Senin, 01 September 2008

bahasa daerah..(nyatut dr web orang)

Mengembalikan ruh bahasa dan sastra daerah* memang karena sempai saat ini bahasa dan satra daerah telah lama mati suri. Ini tidak jauh karena stigma yang menempel pada bahasa daerah tersebut dan guru sebagai pelaksana pendidikan dan pengajaran merupakan kunci sukses kembalinya ruh tersebut.

Seperti data yang ada di situs www.ethnologue.com terdapat 7000 bahasa di dunia, 700 bahasa di Indonesia, dan sekitar 60-70 bahasa di NTT. Jadi dari semua bahasa yang ada di dunia sekitar 10% ada di Indonesia, dan 1% ada di NTT. Jumlah ini lumayan banyak kalau dibandingkan dengan daerah atau negri lain di dunia. Anggapan di NTT, terutama di Alor, terhadap bahasa daerah dicampur. Ada yang positif, ada yang negatif.

Sayangnya orang lebih cenderung terhadap anggapan negatif. Banyak orang menganggap bahasa daerah kuno, bahasa yang hanya dipakai oleh orang miskin dan tidak berpendidikan, dan sesuatu yang hanya merupakan halangan untuk orang berhasil dalam hidup. Tetapi anggapan negatif ini bisa menjadi anggapan positif.

ANGGAPAN NEGATIF
Bahasa daerah kuno, sesuatu dari masa lampau.
Bahasa daerah merupakan bahasa orang miskin dan tidak berpendidikan.
Bahasa daerah tidak berguna di luar kampung.
Bahasa daerah menghalangi kemajuan.
Bahasa daerah menghalangi proses belajar dan menjadi orang pintar.


ANGGAPAN POSITIF
Bahasa daerah merupakan bahasa nenek-moyang.
Bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan dan identitas.
Bahasa daerah merupakan kunci adat.
Bahasa daerah merupakan alat untuk mengerti dunia.
Bahasa daerah memberikan dasar yang kuat supaya orang bisa bertumbuh dan menjelajahi dunia.

Anggapan negatif terhadap bahasa daerah menimbulkan akibat negatif. Sekarang ini seringkali orangtua mengorbankan bahasa daerah sehingga anaknya hanya bisa berbahasa Melayu. Orangtua pikir mengajar Bahasa Indonesia, tetapi sebenarnya yang Bahasa yang dipakai di rumah dan di lingkungan kampung, bukan Bahasa Indonesia yang baku, tetapi sebuah dialek dari Bahasa Melayu. Jadi kalau anak sampai SD sepertinya harus belajar bahasa baru waktu mulai sekolah lewat Bahasa Indonesia.

Menurut saya, dan banyak ahli bahasa, ini permulaan kematian bahasa. Kalau anak tidak memakai bahasa ini, berarti anak dari anak itu tidak memakai bahasa itu. Jumlah orang yang memakai bahasa daerah turun, sampai tidak ada orang lagi yang memakainya hingga bahasa itu mati. Bukan hanya bahasa yang mati tetapi bagian dari budaya yang mati. Sebenarnya bahasa dan budaya tidak bisa dipisahkan. Bahasa mencerminkan budaya daerah, dan budaya daerah dilakukan lewat bahasa.

Dari 700 bahasa daerah itu di Indonesia mayoritasnya terancam mati atau punah, terutama bahasa daerah di wilayah timur Indonesia, termasuk NTT. Kematian bahasa bagian dari kehilangan budaya, dan keanekaragaman kebudayaan. Setiap bahasa punya kekhasan yang tidak ada di dalam bahasa lain. Kekhasan itu mencerminkan kekhasan budaya setempat. Dari segi ilmu, struktur dan konsep yang ada di dalam bahasa merupakan kunci untuk mengerti fungsi otak kita terkait dengan bahasa. Di tempat kehilangan budaya dan bahasa orang cenderung merasa tidak mempunyai akar, hidup tidak terarah. Perasaan semacam ini bisa membuat beberapa jenis masalah sosial. Persentase bahasa daerah di Indonesia yang sudah diteliti sedikit sekali (kurang dari sepertiga).

Ilmu bahasa - linguistik - sangat rugi kalau tidak ada informasi tentang bahasa daerah sebelum mati. Jenis ilmu pengetahuan lain juga bermanfaat secara tidak langsung dari penelitian linguistik tentang tata bahasa dan bunyi bicara. Misalnya ahli komputer memakai pengetahuan yang didapat dari pengetahuan tentang struktur tata bahasa yang bisa jadi di bahasa sekeliling dunia untuk membuat bahasa program komputer yang baru.

Kedua, penelitian bahasa-bahasa di dunia memberikan ahli ilmu dengan informasi yang sangat berguna tentang fungsi otak. Dengan lebih banyak informasi tentang fungsi otak fasilitas neurological dan psychological bisa tersedia. Orang lain, seperti yang terkait dengan hukum dapat manfaat dari penelitian linguistik. Dengan mengerti mekanisme pembicaraan lebih baik bidang linguistik forensik dalam hukum lebih efektif.


Menyelami Bahasa Daerah Dalam KBM
Salah satu cara untuk menghindari kematian bahasa dan sastra lokal ialah dengan stigmatisasi pada masyarakat bahwa bahasa dan sastra daerah begitu berharga. Salah satu cara untuk melakukan ini ialah lewat bahasa dan budaya diajari di sekolah dan diberikan perangkat resmi. Tahun 2002, contoh konkretnya, di Kabupaten Ngada di Flores dengan diberlakukannya Program Pendidikan Dasar atau NTT PEP. Program ini berusaha untuk meningkat mutu pendidikan di NTT pada kelas rendah di SD, mulai dengan pulau Flores, kemudian menyebar ke pulau lain di NTT.

Selain alasan menghindari kematian bahasa, ada alasan lain untuk memakai bahasa daerah di sekolah yaitu alasan pendidikan. Sekarang, seperti di daerah lain di Indonesia, misalnya Bali, Jawa, Lombok, Sulawesi, Kalimantan, bahasa daerah dipakai di kelas rendah di sekolah dasar di Flores.

Alasan pendidikan untuk pemakaian bahasa daerah di kelas rendah adalah guru semestinya menggunakan pengetahuan yang sudah ada dalam diri anak. Anak yang sudah berumur 6-7 tahun sudah menguasai bahasa pertamanya dengan penuh. Oleh karena itu, pengetahuan itu mestinya dipakai waktu anak masuk SD. Perbedaan suasana antara rumah dan sekolah mestinya sedikit. Maksudnya supaya anak bisa memusatkan perhatian kepada materi yang diajarkan daripada mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan baru di sekolah. Pemakaian bahasa yang dipakai di rumah atau dalam pergaulan masyarakat merupakan salah satu cara untuk mengurangi perasaan sekolah itu tempat yang menakutkan dan aneh.

Anak yang bersemangat belajar, hasil belajarnya lebih baik. Anak harus mempunyai kepercayaan diri yang tinggi supaya mempercayai diri sendirinya mampu belajar. Kalau begitu anak itu cenderung lebih bersemangat. Bagian dari kepercayaan diri yang tinggi ialah rasa bangga atas asal-usul. Kalau anak diberitahu budaya dan bahasanya tidak berguna, mereka secara automatis akan mempunyai kepercayaan diri yang lebih rendah daripada anak yang diajarkan budaya dan bahasanya sesuatu yang berharga.

Guru di kelas rendah di SD mestinya menjadi pengganti orangtua daripada diktator, supaya rasa takut diredamkan dan belajar lebih mudah. Jauh lebih gampang untuk seorang guru mendekati anak memakai bahasa pertamanya (biasanya bahasa daerah) daripada bahasa keduanya - Bahasa Melayu - yang pada umumnya belum dikuasai anak.

Anak yang belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya biasanya mempunyai keterampilan membaca dan menulis lebih baik daripada anak yang belajar dalam bahasa keduanya. Ketrampilan membaca dan menulis dalam bahasa ibu gampang pindah ke bahasa lain.

Manusia yang dibesarkan bilingual (yaitu orang yang bisa dua bahasa) lebih gampang belajar bahasa lain. Artinya, pelajaran Bahasa Inggris mestinya lebih gampang untuk anak yang bisa bahasa daerah dan Bahasa Melayu daripada anak yang hanya bisa salah satu dari bahasa itu.

Pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di kelas rendah di SD didukung pada baik tingkat nasional maupun tingkat Propinsi. Dukungan dari tingkat nasional bisa dilihat di dalam kurikulum berbasis kompetensi yang baru. Sedangkan Kurikulum Muatan Lokal dari Propinsi juga mendukung pemakaian bahasa daerah di kelas rendah di SD. Di setiap Kongres Bahasa yang diadakan yang direkomendasi terus ialah untuk wilayah yang perlu memakai bahasa daerah untuk memang memakainya di dalam sekolah dasar sebagai bahasa pengantar.

Tidak ada komentar: