Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913 M).
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).
14. Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).
15. Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M).
17. Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M).
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042 M)

Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4) - Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelat barat Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.


Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya
Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya
Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 - 766).

Manarah di Galuh memerintah sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat, dan baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.

Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua. Tapi, juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan abad 18.

Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat. Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah pertemuan Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan


Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton: Sunda-Galuh-Kuningan (Saunggalah).

[sunting] Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya

Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.

Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Manarah dan Banga
Manarah dan Banga

Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.

Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.

Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.
Tamperan sebagai raja
Tamperan sebagai raja

Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.

Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.

Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.

Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.

Premana, Pangreyep dan Tamperan

Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.

Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.

Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di ibukota Galuh.

Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.

Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).

Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.

Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.

Sejarah Sunda


urang sunda
mojang
jajaka
hudang euy!!!

Ki Sunda seja midang

sing sumanget ngawangun bangsa!!!
ngawangun agama
ngawangun silaturrahmi

tuh diditu
kudu ditempo
kudu nyakseni
kudu sabilulungan

sunda berjaya deui

prabu siliwangi,ciung wanara,
karajaan kembar
sunda, galuh

tatar sunda

parjuangan kudu diteruskeun
kabudayaan kudu dilestarikeun
kudu dimumule
kudu ngajadi anak incu

Dihaturanan Kasadaya Urang Sunda Dimana Wae Ayana
Geura Paamprok Yeuh
Cang Ngobrol
Kaayaan Ayena
Nu Kudu Dipikirjeun
Keur Kamajuan Urang Sunda

Urang sunda tong era ngomong sunda


Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh adalah dua kerajaan yang merupakan pecahan dari Kerajaan Tarumanagara. Dalam catatan perjalanan Tome Pires (1513), disebutkan bahwa ibukota kerajaan (Dayo, dari bahasa Sunda dayeuh, kota) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Sungai Ciliwung. Keterangan mengenai keberadaan kedua kerajaan ini juga terdapat pada beberapa prasasti. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.

Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh

#Pembagian Tarumanagara

Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.

Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

#Lokasi ibukota Sunda

Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan.[1] Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.

Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.

#Keterlibatan Kalingga

Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri ini adalah cicit Wretikandayun bernama Rakeyan Jamri, yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda ke-2. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan Galuh dikenal dengan nama Sanjaya.

Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian juga menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.

Prasasti Jayabupati

#Isi prasasti

Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak, Sukabumi. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):

D 73 :
//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-

D 96 :
gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.

D 97 :
sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.

Terjemahan isi prasasti, adalah sebagai berikut:

Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.

Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).

#Tanggal prasasti

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.

Penyebab perpecahan

Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Tiongkok yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Kaisar Tiongkok dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.

#Sanna dan Purbasora

Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M), sekaligus paman dari Sanjaya. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).

Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.

Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan nenek isterinya, Maharani Shima.

#Sanjaya dan Balangantrang

Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.

Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.

Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir" atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gègèr Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.

Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.

#Premana, Pangreyep dan Tamperan

Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.

Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.

Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di ibukota Galuh.

Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.

Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).

Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.

Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.

#Tamperan sebagai raja

Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.

Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.

Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.

Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.

#Manarah dan Banga

Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.

Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.

Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.

Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya

Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739-766).

Manarah, dengan gelar Prabu Suratama atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur panjang dan memerintah di Galuh antara tahun 739-783.[2] Dalam tahun 783 ia melakukan manurajasuniya, yaitu mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat. Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.

Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua, tapi juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru, yang ditulis pada pertengahan abad ke-18. Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga; sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).

Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya

Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.

Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.

Daftar raja-raja Sunda-Galuh



1 Maharaja Tarusbawa 669-723
2 Sanjaya Harisdarma 723-732 cucu-menantu no. 1
3 Tamperan Barmawijaya 732-739
4 Rakeyan Banga 739-766
5 Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766-783
6 Prabu Gilingwesi 783-795 menantu no. 5
7 Pucukbumi Darmeswara 795-819 menantu no. 6
8 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891
9 Prabu Darmaraksa 891-895 adik -ipar no. 8
10 Windusakti Prabu Dewageng 895-913
11 Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi 913-916
12 Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa 916-942 menantu no. 11
13 Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa 942-954
14 Limbur Kancana 954-964 anak no. 11
15 Prabu Munding Ganawirya 964-973
16 Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung 973-989
17 Prabu Brajawisesa 989-1012
18 Prabu Dewa Sanghyang 1012-1019
19 Prabu Sanghyang Ageng 1019-1030
20 Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati 1030-1042

Catatan: Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Sungai Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.

Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon, yang berjumlah 13 orang

Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon

1 Wretikandayun 670-702
2 Rahyang Mandiminyak 702-709
3 Rahyang Bratasenawa 709-716
4 Rahyang Purbasora 716-723 sepupu no. 3
5 Sanjaya Harisdarma 723-724 anak no. 3
6 Adimulya Premana Dikusuma 724-725 cucu no. 4
7 Tamperan Barmawijaya 725-739 anak no. 5
8 Manarah 739-783 anak no. 6
9 Guruminda Sang Minisri 783-799 menantu no. 8
10 Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan 799-806
11 Sang Walengan 806-813
12 Prabu Linggabumi 813-852
13 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891 ipar no. 12

Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).

Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah 14 orang :
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati

No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Darmaraja 1042-1065
2 Langlangbumi 1065-1155
3 Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur 1155-1157
4 Darmakusuma 1157-1175
5 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175-1297
6 Ragasuci 1297-1303
7 Citraganda 1303-1311
8 Prabu Linggadéwata 1311-1333
9 Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 menantu no. 8
10 Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350
11 Prabu Maharaja Linggabuanawisésa 1350-1357 tewas dalam Perang Bubat
12 Prabu Bunisora 1357-1371 paman no. 13
13 Prabu Niskala Wastu Kancana 1371-1475 anak no. 11
14 Prabu Susuktunggal 1475-1482

Hubungan Kerajaan Sunda-Galuh dan Berdirinya Majapahit

Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota RAKEYAN JAYADARMA, dan berkedudukan di Pakuan.

Menurut PUSTAKA RAJYARAJYA i BHUMI NUSANTARA parwa II sarga 3: RAKEYAN JAYADARMA adalah menantu MAHISA CAMPAKA di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan putrinya MAHISA CAMPAKA bernama DYAH SINGAMURTI alias DYAH LEMBU TAL. Mahisa Campaka adalah anak dari MAHISA WONGATELENG, yang merupakan anak dari KEN ANGROK dan KEN DEDES dari kerajaan SINGHASARI.

Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera SANG NARARYA SANGGRAMAWIJAYA atau lebih dikenal dengan nama RADEN WIJAYA (lahir di PAKUAN). Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke 4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur.

Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susurh dari Pajajaran yang kemudian menjadi Raja MAJAPAHIT yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Jadi, sebenarnya, Raden Wijaya, Raja MAJAPAHIT pertama, adalah penerus sah dari tahta Kerajaan Sunda Galuh apabila Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnumangkat.

Pemisahan dan Penyatuan Kembali Kerajaan Sunda-Galuh

Saat Wastu Kancana wafat, kerajaan kembali dipecah dua diantara anak-anaknya yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa di Kawali (Galuh). Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh akhirnya benar-benar menyatu dalam pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521), yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal, dan sejak itu kerajaan ini dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran.

Garis waktu kerajaan di Jawa Barat dan Banten

Referensi

1. ^ Naskah Carita Parahyangan (1580), fragmen Kropak 406. Naskah beraksara Sunda Kuno, bahasa Sunda Kuno. Koleksi: Perpustakaan Nasional RI.
2. ^ Sukardja, H. Djadja, (2002). Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S. Cet-2.

Kampung Muara dekat tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "Kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Menurut cerita, dahulu di dekat gunung kapur tersebut memang merupakan suatu pelabuhan yang biasa dikenal dengan nama dermaga, barangkali itulah sebabnya di sekitar Kampus IPB sekarang disebut daerah Darmaga. Hingga awal abad ke 19 tempat tersebut memang masih digunakan sebagai pelabuhan terutama oleh para pedagang bambu.


Kerajaan Salaka Nagara, rajanya bernama Dewawarman (I – VIII), tidak diketahui pasti kapan kerajaan ini berdiri, letak kerajaan Salaka Nagara ini diperkirakan berada di sekitar Pandeglang Banten, namun ada juga yang beranggapan bahwa letak Salaka Nagara ada di kaki gunung Salak di sebelah Barat kota Bogor. Menurut cerita kerajaan ini didirikan oleh seseorang yang bernama Aki Tirem, yang kemudian keturunannya mendirikan kerajaan Salaka Nagara, konon nama gunung Salak diambil dari asal kata Salaka.
Pada catatan sejarah India, para cendekiawan India telah menulis tentang nama Dwipantara atau kerajaan Jawa Dwipa di pulau Jawa sekitar 200 SM. Dan dari catatan itupun diketahui bahwa Kerajaan Taruma menguasai Jawa sekitar tahun 400 M. Salakanagara (kota Perak) pernah pula disebutkan dalam catatan yang disebut sebagai ARGYRE oleh Ptolemeus pada tahun 150 M.

Dari peninggalan sejarah yang berhasil ditemukan hingga saat ini, asal mula kota Bogor dapat ditelusuri mulai dari Ciaruteun, Ciampea. Di Ciaruteun terdapat sebuah prasasti peninggalan kerajaan Taruma Nagara (358 – 669 M), prasasti tersebut diperkirakan dibuat pada tahun 450 M, jauh sebelum Kerajaan Pajajaran dan Majapahit serta kerajaan-kerajaan lainnya berdiri di Indonesia. Letak prasasti itu sendiri saat ini sudah dipindahkan, semula prasasti itu berada di tengah-tengah sungai Ciaruteun yang kemudian dipindahkan ke tepi karena prasasti tersebut beberapa kali terbawa arus pada saat banjir bandang di sungai Ciaruteun.
Selain itu di area yang sama terdapat pula prasasti lainnya yang biasa disebut dengan prasasti Tapak Gajah. Prasasti ini diperkirakan dibuat bersamaan dengan prasasti yang ada di sungai Ciaruteun. Arti dari isi prasasti ini kira-kira: "Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa"
Di salahsatu bagian kaki gunung Salak ada pula ditemukan sebuah prasasti di desa Jambu kampung Pasirgintung kecamatan Nanggung, oleh karena itu biasa disebut dengan Prasasti Jambu. Pada prasasti ini terukir 2 telapak kaki dan 2 baris huruf palawa dalam bahasa sansekerta, kemungkinan prasasti ini dibuat pada masa yang hampir bersamaan pula dengan dengan Prasasti Ciaruteun. Prasasti ini bertuliskan: "Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya".

Pada prasasti Ciaruteun dipahat juga sepasang telapak kaki serta tulisan dengan huruf palawa dalam bahasa sansekerta, bunyi tulisan tersebut kira-kira "Inilah telapak kaki yang mulia Sang Purnawarman Raja Negeri Taruma yang gagah berani, yang menguasai dunia sebagai telapak kaki Dewa Wisnu"

Tidak diketahui dengan pasti mengapa prasasti-prasasti tersebut ada di daerah itu, apakah karena pusat pemerintahannya ada disana atau tempat tersebut merupakan salah satu tempat penting pada masa itu yang berada dikawasan kerajaan.

Pada masa Kerajaan Taruma Nagara kerajaan ini diperintah oleh 12 orang raja, berkuasa dari tahun 358 – 669 M.
Kerajaan Sunda, nama baru dari kerajaan Taruma Nagara, diperintah 28 orang raja, tahun 669 – 1333 M. Pada masa ini, kerajaan tersebut dipecah menjadi 2 bagian, di sebelah Barat bernama kerajaan Sunda dan di sebelah Timur bernama kerajaan Galuh dengan sungai Citarum sebagai batasnya.
Kerajaan Kawali, diperintah oleh 6 orang raja, tahun 1333 – 1482 M.
Kerajaan-kerajaan diatas adalah kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh "garis keturunan" yang sama.

Kerajaan Taruma didirikan oleh Jayasingawarman, keturunan-keturunan raja Kerajaan Taruma pergi ke luar wilayah kerajaan serta membentuk kerajaan-kerajaan baru di wilayah lain. Ini terlihat dari berdirinya kerajaan-kerajaan baru yang lebih "muda" usianya dibandingkan dengan kerajaan Taruma Nagara. Pada masa abad ke 7 hingga abad ke 14 kerajaan Sriwijaya berkembang di Sumatera. Penjelajah Tiongkok yang bernama I Ching pernah mengunjungi ibukotanya yaitu Palembang sekitar tahun 670. Pada abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan di Jawa Timur yaitu Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, yang bernama Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Mungkin karena senioritas atau karena kekerabatan atau juga karena sebab lainnya, kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh tidak pernah dikuasai oleh kerajaan Majapahit.
Ada 2 orang keturunan Taruma Nagara yang menjadi raja besar diluar tanah Sunda:
1. Sanjaya / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama, raja ke 2 Kerajaan Sunda (723 – 732M), menjadi raja di Kerajaan Mataram (732 - 760M). Ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno, dan sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.
2. Raden Wijaya, penerus sah Kerajaan Sunda ke – 27, yang lahir di Pakuan, menjadi Raja Majapahit pertama (1293 – 1309 M).
Selain itu dikisahkan pula bahwa Putri Sobakancana anak dari Linggawarman, raja Taruma Nagara terakhir menjadi isteri Dapuntahyang Srijayanasa yang kemudian mendirikan kerajaan Sriwijaya di Sumatera.
Di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja-raja daerah yang kekuasaannya membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga) di Jawa Tengah. Secara tradisional Ci Pamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa bagian Barat pada masa silam.
Kerajaan Galuh Pakuan (516 – 852 M), berada di sekitar wilayah kota Ciamis sekarang. Pendiri kerajaan Galuh adalah keturunan raja Taruma Nagara yang pergi menuju sekitar Selatan Jawa. Kerajaan Galuh didirikan oleh cicit dari Manikmaya, menantu Suryawarman (raja Taruma Nagara ke 7). Ada sebagian dari keturunan raja Galuh (yang juga keturunan Taruma Nagara) yang kemudian kembali menuju Utara dan mendirikan kerajaan dengan nama baru Pakuan Pajajaran. Sedangkan sebagian lainnya pergi menuju Timur untuk kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan baru di wilayah Jawa Tengah (Sanjaya, mendirikan Mataram) dan Jawa Timur (Raden Wijaya, mendirikan Majapahit).

Kerajaan Pakuan Pajajaran biasa disebut kerajaan Pajajaran saja (1482 – 1579 M). Pada masa kejayaannya kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang sangat terkenal yaitu Sri Baduga Maharaja dengan gelar Prabu Siliwangi dinobatkan sebagai raja pada usia 18 tahun. Raja tersebut terkenal dengan "ajaran dari leluhur yang dijunjung tinggi yang mengejar kesejahteraan".

Pusat kota Pajajaran ini terdapat di sekitar wilayah Batutulis sekarang, ini diketahui dari ditemukannya sisa-sisa bekas bangunan istana yang ditemukan di sekitar wilayah itu. Ini terungkap dalam ekspedisi yang dilakukan pihak VOC sebelum menguasai suatu wilayah baru.

Untuk kesejahteraan rakyatnya yang sebagian besar bertani dan juga untuk menghalangi serangan pihak musuh maka pada masa itu dibuat sebuat sodetan sungai yang sekarang dikenal dengan nama kali Cidepit dan Cipakancilan. Sungai Cidepit dan Cipakancilan adalah sungai buatan yang sumber airnya berasal dari sungai Cisadane.

Sama seperti kerajaan sebelumnya, kerajaan Pajajaran sendiri pada masa kejayaannya sudah menjalin hubungan dagang dengan negara-negara di Asia, Timur Tengah serta Eropa. Pelabuhan lautnya ada di Sunda Kalapa yang kemudian berubah nama menjadi Batavia dan kemudian berubah lagi menjadi Jakarta yang sekarang.

Prabu Siliwangi memiliki beberapa orang anak dari beberapa orang isteri. Dari istrinya yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda (beragama Islam) (puteri Prabu Susuktunggal, raja kerajaan Sunda) keturunan-keturunannya pergi mengembara serta membangun wilayah pesisir Utara di wilayah Karawang. Dari istrinya yang bernama Subang Larang (beragama Islam) (puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi raja Singapura), Prabu Siliwangi memiliki 3 orang anak yaitu Kian Santang, Lara Santang dan Cakrabuana. Kian Santang adalah anaknya yang paling sakti serta memiliki ilmu yang sangat tinggi, konon dalam menuntut ilmu Islam Kian Santang mengembara hingga ke Timur Tengah. Ada juga kisah yang menceritakan bahwa Kian Santang dapat pergi menuju Pelabuanratu melalui sebuah goa besar yang terdapat di sungai Ciliwung (dulu bernama cihaliwung). Letak goa itu sendiri sampai sekarang belum ada yang berhasil menemukannya, tetapi dari mitos yang berkembang letak goa itu berada di leuwi sipatahunan, sebuah bagian sungai yang paling dalam yang sekarang berada di tengah-tengah lokasi kebun raya Bogor. Bagi kalangan spiritual, leuwi sipatahunan ini konon memiliki aura misteri yang sangat kuat. Lara Santang mengembara hingga ke Sumatera dan daratan Asia, menyebarkan agama Islam yang di Sumatera dikenal dengan nama Ibu Syarifah Mudaif. Lara Santang adalah ibu dari Syarif Hidayatullah, raja Cirebon yang pada tahun 1579 ikut menyerang ke Pajajaran. Cakrabuana mengembara di sekitar wilayah Cirebon, menurut cerita versi Pajajaran beliau yang mendirikan asal muasal kota Cirebon.

Perbedaan yang mencolok antara Ibu Subang Larang dengan Ibu Kentring Manik Mayang Sunda adalah keunggulannya yang berbeda; Ibu Subang Larang mencerminkan sosok ibu yang idealnya seperti seorang ibu sedangkan Ibu Kentring Manik Mayang Sunda mencerminkan sosok seorang wanita yang perkasa dan mandiri. Bagi sebagian orang Bogor, Ibu Subang Larang-lah yang biasa disebut dengan nama Ibu Ratu bukan Nyai Roro Kidul seperti yang diyakini sebagian masyarakat.
Menurut cerita, Prabu Siliwangi tidak meninggal dunia tetapi beliau menghilang (sunda:ngahiyang), karena itulah makam Prabu Siliwangi tidak pernah ditemukan hingga saat ini. Legenda masyarakat yang berkembang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menghilang dan kadang-kadang menampakan diri dengan wujud seekor harimau besar. Mungkin ini dihubungkan dengan seorang anggota ekspedisi pimpinan Scipio pada tahun 1687 yang diterkam harimau besar di tepi sungai Cisadane di sekitar prasasti Batutulis.

Pada masa masa kejayaan Kerajaan Pajajaran ada 4 orang patih Pajajaran yang terkenal:
Ranggagading, paling sakti dan bertindak sebagai pimpinan para patih, petilasan Ranggagading dapat ditemukan di desa Cipinang Gading di Batutulis Bogor. Entah bagaimana cerita ini bermula tapi ada sebagian orang yang mempercayai bahwa Ranggagading-lah yang selama ini disebut-sebut sebagai patih Gajahmada di kerajaan Majapahit.
Ranggawulung, petilasannya ada di dekat kota Subang
Ranggadipa, petilasannya ada di dekat kaki gunung kapur Ciampea
Ranggasukma, hingga saat ini petilasannya belum ditemukan

Di sekitar kota Bogor banyak "nama-nama lama" peninggalan bekas kerajaan Pajajaran pada saat masih berdiri, misalnya Lawang Gintung, Lawang Saketeng, Pamoyanan, Pasirkuda, Cibalagung, Pagentongan, Balekambang, Panaragan, Pagelaran dan lain-lain.

Peninggalan kerajaan Pajajaran yang terkenal adalah prasasti Batutulis, isi prasasti ini kira-kira berarti: "Semoga selamat, ini adalah tanda peringatan untuk Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana dinobatkan dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran. Sri sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit pertahanan Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, undakan untuk hutan Samida dan Sahiyang Talaga Rena Mahawijaya. Dibuat dalam saka 1455." Selain prasasti banyak pula peninggalan-peninggalan kerajaan Pajajaran yang ditemukan di sekitar komplek ini, salah satunya adalah bangunan sisa kerajaan Pajajaran (ditemukan oleh Scipio, seorang ekspedisi Belanda pada tahun 1687) pada saat sesudah dibumihanguskan pada tahun 1579 oleh Kerajaan Banten (Maulana Yusuf) yang berkoalisi dengan Kesultanan Cirebon (Syarief Hidayatullah).
Kerajaan Pajajaran dibumihanguskan oleh Kerajaan Banten dan Cirebon karena Raja Pajajaran pada saat itu menolak untuk di-Islamkan, agama "resmi" kerajaan yang dianut saat itu adalah agama Sunda (Sunda Wiwitan?). Konon agama Sunda memang tidak mensyaratkan untuk membangun tempat peribadatan khusus, oleh karena itu maka sisa-sisa peninggalan yang berupa bangunan mirip candi hampir tidak ditemukan di Jawa Barat.

Pada saat pembumihangusan, raja terakhir kerajaan Pajajaran yang bernama Raga Mulya (1567 – 1579) ikut tewas terbunuh dan sebagian dari para pangeran yang tidak terbunuh lari menuju pakidulan, Selatan Bogor (desa Sirnaresmi di sekitar Pelabuanratu) untuk kemudian menuju ke arah pakulonan, menuju ke Barat (sekarang propinsi Banten), menurut cerita ada anggapan bahwa kemungkinan mereka inilah yang menjadi cikal bakal dari masyarakat Badui yang kita kenal sekarang.

Prasasti Batutulis dibuat oleh Prabu Surawisesa pada tahun 1533 M dengan maksud memperingati jasa-jasa ayahandanya Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi yang sakti. Selain itu di Batutulis tersebut adalah tempat upacara dilantiknya raja-raja Pajajaran yang disebut dengan upacara Kuwerabhakti.

Sri Baduga Maharaja adalah raja Pajajaran terbesar yang memerintah dari tahun 1482 sampai 1521 M. Pelantikan Sri Baduga Maharaja sebagai raja Pajajaran itu sendiri dilakukan pada saat Sri Baduga Maharaja memindahkan ibukota kerajaan dari Galuh ke Pajajaran (Bogor) pada tanggal 3 Juni 1482. Maka tanggal itulah yang kemudian secara resmi oleh pemerintah ditetapkan sebagai hari jadi kota Bogor, walapun ada juga yang mengganggap bahwa tanggal tersebut terlalu "muda" untuk dijadikan penetapan hari jadi sebuah kota sesusia kota Bogor.

Konon kehancuran kerajaan Pajajaran disebabkan pula oleh adanya penghianatan dari "orang dalam" yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Raga Mulya (Suryakancana). Setelah kehancuran kerajaan Pajajaran pada tahun 1579 dan larinya para pangeran kerajaan maka terputuslah sejarah kerajaan ini. Sesuai tradisi, kursi singgasana milik kerajaan Pajajaran oleh Maulana Yusuf ikut diboyong menuju Banten yang secara simbolis menyatakan bahwa kerajaan Pajajaran tidak akan berdiri lagi. Inipun menandakan bahwa kekuasaan kerajaan Pajajaran sebenarnya telah beralih ke Maulana Yusuf dari Banten. Terlebih dengan berdirinya VOC beberapa tahun kemudian yaitu tahun 1602 yang memanfaatkan perbedaan pendapat dan perpecahan diantara kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia, maka berakhirlah sudah masa kerajaan Pajajaran.
Pada tahun 1681 Belanda menandatangani kesepakatan dengan kesultanan Cirebon dan tahun 1684 Belanda menandatangani kesepakatan dengan kesultanan Banten. Maka ditetapkanlah batas wilayahnya yaitu sungai Cisadane, untuk itu dilakukan sebuah ekspedisi untuk mencari sisa-sisa kerajaan Pajajaran pada tahun 1687 seperti diceritakan diatas.

Cerita ini sebagian bersumber dari catatan dan fakta sejarah dan sebagian lagi dari sebuah cerita yang diceritakan dan diceritakan lagi serta diceritakan lagi secara turun temurun oleh para pangeran kerajaan yang berhasil melarikan diri hingga kemudian cerita ini berubah menjadi sebuah cerita rakyat dan kemudian ada yang berkembang menjadi sebuah mitos.

Tidak seperti kisah sejarah "versi pemerintah" yang terdapat dalam buku-buku sejarah SD, SMP dan SMA bahwa yang selama ini selalu disebut-sebut sebagai awal mula peradaban di Indonesia (pulau Jawa) adalah Kerajaan Mataram kuno. Dalam buku sejarah "versi pemerintah" tersebut sedikit sekali tulisan tentang kerajaan Tarumanagara bahkan kerajaan Pajajaran tidak disebutkan samasekali. Maka dalam uraian singkat ini kami mencoba menggali lebih dalam lagi ke masa sebelum adanya Kerajaan Mataram agar tidak ada fakta sejarah yang diputarbalikan hanya demi sebuah kepentingan segelintir orang.

Demikian sejarah singkat kota tua Bogor. Tulisan ini memang hanya menceritakan dari awal sejarah dapat terungkap sampai dengan hari jadi kota Bogor. Kesalahan serta kurang lengkapnya nama, tahun dan lokasi kejadian sejarah bukanlah sebuah kesengajaan tapi semata-mata karena kurang lengkapnya referensi kami.

Silsilah kerajaan di Jawa Barat

Tidak ada komentar: