tag:blogger.com,1999:blog-33444472572493767552024-02-09T03:26:01.587+07:00Binekas Networkopenmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.comBlogger15125tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-73621997879240741842008-10-22T15:07:00.001+07:002008-10-22T15:09:23.791+07:00Analisis KonstrastifSecara umum memahami pengertian analisis kontrastif dapat ditelusuri melaui makna kedua kata tersebut. Analisis diartikan sebagai semacam pembahasan atau uraian. Yang dimaksud dengan pembahasan adalah proses atau cara membahas yang bertujuan untuk mengetahui sesuatu dan memungkmkan dapat menemukan inti permasalahannya. Permasalahan yang ditemukan itu kemudian dikupas, dikritik. diulas, dan akhirnya disimpulkan untuk dipahami Moeliono (1988:32) menjelaskan bahwa analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Sedangkan kontrastif diartikan sebagai perbedaan atau pertentangan an tar a dua ha I. Perbedaan inilah yang menarik untuk dibicarakan, diteliti. dan dipahami. Moeliono menjelaskan bahwa kontrastif diartikan sebagai bersifat membandingkan perbedaan.<br />Secara khusus analisis kesalahan kontrastif atau lebih populer disingkat anakon adalah kegiatan memperbandingkan struktur bahasa ibu atau bahasa pertama (Bl) dengan bahasa yang diperoleh atau dipelajari sesudah bahasa ibu yang lebih dikenal dengan bahasa kedua (B2) untuk mengidentifikasi perbedaan kedua bahasa tersebut.<br />Istilah kontrastif lebih dikenal dalam ranah kebahasaan (linguistik). Sehubungan dengan ini kemudian muncul istilah linguistik kontrastif yang merupakan cabang ilmu bahasa. Linguistik kontrastif membandingkan dua bahasa dari segala komponennya secara sinkronik sehingga ditemukan perbedaan-perbedaan dan kemiripan-kemiripan yang ada. Dari hasil temuan itu, dapat diduga adanya penyimpangan-penyimpangan,pelanggaran-pelanggaran,atau kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan para dwibahasawan.<br />Dwibahasawan adalah orang yang mampu menggunakan dua bahasa secara baik. Sedangkan kedwibahasaan adalah suatu alternatif menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seorang individu. Penguasaan bahasa seorang dwibahasawan ini biasa dibedakan atas penguasaan bahasa pertama (Bl) dan penguasaan bahasa kedua (B2). Bl yaitu bahasa yang pertama kali dikenal dipahami, dan digunakan oleh seseorang. Bl sering juga disebut bahasa ibu. B2 diartikan sebagai bahasa yang diperoleh atau dipelajari seseorang sesudah menguasai bahasa pertama.<br />Ada beberapa jenis kedwibahasaan, yaitu (1) kedwibahasaan terpadu, (2) kedwibahasaan seimbang, (3) kedwibahasaan minoritas, (4) kedwibahasaan koordinatif, dan (5) kedwibahasaan tambahan (Tarigan, 1990:10). Kedwibahasaan terpadu dan koordinatif didasarkan pada kaitan antara Bl dan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan Bl dan B2. Kedwibahasaan minoritas dihubungkan dengan situasi yang dihadapi Bl, sedangkan kedwibahasaan tambahan dikaitkan dengan gengsi atau wibawa dwibahasawan.<br />Dwibahasawan terpadu adalah orang yang dapat mendudukkan kedua sistem bahasa yang dikuasainya. Sering terjadi dwibahasawan jenis ini menggunakan sistem B2 di saat seseorang menggunakan Bl. Hal ini disebabkan oleh pengajaran bahasa yang tidak menggunakan metode langsung. Peristiwa ini akan terjadi karena pengajaran bahasa yang diterimanya menggunakan metode terjemahan. Setiap dwibahasawan jenis ini berbicara menggunakan B2, pola pikirnya selalu diterjemahkan dulu ke dalam Bl.<br />Dwibahasawan koordinatif merupakan kebalikan dari dwibahasawan terpadu. Kedua bahasa dikuasai dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri. Orang ini tidak dapat memadukan kedua sistem bahasa yang dikuasainya. Karena itu, orang yang demikian merupakan penerjemah yang jelek.<br />Dwibahasawan seimbang adalah pembicara yang sama mahirnya dalam dua bahasa. Dwibahasawan semacam ini bila menjadi penerjemah sangat bagus. Lain halnya dengan dwibahasawan minoritas dan dwibahasawan tambahan. Dwibahasawan minoritas merupakan sekelompok masyarakat kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar dan kuat sehingga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan Bl-nya. Dwibahasawan tambahan adalah pembicara yang dapat menggunakan dua bahasa yang bergengsi dan bermanfaat. Kedua macam bahasa yang dikuasai itu saling melengkapi. saling memperkaya.<br />Seperti telah Anda ketahui dalam uraian sebelumnya bahwa kemampuan seseorang menguasai lebih dari satu bahasa disebut dwibahasawan. Dalam diri seorang dwibahasawan dapat terjadi perbandingan antara bahasa yang satu dengan lainnya. Peristiwa semacam ini dapat juga terjadi bila seseorang mempelajari B2. la akan selalu membandingkannya dengan Bl. Dengan membandingkan antara dua bahasa itu akan ditemukan faktor persamaan, kemiripan, dan perbedaan. Tindakan semacam inilah pada hakikatnya yang disebut tindak analisis. Metode membandingkan bahasa yang sedang dipelajari seseorang (B2) dengan bahasa yang telah dimiliki lebih dahulu (Bl) dikenal dengan metode linguistik kontrastif.<br />Dasar utama analisis kontrastif adalah teori belajar ilmu jiwa tingkah laku. Oleh sebab itu terlebih dahulu perlu dipahami teori bahasa yang berdasarkan tingkah laku (behaviorisme) ini. Ada dua butir yang merupakan inti teori belajar ilmu jiwa tingkah laku, yaitu (1) kebiasaan dan (2) kesalahan. Yang dimaksud dengan kebiasaan dan kesalahan adalah kebiasaan berbahasa dan kesalahan berbahasa.<br />Aliran psikologi tingkah laku menjelaskan pengertian tingkah laku melalui aksi dan reaksi, atau rangsangan yang menghasikan tanggapan (respon). Rangsangan yang berbeda menghasilkan tanggapan yang berbeda pula. Hubungan antara rangsangan tertentu dengan tanggapan tertentu menghasilkan kebiasaan. Kebiasaan ini dapat terjadi dengan cara peniruan dan penguatan.<br />Ada dua karakteristik kebiasaan. Pertama kebiasaan yang dapat diamati. Kebiasaan ini berupa kegiatan atau aktivitas yang dapat dilihat atau diraba. Kedua, kebiasaan yang bersifat mekanis atau otomatis. Kebiasaan ini terjadi secara spontan, tanpa disadari dan sukar dihilangkan. Di dalam pemerolehan Bl, anak-anak menguasai bahasa ibunya melalui peniruan. Peniruan ini biasanya diikuti oleh pujian atau perbaikan. Melalui kegiatan menirukan, anak-anak mengembangkan pengetahuannya mengenai struktur dan pola bahasa ibunya. Peristiwa semacam ini terjadi pula dalam pemerolehan B2. Melalui peniruan dan penguatan para siswa mengidentifikasi hubungan antara rangsangan dan tanggapan yang merupakan kebiasaan dalam ber-B2.<br />Berdasarkan teori belajar ilmu jiwa tingkah laku yang mendominasi analisis kontrastif, kesalahan berbahasa terjadi adanya transfer negatif. Istilah transfer negatif diartikan dengan penggunaan sistem Bl dalam ber-B2, padahal sistem itu berbeda dalam B2. Kesalahan semacam inilah yang menyebabkan proses belajar B2 gagal. Oleh sebab itu, kesalahan konsep semacam ini harus dihilangkan agar proses belajar berbahasa sesuai dengan yang dikehendaki dan pengajaran B2 berhasil.<br />Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab kesalahan berbahasa bersumber pada transfer negatif. Transfer negatif ini sendiri terjadi sebagai akibat penggunaan sistem yang berbeda antara Bl dan B2. Perbedaan sistem bahasa itu dapat diidentifikasi melalui Bl dengan B2. Kesalahan berbahasa dapat dihilangkan dengan berbagai cara, antara lain menanamkan kebiasaan ber-B2 melalui latihan, pengulangan, dan penguatan.<br />Dengan demikian, analisis kontrastif dapat diartikan sebagai prosedur kerja. la merupakan aktivitas atau kegiatan yang mencoba membandingkan struktur Bl dengan struktur B2 untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan di antara kedua bahasa<br />Hipotesis Analisis Kontrastif<br />Setelah Anda memahami apa sebenarnya analisis kontrastif, Anda akan memasuki pembicaraan hipotesis analisis kontrastif. Hipotesis diartikan sebagai dugaan atau jawaban sementara terhadap suatu persoalan. Nah, persoalan yang kita hadapi sekarang adalah persoalan analisis kontrastif. Agar kita mendapatkan gambaran apa dan bagaimana hipotesis analisis kontrastif, marilah kita perhatikan uraian di bawah ini.<br />Perbandmgan antara struktur Bl dengan 82 yang akan dipelajan oleh para siswa menghasilkan identifikasi perbedaan antara kedua bahasa tersebut. Perbedaan itu merupakan dasar untuk memperkirakan butir-butir yang menimbulkan kesulitan belajar bahasa dan kesalahan berbahasa yang dihadapi oleh para siswa. Berpijak dari timbulnya kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa inilah muncul bipotesis analisis kontrastif.<br />Ada dua jenis hipotesis analisis kontrastif. Pertama, hipotesis bentuk lemah. Hipotesis ini menyatakan bahwa analisis kontrastif hanyalah bersifat diagnostik Karena itu analisis kontrastif dan analisis kesalahan harus sating melengkapi. Analisis kontrastif menetapkan kesalahan mana termasuk ke dalam kategori yang disebabkan oleh perbedaan Bl dan B2. Analisis kesalahan berbahasa mengidentifikasi kesalahan di dalam korpus bahasa siswa. Kedua, hipotesis bentuk kuat. Hipotesis ini menyatakan bahwa semua kesalahan dalam B2 dapat diramalkan dengan mengidentifikasi perbedaan antara Bl dengan B2 yang dipelajan oleh siswa. Hipotesis ini didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut.<br />(1) Penyebab utama kesulitan belajar dan kesalahan dalam pengajaran B2 adalah interferensi Bl (bahasa ibu).<br />(2) Kesulitan belajar itu sebagian atau seluruhnya disebabkan oleh perbedaan antara Bl dan B2.<br />(3) Semakm besar perbedaan antara Bl dengan 62 semakin besar kesulitan belajar yang timbul.<br />(4) Hasil perbandingan antara Bl dan B2 diperlukan untuk meramalkan kesulitan dan kesalahan yang akan terjadi dalam belajar B2.<br />(5) Unsur-unsur yang serupa antara Bl dan B2 akan menimbulkan kesukaran bagi siswa.<br />(6) Bahan pengajaran dapat disusun secara tepat dengan membandingkan kedua bahasa itu, sehingga apa yang harus dipelajan siswa merupakan sejumlah perbedaan yang disusun berdasarkan analisis kontrastif.<br /><br />Ada tiga sumber yang digunakan sebagai penguat hipotesis analisis kontrastif, yakni (1) pengalaman guru B2, (2) telaah kontak bahasa di dalam situasi kedwibahasaan, (3) dan teori belajar.<br /><br />Pengalaman Guru B2<br /><br />Setiap guru B2 yang sudah berpengalaman pasti mengetahui bahwa kesalahan yang cukup besar dan selalu berulang dapat dipulangkan kembali pada Bl siswa. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat berupa pelafalan, susunan kata, pembentukan kata, susunan kalimat. dan sebagainya. Sebagai contbh anak Jawa (Bl bahasa Jawa) berbahasa Indonesia (B2). Kesalahan-kesalahan itu akan tampak dengan jelas pada contoh kalimat di bawah ini.<br />Lha, ini sing marahi. (Na, inilah penyebabnya).<br />Kari sebentar wae Iho, Pak?! (Sebentar lagi, Pak!).<br />Ini rumahnya siapa? (Ini rumah siapa?)<br />Ali duduk di kursi muka sendiri. (Ali duduk di kursi paling depan).<br />Telaah Kontak Bahasa di dalam Situasi Kedwibahasaan<br />Dwibahasawan yang mengenal dua bahasa atau lebih merupakan wadah tempat terjadinya kontak bahasa. Semakin besar kuantitas dwibahasawan semakin intensif pula kontak antara dua bahasa atau lebih itu. Kontak bahasa mengakibatkan timbulnya fenomena saling mempengaruhi. Bila seorang dwibahasawan lebih menguasai Bl, maka Bl itulah yang banyak mempengaruhi B2. Demikian pula sebaliknya.<br /><br />Teori Belajar<br />Teori belajar terutama teori transfer sangat mendukung hipotesis analisis kontrastif. Transfer adalah suatu proses yang melukiskan penggunaan tingkah laku yang telah dipelajari secara otomatis dan spontan dalam usaha memberikan balikan baru. Transfer dapat bersifat negatif dan dapat pula bersifat positif. Transfer negatif terjadi jika tingkah laku yang telah dipelajari berbeda dengan tingkah laku yang sedang dipelajari. Sebaliknya, transfer positif terjadi apabila pengalaman masa lalu sesuai dengan tingkah laku yang sedang dipelajari.<br />Jika pengertian kedua macam transfer itu dikaitkan dengan pengajaran bahasa, transfer negatif terjadi kalau sistem Bl yang telah dikuasai digunakan di dalam B2. Padahal sistem kedua bahasa itu berbeda. Sebaliknya, jika sistem itu sama maka terjadi transfer positif. Transfer negatif dalam pemerolehan bahasa kedua (B2) disebut interferensi. Interferensi menimbulkan penyimpangan. Penyimpangan menimbulkan kesalahan berbahasa.<br /><br />Manfaat Analisis Konstrastif<br />Apakah analisis kontrastif dapat menyelesaikan masalah-masalah kesulitan belajar siswa dalam hal belajar bahasa? Jawaban yang paling mudah adalah belum tentu. Sebagai suatu ilmu analisis kontrastif mempunyai kelemahan-kelemahan di samping kelebihannya. Bertolak dari kelebihannya, bagaimanapun analisis kontrastif tetap memiliki manfaat. Manfaat yang dimaksud sebagai berikut.<br />(1) Analisis kontrastif dapat membantu mengatasi kesulitan siswa dalam proes belajar B2.<br />(2) Dengan metode analisis kontrastif akan ditemukan butir-butir kesulitan belajar siswa.<br />Pembuktian kesulitan akan diperoleh melalui kegiatan belajar secara teratur di kelas<br />Sumber Buku Analisis Kesalahan Bahasa Karya Leo Idra Ardiana dan Yonohudiyonoopenmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-46607762426297209812008-09-03T14:19:00.001+07:002008-09-03T14:19:48.138+07:00beasiswa info beasiswa infoINFORMASI BEA SISWA<br /><br />ALAMAT SITUS YANG MEMBERIKAN BEA SISWA<br /><br />http://www.kbri-berlin.de/<br />www.austembjak.or.id/aei<br />http://www.adsjakarta.or.id/<br />http://www.moreton.tafe.net/<br />http://www.satukampus.com/<br />http://www.wartburg.edu/<br />http://www.fordfound.org/<br />www.depaul.edu/kellstadt<br />http://www.id.aiesec.org/<br />http://www.dikti.org/<br />http://www.pirac.or.id/<br />http://www.akademianet.com/<br />http://www.pendidikan.net/<br />http://www.gn-ota.or.id/<br />http://www.habibie.net/<br />http://www.kamalindo.com/<br />http://www.superbeasiswa.org/<br />http://www.glorianet.org/<br />http://www.scholarship.com/<br />www.usembassyjakarta.org/aminef<br />http://www.finaid.com/<br />http://www.ausaid.gov.au/<br /><br />U DAFTAR LEMBAGA DALAM NEGERI PEMBERI BEASISWA<br />1. YAYASAN SUPER SEMAR<br />Gedung Granadi (Lantai Empat), Jl. H.R. Rasunan Said Kav. 8-9 Jakarta 12950 Telp. (021) 5221745 – 5221750<br />2. PT. DJARUM KUDUS<br />Jl. Jendral Achmad Yani 28 Kudus, Jawa Tengah<br />Telp. (0291) 21901, faks 21809<br />3. YAYASAN DHARMA BHAKTI PERTIWI<br />Jl. Cendana 19 Jakarta 10350<br />Telp. (021) 3106538<br />4. YAYASAN KARTIKA EKA PAKSI<br />Komplek Balai Kartini, Jl. Jendral Gatot Subroto 37, Jakarta Telp. (021) 525543<br />5. YAYASAN DHARMA BHAKTI KALBE<br />P.O. Box 3105 Jakarta, telp. (021) 4892808<br />6. PT. WIJAYA KARYA<br />Jl. D.I. Panjaitan Kav. 9 Jakarta Timur, telp. (021) 8192802<br />7. YAYASAN DANA PENSIUN – PT. INDOCEMENT TUNGGAL PERKASA<br />Gedung Indocement, Jl. Mayor oking, Citeureup, Bogor, telp. (0251) 3100011<br />8. YAYASAN TIFICO<br />Mid Plaza Lantai 5, Jl. Jend. Sudirman Kav. 10 – 11 Jakarta 10220 P.O. Box 3350 Jakarta, telp. (021) 5706268 - 5706208<br />9. PT. UNILEVER INDONESIA<br />Jl. Gatot Subroto Kav. 15 Jakarta 12930, telp. (021) 5262112<br />10. YAYASAN TOYOTA – ASTRA<br />Jl. Yos Sudarso, Sunter 1 Jakarta 14350 P.O. Box 1420 Jakarta 10014, telp. (021) 4301135 - 4302337<br />11. YAYASAN BEASISWA BIMANTARA<br />Gedung Bimantara Lt. V, Jl. Kebon Sirih No. 17 – 19 Jakarta Pusat 10340<br />12. YAYASAN BEASISWA WITTEVEEN-DEKKER INDONESIA<br />Jl. Tanah Abang III No. 31 Jakarta Pusat 10120<br />13. YAYASAN ILMU-ILMU SOSIAL<br />Jl. Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta Pusat 10120, telp. (021) 384-2506, 386-5443, faks. (021) 384-2506 kontak personal: Dr. Selo Sumarjan<br />14. VAN DEVENTER MAAS INDONESIA<br />Jl. Teuku Umar No. 42 Jakarta Pusat 10350 kontak personal: Ny. Johana Sunarti Nasution<br />15. OVERSEAS TRAINING OF FICE<br />Jl. Proklamasi No. 70 Jakarta Pusat 10320, telp. (021) 331-234, 331-447, 331-465, 331-481, 331-198<br />16. BEASISWA ORBIT – ICMI<br />Gedung ICMI, Jl. Kebon Sirih No. 85 Jakarta Pusat 10340 Telp. (021) 390-4534/38, 391-9443, 316-8145 ext. 18 faks (021) 391-9443<br />Kontak Person: DR. Marwah Daud Ibrahim<br /><br />17. BEASISWA GN-OTA<br />Jl. Kebon Sirih No. 25 Jakarta Pusat 10340 Telp. (021) 390-0900 faks (021) 390-2988<br />Kontak Person: Ny. Halimah Bambang Triatmojo<br />18. THE FORD FOUNDATION (SOUTH EAST ASIA REGION)<br />d/a S. Widjojo Center Lt. 11 Jl. Jend. Sudirman No. 71 Jakarta Telp. (021) 252-4073<br />19. THE USAID, OFFICE OF EDUCATION & HUMAN RESOURCE AMERICAN EMBASSY<br />D/a Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jl. Medan Jakarta Selatan No. 4 Jakarta Pusat faks. (021) 380-6694<br />Kontak Person: Mr. Stephen Grant (Chief)<br />20. BEASISIWA PENDIDIKAN HARIAN KOMPAS<br />Jl. Palmerah Selatan No. 26-28 Jakarta 10270 Telp. (021) 534-7710, 534-7720, 534-7730,530-2200 faks. (021) 548-6085<br />Kontak Person: Bapak P. Swantoro (Ketua Tim Bantuan Pendidikan Kompas-Gramedia)<br />21. AUSTRALIAN AID<br />City Bank Lt. VI, Jl. M.H. Thamrin No. 35 Jakarta<br />22. THE DIRECTOR BRITISH COUNCIL<br />S. Widjiji Center, Jl. Jend. Sudirman No. 71 Jakarta Telp. (021) 520-6222 faks. (021) 522-3106<br />23. BEASISWA MONBUSHO PEMERINTAH JEPANG<br />D/a Bagian Pendidikan Kedutaan Besar Jepang, Jl. M.H. Thamrin No. 24 Jakarta Pusat<br />24. WORLD UNIVERSITY SERVICE OF CANADA<br />Jl. Windya Chandra VIII/25 Jakarta Selatan<br />25. AMERICAN INDONESIA EXCHANGE FOUNDATION<br />Wisma Metropolitan II Lt. 3, Jl. Jend. Sudirman Kav. 31 Jakarta<br />26. IDB MERIT SCHOLARSHIP PROGRAM<br />Gedung BPP Teknologi Lt. I, Jl. M.H. Thamrin No. 8 Jakarta Pusat 10340 Telp. (021) 304-2618 faks. (021) 320-317<br />27. AUSTRALIAN EDUCATION CENTER<br />Wisma Budi Lt. 5, Jl. H.R. Rasuna Said kav. C-6 Kuningan Jakarta 12990 Telp. (021) 252-3291, 525-6676 faks. (021) 522-4343<br />28. CIDA GTP EDUCATION RESOURCE CENTER<br />Jl. Borobudur No. 6 Jakarta Pusat 19320 Telp. (021) 858-3726 faks. (021) 310-7481<br />Kontak Person: Mrs. Line Dube<br />29. CIDA FIELD DIRECTOR FOR INDONESIA<br />D/a Kedutaan Besar Kanada Wisma Metropolitan I Flat V, Jl. Jend. Sudirman Kav. 29 Jakarta<br />Kontak Person: Mr. Yuon Marsalais<br />30. BEASISWA PENDIDIKAN TINGGI DEPDIKBUD RI<br />Jl. Veteran No. 18 Jakarta Pusat Telp. (021) 386-0611 faks. (021) 384-6884<br />Kontak Person: Bapak Moh. Widodo Gondowardjojo<br />31. KEPALA BIRO KERJASAMA TEKNIK LUAR NEGERI SEKNEG RI<br />Jl. Veteran No. 18 Jakarta Pusat telp. (021) 386-0611 faks. (021) 384-6884<br />Kontak Person: bapak Moh. Widodo G.<br />32. YAYASAN PEMBINAAN & ASUHAN BUNDA<br />Jl. Teuku Umar No. 42 Jakarta Pusat 10350<br />Kontak Person: Ibu Johana S. Nasution<br />33. YAYASAN BINA INSAN CITA<br />D/a Gedung Insan Cita, Jl. Lafran Pane Depok Jawa Barat<br />Kontak Person: Drs. Karsono<br />34. TUNJANGAN IKATAN DINAS<br />Lantai 15 Sekjen Diknas, Jl. Jend. Sudirman Pintu I Senayan Jekarta 10002 Telp. (021) 5711144, 5711151<br />35. PRESTASI PENINGKATAN AKADEMIK<br />Jl. Jend. Sudirman Pintu I Senayan, Jakarta 10002 Telp. (021) 581436, 581982<br />36. POS DAN GIRO<br />Jl. Kapten Cok Agung Tresna, Denpasar-Bali Telp 226581, 226585<br />37. NUSANTARA<br />Jl. Sumbawa No. 33 Jakarta Pusat 10350 Telp. (021) 637025<br />38. BANK SERI PARTHA<br />Jl. Supratman No. 27X Denpasar 80236 Telp. (0361) 227721-4, 228211-4<br />39. PII<br />Kompleks Pertamina, Simprug Staff Houses R-08, Jl. Sinabung II Terusan Kebayoran Baru, Jakarta 12120 Telp. (021) 7398858, 7392244<br />40. PRASETYA MULYA<br />Jl. Raya Jagorawi Cilandak Jakarta 12430 Telp. (021) 7697275, 7500463<br />41. RATYNI GORDA<br />Jl. Tukad Languan Gang I No. 3 panjer Denpasar Bali Telp. (0361) 225917<br />42. ABRI<br />Mabes ABRI Cilangkap Jakarta Selatan<br />43. JAPAN FOUND<br />Skykine Building 4 th Floor, Jl.M.H.Thamrin No. 9 Jakarta Telp. (021) 3148441, 3148440<br />44. MITSUI KOSGORO<br />Jl. M.H. Thamrin 59 Jakarta Telp. (021) 333909<br />45. PERTAMINA<br />Jl. Medan Merdeka Timur IA, Kotak Pos 1012 JKT 10110 Telp. (021) 3815111, 3816111<br />46. PT. HUMPUS GROUP<br />Wisma Antara Lt. 10 Jl. Merdeka Selatan No. 17 Jakarta telp (021) 3810655<br />47. BANK DAGANG BALI<br />Jl. Gadjah Mada No. I Denpasar Bali<br />48. YAMPI<br />Jl. Harsono R.M. No. 3 Ragunan Pasar Minggu Gedung E Lt. 2 Jakarta Selatan 12550 telp. (021) 7804386 - 7805641<br />49. YAYASAN DHARMAIS<br />Jl. Bangku II No. 7 Jakarta 12720<br />50. YAYASAN SKORPIO<br />Jl. Pramuka 172 Jakarta<br />51. YAYASAN BAKTI PUTRA BANGSA<br />Jl. Yusuf Adiwinata S.H. No. 4 Jakarta 10350<br />52. YAYASAN WANGSA MANGGALA<br />Jl. Polowijan No. 54 Yogyakarta 55132<br />53. YAYASAN TIRASA<br />Jl. Kebon Sirih No. 39 Jakarta 10350<br />54. YAYASAN KESEJAHTERAAN ANAK INDONESIA<br />Jl. Teuku Umar No. 10 Jakarta 10350 PO. Box 6179/MT Jakarta 10310<br />55. YAYASAN TIARA INDAH<br />Jl. Yusuf Adiwinata No. 11 Menteng Jakarta Pusat 10350<br />56. YAYASAN SOSIAL DAN INDONESIA “AL-HUDA”<br />Jl. Maleo Gg. Guyub No. 12 Madiun Telp. (0351) 438273<br /><br /><br />YAYASAN (ORGANISASI) INTERNASIONAL<br />PEMBERI BANTUAN<br /><br />THE JAPAN FOUNDATION<br />Pusat Kebudayaan Jepang<br />Summitmas Tower Lt. 2<br />Jl. Jend. Sudirman Kav. 61-62 Jaksel<br />Telp. (021) 5201266-67, 5255201<br />Fax. (021) 5255159<br />THE ASIA FOUNDATION<br />550 Kearny Street<br />San Francisco CA 94108<br />Telp. (415) 9824640<br />Perwakilan:<br />Jl. Darmawangsa Raya 50<br />Keb. Baru, Jakarta Selatan<br />Telp. (021) 772674, 712683<br />THE ASIA PARTNERSHIP FOR HUMAN DEVELOPMENT<br />P.O. BOX J124<br />Hrickfield Hill Sydney NSW 2000 Australia<br />Telp (02) 2679533, (02) 2679745<br />Perwakilan:<br />c/o. LPPS MAWI<br />Jl. Cut Mutiah 10 Jakarta Pusat<br />Telp. (021) 352354, 356452<br />CANADIAN EMBASSY<br />(NGO SECTION)<br />Wisma Metropolitan<br />Jl. Jend. Sudirman Kav. 29<br />Jakarta Selatan<br />CARE<br />660 First Avenue New York NY 10016<br />The United States of America<br />Perwakilan:<br />Jl. Kyai Maja 65 (Pelbak)<br />Keb. Baru, Jakarta Selatan<br />Telp. (021) 775415<br />CHURCH WORLD SERVICE CWS/DGI<br />P.O. BOX 2354<br />Jl. Salemba Raya 10 Jakarta Pusat<br />Telp. (021) 883751, 884321<br />CUSO<br />151 Slater St. Ontario KIP 5 HS Canada<br />Perwakilan:<br />- 30, Jl. Setia Rasa Bukit Damansara<br />Kuala Lumpur Malaysia<br />- Canadian Embassy<br />Wisma Metropolitan<br />Jl. Jend. Sudirman Kav. 29 Jaksel<br />FOSTER PARENTS PLAN INTERNATIONAL, INC.<br />155, Plan Way Warmick<br />Rhode Island 02887 USA<br />Perwakilan:<br />P.O. BOX 18 Yogyakarta<br />Jl. Joyokaryan 1138<br />FRIEDRICH NAUMANN STIFUNG<br />Baunsheidtrasse 7 D-5300 Bonn<br />West Germany<br />Perwakilan:<br />Jl. S. Parman 81, Slipi Jakarta Barat<br />HELEN KELLER INTERNATIONAL<br />15 West 16 Street New York USA<br />Perwakilan:<br />P.O. BOX 4338 Jakarta<br />KOMRAD ADENAUER FOUNDATION<br />C/o IIs Foslach 1260 D-5205 St. Agustin I<br />Federal Republic of Germany<br />Telp. 02241 – 1961<br />Perwakilan:<br />Jl. Lembang 22 Menteng Jakarta Pusat<br />Telp. (021) 365031<br />HENNEOITE CENTRAL COMMITTEE<br />21 S. 12 St. Akronpennsvivania 17501 USA<br />Perwakilan:<br />Tromol Pos 49/JKU<br />Jakarta Utara<br /><br /><br />DAFTAR ALAMAT YAYASAN PEMBERI BANTUAN BEASISWA DI NUSANTARA<br /><br />1. DKI JAYA<br />Jl. Letjend Suprapto 30 C Jakarta Pusat<br />2. AMERICAN FIELDS SERVICE<br />Jl. Cilosari I/11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12170<br />3. DANA DAKWAH<br />Jl. Kramat Raya 45 Jakarta 10450<br />4. YAYASAN ABDI KARYA (YADIKA)<br />Jl. Kamal Raya, Tegal Alur, Cengkareng Jakarta Barat 1730<br />5. YAYASAN BINA ARTA<br />Jl. Kyai Tapa 1 (Grogol) Jakarta Barat 10330<br />6. YAYASAN BINA EKSKLUSIF<br />Basmar Plaza Lt. 3 Jl. Mampang Prapatan Raya No. 106 jakarta Selatan 12760<br />7. YAYASAN AL-AQIDAH (PENDIDIKAN ILMU AL-QUR’AN)<br />Jl. Gondangdla lama no. 16 Pav. Jakarta, Jakarta Pusat 10330<br />8. YAYASAN BINA PEMBANGUNAN<br />Jl. Tulodong Bawah C11-12 Kebayoran Baru PO BOX 4521/KBY Jakarta 10245<br />9. YAYASAN BHAKTI PUTRA BANGSA<br />Jl. Yusuf Adiwinata, SH. No. 4 Jakarta 10350<br />10. YAYASAN CITRA DANTA<br />PO BOX 1025/MT Jakarta 10310<br />11. YAYASAN DANA BHAKTI KESEJAHTERAAN SOSIAL<br />Jl. Tanah Lawang 2 Jakarta<br />12. YAYASAN DHARMAIS<br />Jl. Bangka II No. 7 Jakarta 12720<br />13. YAYASAN DANA MITRA HUKUM<br />Jl. Bogor Lama No. 18 Jakarta Selatan 12970<br />14. YAYASAN DOMPET DHUAFA REPUBLIKA<br />Jl. Ir. H. Djuanda No. 42 Rempoa Ciputat Jakarta 15412<br />Jl. Buncit Raya no. 37 jakarta Selatan 12510<br />15. YAYASAN FAJAR BINA BHAKTI<br />Jl. Prof. Moh. Yamin 50 jakarta Pusat 10220<br />16. YAYASAN ILMU-ILMU SOSIAL<br />Jl. Ir. H. Djuanda No. 36 jakarta pusat 10120<br />17. YAYASAN JANTUNG INDONESIA<br />Jl. Teuku Umar No. 5 jakarta Pusat 10350<br />18. YAYASAN JAYA SEJAHTERA KODAM JAYA<br />Jl. Metraman Jaya No. 88 jakarta timur 13150<br />19. KANTOR PUSAT UNILEVER INDONESIA<br />Gedung Menara Duta Jl. HR Rasun Said Kav. 8-9 Jakarta 12920<br />20. YAYASAN KAMPUS TERCINTA<br />Jl. Raya Lenteng Agung No. 32 Jakarta Selatan 12620<br />21. YAYASAN KARTIKA EKA PAKSI<br />Jl. Gatot Subroto No. 37 jakarta Selatan 12950<br />22. YAYASAN KASIH SEJAHTERA<br />Jl. Gading raya No. 25A Rawamangun - jakarta timur 13230<br />23. YAYASAN KEMANUSIAAN BAKTI KARTINI<br />Jl. Pilo Kambing No. 9 Kawasan Industri Pulo Gadung Jakarta Timur<br />24. YAYASAN KESEJAHTERAAN ANAK INDONESIA<br />Jl. Teuku Umar No. 10 Jakarta 10350 PO BOX 6179/MT Jakarta 10310<br />25. YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA<br />Jl. Pembangunan I/I Duren Tiga – Jakarta Selatan 12760<br />26. YAYASAN LENTERA KEBAJIKAN (YLK)<br />Wisma Staco Lt. 10 Jl. Cassablanca kav. 18 Jakarta 12970<br />27. YAYASAN LORNA WISHTON<br />Loma Wiston Study Center, 3rd floor, Kanindo Plaza Jl. Gatot Subroto Kav. 23 Jakarta<br />28. YAYASAN LPK INDONESIA – AMERICA<br />Pusat Pendidikan Komputer Indonesia – Amerika Jl. Sungai Sambas Raya No. 12 Kebayoran Baru – Jakarta Selatan 12130<br />29. YAYASAN MANAJEMEN BISNIS INDONESIA<br />Jl. Panglima Polim Raya 49 Jakarta Selatan<br />30. YAYASAN MANGROVE<br />Jl. MT Haryono Kav. 50-51 Jakarta 10420<br />31. YAYASAN MAS AGUNG (PUSAT INFORMASI ISLAM)<br />Jl. Kwitang 8 jakarta 10420<br />32. YAYASAN MENARA BHAKTI<br />Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kebun Jeruk Jakarta Barat<br />33. YAYASAN MITRA DANA BAPEPAM<br />Gedung Garuda Lt. 10 Jl. Medan Merdeka Selatan No. 135 jakarta 10110<br />34. YAYASAN NURRACHMAD<br />Jl. Kayumanis Lama I No. 18 jakarta timur 13140<br />35. YAYASAN PATRISIA<br />Jl. Kramat Raya 148 Jakarta Pusat 10430<br />36. YAYASAN PEMBINA MODE INDONESIA<br />Jl. Hayam Wuruk No. 30 jakarta pusat 10120<br />37. YAYASAN PEMBINA PENGEMUDI INDONESIA<br />Jl. Rawasari Selatan No. 48 Jakarta 10570<br />38. YAYASAN PEMUDA SEMBILAN WALI<br />Jl. Masjid II/9A Melayu Besar Tebet Jakarta Selatan<br />39. YAYASAN PENDIDIKAN ADI UTAMA KARYA<br />Jl. Daan Mogot Jakarta barat<br />40. YAYASAN PENDIDIKAN AS-SYABAD<br />Jl. Pembina RT 015 RW 02 Cip. Muara jakarta 13420<br />41. YAYASAN PENDIDIKAN BOROBUDUR<br />Jl. Raya Kali Malang No. 1 jakarta<br />42. YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM TAHDZIBUL NUFUS<br />Jl. Raya kamal no. 45 Tegal Alur Cengkareng jakarta barat 11730<br />43. YPP ADE IRMA SURYANI NASUTION<br />Jl. Tebet barat IV Rawa – Bilal Tebet jakarta selatan 12810<br />44. YAYASAN PENDIDIKAN PERBANAS<br />Jl. Perbanas Karet Kuningan Setia Budi – Jakarta 12940<br />45. YAYASAN PENDIDIKAN TRIDAYA<br />Jl. Pangkalan Jati II/19 Kali Malang – Jakarta Timur 13620<br />46. YAYASAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT<br />Jl. Wijaya Timur Raya No. 18 jakarta 12170<br />47. YAYASAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI INDONESIA<br />Jl. Wolter Monginsidi 12 – 14 kebayoran Baru – Jakarta Selatan 12160<br />48. YAYASAN PERGURUAN “CIKINI”<br />Jl. Cikin Raya 74 – 76 Jakarta Pusat 10330<br />49. YAYASAN PERGURUAN ‘JAGAKARSA’<br />Jl. Letjend. TB Simatupang No. 152 Tanjung Barat – Jakarta<br />50. YAYASAN PUSAT PENGKAJIAN HUKUM<br />Binamulya I, 5th Floor Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 10 Jakarta 12950<br />51. YAYASAN REIKA’S ATELIER<br />Jl. Buntu Gambir No. 10<br />Jakarta Pusat 10110<br />52. YAYASAN RUMAH GADANG<br />Jl. Kayu Putih Rawamangun Jaktim<br />Jakarta 13210<br />53. YAYASAN SCORPIO (YASKO)<br />Jl. Pramuka 172 Jakarta<br />54. YAYASAN SUPER SEMAR<br />Gedung Garnadi, Lt. IV<br />Jl. HR Rasuna Said Kav. 8-9 Kuningan<br />Jakarta Selatan 12950<br />55. YAYASAN STUDI MASYARAKAT (YSM)<br />Kompleks Kejaksaan Agung Blok F/13<br />Jl. Ragunan – Pasar Minggu Jakarta 12520<br />P.O. BOX 12520/JATCG<br />Jakarta 12520<br />56. YAYASAN SWARA MAHARDIKA<br />Jl. Cikini II/9 Jaksel 10330<br />57. YAYASAN TETANA DUTA KONSULINDO RESEACH CENTER<br />Wisma Bank Darmala<br />Jl. Jend. Sudirman Kav. 28 Lt. 18<br />Jakarta 10210<br />58. YAYASAN TIARA INDAH<br />Jl. Yusuf Adiwinata No. 11 Menteng<br />Jakarta Pusat 10350<br />59. YAYASAN TIFASA<br />Jl. Kebon Sirih No. 39 Jakarta 10350<br />60. YAYASAN TRIKORA<br />Jl. Kebon Sirih No. 67 – 69 Jakarta 10340<br />61. YAYASAN TOYOTA/ASTRA<br />Jl. Sudirman No. 5 Jakarta 10220<br />62. YAYASAN TARUMANAGARA<br />Jl. Letjend. S. Parman No. 1 Jakarta 11440<br />63. YAYASAN THE GHANDI MEMORIAL SCHOOL<br />Jl. Pasar Baru No. 10 jakarta 10710<br />64. YAYASAN UKHUWAH ISLAMIAH<br />Jl. Tebah III/3 Jaksel 12120<br />65. YAYASAN WITTEVEEN DEKKER<br />Jl. Buncit Raya No. 61 Jaksel 12760<br />66. YAYASAN WANGSA MANGGALA<br />Jl. Polowijan No. 64 Yogyakarta 55132<br />68. YAYASAN ASSALAM<br />Jl. Yudha No. 1 Bandung 40151<br />69. YAYASAN KALAM HIDUP<br />Jl. Naripan 67 Bandung 40112<br />70. YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AL-HADI<br />Jl. A. Yani km 7 Bandung<br />71. YAYASAN PUSAT KEBUDAYAAN<br />Jl. Naripan Bandung<br />72. YAYASAN SURYANA<br />Jl. Jatmika Lama 74 Bandung 40231<br />73. YAYASAN WIDYA CAKRA PINAYUNGAN<br />Jl. Jakarta 28 Bandung 40272<br />74. PUSAT ISLAM (PERSIS)<br />Jl. Pajagalan 14 Bandung 40272<br />75. YAYASAN PENDIDIKAN TAMAN ISLAM<br />Jl. KH Abdul Hamid km 4<br />Cibungbulang – Bogor 16630<br />76. YAYASAN PRODUKTIVITAS NASIONAL<br />Jl. Raya Pasar Minggu Wisma Harapan No. 2H Perdatam, Jakarta Selatan 12780<br />77. YAYASAN PROMOSI JAKARTA<br />Gedung Bank Pasifik, Lt. 4, Jl. Jend. Sudirman Kav. 7-8 jakarta 10270<br />78. YAYASAN PENGEMBANGAN BISNIS INDONESIA<br />PO BOX 119/JKT Jakarta 11031<br />79. YAYASAN SURVIVAL<br />Gd. Kompas Lt. 6 Metro Duta III No. 2-3 Pondok Duta Dua Bhakti Jaya – Depok bogor 16418<br />80. YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM “AL-ARCOM”<br />Jl. Margonda Raya No. 50 Depok 16424<br />81. YAYASAN BIN INSANI<br />Jl. Emas Raya No. 17 Bukit Karawaci Baru II Tanggerang 15116<br />82. YAYASAN ISLAMIC COLLEGE<br />P.O. BOX 87 Tanggerang 15001<br />83. YAYASAN HALAMATIL QUR’AN<br />Jl. K.H. Mas Mansyur No. 87 Pekalongan 51117<br />84. YAYASAN AMALAN UMAT ISLAM<br />Jl. Bango 41 Bulumanis Lor Mergoyoso Pati 59154<br />85. PENGELOLA AMALIAH PEGAWAI JASA RAHARJA<br />Jl. Imam Bonjol 151 Semarang 10450<br />86. YAYASA PENDIDIKAN NASIONAL PENUNJANG PELITA<br />Jl. Terusan Candi Kalasan Blimbing – Malang 65142<br />87. DOMPET LPSP<br />Jl. Karangrejo XV/21 Surabaya 60243<br />88. YAYASAN AKADEMI PARAPANCA<br />Jl. Madokan Semampir AWS No. 5 Surabaya<br />89. YAYASAN ALOON ALOON BUNDER NORMALAN<br />Jl. Pemuda No. 15 Surabaya 6027<br />90. YAYASAN BEASISWA AL-ICHSAN<br />Jl. Jakarta No. 55 Surabaya 60164<br />91. YAYASAN BHAKTI PERSATUAN<br />Jl. Kertajaya Indah Timur 31 Surabaya 60116<br />92. YAYASAN HARAPAN JAYA<br />Jl. Ngagel Kebon Sari II/36 Surabaya 601275<br />93. YAYASAN IPIEMS<br />Jl. Menur 125 Surabaya 60116<br />94. YAYASAN KAS PEMBANGUNAN KODYA SURABAYA<br />Jl. Sedepmalem No. 9.11 Surabaya 60272<br />95. YAYASAN KRISTEN G. BOEN<br />Jl. Nias No. 20 Surabaya 60281<br />96. YAYASAN LIMA BHAKTI<br />Jl. Bunguran 31-33 Surabaya<br />97. YAYASAN MEGA CONSELING<br />Jl. Lebak Jaya Utara IIIA/2 Surabaya 60134<br />98. YAYASAN PERGURUAN ISLAM AL-USTADZ UMAR BARADJA<br />Jl. Dana Karya I No. 63 Surabaya 60151<br />99. YAYASAN PERGURUAN 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA<br />Jl. Semolowaru No. 45 Surabaya 60119<br />100. YAYASAN PUSAT BHAKTI LUHUR<br />Jl. Galunggung 3 Surabaya<br />101. YAYASAN SAHABAT SINOMAN INDONESIA<br />Jl. Sidutopo Kidul No. 61 Surabaya 60152<br />102. YAYASAN SURABAYA FORUM<br />Jl. Klampis Ngasem No. 117 Surabaya 60917<br />103. YAYASAN WIDYA MANDALA PUSAT SURABAYA<br />Universitas Katolik Widya Mandala<br />Jl. Dinoyo 42-44 Surabaya 60265<br />104. YAYASAN BHKATI BANUA<br />Jl. Dei Shinta 9 Banjar Masin 7023<br />105. YAYASAN MULIA SEJAHTERA<br />Jl. Veteran Banjar Masin Kalsel<br />106. YAYASAN PUPUK KALTIM<br />Bontang Utara Kaltim 75386<br />107. YAYASAN KARYA DHARMA<br />Jl. G. Bawa Karaeng Ujung Pandang 90115<br /><br />DAFTAR ALAMAT PEMBERI BEA SISWA KE LUAR NEGERI<br /><br />1. Information Center, Association of International Education, Japan<br />4-5-29 Komaba, Meguro-Ku, Tokyo 153<br />www.ai.ej.or.jp<br />2. Yayasan Bina Antar Budaya<br />Jl. Cibulan 11 Jakarta 12170<br />The British Council<br />S. Widjojo Center, Jl. Jend. Sudirman 71 Jakarta 12190<br />3. Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga<br />Jl. Gerbang Pemuda Senayan Jakarta<br />4. DAAD Jakarta Office<br />Jl. Jend. Sudirman Kav. 61-62, Summitmas I Tower 19 Jakarta 12190<br />5. Melbourne Scholarships Office<br />The University of Melbourne<br />ParkVille Victoria 3052 Australia<br />www.mbs.unimelb.edu.au<br />6. Oxford Brookes University<br />Gips Lane, Headington, Oxford OX3 OBP UK<br />www.brookes.ac.uk<br />7. Mrs. Louise Ellis<br />Admission Department, Cranfield University<br />Silsoe, BEDS, MK45 4DT UK<br />8. Mrs. Kathryn James, Admission Manager<br />44 Gornwell Road, Hove East Sussex BN3 3ER UK<br />9. The Australian Agency for International Development<br />www.austembjak.or.id<br />10. Full Bright<br />Yayasan Aminef<br />C/o US Information Service Embassy of USA<br />Jl. Medan Merdeka Selatan 4 Jakarta 10110<br />11. East-West Center<br />Ibu Irma S.<br />East-West Center Representative<br />Jl. Medan Merdeka Selatan 4 Jakarta 10110<br />12. EisenHower Exchange Fellowship<br />US Information Service Cultural Section<br />Embassy of the USA<br />Jl. Medan Merdeka Selatan 4 Jakarta 10110<br />13. E M S S<br />International Development Program of Australian University and Colleges<br />Setiabudhi 2 Building 2nd floor, suite 209, Jl. Rasuna Said Kuningan Jakarta 12920<br />14. Overseas Training Office<br />Jl. Proklamasi 7 Jakarta 10320 Telp. (021) 331234, 331447<br />15. Australian Development Assistance Burean 6th Floor City Bank<br />Jl. M.H. Thamrin No. 35 Jakarta<br />16. World University Service of Canada<br />Jl. Widya Chandra VIII/25 Jakarta<br />17. AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation)<br />Gedung balai Pustaka lantai 6, Jl. Gunung Sahari Raya No. 4 Jakarta 10720 Telp. (62-21) 345-2016 faks. (62-21) 345-2050<br />18. Secretarian IDB Merit Scholarship Program<br />Gedung BPP Teknologi Lantai 1, Jl. M.H. Thamrin No. 8 Jakarta Telp. (021) 322238<br />19. AMCHAM (American Chamber of Commence in Indonesia World Trade Center) 11th Floor<br />Jl. Jend. Sudirman Kav. 29-31 Jakarta 12990 Indonesia Telp. (62-21) 5262860 faks. (62-21) 526-2861<br />E-mail: Amchan Indonesian@ibm.netopenmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-54733723054023744942008-09-01T14:23:00.000+07:002008-09-03T13:55:27.838+07:00Bahasa Sunda Tidak "Komersial" di Mata Generasi Mudanya<script src="http://kumpulblogger.com/dam.php?b=8407" type="text/javascript"><br /> </script>Bahasa Sunda Tidak "Komersial" di Mata Generasi Mudanya<br /><br />Bandung, Kompas - Di kalangan generasi muda Sunda -- populasi etnis ini berada di wilayah Jawa Barat -- bahasa Sunda dianggap tidak "komersial" menghadapi zaman globalisasi dewasa ini. Karena itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat mengalokasikan dana sekitar Rp 150 juta khusus untuk memopulerkan kembali bahasa Sunda. Caranya, antara lain, dengan mengadakan lomba mengarang, berpidato, menulis lirik, dan baca naskah dalam bahasa Sunda.<br /><br />Demikian ungkap Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jabar Ijudin Budhyana kepada wartawan di Bandung, Kamis (31/3).<br /><br />Dia mengaku tidak muluk-muluk menetapkan target untuk program ini. "Yang penting, orang sadar dulu bahwa berbahasa Sunda itu penting," ujar Ijudin Budhyana.<br /><br />Menyadari makin lunturnya penggunaan bahasa Sunda, Disbudpar Jabar mencanangkan program penggunaan bahasa Sunda sejak 21 Februari 2005. Program ini selaras dengan program Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) yang dicanangkan di Paris pada 21 Februari 2005, yang merupakan Hari Bahasa Ibu Internasional.<br /><br />"Bahasa ibu harus dilestarikan, dikembangkan, dan dimanfaatkan. Menurut penelitian UNESCO, bahasa ibu berfungsi sebagai alat rekam nilai sejarah dan kearifan budaya lokal," ujar Budhyana.<br /><br />Budhyana menyatakan, nilai kearifan budaya lokal tampak dari naskah kuno Sunda. Misalnya, dalam lirik tembang Sunda naskah Sangkakala Padjajaran diperlihatkan bahwa orang Sunda hidup dengan alam.<br /><br />"Mipit kudu amit"<br /><br />Untuk menunjukkan prinsip ini, demikian Budhyana, orang Sunda memiliki ungkapan mipit kudu amit, ngala kudu seja atau menebang harus mohon maaf, mengambil harus meminta. Ini menunjukkan betapa sopannya orang Sunda dalam menghormati alam.<br /><br />Sayangnya, dari 140 naskah kuno yang menyimpan nilai-nilai yang dianut orang Sunda, baru 10 persen yang bisa diterjemahkan dalam bahasa Sunda kini maupun bahasa Indonesia.<br /><br />Angka ini harus dianggap cukup sebab jangankan bahasa Sunda kuno, bahasa Sunda sehari-hari pun sudah mulai jarang digunakan masyarakat Sunda, terutama yang tinggal di kota.<br /><br />Menurut Budhyana, generasi muda Sunda menilai bahasa Sunda kurang "komersial" di dunia global sekarang.<br /><br />"Generasi muda sekarang lebih mengutamakan untuk memperdalam bahasa asing yang bisa "dikomersialkan" guna mendukung kariernya, misalnya bahasa Inggris$<" ujar Budhyana.<br /><br />Melihat keadaan itu, pihaknya mengusulkan melalui Dinas Pendidikan agar bahasa Sunda yang diajarkan di sekolah jangan yang rumit, seperti menyangkut tingkatan bahasa.<br /><br />"Yang mudah-mudah saja sehingga bisa digunakan dalam percakapan sehari-hari," ujar Budhyana seraya mengatakan, dari seluruh sekolah yang ada di Jabar, baru 40 persen yang mengajarkan bahasa Sunda.<br /><br />Tidak populer<br /><br />Wahyu Wibisana (71), Sekretaris Dewan Pendiri Lembaga Bahasa Jeung Sastra Sunda, mengemukakan, untuk menyatakan "saya", kata kuring masih digunakan dalam bahasa tulisan, dan simkuring masih dipakai dalam pidato bahasa Sunda. Namun, dalam percakapan sehari-hari dua kata ini sudah jarang digunakan.<br /><br />Saat ini kalau seseorang ingin menyebutkan "saya" dengan kata abdi terasa terlalu halus dan berjarak dengan lawan bicara, kecuali dengan orang yang lebih tua. Sebaliknya, memakai kata dewek pun terasa kasar dan kurang sopan. Apalagi menggunakan aing.<br /><br />Menggunakan kata kuring untuk teman sebaya pun sudah tidak populer, apalagi menyebut diri simkuring, rasanya makin kuno saja. Sudah makin tidak populernya kata ganti untuk menyebutkan "saya" bisa menjadi hambatan bagi orang Sunda untuk berbahasa Sunda dengan lawan bicaranya.<br /><br />Akibatnya, bahasa Sunda semakin jarang dipakai, terutama oleh generasi muda kini di wilayah Jabar. "Kalau sudah menemukan kata sapaan yang nyaman saat bercakap-cakap dengan lawan bicara, komunikasi menjadi lancar," papar Wahyu Wibisana.<br /><br />Ahli bahasa lulusan Fakultas Bahasa dan Sastra Sunda Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung ini mencontohkan, ketika seorang pria berbicara dengan orang lebih muda darinya, ia bisa menyebut dirinya sebagai akang atau kakak dan lawan bicaranya ayi atau adik. Percakapan pun menjadi lancar dan nyaman.<br /><br />Coba dengarkan saja orang Sunda bicara. Apa yang mereka gunakan untuk menyebut sapaan dirinya? Kini, orang Sunda lebih banyak menggunakan kata urang untuk menyebut "saya". Padahal urang berarti "kita".<br /><br />Tingkatan bahasa<br /><br />Menurut Wahyu, meski kata urang sudah cukup populer sebagai kata ganti orang pertama, tetapi sebagian besar ahli bahasa Sunda belum berani menyetujui urang berarti saya.<br /><br />"Kalau pendapat saya, terima saja keadaan itu. Daripada ada kesulitan dalam berbahasa. Lagi pula menggunakan kata urang membuat percakapan menjadi akrab," ungkap Wahyu, yang menjadi salah seorang penyusun akselerasi pembangunan kebudayaan termasuk bahasa Sunda yang akan diajukan kepada Gubernur Jabar.<br /><br />Jika dibandingkan dengan bahasa Jawa, ujar Wahyu, bahasa Jawa memiliki kata "aku" yang netral dan bisa digunakan dengan lawan bicara yang lebih tua maupun yang lebih muda. Masih populernya kata sapaan orang pertama dalam bahasa Jawa menjadi pendukung bahasa tersebut memungkinkan untuk digunakan oleh anggota komunitasnya.<br /><br />Wahyu memaparkan, dari segi tingkatan bahasa, tidak hanya bahasa Sunda, bahasa Jawa pun memilikinya. Berbeda dengan bahasa Jawa, bahasa Sunda yang halus usianya masih muda. Bahasa Sunda halus baru muncul sekitar abad ke-18 atau ke-19, dibuat oleh para bupati di tatar Sunda yang menjadi raja-raja kecil yang tunduk pada Kerajaan Mataram Islam.<br /><br />Karena hubungannya dengan kerajaan di Jawa, para bupati itu pun sering mengamati cara orang Jawa berbahasa, lalu mereka membuat kata-kata baru untuk memperhalus bahasanya. Kata-kata halus di satu kabupaten bisa berbeda dengan kabupaten lainnya.<br /><br />Selain itu, Wahyu juga mengingatkan bahwa orang Sunda sebagai orang Indonesia merupakan pengguna dua bahasa atau dwibahasawan, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dan bahasa daerah sebagai bahasa kedua.<br /><br />Diakui Wahyu, mulai lunturnya penggunaan bahasa daerah tidak hanya terjadi pada bahasa Sunda, tetapi juga bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia.<br /><br />Dia menyebutkan, bahasa Sunda memiliki sejarah yang berbeda dengan bahasa lain. "Andaikan Batavia tidak berada di dekat Jabar, misalnya berada di Jawa Tengah, mungkin keadaan bahasa Sunda tidak seperti sekarang," ujar Wahyu.<br /><br />Batavia, sekarang Jakarta, sebagai ibu kota negara dan pusat kekuasaan pemerintahan memberi banyak pengaruh terhadap keterbukaan orang Sunda terhadap budaya lain.<br /><br />Sejak dahulu, mobilitas orang antara Batavia-Bogor-Bandung sudah cukup tinggi. Terbiasa bergaul dengan orang dari budaya lain menyebabkan orang Sunda lebih mudah akrab dan menerima budaya suku lain. Sifat orang Sunda ini terlacak dari motonya, yaitu someah hade kasemah atau ramah pada tamu. (Y09)openmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-28992622449912112812008-08-29T13:01:00.000+07:002008-09-03T13:50:37.598+07:00ebook dan software gratis<iframe frameborder="0" src="http://kumpulblogger.com/machor.php?b=8402" width="100%" height="200px" marginwidth=0 marginheight=0 ></iframe>
<br />Download software
<br />Software “Pencari Alamat Email” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/pencariemail.zip">download disini</a>
<br />Software “Pelacak Asal Alamat Email” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/AEL.zip">download disini</a>
<br />Software “Pemeriksa Valid/Tidaknya Alamat Email” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/AMV-2.3.zip">download disini</a>
<br />Software “Pengirim Email Massal” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/pengirimemail.zip">download disini</a>
<br /><a href="http://www.iklanvip.net/ide/BestAdposting.zip" target="_blank">Software pengirim iklanbaris masal </a>( username : Cahyo Jatmiko , Password :06089CC897CF4)
<br />Software “IP Ad Web Sender” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/ipadsender.zip">download disini</a>
<br />Software “Search Engine Rangking” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/Search_enginee_Ranking.zip">download disini</a>
<br />Software “Untuk Nge-Buzz, Nge-Boot, Nge-Clone lawan bicara di Yahoo Messenger” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/program_YM.zip">download disini</a>
<br />Software “Easy Site Submit (memasukan situs anda ke search engine)” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/adwizard32.exe">download disini</a>
<br />Software “Banner Maker” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/BannerMaker.zip">download disini</a>
<br />Software “File Splitter” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/fsplitter.zip">download disini</a>
<br />Software “Penghapus Password File ebook/PDF” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/Pass_pdf.zip">download disini</a>
<br />Software “Pop Up Generator” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/popup.zip">download disini</a>
<br />Software “Pencari Password File WINZIP” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/pass_winzip.ZIP">download disini</a>
<br />Software “Pencari Password File Microsoft Office XP” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/AOPR_XP.zip">download disini</a>
<br />Software “Pencari Password File WINRAR” : <a href="http://www.anciki-software.com/filedl/ARPR-1.11.zip">download disini</a>
<br />Software “Pencari Password File Archive” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/AAPR-2.10.zip">download disini</a>
<br />Software “Mempercepat Kinerja Modem Koneksi Internet” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/Modem_Booster.ZIP">download disini</a>
<br />Software “Koneksi Internet Cepat (ADSL Speed)” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/DSL-SPEED.zip">download disini</a>
<br />Software “agar Akses Internet Anda tidak terputus-putus” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/wakeup.exe">download disini</a>
<br />Software “Untuk Merubah file Ms Office ke File PDF atau sebaliknya” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/pdf_converter.zip">download disini</a>
<br />Software “Untuk Menganalisa Keefektifan Website atau Iklan Yang Telah Anda Pasang di Iklan Baris Intenet” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/Re-Search.zip">download disini</a>
<br />Software “Game “Who Want To Be Millionaire”versi Indonesia” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/millionaire.zip">download disini</a>
<br />Software “Billing Internet” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/billing.zip">download disini</a>
<br />Software “Validasi Kartu Kredit” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/validasikartukredit.zip">download disini</a>
<br />Software “Untuk Menyalin Seluruh Website Dgn Sekali Klik” : <a href="http://www.maximumsoft.com/downloads/wcopier.exe">download disini</a>
<br />Software “Al-Qur’an Digital” : <a href="ftp://ftp.cyfronet.krakow.pl/pub/mirror/WinSite/winxp/education/AlQuranDigital21.exe">download disini</a>
<br />Software “ZoneAlarm 5.0.590.015″ : <a href="http://202.158.41.247/files/Connection/zlsSetup_50_590_015.exe">download disini</a>
<br />Software “FreeRAM XP Pro 1.3″ : <a href="http://202.158.41.247/files/Utiliti/framxpro.zip">download disini</a>
<br />Software “PC Inspector File Recovery 3.0″ : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/pci_filerecovery.exe">download disini</a>
<br />Software “PrayAlert Personal Edition 1.3.1015″ : <a href="http://202.158.41.247/files/Utiliti/pape_13.exe">download disini</a>
<br />Software “RAMBooster 1.6″ : <a href="http://202.158.41.247/files/Utiliti/Rambooster.zip">download disini</a>
<br />Software “Subseven: Firewall 1.0″ : <a href="http://202.158.41.247/files/firewall/Subseven_firewall_version_1.0.zip">download disini</a>
<br />Software “Ad-aware 6.0″ : <a href="http://202.158.41.247/files/browser/adaware/aaw6.exe">download disini</a>
<br />Software “Ad Blocker 4Google2 2.3.3″ : <a href="http://202.158.41.247/files/browser/4Google2Setup.exe">download disini</a>
<br />Software “Mozilla Firefox 1.0″ : <a href="http://202.158.41.247/files/browser/firefox/Firefox%20Setup%201.0.exe">download disini</a>
<br />Software “FxFoto 2.0.043″ : <a href="http://202.158.41.247/files/auvid/FxFotoSetup.exe">download disini</a>
<br />Software “Download Manager” : <a href="http://www.internetdownloadmanager.com/idman406.exe">download disini</a>
<br />Software “Pembuat Cover Ebook” : <a href="http://down.klikabadi.com/BoxShotInstall.exe">download disini</a>
<br />Software Ultralingua –> <a href="http://www.iklanvip.net/ide/Ultra_Lingua.ZIP">download disini</a>
<br />Software Microsoft Language Interface INDONESIA –> <a href="http://www.iklanvip.net/ide//WinXP_Indo.ZIP">download disini</a>
<br />Software The Pocket Oxford Dictionary –> <a href="http://www.iklanvip.net/ide/Oxford_Pocket_Dictionary.zip">download disini</a>
<br />Software Office XP 2003 Bahasa Indonesia –> <a href="http://www.iklanvip.net/ide/LIP_Microsoft_Office.EXE">download disini</a>
<br />Software untuk memprotek CD dari pembajakan –> <a href="http://hexalock.com/45/alw_45_march_3_2006.exe">download disini</a>
<br />Software TransTool –> <a href="http://www.mdp.co.id/download/Tools/TRANSTOOL.zip" target="http://www.mdp.co.id/download/Tools/TRANSTOOL.zip">download disini</a> (penerjemah inggris-Indonesia)
<br /><a href="http://sourceforge.net/projects/phptriad" target="_blank">Software php Triad </a>(1)
<br /><a href="http://prdownloads.sourceforge.net/phptriad/phptriad2-2-1.exe?download" target="_blank">Software phpTriad</a> (2) pilih salah satu
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/CLASS.exe" target="_blank">5000+ ADSUBMITTER</a> ( Untuk Mendaftara ke lebih dari 5000 search engine sekaligus)
<br /><a href="http://www.pushbuttonpublishing.com/ism.zip">Instant Site maker</a> - Software pembuat website secara Instant
<br /><a href="http://www.iklanvip.net/ide/phpeditor.zip">Software Php editor</a> - Software untuk mengedit program PHP
<br /><a href="http://iklanvip.net/ide/ftp_software.zip">Software FTP (untuk Up load )</a> - Sofware untuk memasukan data ke server ( meng online kan website anda)
<br /><a href="http://www.amazesoft.com/download.htm" target="_blank">FlashGet (bagi yg sulit mendonwload)</a>
<br /><a href="http://homepage.uibk.ac.at/~csab3666/winsplit.zip">Winsplit</a> - Software pemecah file ( Silahkan lihat cara kerjanya pada bagian bawah halaman ini )
<br /><a href="http://down.klikabadi.com/BoxShotInstall.exe">Software Desain Cover eBook</a>.- Software pembuat Cover eBOOK
<br /><a href="http://down.klikabadi.com/EasyEbookCreator.zip">Software ebook creator.</a> - Softwarte Pembuat eBook
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/typeitin32.zip" target="_blank">TYPEITIN SOFTWARE</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/killt49.zip" target="_blank">KILLTIMER v4.9 SOFTWARE</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/weborama.zip" target="_blank">WEB-O-RAMA SOFTWARE</a>
<br /><a href="http://www.iklanvip.net/ide/ppr77.zip">Pure Profit Software</a> - Kumpulan berbagai softare bermutu
<br />Download ebook
<br />eBOOK Berbahasa Indonesia :
<br />“Akses Internet GRATIS dengan Kartu CDMA” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/internet_GRATIS.zip">download disini</a>Password : www.obralplus.comKebutuhan pendukung ebook diatas :- MOZILA FIREFOX : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/FIREFOX.zip">download disini</a>- FLASH PLAYER : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/FLASH_PLAYER.zip">download disini</a>- IP ADRRESH KHUSUS : (catat & pilih salah satu )203.160.1.146 Port : 554203.160.1.162 port: 554203.160.1.38 port: 554203.160.1.39 port: 554203.160.1.40 port: 554203.160.1.42 port: 554203.160.1.43 port: 554203.160.1.44 port: 554203.160.1.45 port: 554203.160.1.46 port: 554203.160.1.47 port: 554203.160.1.48 port: 554203.160.1.49 port: 554203.160.1.50 port: 554203.160.1.52 port: 554 CATATAN :1). Kecepatan AKSES akan tergantung pada Jenis MODEM/HP yg anda gunakan dan Signal FREN di kota anda, cobalah TES dulu dg metode biasa (pakai pulsa) jika lambat maka akan lambat pula demikian sebaliknya.2). Setingan ini hanya untuk kepentingan PERSONAL Bukan KOMERSIL
<br />“Akses Internet GRATIS dan bisa Menghasilkan uang” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/jaringan.zip">download disini</a>Password : rahasiagratis
<br />“Akses Internet GRATIS dengan Antena Kaleng” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/antena_kaleng.zip">download disini</a>
<br />” Internet Murah (Rp.25.000,-/bulan) sepuasnya” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/linux_gprs.zip">download disini</a>
<br />“Panduan Setting INTERNET dengan Kartu FLEXI” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/internet_flexi.zip">download disini</a>
<br />“Tips TELEPHONE & SMS Gratis” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/telp_smsgratis.zip">download disini</a>
<br />“Cara Meng-CLONING Sim Card GSM” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/cloningSIMGSM.zip">download disini</a>
<br />“Rahasia Mendapatkan SOFTWARE Gratis” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/softwaregratis.zip">download disini</a>
<br />“Panduan Mencari Uang dari GOOGLE ADSENSE” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/uang_google.zip">download disini</a>
<br />“Panduan Belajar Web Tanpa Harus mengerti Bahasa Pemrograman” <a href="http://www.iklanvip.net/ide/masterweb_jadibos.zip">download disini </a>
<br />“Membajak Kartu Kredit (eCarding)” <a href="http://www.iklanvip.net/ide/eCarding.zip">download disini </a>
<br />“Apa itu Ebook?” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/panduan_ebook.zip" target="blank">download disini</a>
<br />“Tips Otomotif” : <a href="http://www.indosiar.com/download/rumahinterior/tips%20otomotif.pdf" target="blank">download disini</a>
<br />“Kumpulan Tips Dunia Kerja” : <a href="http://www.indosiar.com/download/rumahinterior/tips%20dunia%20kerja.pdf">download disini</a>
<br />“Kumpulan Resep Makanan” : Cara downloadnya letakkan cursor di link download <a href="http://www.indosiar.com/download/resep.htm" target="blank">Link Download</a> lalu klik mouse kanan lalu pilih “Open in New Window” lalu Anda download seperti cara diatas.
<br />“cerita Misteri Rumah Tua” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/MisRumTua.zip">download disini</a>
<br />“Cerita Petualangan Ali dan Ayahnya” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/PeAlidAyahnya.zip">download disini</a>
<br />“Kumpulan Humor Terbaik” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/KumHumTerbaik.zip">download disini</a>
<br />“Kumpulan Cerita Menarik” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/KumCeMenarik.zip">download disini</a>
<br />“Tips and Trik Windows” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/TipsdTrikWin.zip">download disini</a>
<br />“Tips and Trik Registry” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/TipsdTrikRegistry.zip">download disini</a>
<br />“Membajak isi Ponsel Orang Lain” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/bluejacking.zip">download disini</a>
<br />“Mencari Uang dengan hanya Menonoton Televisi” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/TV_Money.zip">download disini</a>
<br />“Cara Menghemat Belanja hingga 70%” : <a href="http://www.iklanvip.net/ide/belanja_hemat.zip">download disini</a>
<br />E-book “Tiga Kunci Sukses” bisnis di internet –> <a href="http://www.iklanvip.net/ide/3_Kunci_Sukses.zip">download disini</a>
<br />“Tutorial Membuat Website Secara Gratis” –> <a href="http://www.serba-serbi.com/kopidong/buat_website_gratis.zip">download disini</a>
<br />E-book “Menyulap Ponsel Jadi Remote Control Komputer” –> <a href="http://www.serba-serbi.com/kopidong/Remote_Ponsel.doc">download disini</a>
<br /><a href="http://www.iklanvip.net/ide/hp.zip">Tip & Trik Menggabungkan No. CDMA ke Hp GSM</a>( Passwordnya : www.arisanmotor.com )
<br /><a href="http://www.iklanvip.net/ide/url_redirect.zip" target="_blank">Panduan Promosi Dengan URL REDIRECT </a>(Password : url_redirect )
<br /><a href="http://www.iklanvip.net/ide/search_engine.zip" target="_blank">Tips & Trik Memperoleh rangking pada search engine </a>
<br /><a href="http://www.iklanvip.net/ide/99ide_jadibos.zip">eBook : 99 ide Usaha Untuk Bisnis Internet</a>( Password : yul_eko_rubiyanto )
<br /><a href="http://www.iklanvip.net/ide/email_marketing.zip">Tehnik Meraup Jutaan Rupiah dengan Email Marketing</a>
<br /><a href="http://www.iklanvip.net/ide/buat_webPHP.zip">Panduan Dasar Membuat website Dengan PHP</a>
<br />eBOOK Berbahasa Inggris :
<br /><a href="http://www.bizzydays.com/downloads/ebook/trdwnld/superaff.zip">How to outsell outher reseller and become a super affiliate</a>
<br /><a href="http://www.bizzydays.com/downloads/ebook/trdwnld/winwar.zip">How to win the war of internet marketing</a>
<br /><a href="http://huas.net/dlbin/cashmachines.zip">Internet Cash Machines</a>
<br /><a href="http://www.pushbuttonpublishing.com/99Sites.pdf">99 websites your should have bookmarked</a>
<br /><a href="http://ebizwhiz-publishing.com/killersites/Customization.zip">How to Kreator Killer mini sites</a>
<br /><a href="http://huas.net/dlbin/cashflow.exe">Chash Flow ebusines</a>
<br /><a href="http://huas.net/dlbin/millionaire_marketing.zip">Milioner Marketing</a>
<br /><a href="http://www.bizzydays.com/downloads/ebook/trdwnld/affdef.zip">Affiliate Defender</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/FILLOUT.exe" target="_blank">FILLOUT MANAGER</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/EMS.zip" target="_blank">EXPRESS MAIL SERVER</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/KEY.zip" target="_blank">EMS KEY GENERATOR</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/WEBFORCE.exe" target="_blank">WEBFORCE</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/ANTIN.zip" target="_blank">DOUBLE YOUR BUSINESS</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/TACTICS.exe" target="_blank">SEARCH ENGINE TACTICS</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/TDEM.exe" target="_blank">TARGETED DIRECT EMAIL GUIDE</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/5599.zip" target="_blank">OFFSHORE REPORT</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/CLASS.zip" target="_blank">7000 CLASSIFIEDS</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/BIZ.zip" target="_blank">Business Reports</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/CONSUMER.zip" target="_blank">Consumer Reports</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/MAIL.zip" target="_blank">Mail Order Reports</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/COMPUTER.zip" target="_blank">Computer Reports</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/HEALTH.zip" target="_blank">Health Related</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/REF.zip" target="_blank">Reference Reports</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/BOOKS.zip" target="_blank">Well Known Books</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/HISTORY.zip" target="_blank">Historical Stuff</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/LEGAL.zip" target="_blank">Legal Forms</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/TV.zip" target="_blank">Using TV</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/eza2_0.zip" target="_blank">eZine Assistant</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/secj11ant.zip" target="_blank">Search Engine Creator</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/pmailer.zip" target="_blank">Priority Mailer</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/toolbarpro.zip" target="_blank">Internet Marketing Toolbar Pro</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/CheapButGood.zip" target="_blank">Cheap But Good</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/ebookgoldv3.zip" target="_blank">eBook Gold v3</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/Project.zip" target="_blank">Web Site and E-zine Promotion Made Easy</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/ebiz.zip" target="_blank">eBiz Tips & Tricks</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/Storm.exe" target="_blank">Take The Internet By Strom</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/AUCTION.exe" target="_blank">AUCTION TIPS</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/101asr.zip" target="_blank">101 Auction Secrets Revealed</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/donlapreinfo.zip" target="_blank">Don Lapre - Info Reports</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/aprophet.zip" target="_blank">Auction Prophet</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/minfor.zip" target="_blank">Millennium Info Reports</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/inforeporter.zip" target="_blank">The Cash Flow Deluxe: Info-Software Programs</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/wholesalers2kx.zip" target="_blank">Wholesalers 2000 - Extreme Mega Edition</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/nlpebay.zip" target="_blank">Using NLP On eBay</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/w4ss.zip" target="_blank">Website4Sale Secrets </a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/ct101.zip" target="_blank">Cyber Tactics 101</a>
<br /><a href="http://www.ebookwholesaler.net/dlbina/phonebillsavings.zip" target="_blank">Phone Bill Savings</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/dlbin2/amt.exe" target="_blank">Amazing Marketing Tactics</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/TVIRUS.exe" target="_blank">TRAFFIC VIRUS</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/CLASS.exe" target="_blank">CREATING PROFITABLE CLASSIFIED ADS</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/ADWIZARD.exe" target="_blank">ADWIZARD</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/howto.exe" target="_blank">CASH FLOW REPORTER HOW TO SERIES</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/mailorder1.exe" target="_blank">MAIL ORDER SERIES OF REPORTS</a>
<br /><a href="http://www.huas.net/ffadlbin/detective.exe" target="_blank">INTERNET DETECTIVE 5.0</a>
<br />. Reprint Right Magic
<br />. How Creator killer mini sites..</a>
<br /><a href="http://www.pushbuttonpublishing.com/99Sites.pdf">. Ebook 99…Bookmarket..</a>
<br /><a href="http://www.pushbuttonpublishing.com/ism.zip">. Website 99 …Bookmarket.. </a>
<br /><a href="http://www.pushbuttonpublishing.com/ism.zip">. Instan web site tools</a>
<br /><a href="http://www.pushbuttonpublishing.com/pps777.exe">. The pure profit software…</a>
<br /><a href="http://www.pushbuttonpublishing.com/trafficjam.zip">. The embarrassingly …(ebook)</a>
<br /><a href="http://www.pushbuttonpublishing.com/popup.zip">. The embarrassingly ..(web..) </a>
<br /><a href="http://www.pushbuttonpublishing.com/PTG.zip">. Pop ups Generator </a>
<br /><a href="http://www.pushbuttonpublishing.com/magicsubscriber.zip">. The perpetual Traffic generator</a>
<br /><iframe frameborder="0" src="http://kumpulblogger.com/machor.php?b=8402" width="100%" height="200px" marginwidth=0 marginheight=0 ></iframe>openmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-37810811433496955812008-08-29T12:38:00.000+07:002008-09-03T13:45:52.406+07:00informasi bea siswa<iframe frameborder="0" src="http://kumpulblogger.com/mac.php?b=8402" width="200px" height="200px" marginwidth=0 marginheight=0 ></iframe><br />INFORMASI BEA SISWA<br /><br />ALAMAT SITUS YANG MEMBERIKAN BEA SISWA<br /> <br /><a href="http://www.kbri-berlin.de/">http://www.kbri-berlin.de/</a><br /><a href="http://www.austembjak.or.id/aei">www.austembjak.or.id/aei</a><br /><a href="http://www.adsjakarta.or.id/">http://www.adsjakarta.or.id/</a><br /><a href="http://www.moreton.tafe.net/">http://www.moreton.tafe.net/</a><br /><a href="http://www.satukampus.com/">http://www.satukampus.com/</a><br /><a href="http://www.wartburg.edu/">http://www.wartburg.edu/</a><br /><a href="http://www.fordfound.org/">http://www.fordfound.org/</a><br /><a href="http://www.depaul.edu/kellstadt">www.depaul.edu/kellstadt</a><br /><a href="http://www.id.aiesec.org/">http://www.id.aiesec.org/</a><br /><a href="http://www.dikti.org/">http://www.dikti.org/</a><br /><a href="http://www.pirac.or.id/">http://www.pirac.or.id/</a><br /><a href="http://www.akademianet.com/">http://www.akademianet.com/</a><br /><a href="http://www.pendidikan.net/">http://www.pendidikan.net/</a><br /><a href="http://www.gn-ota.or.id/">http://www.gn-ota.or.id/</a><br /><a href="http://www.habibie.net/">http://www.habibie.net/</a><br /><a href="http://www.kamalindo.com/">http://www.kamalindo.com/</a><br /><a href="http://www.superbeasiswa.org/">http://www.superbeasiswa.org/</a><br /><a href="http://www.glorianet.org/">http://www.glorianet.org/</a><br /><a href="http://www.scholarship.com/">http://www.scholarship.com/</a><br /><a href="http://www.usembassyjakarta.org/aminef">www.usembassyjakarta.org/aminef</a><br /><a href="http://www.finaid.com/">http://www.finaid.com/</a><br /><a href="http://www.ausaid.gov.au/">http://www.ausaid.gov.au/</a><br /><br />U DAFTAR LEMBAGA DALAM NEGERI PEMBERI BEASISWA<br />1. YAYASAN SUPER SEMAR<br />Gedung Granadi (Lantai Empat), Jl. H.R. Rasunan Said Kav. 8-9 Jakarta 12950 Telp. (021) 5221745 – 5221750<br />2. PT. DJARUM KUDUS<br />Jl. Jendral Achmad Yani 28 Kudus, Jawa Tengah<br />Telp. (0291) 21901, faks 21809<br />3. YAYASAN DHARMA BHAKTI PERTIWI<br />Jl. Cendana 19 Jakarta 10350<br />Telp. (021) 3106538<br />4. YAYASAN KARTIKA EKA PAKSI<br />Komplek Balai Kartini, Jl. Jendral Gatot Subroto 37, Jakarta Telp. (021) 525543<br />5. YAYASAN DHARMA BHAKTI KALBE<br />P.O. Box 3105 Jakarta, telp. (021) 4892808<br />6. PT. WIJAYA KARYA<br />Jl. D.I. Panjaitan Kav. 9 Jakarta Timur, telp. (021) 8192802<br />7. YAYASAN DANA PENSIUN – PT. INDOCEMENT TUNGGAL PERKASA<br />Gedung Indocement, Jl. Mayor oking, Citeureup, Bogor, telp. (0251) 3100011<br />8. YAYASAN TIFICO<br />Mid Plaza Lantai 5, Jl. Jend. Sudirman Kav. 10 – 11 Jakarta 10220 P.O. Box 3350 Jakarta, telp. (021) 5706268 - 5706208<br />9. PT. UNILEVER INDONESIA<br />Jl. Gatot Subroto Kav. 15 Jakarta 12930, telp. (021) 5262112<br />10. YAYASAN TOYOTA – ASTRA<br />Jl. Yos Sudarso, Sunter 1 Jakarta 14350 P.O. Box 1420 Jakarta 10014, telp. (021) 4301135 - 4302337<br />11. YAYASAN BEASISWA BIMANTARA<br />Gedung Bimantara Lt. V, Jl. Kebon Sirih No. 17 – 19 Jakarta Pusat 10340<br />12. YAYASAN BEASISWA WITTEVEEN-DEKKER INDONESIA<br />Jl. Tanah Abang III No. 31 Jakarta Pusat 10120<br />13. YAYASAN ILMU-ILMU SOSIAL<br />Jl. Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta Pusat 10120, telp. (021) 384-2506, 386-5443, faks. (021) 384-2506 kontak personal: Dr. Selo Sumarjan<br />14. VAN DEVENTER MAAS INDONESIA<br />Jl. Teuku Umar No. 42 Jakarta Pusat 10350 kontak personal: Ny. Johana Sunarti Nasution<br />15. OVERSEAS TRAINING OF FICE<br />Jl. Proklamasi No. 70 Jakarta Pusat 10320, telp. (021) 331-234, 331-447, 331-465, 331-481, 331-198<br />16. BEASISWA ORBIT – ICMI<br />Gedung ICMI, Jl. Kebon Sirih No. 85 Jakarta Pusat 10340 Telp. (021) 390-4534/38, 391-9443, 316-8145 ext. 18 faks (021) 391-9443<br />Kontak Person: DR. Marwah Daud Ibrahim<br /><br />17. BEASISWA GN-OTA<br />Jl. Kebon Sirih No. 25 Jakarta Pusat 10340 Telp. (021) 390-0900 faks (021) 390-2988<br />Kontak Person: Ny. Halimah Bambang Triatmojo<br />18. THE FORD FOUNDATION (SOUTH EAST ASIA REGION)<br />d/a S. Widjojo Center Lt. 11 Jl. Jend. Sudirman No. 71 Jakarta Telp. (021) 252-4073<br />19. THE USAID, OFFICE OF EDUCATION & HUMAN RESOURCE AMERICAN EMBASSY<br />D/a Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jl. Medan Jakarta Selatan No. 4 Jakarta Pusat faks. (021) 380-6694<br />Kontak Person: Mr. Stephen Grant (Chief)<br />20. BEASISIWA PENDIDIKAN HARIAN KOMPAS<br />Jl. Palmerah Selatan No. 26-28 Jakarta 10270 Telp. (021) 534-7710, 534-7720, 534-7730,530-2200 faks. (021) 548-6085<br />Kontak Person: Bapak P. Swantoro (Ketua Tim Bantuan Pendidikan Kompas-Gramedia)<br />21. AUSTRALIAN AID<br />City Bank Lt. VI, Jl. M.H. Thamrin No. 35 Jakarta<br />22. THE DIRECTOR BRITISH COUNCIL<br />S. Widjiji Center, Jl. Jend. Sudirman No. 71 Jakarta Telp. (021) 520-6222 faks. (021) 522-3106<br />23. BEASISWA MONBUSHO PEMERINTAH JEPANG<br />D/a Bagian Pendidikan Kedutaan Besar Jepang, Jl. M.H. Thamrin No. 24 Jakarta Pusat<br />24. WORLD UNIVERSITY SERVICE OF CANADA<br />Jl. Windya Chandra VIII/25 Jakarta Selatan<br />25. AMERICAN INDONESIA EXCHANGE FOUNDATION<br />Wisma Metropolitan II Lt. 3, Jl. Jend. Sudirman Kav. 31 Jakarta<br />26. IDB MERIT SCHOLARSHIP PROGRAM<br />Gedung BPP Teknologi Lt. I, Jl. M.H. Thamrin No. 8 Jakarta Pusat 10340 Telp. (021) 304-2618 faks. (021) 320-317<br />27. AUSTRALIAN EDUCATION CENTER<br />Wisma Budi Lt. 5, Jl. H.R. Rasuna Said kav. C-6 Kuningan Jakarta 12990 Telp. (021) 252-3291, 525-6676 faks. (021) 522-4343<br />28. CIDA GTP EDUCATION RESOURCE CENTER<br />Jl. Borobudur No. 6 Jakarta Pusat 19320 Telp. (021) 858-3726 faks. (021) 310-7481<br />Kontak Person: Mrs. Line Dube<br />29. CIDA FIELD DIRECTOR FOR INDONESIA<br />D/a Kedutaan Besar Kanada Wisma Metropolitan I Flat V, Jl. Jend. Sudirman Kav. 29 Jakarta<br />Kontak Person: Mr. Yuon Marsalais<br />30. BEASISWA PENDIDIKAN TINGGI DEPDIKBUD RI<br />Jl. Veteran No. 18 Jakarta Pusat Telp. (021) 386-0611 faks. (021) 384-6884<br />Kontak Person: Bapak Moh. Widodo Gondowardjojo<br />31. KEPALA BIRO KERJASAMA TEKNIK LUAR NEGERI SEKNEG RI<br />Jl. Veteran No. 18 Jakarta Pusat telp. (021) 386-0611 faks. (021) 384-6884<br />Kontak Person: bapak Moh. Widodo G.<br />32. YAYASAN PEMBINAAN & ASUHAN BUNDA<br />Jl. Teuku Umar No. 42 Jakarta Pusat 10350<br />Kontak Person: Ibu Johana S. Nasution<br />33. YAYASAN BINA INSAN CITA<br />D/a Gedung Insan Cita, Jl. Lafran Pane Depok Jawa Barat<br />Kontak Person: Drs. Karsono<br />34. TUNJANGAN IKATAN DINAS<br />Lantai 15 Sekjen Diknas, Jl. Jend. Sudirman Pintu I Senayan Jekarta 10002 Telp. (021) 5711144, 5711151<br />35. PRESTASI PENINGKATAN AKADEMIK<br />Jl. Jend. Sudirman Pintu I Senayan, Jakarta 10002 Telp. (021) 581436, 581982<br />36. POS DAN GIRO<br />Jl. Kapten Cok Agung Tresna, Denpasar-Bali Telp 226581, 226585<br />37. NUSANTARA<br />Jl. Sumbawa No. 33 Jakarta Pusat 10350 Telp. (021) 637025<br />38. BANK SERI PARTHA<br />Jl. Supratman No. 27X Denpasar 80236 Telp. (0361) 227721-4, 228211-4<br />39. PII<br />Kompleks Pertamina, Simprug Staff Houses R-08, Jl. Sinabung II Terusan Kebayoran Baru, Jakarta 12120 Telp. (021) 7398858, 7392244<br />40. PRASETYA MULYA<br />Jl. Raya Jagorawi Cilandak Jakarta 12430 Telp. (021) 7697275, 7500463<br />41. RATYNI GORDA<br />Jl. Tukad Languan Gang I No. 3 panjer Denpasar Bali Telp. (0361) 225917<br />42. ABRI<br />Mabes ABRI Cilangkap Jakarta Selatan<br />43. JAPAN FOUND<br />Skykine Building 4 th Floor, Jl.M.H.Thamrin No. 9 Jakarta Telp. (021) 3148441, 3148440<br />44. MITSUI KOSGORO<br />Jl. M.H. Thamrin 59 Jakarta Telp. (021) 333909<br />45. PERTAMINA<br />Jl. Medan Merdeka Timur IA, Kotak Pos 1012 JKT 10110 Telp. (021) 3815111, 3816111<br />46. PT. HUMPUS GROUP<br />Wisma Antara Lt. 10 Jl. Merdeka Selatan No. 17 Jakarta telp (021) 3810655<br />47. BANK DAGANG BALI<br />Jl. Gadjah Mada No. I Denpasar Bali<br />48. YAMPI<br />Jl. Harsono R.M. No. 3 Ragunan Pasar Minggu Gedung E Lt. 2 Jakarta Selatan 12550 telp. (021) 7804386 - 7805641<br />49. YAYASAN DHARMAIS<br />Jl. Bangku II No. 7 Jakarta 12720<br />50. YAYASAN SKORPIO<br />Jl. Pramuka 172 Jakarta<br />51. YAYASAN BAKTI PUTRA BANGSA<br />Jl. Yusuf Adiwinata S.H. No. 4 Jakarta 10350<br />52. YAYASAN WANGSA MANGGALA<br />Jl. Polowijan No. 54 Yogyakarta 55132<br />53. YAYASAN TIRASA<br />Jl. Kebon Sirih No. 39 Jakarta 10350<br />54. YAYASAN KESEJAHTERAAN ANAK INDONESIA<br />Jl. Teuku Umar No. 10 Jakarta 10350 PO. Box 6179/MT Jakarta 10310<br />55. YAYASAN TIARA INDAH<br />Jl. Yusuf Adiwinata No. 11 Menteng Jakarta Pusat 10350<br />56. YAYASAN SOSIAL DAN INDONESIA “AL-HUDA”<br />Jl. Maleo Gg. Guyub No. 12 Madiun Telp. (0351) 438273<br /><br /><br />YAYASAN (ORGANISASI) INTERNASIONAL<br />PEMBERI BANTUAN<br /><br />THE JAPAN FOUNDATION<br />Pusat Kebudayaan Jepang<br />Summitmas Tower Lt. 2<br />Jl. Jend. Sudirman Kav. 61-62 Jaksel<br />Telp. (021) 5201266-67, 5255201<br />Fax. (021) 5255159<br />THE ASIA FOUNDATION<br />550 Kearny Street<br />San Francisco CA 94108<br />Telp. (415) 9824640<br />Perwakilan:<br />Jl. Darmawangsa Raya 50<br />Keb. Baru, Jakarta Selatan<br />Telp. (021) 772674, 712683<br />THE ASIA PARTNERSHIP FOR HUMAN DEVELOPMENT<br />P.O. BOX J124<br />Hrickfield Hill Sydney NSW 2000 Australia<br />Telp (02) 2679533, (02) 2679745<br />Perwakilan:<br />c/o. LPPS MAWI<br />Jl. Cut Mutiah 10 Jakarta Pusat<br />Telp. (021) 352354, 356452<br />CANADIAN EMBASSY<br />(NGO SECTION)<br />Wisma Metropolitan<br />Jl. Jend. Sudirman Kav. 29<br />Jakarta Selatan<br />CARE<br />660 First Avenue New York NY 10016<br />The United States of America<br />Perwakilan:<br />Jl. Kyai Maja 65 (Pelbak)<br />Keb. Baru, Jakarta Selatan<br />Telp. (021) 775415<br />CHURCH WORLD SERVICE CWS/DGI<br />P.O. BOX 2354<br />Jl. Salemba Raya 10 Jakarta Pusat<br />Telp. (021) 883751, 884321<br />CUSO<br />151 Slater St. Ontario KIP 5 HS Canada<br />Perwakilan:<br />- 30, Jl. Setia Rasa Bukit Damansara<br />Kuala Lumpur Malaysia<br />- Canadian Embassy<br />Wisma Metropolitan<br />Jl. Jend. Sudirman Kav. 29 Jaksel<br />FOSTER PARENTS PLAN INTERNATIONAL, INC.<br />155, Plan Way Warmick<br />Rhode Island 02887 USA<br />Perwakilan:<br />P.O. BOX 18 Yogyakarta<br />Jl. Joyokaryan 1138<br />FRIEDRICH NAUMANN STIFUNG<br />Baunsheidtrasse 7 D-5300 Bonn<br />West Germany<br />Perwakilan:<br />Jl. S. Parman 81, Slipi Jakarta Barat<br />HELEN KELLER INTERNATIONAL<br />15 West 16 Street New York USA<br />Perwakilan:<br />P.O. BOX 4338 Jakarta<br />KOMRAD ADENAUER FOUNDATION<br />C/o IIs Foslach 1260 D-5205 St. Agustin I<br />Federal Republic of Germany<br />Telp. 02241 – 1961<br />Perwakilan:<br />Jl. Lembang 22 Menteng Jakarta Pusat<br />Telp. (021) 365031<br />HENNEOITE CENTRAL COMMITTEE<br />21 S. 12 St. Akronpennsvivania 17501 USA<br />Perwakilan:<br />Tromol Pos 49/JKU<br />Jakarta Utara<br /><br /><br />DAFTAR ALAMAT YAYASAN PEMBERI BANTUAN BEASISWA DI NUSANTARA<br /><br />1. DKI JAYA<br />Jl. Letjend Suprapto 30 C Jakarta Pusat<br />2. AMERICAN FIELDS SERVICE<br />Jl. Cilosari I/11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12170<br />3. DANA DAKWAH<br />Jl. Kramat Raya 45 Jakarta 10450<br />4. YAYASAN ABDI KARYA (YADIKA)<br />Jl. Kamal Raya, Tegal Alur, Cengkareng Jakarta Barat 1730<br />5. YAYASAN BINA ARTA<br />Jl. Kyai Tapa 1 (Grogol) Jakarta Barat 10330<br />6. YAYASAN BINA EKSKLUSIF<br />Basmar Plaza Lt. 3 Jl. Mampang Prapatan Raya No. 106 jakarta Selatan 12760<br />7. YAYASAN AL-AQIDAH (PENDIDIKAN ILMU AL-QUR’AN)<br />Jl. Gondangdla lama no. 16 Pav. Jakarta, Jakarta Pusat 10330<br />8. YAYASAN BINA PEMBANGUNAN<br />Jl. Tulodong Bawah C11-12 Kebayoran Baru PO BOX 4521/KBY Jakarta 10245<br />9. YAYASAN BHAKTI PUTRA BANGSA<br />Jl. Yusuf Adiwinata, SH. No. 4 Jakarta 10350<br />10. YAYASAN CITRA DANTA<br />PO BOX 1025/MT Jakarta 10310<br />11. YAYASAN DANA BHAKTI KESEJAHTERAAN SOSIAL<br />Jl. Tanah Lawang 2 Jakarta<br />12. YAYASAN DHARMAIS<br />Jl. Bangka II No. 7 Jakarta 12720<br />13. YAYASAN DANA MITRA HUKUM<br />Jl. Bogor Lama No. 18 Jakarta Selatan 12970<br />14. YAYASAN DOMPET DHUAFA REPUBLIKA<br />Jl. Ir. H. Djuanda No. 42 Rempoa Ciputat Jakarta 15412<br />Jl. Buncit Raya no. 37 jakarta Selatan 12510<br />15. YAYASAN FAJAR BINA BHAKTI<br />Jl. Prof. Moh. Yamin 50 jakarta Pusat 10220<br />16. YAYASAN ILMU-ILMU SOSIAL<br />Jl. Ir. H. Djuanda No. 36 jakarta pusat 10120<br />17. YAYASAN JANTUNG INDONESIA<br />Jl. Teuku Umar No. 5 jakarta Pusat 10350<br />18. YAYASAN JAYA SEJAHTERA KODAM JAYA<br />Jl. Metraman Jaya No. 88 jakarta timur 13150<br />19. KANTOR PUSAT UNILEVER INDONESIA<br />Gedung Menara Duta Jl. HR Rasun Said Kav. 8-9 Jakarta 12920<br />20. YAYASAN KAMPUS TERCINTA<br />Jl. Raya Lenteng Agung No. 32 Jakarta Selatan 12620<br />21. YAYASAN KARTIKA EKA PAKSI<br />Jl. Gatot Subroto No. 37 jakarta Selatan 12950<br />22. YAYASAN KASIH SEJAHTERA<br />Jl. Gading raya No. 25A Rawamangun - jakarta timur 13230<br />23. YAYASAN KEMANUSIAAN BAKTI KARTINI<br />Jl. Pilo Kambing No. 9 Kawasan Industri Pulo Gadung Jakarta Timur<br />24. YAYASAN KESEJAHTERAAN ANAK INDONESIA<br />Jl. Teuku Umar No. 10 Jakarta 10350 PO BOX 6179/MT Jakarta 10310<br />25. YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA<br />Jl. Pembangunan I/I Duren Tiga – Jakarta Selatan 12760<br />26. YAYASAN LENTERA KEBAJIKAN (YLK)<br />Wisma Staco Lt. 10 Jl. Cassablanca kav. 18 Jakarta 12970<br />27. YAYASAN LORNA WISHTON<br />Loma Wiston Study Center, 3rd floor, Kanindo Plaza Jl. Gatot Subroto Kav. 23 Jakarta<br />28. YAYASAN LPK INDONESIA – AMERICA<br />Pusat Pendidikan Komputer Indonesia – Amerika Jl. Sungai Sambas Raya No. 12 Kebayoran Baru – Jakarta Selatan 12130<br />29. YAYASAN MANAJEMEN BISNIS INDONESIA<br />Jl. Panglima Polim Raya 49 Jakarta Selatan<br />30. YAYASAN MANGROVE<br />Jl. MT Haryono Kav. 50-51 Jakarta 10420<br />31. YAYASAN MAS AGUNG (PUSAT INFORMASI ISLAM)<br />Jl. Kwitang 8 jakarta 10420<br />32. YAYASAN MENARA BHAKTI<br />Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kebun Jeruk Jakarta Barat<br />33. YAYASAN MITRA DANA BAPEPAM<br />Gedung Garuda Lt. 10 Jl. Medan Merdeka Selatan No. 135 jakarta 10110<br />34. YAYASAN NURRACHMAD<br />Jl. Kayumanis Lama I No. 18 jakarta timur 13140<br />35. YAYASAN PATRISIA<br />Jl. Kramat Raya 148 Jakarta Pusat 10430<br />36. YAYASAN PEMBINA MODE INDONESIA<br />Jl. Hayam Wuruk No. 30 jakarta pusat 10120<br />37. YAYASAN PEMBINA PENGEMUDI INDONESIA<br />Jl. Rawasari Selatan No. 48 Jakarta 10570<br />38. YAYASAN PEMUDA SEMBILAN WALI<br />Jl. Masjid II/9A Melayu Besar Tebet Jakarta Selatan<br />39. YAYASAN PENDIDIKAN ADI UTAMA KARYA<br />Jl. Daan Mogot Jakarta barat<br />40. YAYASAN PENDIDIKAN AS-SYABAD<br />Jl. Pembina RT 015 RW 02 Cip. Muara jakarta 13420<br />41. YAYASAN PENDIDIKAN BOROBUDUR<br />Jl. Raya Kali Malang No. 1 jakarta<br />42. YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM TAHDZIBUL NUFUS<br />Jl. Raya kamal no. 45 Tegal Alur Cengkareng jakarta barat 11730<br />43. YPP ADE IRMA SURYANI NASUTION<br />Jl. Tebet barat IV Rawa – Bilal Tebet jakarta selatan 12810<br />44. YAYASAN PENDIDIKAN PERBANAS<br />Jl. Perbanas Karet Kuningan Setia Budi – Jakarta 12940<br />45. YAYASAN PENDIDIKAN TRIDAYA<br />Jl. Pangkalan Jati II/19 Kali Malang – Jakarta Timur 13620<br />46. YAYASAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT<br />Jl. Wijaya Timur Raya No. 18 jakarta 12170<br />47. YAYASAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI INDONESIA<br />Jl. Wolter Monginsidi 12 – 14 kebayoran Baru – Jakarta Selatan 12160<br />48. YAYASAN PERGURUAN “CIKINI”<br />Jl. Cikin Raya 74 – 76 Jakarta Pusat 10330<br />49. YAYASAN PERGURUAN ‘JAGAKARSA’<br />Jl. Letjend. TB Simatupang No. 152 Tanjung Barat – Jakarta<br />50. YAYASAN PUSAT PENGKAJIAN HUKUM<br />Binamulya I, 5th Floor Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 10 Jakarta 12950<br />51. YAYASAN REIKA’S ATELIER<br />Jl. Buntu Gambir No. 10<br />Jakarta Pusat 10110<br />52. YAYASAN RUMAH GADANG<br />Jl. Kayu Putih Rawamangun Jaktim<br />Jakarta 13210<br />53. YAYASAN SCORPIO (YASKO)<br />Jl. Pramuka 172 Jakarta<br />54. YAYASAN SUPER SEMAR<br />Gedung Garnadi, Lt. IV<br />Jl. HR Rasuna Said Kav. 8-9 Kuningan<br />Jakarta Selatan 12950<br />55. YAYASAN STUDI MASYARAKAT (YSM)<br />Kompleks Kejaksaan Agung Blok F/13<br />Jl. Ragunan – Pasar Minggu Jakarta 12520<br />P.O. BOX 12520/JATCG<br />Jakarta 12520<br />56. YAYASAN SWARA MAHARDIKA<br />Jl. Cikini II/9 Jaksel 10330<br />57. YAYASAN TETANA DUTA KONSULINDO RESEACH CENTER<br />Wisma Bank Darmala<br />Jl. Jend. Sudirman Kav. 28 Lt. 18<br />Jakarta 10210<br />58. YAYASAN TIARA INDAH<br />Jl. Yusuf Adiwinata No. 11 Menteng<br />Jakarta Pusat 10350<br />59. YAYASAN TIFASA<br />Jl. Kebon Sirih No. 39 Jakarta 10350<br />60. YAYASAN TRIKORA<br />Jl. Kebon Sirih No. 67 – 69 Jakarta 10340<br />61. YAYASAN TOYOTA/ASTRA<br />Jl. Sudirman No. 5 Jakarta 10220<br />62. YAYASAN TARUMANAGARA<br />Jl. Letjend. S. Parman No. 1 Jakarta 11440<br />63. YAYASAN THE GHANDI MEMORIAL SCHOOL<br />Jl. Pasar Baru No. 10 jakarta 10710<br />64. YAYASAN UKHUWAH ISLAMIAH<br />Jl. Tebah III/3 Jaksel 12120<br />65. YAYASAN WITTEVEEN DEKKER<br />Jl. Buncit Raya No. 61 Jaksel 12760<br />66. YAYASAN WANGSA MANGGALA<br />Jl. Polowijan No. 64 Yogyakarta 55132<br />68. YAYASAN ASSALAM<br />Jl. Yudha No. 1 Bandung 40151<br />69. YAYASAN KALAM HIDUP<br />Jl. Naripan 67 Bandung 40112<br />70. YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AL-HADI<br />Jl. A. Yani km 7 Bandung<br />71. YAYASAN PUSAT KEBUDAYAAN<br />Jl. Naripan Bandung<br />72. YAYASAN SURYANA<br />Jl. Jatmika Lama 74 Bandung 40231<br />73. YAYASAN WIDYA CAKRA PINAYUNGAN<br />Jl. Jakarta 28 Bandung 40272<br />74. PUSAT ISLAM (PERSIS)<br />Jl. Pajagalan 14 Bandung 40272<br />75. YAYASAN PENDIDIKAN TAMAN ISLAM<br />Jl. KH Abdul Hamid km 4<br />Cibungbulang – Bogor 16630<br />76. YAYASAN PRODUKTIVITAS NASIONAL<br />Jl. Raya Pasar Minggu Wisma Harapan No. 2H Perdatam, Jakarta Selatan 12780<br />77. YAYASAN PROMOSI JAKARTA<br />Gedung Bank Pasifik, Lt. 4, Jl. Jend. Sudirman Kav. 7-8 jakarta 10270<br />78. YAYASAN PENGEMBANGAN BISNIS INDONESIA<br />PO BOX 119/JKT Jakarta 11031<br />79. YAYASAN SURVIVAL<br />Gd. Kompas Lt. 6 Metro Duta III No. 2-3 Pondok Duta Dua Bhakti Jaya – Depok bogor 16418<br />80. YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM “AL-ARCOM”<br />Jl. Margonda Raya No. 50 Depok 16424<br />81. YAYASAN BIN INSANI<br />Jl. Emas Raya No. 17 Bukit Karawaci Baru II Tanggerang 15116<br />82. YAYASAN ISLAMIC COLLEGE<br />P.O. BOX 87 Tanggerang 15001<br />83. YAYASAN HALAMATIL QUR’AN<br />Jl. K.H. Mas Mansyur No. 87 Pekalongan 51117<br />84. YAYASAN AMALAN UMAT ISLAM<br />Jl. Bango 41 Bulumanis Lor Mergoyoso Pati 59154<br />85. PENGELOLA AMALIAH PEGAWAI JASA RAHARJA<br />Jl. Imam Bonjol 151 Semarang 10450<br />86. YAYASA PENDIDIKAN NASIONAL PENUNJANG PELITA<br />Jl. Terusan Candi Kalasan Blimbing – Malang 65142<br />87. DOMPET LPSP<br />Jl. Karangrejo XV/21 Surabaya 60243<br />88. YAYASAN AKADEMI PARAPANCA<br />Jl. Madokan Semampir AWS No. 5 Surabaya<br />89. YAYASAN ALOON ALOON BUNDER NORMALAN<br />Jl. Pemuda No. 15 Surabaya 6027<br />90. YAYASAN BEASISWA AL-ICHSAN<br />Jl. Jakarta No. 55 Surabaya 60164<br />91. YAYASAN BHAKTI PERSATUAN<br />Jl. Kertajaya Indah Timur 31 Surabaya 60116<br />92. YAYASAN HARAPAN JAYA<br />Jl. Ngagel Kebon Sari II/36 Surabaya 601275<br />93. YAYASAN IPIEMS<br />Jl. Menur 125 Surabaya 60116<br />94. YAYASAN KAS PEMBANGUNAN KODYA SURABAYA<br />Jl. Sedepmalem No. 9.11 Surabaya 60272<br />95. YAYASAN KRISTEN G. BOEN<br />Jl. Nias No. 20 Surabaya 60281<br />96. YAYASAN LIMA BHAKTI<br />Jl. Bunguran 31-33 Surabaya<br />97. YAYASAN MEGA CONSELING<br />Jl. Lebak Jaya Utara IIIA/2 Surabaya 60134<br />98. YAYASAN PERGURUAN ISLAM AL-USTADZ UMAR BARADJA<br />Jl. Dana Karya I No. 63 Surabaya 60151<br />99. YAYASAN PERGURUAN 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA<br />Jl. Semolowaru No. 45 Surabaya 60119<br />100. YAYASAN PUSAT BHAKTI LUHUR<br />Jl. Galunggung 3 Surabaya<br />101. YAYASAN SAHABAT SINOMAN INDONESIA<br />Jl. Sidutopo Kidul No. 61 Surabaya 60152<br />102. YAYASAN SURABAYA FORUM<br />Jl. Klampis Ngasem No. 117 Surabaya 60917<br />103. YAYASAN WIDYA MANDALA PUSAT SURABAYA<br />Universitas Katolik Widya Mandala<br />Jl. Dinoyo 42-44 Surabaya 60265<br />104. YAYASAN BHKATI BANUA<br />Jl. Dei Shinta 9 Banjar Masin 7023<br />105. YAYASAN MULIA SEJAHTERA<br />Jl. Veteran Banjar Masin Kalsel<br />106. YAYASAN PUPUK KALTIM<br />Bontang Utara Kaltim 75386<br />107. YAYASAN KARYA DHARMA<br />Jl. G. Bawa Karaeng Ujung Pandang 90115<br /><br />DAFTAR ALAMAT PEMBERI BEA SISWA KE LUAR NEGERI<br /><br />1. Information Center, Association of International Education, Japan<br />4-5-29 Komaba, Meguro-Ku, Tokyo 153<br />www.ai.ej.or.jp<br />2. Yayasan Bina Antar Budaya<br />Jl. Cibulan 11 Jakarta 12170<br />The British Council<br />S. Widjojo Center, Jl. Jend. Sudirman 71 Jakarta 12190<br />3. Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga<br />Jl. Gerbang Pemuda Senayan Jakarta<br />4. DAAD Jakarta Office<br />Jl. Jend. Sudirman Kav. 61-62, Summitmas I Tower 19 Jakarta 12190<br />5. Melbourne Scholarships Office<br />The University of Melbourne<br />ParkVille Victoria 3052 Australia<br />www.mbs.unimelb.edu.au<br />6. Oxford Brookes University<br />Gips Lane, Headington, Oxford OX3 OBP UK<br />www.brookes.ac.uk<br />7. Mrs. Louise Ellis<br />Admission Department, Cranfield University<br />Silsoe, BEDS, MK45 4DT UK<br />8. Mrs. Kathryn James, Admission Manager<br />44 Gornwell Road, Hove East Sussex BN3 3ER UK<br />9. The Australian Agency for International Development<br />www.austembjak.or.id<br />10. Full Bright<br />Yayasan Aminef<br />C/o US Information Service Embassy of USA<br />Jl. Medan Merdeka Selatan 4 Jakarta 10110<br />11. East-West Center<br />Ibu Irma S.<br />East-West Center Representative<br />Jl. Medan Merdeka Selatan 4 Jakarta 10110<br />12. EisenHower Exchange Fellowship<br />US Information Service Cultural Section<br />Embassy of the USA<br />Jl. Medan Merdeka Selatan 4 Jakarta 10110<br />13. E M S S<br />International Development Program of Australian University and Colleges<br />Setiabudhi 2 Building 2nd floor, suite 209, Jl. Rasuna Said Kuningan Jakarta 12920<br />14. Overseas Training Office<br />Jl. Proklamasi 7 Jakarta 10320 Telp. (021) 331234, 331447<br />15. Australian Development Assistance Burean 6th Floor City Bank<br />Jl. M.H. Thamrin No. 35 Jakarta<br />16. World University Service of Canada<br />Jl. Widya Chandra VIII/25 Jakarta<br />17. AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation)<br />Gedung balai Pustaka lantai 6, Jl. Gunung Sahari Raya No. 4 Jakarta 10720 Telp. (62-21) 345-2016 faks. (62-21) 345-2050<br />18. Secretarian IDB Merit Scholarship Program<br />Gedung BPP Teknologi Lantai 1, Jl. M.H. Thamrin No. 8 Jakarta Telp. (021) 322238<br />19. AMCHAM (American Chamber of Commence in Indonesia World Trade Center) 11th Floor<br />Jl. Jend. Sudirman Kav. 29-31 Jakarta 12990 Indonesia Telp. (62-21) 5262860 faks. (62-21) 526-2861<br />E-mail: Amchan Indonesian@ibm.netopenmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-61712159853669686912008-09-01T14:39:00.000+07:002008-09-01T14:42:19.524+07:00Pewarisan Budaya SundaPewarisan Budaya Sunda<br /><br />Oleh Atep Kurnia<br /><br />Pareumeun obor. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi generasi muda Sunda kiwari. Generasi muda Sunda sekarang tampak gelagapan dan tertatih-tatih mengenal dan memahami tata nilai kesundaan.<br /><br />Hal tersebut, menurut saya, disebabkan oleh proses pewarisan budaya yang selama ini berlangsung cenderung dipaksakan tanpa mencermati perubahan yang terjadi dalam segala aspek kehidupan masyarakat Sunda kiwari.<br /><br />Adapun perhatian generasi tua Sunda umumnya tersita dengan panineungan-panineungan masa lalunya. Selain itu, banyak di antara mereka yang menganggap nilai-nilai tradisi Sunda masa lalu sebagai sesuatu yang serba luhur.<br /><br />Hal ini tentu saja kurang bijak dilakukan untuk sebuah pewarisan budaya. Selain kurang tepat sasaran, hal tersebut tentu akan berbenturan dengan konteks generasi muda Sunda sekarang.<br /><br />Sebab, bisa jadi nilai-nilai tradisi Sunda yang selama ini dianggap bernilai tinggi oleh generasi tua Sunda sebenarnya mengandung unsur-unsur yang justru tidak bernilai luhur. Sebab, bisa jadi hal tersebut hanya sesuai dengan zamannya.<br /><br />Selain itu, yang lebih dikhawatirkan adalah generasi yang mewarisi budaya Sunda yang berorientasi kepada orang tua nantinya justru akan menjadi generasi yang back to the past, nyoreang mangsa ka tukang.<br /><br />Hal ini bisa jadi dapat menciptakan budaya Sunda yang mandek. Padahal, budaya bukanlah sesuatu yang baku dan statis, tetapi sebaliknya merupakan sesuatu yang terus bergerak dinamis dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Akses informasi<br /><br />Nilai-nilai tradisi Sunda dapat dibagi dua. Pertama, nilai tradisi Sunda yang terkandung dalam explicit knowledge (pengetahuan yang tersurat), seperti peribahasa, dongeng, sisindiran, dan naskah-naskah kuno.<br /><br />Kedua, nilai tradisi Sunda yang bersumber dari tacit knowledge (pengetahuan yang tersirat). Pengetahuan ini terdiri dari pola pikir, sikap, dan kearifan orang Sunda di dalam menghadapi dan mengatasi masalah kehidupannya.<br /><br />Pewarisan budaya Sunda tentu harus mengutamakan keduanya. Sayangnya, hal tersebut tampak masih jauh dari harapan. Dari segi pengetahuan tersurat, akses informasi untuk mengetahui dan mempelajari khazanah kebudayaan Sunda masih kurang.<br /><br />Jumlah buku-buku yang memuat pengetahuan kesundaan sedikit. Adapun jumlah peneliti naskah-naskah Sunda kuno juga kurang. Selain itu, tradisi-tradisi lisan banyak ditinggalkan. Sungguh kontras bila dibandingkan dengan akses informasi untuk mengenal budaya asing yang terasa begitu dekat dan mudah diperoleh.<br /><br />Demikian pula dengan pengetahuan yang tersirat. Pengetahuan ini sepertinya tidak sampai kepada generasi muda Sunda. Bisa jadi hal itu karena adanya gap antara generasi tua dan generasi muda Sunda. Akibatnya, pewarisan budaya Sunda dari generasi tua ke generasi muda tidak berjalan sebagaimana mestinya.<br /><br />Generasi tua Sunda terkesan mengawang-awang, bahkan romantis. Mereka tampak enggan turun langsung melihat kondisi riil di lapangan. Mereka enggan mencoba terjun langsung ke "kantong-kantong" pewarisan budaya-dalam hal ini arena generasi muda-misalnya mendatangi sekolah-sekolah dasar dan menengah.<br /><br />Selain itu, mereka merasa cukup dengan hanya mengeluarkan uang untuk membiayai hal-hal yang bersifat seremonial belaka, tanpa berusaha mencoba memikirkan cara yang lebih berkesinambungan.<br /><br />Akan tetapi, yang lebih mengkhawatirkan adalah tidak adanya inisiatif dari generasi muda menyerap nilai-nilai kesundaan. Mereka tidak suka membaca buku Sunda. Mereka enggan mengkaji kearifan budaya Sunda yang terdapat di dalam tradisi lisan. Mereka tidak kreatif menimba khazanah pengetahuan yang tersirat dari generasi tua Sunda. Solusi<br /><br />Menurut Hendayana (2004), ada tiga langkah yang perlu dilakukan untuk mempertahankan hubungan orang Sunda dengan nilai tradisinya.<br /><br />Pertama, inventarisasi. Kegiatan ini mencakup pemilahan nilai-nilai luhur yang cocok untuk menghadapi tantangan-tantangan yang datang menerjang kebudayaan Sunda. Dengan demikian, orang Sunda, terutama generasi mudanya, diharapkan memiliki bargaining position atau counter culture ketika tantangan datang.<br /><br />Kedua, redefinisi. Menurut Hendayana, redefinisi mengacu kepada upaya membuat teks (nilai tradisi) itu mempunyai konteks dengan zaman sekarang, yaitu Sunda yang berpikiran maju, bukan sekadar Sunda yang berkutat dengan nilai-nilai tradisi tanpa terdorong menatap nilai-nilai masa depan.<br /><br />Kegiatan ini berupa pengkajian ulang dan pemberian tafsir baru terhadap nilai-nilai kesundaan yang dirasa menghalangi gerak langkah orang Sunda. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan, seperti caina herang laukna beunang atau bengkung ngariung bongkok ngaronyok, haruslah ditinjau ulang, sejauh mana manfaat dan mudaratnya.<br /><br />Ketiga, revitalisasi. Alwasilah (2006) memaknai revitalisasi sebagai upaya terencana, sinambung, dan diniati agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh para pemiliknya, melainkan juga membangkitkan segala wujud kreativitas dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menghadapi berbagai tantangan.<br /><br />Selain itu, untuk memperkuat pemahaman generasi muda kepada budaya Sunda, penting sekali mengintensifkan pengajaran bahasa Sunda kepada mereka.<br /><br />Hal ini tetap saja berpangkal pada peran orang tua. Orang tua atau generasi tua Sunda harus rela mengesampingkan ego mereka dan tetap memperkenalkan dan menjaga budaya Sunda.<br /><br />Cara yang bisa ditempuh, misalnya selalu menggunakan bahasa Sunda kepada anak-anaknya di rumah. Cara ini berguna untuk menjaga agar tidak terjadi adanya gap antargenerasi dalam rangka mewariskan bahasa daerah.<br /><br />Cara yang lain adalah melalui peran sekolah. Dalam hal ini, pengajaran budaya Sunda dan bahasa Sunda harus dianggap sangat penting dan mendesak. Faktor guru juga sangat penting diperhatikan. Para guru dituntut lebih kreatif dengan mencari jalan agar pengajaran bahasa Sunda lebih efektif.<br /><br />Demikianlah masalah yang dihadapi generasi muda Sunda sekarang. Saya rasa, peran orang tua dan pendidikanlah yang bisa diharapkan dapat menumbuhkan dan mengembangkan bahasa dan budaya Sunda sehingga generasi muda dapat melangkah ke depan dengan langkah yang yakin, seperti berjalan di waktu malam dengan diterangi obor.<br /><br />ATEP KURNIA Penulis Lepas, Tinggal di Bandungopenmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-8804499019528463372008-09-01T14:26:00.000+07:002008-09-01T14:38:49.399+07:00PENDIDIKAN, PEMBINAAN GENERASI MUDA DAN KEBUDAYAAN NASIONAL.PENDIDIKAN, PEMBINAAN GENERASI MUDA<br />DAN KEBUDAYAAN NASIONAL.<br /><br />A. PENDIDIKAN DAN PEMBINAAN GENERASI MUDA. I. Pendahuluan<br />Sebagaimana ditentukan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber Pancasila. Kecuali itu pembangunan pendidikan ditujukan pula untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggungjawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai selama manusia sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945.<br />Dalam rangka pengembangan pendidikan tersebut serta pengembangan ilmu pengetahuan diusahakan penambahan berbagai fasilitas dengan prioritas yang tepat dan disesuaikan dengan kemampuan pembiayaan, baik yang bersumber dari Negara maupun dari masyarakat sendiri.<br />Kebijaksanaan dasar pembangunan di bidang pendidikan dan pembinaan generasi muda selama Repelita II yang telah ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haitian Negara tersebut telah dijabarkan dalam serangkaian kebijaksanaan yang sebagai kebulatan diarahkan pada pemecahan secara mendasar sejumlah masalah pokok yang berkaitan satu sama lain. Masalah-masalah tersebut menyangkut baik bidang pendidikan dan pembinaan generasi muda itu sendiri maupun berbagai masalah di bidang-bidang pembangunan lainnya.<br />Untuk itu dilakukan berbagai kegiatan pembangunan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan pokok sebagai berikut:<br /><br />865<br />a.Perpaduan program pendidikan sebagai bagian dari pada pengembangan kebudayaan dengan program kebudayaan nasional dalam konteks pendidikan seumur hidup.<br />b.Perluasan dan pemerataan kesempatan belajar untuk menampung laju pertambahan kelompok-kelompok usia anak didik dan lulusan yang mencari tempat di tingkat pendidikan yang lebih tinggi.<br />c.Pemeliharaan dan peningkatan mutu pendidikan pada semua ting- kat dan jenis pendidikan.<br />d.Pengembangan sistem pendidikan yang lebih serasi (relevan) dengan pembangunan.<br />e.Pemantapan pendidikan di luar sistem sekolah (pendidikan non-formal) dan usaha-usaha pembinaan generasi muda.<br />f.Pengembangan efektifitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan sehingga dapat diandalkan untuk melaksanakan pembaharuan pendidikan.<br />a. Perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.<br />Usaha perluasan dan pemerataan kesempatan belajar, merupakan suatu penerapan azas keadilan sosial di bidang pendidikan. Hal ini dilakukan terutama untuk SD dalam rangka memungkinkan tertam-pungnya 85% dari anak usia kelompok 7—12 tahun pada akhir Repe- lita II. Usaha-usaha ini dilakukan dengan mengadakan pembangunan gedung-gedung Sekolah Dasar baru dan penambahan ruang-ruang kelas pada SD yang sudah ada, di samping perbaikan kembali gedung sekolah yang ada (Sekolah Dasar. Negeri dan Swasta serta Madrasah Ibtidaiyah Swasta). Kegiatan serupa dilakukan pula pada sekolah- sekolah lanjutan terutama pada SMP, SMA dan SPG.<br />Dalam pada itu beberapa unsur penunjang penting dalam usaha memperluas kesempatan belajar antara lain berupa pembebasan dan penggantian Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) untuk Sekolah Dasar, penyediaan beasiswa, dharmasiswa dan tunjangan ikatan dinas untuk sejumlah pelajar dan mahasiswa, terutama yang berasal dari keluarga yang kedudukan sosial-ekonominya lemah. Usaha perluasan kesempatan belajar di luar sekolah telah lebih dimantapkan terutama dengan mengembangkan bahan-bahan pengetahuan praktis di samping<br />meningkatkan efisiensi dari berbagai jenis kursus ketrampilan dasar serta kegiatan lainnya seperti KEJAR ("bekerja sambil belajar") dan PAMONG (Pendidikan Anak Oleh Masyarakat, Orang Tua dan Guru).<br /><br />b.Peningkatan mutu pendidikan<br />Usaha meningkatkan mutu pendidikan dilaksanakan dengan kurikulum baru yang lebih menjamin mutu pendidikan, penataran tenaga guru, penyediaan buku-buku pelajaran pokok dan buku perpustakaan, penyediaan peralatan laboratorium (untuk SMP dan SMA) serta pera-latan kerja praktek untuk STM. Perintisan pembaharuan pendidikan melalui sekolah pembangunan pada 8 IKIP dilanjutkan dengan pemantapan "modul". Di samping itu teknologi komunikasi pendidikan telah dimanfaatkan dalam bentuk penggunaan siaran radio pendidikan untuk penataran guru-guru SD.<br />Mengenai peningkatan mutu pendidikan tinggi diusahakan antara lain melalui program doktor, berbagai bentuk penataran peningkatan kemampuan penelitian dan penyediaan sarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium dan sebagainya. Begitupun halnya dengan konsolidasi dan integrasi program-program penyediaan guru untuk semua jenis dan tingkatan pendidikan.<br />c.Pembinaan relevansi pendidikan<br />Sesuai dengan GBHN maka sistem pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan pembangunan. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan tersebut lebih dikaitkan dengan kebijaksanaan pengembangan kesempatan kerja termasuk prakarsa lapangan kerja oleh para lulusan sendiri. Dalam rangka ini pendidikan kejuruan dan teknik sangat penting dalam menghasilkan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pembangunan. Demikian pula pendidikan tinggi mulai lebih banyak memberikan perhatian pada berbagai tingkat dan keahlian yang tidak mensyaratkan gelar sarjana (sub profesional). Kuliah Kerja Nyata (KKN) dimaksudkan pula sebagai kegiatan yang bermanfaat untuk menunjang relevansi pendidikan dengan pembangunan dan perkembangan masyarakat.<br /><br />867<br />d.Pemantapan pendidikan di luar sekolah dan pembinaan gene-rasi muda<br />Pendidikan di luar sekolah erat hubungannya dengan pembinaan generasi muda karena memberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan praktis dan ketrampilan dasar kepada anak didik yang kurang dapat memanfaatkan pendidikan sekolah. Kegiatan ini dilaku- kan atas dasar "bekerja dan belajar untuk menambah penghasilan". Pendidikan di luar sekolah juga ditujukan untuk memelihara aksara- wan dan menghasilkan aksarawan gaya baru, dalam arti bebas dari sekaligus tiga "buta" yaitu buta aksara latin dan angka, buta bahasa Indonesia dan buta pendidikan dasar.<br />Dalam pada itu juga dikembangkan kehidupan berorganisasi di kalangan generasi muda baik di lingkungan sekolah dan kampus mau-pun di kalangan masyarakat luas termasuk kepramukaan dan organi- sasi kepemudaan lainnya. Di samping itu juga diberikan kesempatan untuk memanfaatkan waktu secara produktif dalam rangka mempersiapkan diri untuk tanggung jawab yang lebih besar di masa mendatang, sekaligus meningkatkan partisipasi generasi muda dalam proses pembangunan. Untuk ini diusahakan fasilitas latihan ketrampilan, latihan kepemimpinan, latihan olahraga dan rekreasi lainnya serta berbagai kesempatan pengabdian kepada masyarakat.<br />e.Peningkatan fasilitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan<br />Selama Repelita II sistem pengelolaan pendidikan telah makin dimantapkan. Hal ini dimungkinkan berhubung telah ditetapkannya susunan organisasi, perincian tugas dan tata cara kerja segenap ke- satuan pelaksanaan pendidikan, baik di pusat maupun di daerah. Demikian pula telah dipertegas tanggung jawab fungsional di bidang pendidikan dan ditingkatkan pengawasan (supervisi) kegiatan pendi-dikan baik dalam arti teknis maupun yang menyangkut administrasi keuangan.<br /><br />2. Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan<br />Rangkaian kebijaksanaan pembangunan di bidang pendidikan tersebut telah dituangkan dalam berbagai program nyata yang hasil‑<br />hasil pelaksanaannya selama masa Repelita II adalah sebagai beri-kut:<br />a. Pembinaan Pendidikan Dasar<br />Pada dasarnya program ini meliputi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan dan pengembangan Sekolah Dasar, Ta- man Kanak-kanak dan Sekolah Luar Biasa, yang meliputi usaha :<br />(1)perluasan dan pemerataan kesempatan belajar;<br />(2)peningkatan jumlah dan mutu guru;<br />(3)penyempurnaan dan pengadaan sarana pendidikan lainnya.<br />Banyak kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakan untuk memperluas kesempatan belajar. Kegiatan tersebut mencakup pembangunan gedung Baru SD dan penambahan ruang kelas yang dileng-kapi dengan pengangkatan guru dan tenaga lainnya yang diperlukan. Sedangkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dilakukan penataran bagi guru-guru SD, kepala sekolah, penilik SD dan tenaga teknis lainnya, pemantapan pelaksanaan kurikulum tahun 1975 dan 1976, di samping pengadaan buku pelajaran dan buku bacaan/perpustakaan, pengadaan alat peraga Serta peningkatan kegiatan pengawasan (supervisi oleh para penilik sekolah).<br />Sejak tahun ajaran 1973/74 sampai menjelang Repelita III, jum- lah murid SD bertambah sekitar 6,0 juta orang, yaitu dari 13,1 juta pada tahun 1973/74 menjadi 19,1 juta pada tahun 1978/79, berarti mengalami kenaikan 46% selama Repelita II. Sebagai perbandingan, jumlah murid SD pada tahun 1968, sekitar 12,3 juta sehingga kenaikan selama Repelita I adalah 800 ribu murid atau 63% saja (Tabel XIV — 1).<br />Karena perpanjangan tahun ajaran 1978/79 untuk tahun ajaran 1979/80 penambahan murid diperkirakan akan lebih banyak dari pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu sekitar 2 juta orang. De- ngan demikian pada awal Repelita III (tahun ajaran 1979/80) jum- lah murid SD diperkirakan mencapai 21,2 juta termasuk di dalam- nya 17,9 juta murid yang berumur 7 - 12 tahun atau 82,1% dari seluruh anak kelompok usia 7 - 12 tahun yang berjumlah 21,8 juta<br />pada tahun 1979. Di samping itu pada tahun 1979 terdapat pula sekitar 3,0 juta murid Madrasah Ibtidaiyah termasuk didalamnya sekitar 2,53 juta murid berusia 7 - 12 tahun atau sekitar 11,6% dari seluruh anak kelompok usia 7 - 12 tahun. Dengan demikian pada awal Repelita III (tahun ajaran 1979/80) diperkirakan 93,7% dari kelompok usia 7 - 12 tahun sudah mendapat kesempatan belajar di pendidikan dasar (SD dan MI). Sebagai perbandingan, pada tahun 1973/74 kelompok usia 7 - 12 tahun yang bersekolah pada SD dan MI adalah 65,5%, yaitu 54,2% pada SD dan 11,3% pada MI (Tabel XIV - 2).<br />Perluasan dan pemerataan kesempatan belajar pada Sekolah Dasar dilakukan melalui serangkaian Instruksi Presiden tentang Pro-gram Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar (,,Inpres SD") yang telah dimulai menjelang akhir Repelita I (Triwulan IV 1973/74). Sebagai hasil pelaksanaannya selama Repelita II telah dibangun 31 ribu buah gedung SD baru dengan masing-masing 6 ruang kelas dan satu ruang guru, di samping penambahan 15 ribu ruang kelas baru pada SD yang sudah ada Serta rehabilitasi sebanyak 56.000 gedung sekolah, yaitu 33.600 SD Negeri, 7.340 SD Swasta dan 15.060 Madrasah Ibtidaiyah Swasta (Tabel XIV-3). Hal ini berarti bahwa sebagai hasil pelaksanaan Repelita II telah tersedia tambahan tempat belajar pada SD bagi Negeri untuk sekitar 8,0 juta murid baru. Hasil usaha tersebut adalah sepadan dengan perkembangan jumlah murid SD sejak 1973/74 sampai dengan awal Repelita III (tahun ajaran 1979/80), yaitu yang menunjukkan pertambahan murid sekitar 8,1 juta.<br />Untuk memenuhi keperluan tambahan guru dan tenaga lainnya dengan adanya pembangunan gedung-gedung SD tersebut di atas, sejak tahun 1974/75 sampai dengan 1978/79 telah dilaksanakan pengangkatan 263 ribu guru dan tenaga lainnya pada SD, yaitu 197 ribu guru kelas, 6.150 kepala sekolah, 31 ribu guru agama dan 28.850 penjaga sekolah.<br />Dalam rangka pemanfaatan buku pelajaran pokok baru yang telah dibekukan, selama Repelita II telah ditatar sekitar 634 ribu guru kelas rata-rata dua kali sesuai dengan bidang-bidang studinya masing-masing, selain penataran untuk sekitar 34 ribu pembina SD. Kegiatan penataran tersebut telah sangat meningkat selama Repelita II diban‑<br />dingkan dengan jumlah 11,7 ribu guru SD yang ditatar selama Repe- lita 1.<br />Jumlah buku pelajaran pokok (Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial) termasuk buku pedoman guru yang telah/sedang dicetak dan dibagikan kepada semua SD (Negeri dan Swasta) selama Repelita Ii berjumlah lebih dari 272,8 juta buku, termasuk 105,8 juta buah pada tahun 1978/79.<br />Sebagai perbandingan, selama Repelita I jumlah buku pelajaran yang telah disediakan adalah sekitar 62,6 juta, sedangkan sebagian besar pengadaannya adalah dalam tahun 1973 yaitu 25,8 juta, termasuk 2,8 juta buah melalui Inpres SD tahun 1973.<br />Untuk lebih meningkatkan mutu pelajaran telah diusahakan pula pengadaan buku bacaan/perpustakaan untuk SD (Negeri dan Swas- ta). Sejak tahun 1974/75 sampai dengan tahun 1978/79 telah atau sedang disediakan lebih dari 38,8 juta buku bacaan anak-anak/perpustakaan termasuk 8,5 juta buku pada tahun 1978/79.<br />Penyediaan buku bacaan tersebut telah dimulai dalam tahun 1973/74 sebagai suatu kegiatan utama dari Inpres SD, yaitu sebanyak 6,6 juta buku. Dengan demikian maka pada akhir Repelita II semua SD negeri dan swasta (termasuk SD Inpres yang sudah ada kelas IV) memiliki masing-masing 600 judul/buah buku bacaan/perpustakaan.<br />Alat peraga yang telah dibagikan ke sekolah-sekolah dasar se-lama Repelita II sebanyak 67,1 ribu set yang masing-masing terdiri dari peta dinding Indonesia dan unit alat peraga matematika untuk kelas I.<br />Di samping itu telah pula mulai disediakan dan dibagikan kurang lebih 100 ribu set buku Pendidikan Moral Pancasila (PMP) ke sekolah- sekolah dasar di seluruh Indonesia (negeri dan swasta).<br />Selanjutnya dalam rangka memupuk dan meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah disediakan pula naskah/buku-buku agama baik untuk guru maupun untuk murid yang meliputi buku-buku agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dalam Repe-lita II telah dicetak sebanyak 70 ribu buku pedoman guru agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha untuk kelas I SD.<br />871<br />Untuk meningkatkan mutu Taman Kanak-kanak (TK) telah dilaksanakan pengadaan buku kurikulum TK tahun 1976 sebanyak 15 ribu buah dan buku pedoman guru sebanyak 90 ribu buah.<br />Demikian pula telah dilaksanakan penataran guru dan pembina TK sebanyak 2.394 orang dan penyediaan alat peraga sebanyak 1.761 unit. Selanjutnya telah didirikan sebanyak 5 TK negeri pembina, 3 buah di antaranya akan selesai dibangun dalam tahun 1979/80.<br />Seperti halnya dengan Taman Kanak-kanak, pembinaan Sekolah Luar Biasa (SLB) pertama-tama ditekankan pada usaha pengembangan kurikulum serta penataran guru dan pembina SLB. Selama Repelita II telah disusun sebanyak 210 naskah kurikulum serta pedoman guru dan murid untuk 5 jenis SLB, termasuk 34 naskah dalam tahun 1978/79. Penataran guru dan pembina SLB selama Repelita II berjumlah 1.130 orang, termasuk penataran 631 orang dalam tahun 1978/79.<br />Selanjutnya telah pula disediakan sebanyak 635 set alat peraga untuk 9 SLB Negeri dan 125 SLB Swasta. Di samping itu telah pula direhabilitasi sebanyak 29 gedung SLB Negeri dan Swasta serta dimulai pembangunan 1 (satu) buah SLB baru.<br /><br />b. Pembinaan Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama<br />Sesuai dengan garis kebijaksanaan Repelita II, pengembangan pendidikan pada sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) diarahkan pertama-tama untuk meningkatkan mutu Sekolah Menengah Pertama (SMP) disertai dengan perluasan kesempatan belajar bagi lulusan SD. Dalam rangka pengembangan SMP ini maka sebagian besar sekolah-sekolah kejuruan/teknik tingkat pertama secara berangsur-angsur akan diintegrasikan menjadi SMP.<br />Selama Repelita II jumlah murid SLTP telah meningkat dari 1.536 ribu pada tahun ajaran 1973/74 (termasuk di dalamnya 1.207 ribu di SMP) menjadi 2.674 ribu (termasuk 2.271 ribu murid SMP) pada tahun 1978/79. Hal ini berarti pertambahan sejumlah 1.138 ribu murid atau 74% untuk SLTP secara keseluruhan selama Repelita II. Pada SMP saja kenaikannya adalah sebanyak 1.064 ribu atau 88%<br />(Tabel XIV — 1). Pada tahun ajaran 1979/80 sebagai tahun awal Repelita III jumlah murid SLTP diperkirakan mencapai 2.897 ribu (2.744 ribu di antaranya di SMP).<br />Perkembangan jumlah-jumlah murid SLTP ini sesuai dengan meningkatnya lulusan SD dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah maupun proporsinya yang melanjutkan ke SLTP terutama ke SMP. Pada akhir tahun ajaran 1973/74 jumlah lulusan SD adalah 1.139 ribu dan yang melanjutkan pendidikan ke SLTP pada tahun ajaran berikutnya 58,4% atau 665 ribu, termasuk di dalamnya 45,3% atau 301 ribu ke SMP. Sedangkan pada akhir tahun ajaran 1977/78 jumlah lulusan SD mencapai 1.453 ribu dengan angka melanjutkan ke SLTP sebesar 70,5% atau 1.024 ribu lulusan SD, di antaranya 60,2% atau 875 ribu ke SMP. Untuk tahun ajaran 1978/79 jumlah lulusan SD diperkirakan 1.546 ribu dan yang memasuki SLTP pada awal Repelita III (tahun ajaran 1979/80) adalah sekitar 71,1% atau 1.099 ribu, di antaranya sekitar 67,5% atau 1.044 ribu lulusan SD melanjutkan ke SMP.<br />Perluasan daya tampung pada SLTP, khususnya SMP, antara lain diusahakan melalui pembangunan 352 gedung baru SMP (dengan rata-rata 10 ruang kelas) dan penambahan 4.450 ruang kelas baru pada SMP yang sudah ada, sehingga keseluruhannya ekivalen dengan pembangunan baize 797 gedung sekolah. Gedung sekolah dan ruang kelas baru yang dibangun diusahakan agar supaya sejauh mungkin dimanfaatkan dengan penjadwalan ganda sehingga diharapkan dapat memperluas daya tampung dengan sekitar 637,6 ribu tempat belajar pada SMP Negeri.<br />Sejalan dengan peningkatan daya tampung pada SMP maka se-lama Repelita 11 jumlah guru SMP telah naik dari 47,6 ribu tenaga pada tahun 1973 menjadi 68,3 ribu pada tahun 1978 yang berarti kenaikan dengan 20,7 ribu guru. Sebagian besar dari guru baru ini adalah hasil PGSLP (pendidikan khusus selama satu tahun setelah SMA) dan yang sejak tahun 1976/1977 telah menghasilkan 15,8 ribu lulusan.<br />Dalam pada itu, usaha peningkatan mutu SMP telah diusahakan antara lain melalui penyempurnaan kurikulum, penyediaan buku pela‑<br /><br /><br />873<br />jaran pokok dan buku perpustakaan, penataran guru, pengadaan ruang laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) lengkap dengan peralatannya, serta penyediaan alat-alat kesenian, olah raga dan ketrampilan.<br />Pada permulaan tahun 1975 telah selesai disusun kurikulum baru (kurikulum 1975) untuk 11 bidang studi yang secara bertahap telah dilaksanakan sejak tahun 1976. Kurikulum baru tersebut sifatnya lebih berorientasi kepada tujuan yang ingin dicapai melalui pendidikan, dalam arti lebih bermutu dan relevan dengan tuntutan pembangunan. Dalam rangka pelaksanaan kurikulum baru telah pula dirintis dan dicobakan secara terbatas suatu metode belajar menga- jar dengan menggunakan "modul" sebagai satuan-satuan terkecil dari berbagai bidang studi yang dapat diselesaikan oleh murid sendiri secara bertahap sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing, sedang-kan guru lebih banyak berperan sebagai pengarah dan pendamping belajar.<br />Sesuai dengan rencana semula maka selama 2 tahun pertama Repelita II semua gedung SMP negeri telah mengalami rehabilitasi sekaligus dengan diberikan tambahan ruangan praktek atau laboratorium IPA lengkap beserta peralatannya. Dengan demikian maka 1.754 buah SMP Negeri, termasuk 1.417 buah yang sudah ada pada awal Repelita II, telah memiliki ruang dan peralatan laboratorium praktek IPA, di samping 26 SMP Swasta yang telah pula diberi ban-tuan peralatan laboratorium, dan 9 Balai Penataran Guru (BPG).<br />Penataran Guru dan tenaga pendidikan lainnya selama Repelita II telah menjangkau sejumlah 10,6 ribu guru dalam berbagai bidang studi/mata pelajaran, serta 1,5 ribu kepala sekolah dalam pengelola-an pelaksanaan kurikulum 1975. Untuk menunjang kegiatan pena-taran ini telah dibangun 9 BPG (3 BPG Nasional dan 6 BPG Regional). Sedangkan dalam rangka pemerataan tenaga guru telah dipindahkan sejumlah 1.866 guru.<br />Penyediaan buku mata pelajaran yang telah/sedang dilaksanakan selama Repelita II mencapai 40 juta buku pelajaran (Matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), dan 425 ribu buku<br />pegangan guru. Selanjutnya telah disediakan 3,6 juta buku perpustakaan bacaan remaja juga untuk SMA, di samping sekitar 2 juta buku ketrampilan.<br />Sarana pendidikan lainnya ialah alat-alat kesenian dan olah raga yang rata-rata telah dibagikan dua kali untuk semua SMP dan alat ketrampilan yang minimal telah disediakan sekali untuk masing-masing SMP.<br />Akhirnya, pengintegrasian bertahap sebagian besar SLTP Kejuruan/teknik menjadi SMP telah dimulai pada tahun 1977, dengan cara tidak lagi menerima murid kelas E. Dengan demikian pada awal tahun 1979 telah diintegrasikan sejumlah 752 SLTP Kejuruan/ Teknik menjadi SMP.<br />c. Pembinaan Pendidikan Lanjutan Tingkat Atas<br />Dalam Repelita II pengarahan pembinaan sekolah-sekolah lan-jutan tingkat atas (SLTA) ditujukan terutama kepada peningkatan mutu pendidikannya di samping (1) meningkatkan daya tampung SMA; (2) meningkatkan SLTA Kejuruan/Teknik sesuai dengan kebutuhan pembangunan akan tenaga terampil yang bermutu dan (3) meningkatkan daya tampung SPG sesuai dengan keperluan penye-diaan guru SD.<br />Keseluruhan jumlah murid SLTA yang pada tahun 1973/74 berjumlah 686 ribu telah meningkat menjadi 1.290 ribu pada tahun ajaran 1978/79, yang berarti kenaikan sebanyak 604 ribu atau 88% (Tabel XIV — 1). Pada tahun 1973/74 tersebut keseluruhan murid SLTA yang berjumlah 686 ribu itu terdiri atas 303 ribu murid SMA, murid SLTA Kejuruan/Teknik 302 ribu dan murid SPG/SGO 81 ribu. Pada tahun ajaran 1978/79 murid SLTA yang mencapai jumlah 1.290 ribu itu terbagi atas 604 ribu di SMA, di SLTA Kejuruan/Teknik 474 ribu dan di SPG/SGO 212 ribu. Dengan perkataan lain, kenaikan sebanyak 604 ribu murid SLTA selama lima tahun Repelita II adalah kenaikan untuk SMA 301 ribu atau 99%, pada SLTA Kejuruan/Teknik 172 ribu atau 57% dan di SPG/SGO sebanyak 131 ribu atau 162%.<br />Kenaikan-kenaikan dalam jumlah murid SLTA pada umumnya berkaitan dengan makin meningkatnya jumlah lulusan SLTP dari tahun ke tahun dan yang sekaligus pula karena perluasan daya tampung SLTA dalam arti persentase lulusan SLTP yang melanjutkan pendidikannya ke SLTA.<br />Jumlah lulusan SLTP pada akhir tahun ajaran 1973/74 sebanyak 363 ribu dan yang dapat ditampung pada awal tahun ajaran 1974/75 berikutnya di SLTA adalah 74,1% atau 269 ribu, khususnya 31,9% di SMA, 34,2% di SLTA Kejuruan/Teknik dan 8,0% di SPG/SGO.<br />Pada tahun 1977/78 jumlah lulusan SLTP mencapai 618 ribu dan yang ditampung di SLTA pada tahun 1978/79 adalah 82,5% atau 510 ribu lulusan SLTP, dalam arti 40,7% di SMA, di SLTA Kejuruan/Teknik 28,8% dan 13,0% di SPG/SGO. Sedangkan lulusan SLTP tahun 1978/79 yang diperkirakan berjumlah 627 ribu, sekitar 91,9% diperkirakan dapat ditampung di SLTA, khususnya 48,8% di SMA, di SLTA Kejuruan/Teknik 29,4% dan 13,0% di SPG/SGO.<br />Dari angka-angka tersebut di atas nampak pula bahwa perbandingan jumlah-jumlah murid pada SMA, SLTA Kejuruan/Teknik dan SPG/SGO mengalami perubahan, yaitu kalau pada tahun ter- akhir Repelita I (1973/74) perbandingan jumlah murid SLTA adalah 44% di SMA, di SLTA Kejuruan/Teknik 44% dan di SPG/SGO 12%, maka pada akhir Repelita II (1978/79) perbandingannya men- jadi 47% di SMA, 37% di SLTA Kejuruan/Teknik dan 16% di SPG/SGO.<br />(1) Pembinaan Sekolah Menengah Atas (SMA)<br />Sebagaimana halnya dengan pembinaan SMP, perluasan daya tampung SMA dilakukan melalui pembangunan gedung sekolah baru dan penambahan ruang kelas pada sekolah yang sudah ada. Selama Repe-lita II telah dibangun 86 gedung bare SMA (dengan masing-masing 15 ruang kelas) dan 998 ruang kelas bare sebagai tambahan, sehingga keseluruhannya ekivalen dengan 152 gedung SMA yang dengan penjadwalan ganda dapat memberikan tambahan kesempatan belajar un- tuk sekitar 183 ribu murid. Di samping itu keseluruhan 426 gedung SMA yang ada pada awal Repelita II telah mengalami rehabilitasi.<br />Sesuai dengan penambahan fasilitas belajar telah dapat diusahakan tambahan guru baru sebanyak 5,5 ribu sehingga jumlah guru telah meningkat dari 12,9 ribu pada tahun 1973 menjadi 18,4 ribu pada tahun 1978. Dalam rangka memenuhi kebutuhan guru, PGSLA sebagai ben-tuk pendidikan khusus untuk Sarjana Muda menjadi guru SMA telah menghasilkan sejumlah 2,9 ribu lulusan sejak didirikan dalam tahun 1977/1978.<br />Dalam rangka peningkatan mutu, kurikulum 1975 yang meliputi 12 bidang studi telah diterapkan secara bertahap sejak tahun 1976. Selanjutnya, pengadaan ruang-ruang laboratorium IPA beserta peralatannya telah dilakukan pada 491 SMA termasuk 8 Proyek Perintis (PPSP), di samping bantuan peralatan untuk 32 SMA swasta.<br />Buku pelajaran pokok yang telah/sedang disediakan untuk SMA adalah sekitar 12,0 juta. Sedangkan guru dan tenaga kependidikan lainnya yang telah ditatar meliputi 6,4 ribu guru termasuk 590 kepala sekolah, 481 instruktur guru SLU (SMP dan SMA) dan 356 pembina SLU. Dalam rangka pemerataan tenaga telah dipindahkan 156 guru SMA.<br />Selanjutnya, semua SMA telah mendapat alat-alat kesenian dan olah raga dan sebagian di antaranya juga telah mendapat alat-alat ketrampilan.<br />(2) Pembinaan Sekolah-sekolah Kejuruan/Teknik<br />Jenis pendidikan ini sangat penting peranannya di dalam menghasilkan tenaga kerja trampil tingkat Menengah di berbagai bidang pembangunan. Khususnya untuk pembinaan pendidikan teknologi maka pengembangan 8 proyek perintis STM (4 tahun) diteruskan. Begitupun halnya dengan 9 Pusat Latihan Pendidikan Teknik (PLPT) yang masing-masing menunjang 3-4 buah STM sekitarnya untuk menghasilkan juru teknik dalam jurusan bangunan, mesin konstruksi, otomotif, listrik dan elektronika. Di samping itu pembinaan terus menerus ditingkatkan pula terhadap sejumlah 80 STM lainnya, 8 Sekolah Menengah Teknologi Pertanian (SMPP), 4 STM khusus (Grafika, Perkapalan, Perikanan Laut dan Penerbangan), 6 Sekolah Menengah Teknologi Kerumah‑<br />tanggaan (SMTK), 7 Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK), 7 Sekolah Menengah Pekerja Sosial (SMPS) dan 12 berbagai Sekolah Menengah Kesenian.<br />Untuk meningkatkan mutu pendidikan teknologi dilakukan pula pembakuan kurikulum, penataran 3,2 ribu guru dan pembina sekolah lainnya serta mengusahakan penyediaan 5 juta buku pelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum. Dalam hubungan ini kerjasama dengan sektor industri mulai ditingkatkan. Untuk menghasilkan jumlah guru yang bermutu maka FKIT-IKIP di Padang dan Yogyakarta sedang dikembangkan, demikian pula pusat penataran guru teknologi di Ban-dung.<br />Dalam rangka menghasilkan tenaga menengah yang terampil dan cakap di bidang ekonomi telah dilakukan pembinaan terhadap 100 SMEA Pembina (4 tahun). Usaha ini ditujukan agar dapat menghasilkan tenaga pengatur tata usaha dan pembukuan. Pembakuan kurikulum dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan SMEA. Demikian pula halnya dengan penataran terhadap 1,2 ribu kejuruan ekonomi khususnya guru praktek SMEA Pembina. Untuk melengkapi bahan pelajaran telah/sedang diusahakan tersedianya 4,7 juta buku pelajaran kejuruan ekonomi.<br />Sebagai pembinaan pendidikan kesenian telah mulai dikembangkan 12 Sekolah-sekolah Kesenian terutama melalui penyusunan naskah/buku pelajaran dan penataran guru, di samping perluasan fasilitas belajar dan menambah peralatan. Buku pelajaran yang telah disediakan bagi berbagai Sekolah Menengah Kesenian, SMTK, SMKK dan SMPS adalah sekitar 900 ribu buah.<br />(3) Sekolah Pendidikan Guru (SPG)<br />Dalam rangka pembinaan pendidikan guru, khususnya untuk meningkatkan mutu dan sekaligus meningkatkan jumlah lulusan SPG, telah dilakukan rehabilitasi dan perluasan SPG beserta asrama sesuai dengan kebutuhan daerah. Dalam rangka pengembangan terutama 64 SPG, 1 SGPLB dan 12 SGO maka selama lima tahun telah dilaksanakan rehabilitasi, penambahan ruang belajar, perluasan ruang adminis‑<br />trasi, perluasan asrama siswa dan pembangunan rumah kepala sekolah serta rumah penjaga sekolah.<br />Selanjutnya telah/sedang diterbitkan sebanyak 3,2 juta buku pelajaran dan telah ditatar sejumlah 2,7 ribu guru dan tenaga teknis lainnya. Usaha penataran telah ditunjang oleh 8 Balai Penataran Guru (BPG) termasuk 1 BPG tertulis. Di samping itu mute pendidikan guru SPG sedang ditingkatkan melalui pusat-pusat sumber belajar pada 10 IKIP dan SFGK yang dilengkapi dengan peralatan audiovisual dan laboratorium.<br />Selanjutnya telah diadakan ruang laboratorium IPA beserta peralatannya bagi 82 SPG, di samping disediakan pula alat pelajaran IPA untuk 50 SPG, alat pelajaran matematika untuk 190 SPG dan pengadaan alat pelajaran IPS untuk 90 SPG, serta alai kesenian, olah raga dan ketrampilan untuk sebanyak 190 SPG dan 42 SGO.<br />Pengadaan ruang perpustakaan dan ruang workshop telah dilaku-kan untuk 36 SPG, sedangkan pengadaan buku perpustakaan mencapai 239,5 ribu eksemplar, yaitu untuk 204 SPG sebanyak 105 judul dengan masing-masing sekitar 10 eksemplar.<br />d. Pembinaan Pendidikan Tinggi<br />Selma Repelita II telah dilakukan pembangunan baru fasilitas belajar pada 47 Universitas/lnstitut/Sekolah Tinggi Negeri seluas lebih dari 155,8 ribu m2 ruang kuliah/kantor; 82,1 ribu m2 ruang laborato-rium dan 10,5 ribu m2 ruang perpustakaan, di samping rehabilitasi lebih dari 43,8 ribu m2 ruang kuliah/kantor; 13,8 ribu m2 ruang laboratorium dan 21,1 ribu m2 ruang perpustakaan. Dengan demikian telah diusahakan perluasan prasarana melalui pembangunan gedung baru seluas 248,4 ribu m2, di samping pemantapan fasilitas yang ada melalui rehabilitasi seluas 78,7 ribu m2. Selanjutnya telah dibangun 959 buah rumah staf pengajar. Kecuali itu telah dimulai pembangunan kampus baru untuk beberapa universitas yang sangat memerlukannya.<br />Perluasan fasilitas belajar adalah untuk sejauh mungkin meme- nuhi kebutuhan meningkatnya mahasiswa yang dapat ditampung pada perguruan tinggi. Pada tahun akademis 1973/74 pada perguruan tinggi<br /><br /><br />879<br />negeri terdapat 118,5 ribu mahasiswa (45,1 ribu mahasiswa bidang eksakta; 39,2 ribu bidang non-eksakta dan 34,2 ribu bidang keguruan pendidikan). Jumlah mahasiswa meningkat pada tahun 1978/79 menjadi 190 ribu (68,2 ribu bidang eksakta; 81,8 ribu bidang non-eksakta; 40 ribu bidang keguruan/pendidikan). Sedangkan jumlah mahasiswa perguruan tinggi negeri dan swasta keseluruhannya telah meningkat dari 196 ribu pada tahun 1973/74 menjadi 324 ribu pada tahun 1978/ 79 (Tabel XIV-1). Hal ini berarti bahwa dalam lima tahun terakhir jumlah mahasiswa keseluruhannya telah meningkat dengan 128 ribu atau 65,3%, khususnya 71,5 ribu atau 60,3% kenaikan di perguruan tinggi negeri. Sebagai perbandingan, jumlah mahasiswa pada tahun 1968 adalah 156 ribu termasuk 97,8 ribu pada perguruan tinggi negeri, sehingga kenaikan jumlah mahasiswa selama Repelita I adalah 40 ribu termasuk 20,7 ribu pada perguruan tinggi negeri, atau kenaikan 25,6% untuk keseluruhannya dan 21,2% untuk perguruan tinggi negeri.<br />Dalam rangka meningkatkan mutu, perhatian khusus telah diberikan pada kelengkapan peralatan laboratorium, terutama di bidang teknologi dan ilmu alam, baik untuk keperluan pendidikan mahasiswa maupun untuk tugas penelitian bagi dosen. Di samping itu telah disediakan 107,2 ribu tambahan buku perpustakaan.<br />Selama Repelita II, sebanyak 8,9 ribu staf pengajar telah memperoleh kesempatan mengikuti berbagai penataran/lokakarya untuk berbagai bidang ilmu di dalam negeri. Di samping itu sejumlah 932 dosen sedang mengikuti pendidikan Pasca Sarjana/Doktor, termasuk 478 tenaga akademis yang mendapat kesempatan menjalaninya di luar negeri. Dalam pada itu, 30 orang Doktor dan 50 Magister telah dihasilkan di dalam negeri Serta 24 Doktor (Ph. D) dan 20 M.Sc. telah pula berhasil dicapai di luar negeri.<br /><br />Kuliah Kerja Nyata telah diikuti oleh mahasiswa sebanyak 21,3 ribu orang. Di samping itu telah dapat disediakan 12,4 ribu beasiswa dalam berbagai bidang studi yang relatif langka peminatnya.<br />Selama lima tahun telah dilakukan 2.150 penelitian, di samping telah pula dilaksanakan 18 proyek pengabdian masyarakat.<br />e.Pembinaan Bakat dan Prestasi<br />Melalui program pembinaan bakat dan prestasi beasiswa diberikan kepada siswa SD (kelas V dan VI), SLTP dan SLTA (kelas 1 sampai dengan III) serta mahasiswa (tingkat I sampai dengan V), khususnya siswa dan pelajar yang menunjukkan prestasi tinggi dengan memperhitungkan keadaan sosial-ekonomi orang tua mereka.<br />Beasiswa yang mulai diberikan sejak tahun 1974/75 sebanyak 44,5 ribu, yaitu sekitar 20,6 ribu untuk pelajar SD, 9,2 ribu siswa SLTP dan 9,2 ribu SLTA serta 5,5 ribu untuk mahasiswa.<br /><br />f.Pembinaan Pendidikan Luar Sekolah (Pendidikan Non-Formal)<br />Usaha-usaha pendidikan luar sekolah terutama dilaksanakan untuk memelihara aksarawan lama dan menghasilkan aksarawan baru dengan melibatkan segenap warga masyarakat. Usaha tersebut dilakukan dalam bentuk penyediaan bahan-bahan belajar (Paket A) yang di samping mengandung unsur-unsur pendidikan yang esensial juga mengandung bahan penerangan dan penyuluhan mengenai berbagai bidang pembangunan masyarakat.<br />1) samping itu diberikan kesempatan belajar bagi aksarawan-aksarawan baru untuk mengikuti kursus pengetahuan praktis dan ketrampilan dasar. Untuk memberikan peranan yang lebih besar kepada kaum wanita dalam pembangunan, disediakan kesempatan peningkatan pengetahuan dan ketrampilannya terutama dalam rangka kesejahteraan keluarga. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan non-formal ini diusahakan melalui kelompok-kelompok belajar dengan menggali sumber-sumber yang terdapat dalam masyarakat sendiri baik yang berupa sumber manusiawi maupun sumber non-manusiawi.<br />Selama Repelita II sejumlah kursus dari berbagai jenis telah melibatkan sekitar 837 ribu peserta, di antaranya 579,9 ribu yang mengikuti kursus pengetahuan dasar; 120,1 ribu orang yang mengikuti kursus pendidikan kesejahteraan keluarga dan 54,4 ribu orang mengikuti berbagai jenis kursus kejuruan serta 82,5 ribu sebagai pamong kursus pengetahuan dasar/kesejahteraan keluarga. Di samping itu telah ditatar 4,4 ribu tenaga teknis.<br /><br />881<br />Selama periode Repelita II ditertibkan sebanyak hampir 7,9 juta buku pelajaran termasuk "Paket A" dan 3,3 juta eksemplar buletin. Di samping itu telah disediakan alat perlengkapan pendidikan berupa paket kebutuhan belajar sebanyak 4,6 ribu set, alat praktek kejuruan 323 set, alat praktek pendidikan kesejahteraan keluarga 325 set dan alat penyuluhan sebanyak 3,7 ribu buah.<br />Latihan talon pembimbing dilaksanakan di Sanggar Kegiatan Be- lajar (SKB) yang telah berjumlah 153 buah di seluruh Indonesia.<br /><br />g. Pembinaan Generasi Muda<br /><br />Garis-garis Besar Haluan Negara telah menetapkan bahwa usaha pembinaan generasi muda sebagai tunas-tunas bangsa ditujukan agar mereka dapat menjadi generasi yang lebih baik, lebih bertanggung-jawab dan lebih mampu mengisi dan membina kemerdekaan bangsa. Pembinaan dilakukan melalui bentuk-bentuk dan cara-cara kegiatan yang dapat diterima oleh generasi muda itu sendiri. Dalam hal ini maka pembinaan itu meliputi gerakan pramuka, lewat berbagai organisasi untuk meningkatkan kegiatan produktif dan kesegaran jasmani yang bersifat kreatif, melalui penyediaan berbagai latihan, bimbingan dan rangsangan untuk melaksanakan sendiri proyek-proyek sederhana dan lewat berbagai kesempatan kerja yang terbuka.<br /><br />Dalam pembinaan organisasi dan aktivitas generasi muda maka selama lima tahun terakhir ini telah dilaksanakan latihan wiraswasta dalam rangka pembentukan unit kerja produktif yang mengikutsertakan 25,2 ribu orang, penataran pembina pemuda/pimpinan organisasi sebanyak 9,7 ribu orang dan pertukaran pemuda antar propinsi sebanyak 380 orang.<br /><br />Bantuan aktivitas Pramuka dalam Repelita II telah dimantapkan untuk membangun 27 buah Gedung Cadika; menyelenggarakan Kursus Mahir II, Pelatih Dasar untuk 1.525 orang; Perpanitera/Raimuna de- ngan peserta sebanyak 10.000 orang; Musyawarah Nasional untuk 400 orang; Perkemahan Wirakarya untuk 5.000 orang dan Lomba tingkat Penggalang untuk 27 Kwartir Daerah.<br />Bantuan KNPI telah dimanfaatkan untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang meliputi : lokakarya tentang lembaga studi kewanitaan untuk 85 orang, penataran anggota DPP untuk sebanyak 20 orang, Rapat Kerja Nasional untuk 600 orang; kaderisasi untuk 60 orang; bantuan pendidikan kader Pemuda Tingkat II untuk 11.360 orang; ban-tuan kader Pemuda Tingkat I untuk 780 orang dan bantuan Kongres Nasional untuk 2.000 orang.<br />h. Pembinaan Olah Raga<br />Pembinaan pendidikan olah raga telah dilakukan antara lain me-lalui pengintegrasian SMOA ke dalam pendidikan kejuruan menjadi SGO. Demikian juga STO diintegrasikan menjadi Fakultas Keolahragaan pada IKIP.<br />Permasalahan olah raga dilakukan dengan jalan menyelenggarakan pertandingan dan perlombaan olah raga pelajar/POPSI sekolah lan- jutan dan umum, pengadaan paket-paket alat olah raga untuk tingkat propinsi dan kabupaten, serta pembinaan prestasi olah raga dengan pemberian bantuan kepada KONI dan PON.<br />Selama periode lima tahun terakhir telah dibangun/direhabilitasi sebanyak 7 STO dan 10 SMOA dan telah ditatar sebanyak 2,4 ribu guru SMOA.<br />Pertandingan pelajar/mahasiswa melibatkan 240 ribu orang selama lima tahun ini, sedangkan olah raga massal diikuti 173,5 ribu orang. Di samping itu telah disediakan perlengkapan pendidikan sebanyak 118 ribu eksemplar.<br />Bantuan kepada KONI telah dimanfaatkan antara lain untuk penataran pelatih olah raga sebanyak 1,8 ribu orang, penyelenggaraan pemusatan persiapan Asian Games VIII dalam 7 cabang olah raga dan penyelenggaraan PON IX dengan 30 cabang olah raga, pengiriman pelatih olah raga sebanyak 41 orang ke luar negeri, pengiriman peserta pertandingan olah raga nasional/internasional dan penyelenggaraan ceramah/workshop/seminar/simposium sebanyak 5 kegiatan.<br />Dalam rangka pembinaan kesegaran jasmani dan rekreasi telah dilakukan penelitian penampilan kemampuan kerja tubuh serta ketram‑<br /><br /><br />883<br />pilan/ketangkasan olahraga terhadap 12,8 ribu orang murid SD sam- pai dengan SLTA dan masyarakat umum, penelitian laboratorium mengenai kesegaran jasmani; faal kerja dan kesehatan olah raga terhadap olahragawan/pelajar sebanyak 570 orang; penelitian rekreasi pendidikan terhadap 20,5 ribu pelajar; penelitian tentang kesehatan sekolah dengan mendapat data dari 14,7 ribu orang; dan partisipasi dalam beberapa kongres internasional sebagai cara meningkatkan mutu tenaga teknis/penelitian.<br />i. Pengembangan Sistem Pendidikan<br />Pengembangan sistem pendidikan bertujuan melakukan pembaharuan sistem pendidikan secara menyeluruh ke arah terwujudnya sistem pendidikan nasional yang efektif, efisien dan relevan dengan tujuan pembangunan dan tujuan nasional. Tujuan ini diusahakan pertama-tama dengan membina dan memantapkan sistem informasi bagi pengelolaan dengan jalan pengumpulan-pengumpulan, pengolahan, analisa penyajian dan penyebaran data informasi, statistik dan sebagainya. Informasi ini dipergunakan bagi perencanaan dan pengambilan keputusan lainnya. Sampai saat ini telah dilakukan usaha untuk membina sistem data informasi yang lebih efisien dengan standarisasi laporan, koordinasi pengumpulan data, penggunaan komputer dalam pengolahan dan analisa data serta berbagai penataran dalam data informasi.<br />Usaha kedua adalah dengan jalan melakukan penelitian dan penilaian terhadap sistem pendidikan yang sedang berjalan dengan harapan memperoleh informasi yang dapat dipergunakan untuk perbaikan sistem pendidikan secara menyeluruh. Berbagai penelitian telah dilakukan yang mencakup bidang pendidikan dan kebudayaan. Selama Repelita II telah diselesaikan penelitian dan penilaian sebanyak 75 buah. Penelitian dan penilaian yang dilakukan mencakup antara lain mengenai pendidikan non-formal, kurikulum pendidikan guru, pendidikan guru, pendidikan olah raga, pendidikan kesenian sejarah pendidikan swasta, kesesuaian sistem pendidikan dengan sektor tenaga kerja, biaya pendidikan, pembinaan kebudayaan, survai SD kelas VI, pendidikan agama, kebudayaan, olah raga dan putus sekolah.<br />TABEL XIV – 1<br />JUMLAH MURID DAN MAHASISWA, 1973/74 – 1979/90<br />(dalam ribuan)<br /><br /><br />885<br />GRAFIK XIV – 1<br />JUMLAH MURID DAN MAHASISWA<br />1968/69, 1973/74 – 1979/80<br /><br /><br />886<br /><br />887<br />TABEL XIV <br />PERKEMBANGAN MURID PENDIDIKAN DASAR, <br />1973/74 – 1979/80<br /><br />888<br />TABEL XIV <br />PEMBINAAN PENDIDIKAN DASAR, <br />1973/74 – 1979/80<br /><br /><br />889<br />TABEL XIV – 4<br />BUKU PELAJARAN POKOK, 1973/74 – 1978/79<br />(dalam ribuan) <br /><br />890<br />TABEL XIV – 5<br />PENGADAAN BUKU-BUKU PERPUSTAKAAN DAN MAJALAH<br />1973/74 – 1978/79<br />(Eksemplar)<br /><br />891<br />TABEL XIV – 6<br />PENATARAN PERSONIL, 1973/74 – 1978/79<br />(orang)<br /><br />1)Angka-angka diperbaiki<br />2)Angka Sementara<br />892<br />Penilaian dilakukan antara lain terhadap Proyek Perintis Seko-lah Pembangunan, Proyek Paket Buku, STM Pembangunan, Penatar-an guru IPA SMP, Proyek Pembinaan Pendidikan Dasar, penataran pengawas dan monitoring pelaksanaan kurikulum 1975 untuk SMP dan SMA.<br />Usaha lainnya adalah pengembangan berbagai proyek perintis untuk kemudian dilaksanakan sepenuhnya setelah mengalami percobaan di lapangan dan penyempurnaan selanjutnya. Proyek pengembangan ini mencakup antara lain Proyek Perintis Sekolah Pembangunan di 8 IKIP, perencanaan integral pendidikan daerah di Jawa Timur dan Sumatera Barat, pendidikan luar sekolah dengan mempergunakan simulasi di Malang, proyek Pamong di Solo dan Bali, Sistem Kegiatan Belajar Masyarakat di Ujung Pandang dan Indramayu, pengembangan sistem karir dan prestasi kerja dan jaringan penelitian di Sumatera Barat dan Jawa Timur. Di samping itu dikembangkan Proyek Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan yang bertujuan untuk mengembangkan radio dan televisi sebagai sarana pendidikan. Kecuali itu dilakukan studi pra-investasi untuk pengembangan berbagai kom‑<br />ponen pendidikan yang mencakup pendidikan guru, pendidikan luar sekolah, paket buku dan pendidikan tinggi.<br />B. KEBUDAYAAN NASIONAL 1. Pendahuluan<br />Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Tap MPR No. IV/ MPR/78) dinyatakan bahwa peningkatan usaha pembinaan dan pemeliharaan kebudayaan nasional adalah untuk memperkuat kepribadian bangsa, kebanggaan nasional dan kesatuan nasional serta memupuk kebudayaan daerah sebagai unsur penting yang memperkaya dan memberi corak kebudayaan nasional. Di samping itu tradisi-tradisi dan peninggalan sejarah yang mempunyai nilai-nilai perjuangan, kebanggaan dan kemanfaatan nasional dibina dan dipelihara untuk diwariskan kepada generasi muda.<br />Dalam pada itu usaha pembinaan dan pengembangan kebuda-yaan nasional tersebut harus sesuai dengan norma-norma Pancasila dan mencegah timbulnya nilai-nilai sosial budaya yang bersifat feodal dan pengaruh kebudayaan asing yang negatif. Diusahakan pula pe‑<br /><br /><br />893<br />ningkatan kemampuan masyarakat dalam menyerap nilai-nilai dari luar yang positif dan yang diperlukan bagi pembaharuan dalam proses pembangunan dan yang tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa.<br />Dalam Repelita II pengembangan kebudayaan nasional bertujuan untuk memperkuat kepribadian nasional, kebanggaan nasional dan kesatuan nasional. Kesenian nasional perlu terus dikembangkan dan diperkaya oleh generasi muda dan generasi berikutnya dengan hasil karya dan ciptaan baru. Dalam pada itu bahasa nasional dan karya kesusasteraan yang bermutu terus dikembangkan dan perlu menda- pat rangsangan yang mendorong daya kreativitas. Di samping itu ditumbuhkan lingkungan dan iklim yang cocok untuk peningkatan daya kreativitas, pendukung kesenian yang mampu dan sarana kesenian yang bermutu, demikian pula peranan media massa dalam usaha pengembangan kebudayaan terus ditingkatkan.<br />Untuk mencapai tujuan pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional tersebut dilakukan langkah-langkah usaha yang kongkrit. Langkah-langkah tersebut adalah :<br /><br />a.Penyelamatan, pemeliharaan dan penelitian warisan sejarah kebudayaan nasional serta kebudayaan daerah;<br />b.Pengembangan serta pendidikan kebudayaan dan kesenian Indonesia;<br />c.Pengembangan bahasa dan kesusasteraan Indonesia;<br />d.Pengembangan perbukuan dan majalah pengetahuan.<br />Langkah-langkah tersebut sesuai dengan kerangka kebijaksanaan umum pengembangan kebudayaan nasional yaitu :<br />a.Kesesuiannya dengan nilai-nilai Pancasila.<br />b.Pengintegrasian secara selaras antara unsur kebudayaan daerah serta unsur kebudayaan dari luar yang positif.<br />c.Perkembangan kebudayaan nasional yang menguatkan bahasa nasional.<br />2. Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan dan Hasil-hasilnya.<br />a. Penyelamatan, pemeliharaan dan penelitian warisan sejarah kebudayaan nasional dan daerah<br /><br />Tujuan utama dari program ini ialah untuk menyelamatkan warisan sejarah, khususnya peninggalan purbakala di berbagai daerah agar terhindar dari kemusnahan. Warisan sejarah tersebut meliputi seni rupa, benda-benda, monumen-monumen, alat perlengkapan ru-mah tangga dan alat perhiasan tradisional dan lain sebagainya. Untuk dapat memelihara benda-benda warisan sejarah tersebut, pendidikan tenaga arkeologi telah mendapat perhatian yang saksama. Di samping itu warisan sejarah tersebut diharapkan dapat merang- sang kembali kegairahan kehidupan budaya daerah menuju suatu perkembangan kesatuan kebudayaan karya seni yang mengungkapkan warisan sejarah, mengandung nilai perjuangan termasuk perju- angan wanita, serta kebanggaan nasional telah memperoleh perhatian, sehingga dapat dihayati pula oleh generasi muda.<br />Untuk mencapai tujuan penyelamatan dan pemeliharaan warisan budaya nasional tersebut telah dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :<br />(1)Inventarisasi Peninggalan<br />Kegiatan inventarisasi peninggalan purbakala ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang budaya bangsa Indonesia yang telah ikut membentuk identitas bangsa. Untuk menunjang kegiatan ini telah ditingkatkan antara lain pengetahuan di bidang kepurbaka- laan melalui penataran sebanyak 232 orang. Selain itu telah disempurnakan inventarisasi kepurbakalaan terhadap peninggalan kepurbakalaan yang pernah dilakukan pada tahun 1914 — 1915 dan kini mencatat sebanyak 1.166 situs di 26 propinsi.<br />(2)Penelitian dan Penggalian Peninggalan Purbakala<br />Tujuan Penelitian dan Penggalian Purbakala adalah untuk mengungkapkan kembali perikehidupan dan nilai-nilai luhur masa lampau nenek moyang bangsa Indonesia agar dapat dikembangkan guna di‑<br />kaji lebih lanjut untuk keperluan pendidikan, pemupukan kepriba- dian bangsa dan meningkatkan kepercayaan pada diri sendiri. Hasil penelitian tersebut akan memberikan keterangan tentang kekayaan hasil karya dan kemampuan bangsa di masa lampau, baik dalam pembangunan fisik maupun spiritual, ekonomi, politik, sosial budaya serta tata pemerintahan.<br />Selama Repelita II telah dilakukan penelitian prasejarah di Jawa Barat (Parigi/Jampangkulon, Cijulang), Jawa Tengah (Wonogiri, Brebes, Sangiran), Jawa Timur (Surabaya Utara dan Pegunungan Kendeng), Bali (Denpasar dan Gilimanuk), Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya. Selain itu telah diadakan penggalian purbakala di Jawa Barat (Plered), Jawa Tengah (Mate- sih dan Batang), DI Yogyakarta (Gunung Wingko), Jawa Timur (Parengan), Bali (Gilimanuk), Nusa Tenggara Barat (Lombok: Gu- nung Piring), Nusa Tenggara Timur (Flores dan Kupang), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Penelitian arkeologi klasik dilaku- kan di Jawa Timur (Trowulan dan Madura), Bali (Gianyar, Buleleng dan Bangli), Sumatera Selatan (Kota Cina), Riau (Muara Takus). Penelitian Palaeoekologi Radiometri dengan survai dilaksanakan pada 5 (lima) daerah (Jawa Barat, Jawa Timur, Gunung Pandan, Jawa Tengah/Sangiran, Sulawesi Selatan).<br />Penggalian arkeologi Islam telah dilakukan di Aceh, Sulawesi Selatan, Banten, dan Nusa Tenggara Barat. Penelitian naskah-naskah Islam telah dilaksanakan di Kuningan (Cirebon).<br />Untuk meningkatkan mutu penelitian, telah dimulai pembangunan suatu laboratorium penelitian purbakala di Jakarta, seluas 2028 m2 dan dikembangkan' kerjasama penelitian purbakala dengan Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Udayana dan Institut Teknologi Bandung. Di samping itu juga telah ditingkatkan kemampuan pengolahan data, pendokumentasian hasil penelitian/penggalian kepurbakalaan.<br />(3) Pembinaan dan Pemeliharaan Peninggalan Purbakala.<br />Tujuan pembinaan dan pemeliharaan peninggalan purbakala adalah mempertahankan keutuhan bukti warisan sejarah/kebudayaan<br />bangsa dari kemusnahannya. Pemanfaatan dan pemeliharaan peninggalan purbakala meliputi pemugaran Taman Purakala, Kraton/Puri Pura/Mesjid, Rumah Adat, Makam dan Gedung Bersejarah di berbagai daerah seluruh Indonesia.<br />Selama Repelita II Kraton-kraton yang selesai di pugar adalah Kraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon (Jawa Barat), sebagian Kraton Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta (Jawa Tengah) dan Kraton Kesultanan serta Paku Alaman di Yogyakarta, Kraton Sumenep (Madura), Istana Sultan BIMA (NTB), Istana Deli di Medan (Sumatera Utara), dan Balai Kerapatan Tinggi Siak (Riau). Selain itu diadakan rehabilitasi terhadap Istana Pagaruyung (Sumatera Barat), Istana Gowa (Sulawesi Selatan), dan Istana Cigugur Kuningan (Jawa Barat).<br />Selama Repelita II telah dipugar Mesjid Agung Deli (Medan), Mesjid Raya Azizi Tanjung Pura, Mesjid Abung Cirebon, Mesjid Kuno Mantingan (Jepara), Mesjid Menara Kudus dan Mesjid Ka-tangka di Gowa (Sulawesi Selatan). Pura yang telah dipugar adalah pura Saraswati, Pura Kahyangan Tiga, Pura Balanjang, Taman Ayun, Pura Kehen, Kareben Langit, Pura Bukit Dharma Kutri, Penataran Sasih, Kahyangan Alas Kedaten, 9 buah Pura di Kabupaten Badung, 9 buah Pura di Kabupaten Tabanan, 4 buah di Kabupaten Bangli, 7 buah di Kabupaten Gianyar 6 buah di Kabupaten Jem-baran, 9 buah di Kabupaten Buleleng, 4 buah di Kabupaten Karang Asem, 4 buah di Kabupaten Klungkung, Pura Besakih, serta Pura Luhur dan Taman Majura, di Cakranegara (Lombok). Di samping itu telah dipugar Gereja Portugis di Kampung Tugu Jakarta Utara. Rehabilitasi dan rekonstruksi Rumah Adat dilakukan terhadap Rumah Adat di Bukit Tinggi, Toraja, Nias, Tapanuli Selatan dan Rumah Adat di Marunda Jakarta.<br />Makam kuno yang telah dipugar adalah makam Watang La-muru, Jera Lompoe dan Tallo di Sulawesi Selatan, Makam Islam dan makam adipati-adipati zaman Majapahit di Gresik, Makam Islam di Gending Suro (Sumatera Selatan), Makam Kyai Maja di Tondano (Sulawesi Utara), Makam Islam di Seloparang (NTB), dan makam raja-raja Landak di Ngabang kabupaten Pontianak.<br />Taman Purbakala yang telah atau mulai dipugar selama Repelita II adalah Taman Purbakala Cipari di Kuningan, Leles/Garut, Pasir-angin/Bogor, Kotalama Banten, Sunyaragih Cirebon kesemuanya di Jawa Barat. Selain itu selesai dipugar Gunongan di Aceh, Padang La-was di Sumatera Utara, Pagaruyung di Sumatera Barat, Muara Jambi di Jambi, Pugung Raharjo di Lampung, Kompleks Percandian di Amun-tai Kalimantan Selatan, kompleks Waruga di Minahasa Sulawesi Utara, Kompleks Megalitik Natunonju di Sulawesi Tengah, dan Gua-gua prasejarah di Maros Sulawesi Selatan. Sedangkan gedung sejarah yang selesai atau masih dipugar adalah gedung Linggarjati di Cirebon dan gedung Merdeka di Bandung, Benteng Marlborough di Bengkulu, Benteng Wolio Buton di Sulawesi Tenggara, Benteng Gorontalo dan Benteng Doorstede Saparua di Ambon.<br /><br />(4) Pemugaran Candi Borobudur dan Candi Lainnya<br /><br />Candi yang dipugar selama Repelita II antara lain adalah Candi Cangkuang di Jawa Barat, Candi Borobudur, Candi Brahma di kompleks Prambanan, Candi Sambisari, Candi Banyunibo, Kompleks per-candian Dieng dan Gedong Sanga masing-masing di Jawa Tengah, Candi Jawi di Jawa Timur dan kompleks percandian Muara Takus di Riau. Pemugaran Candi Borobudur mengalami kemajuan pesat, sedangkan pelaksanaannya makin didasarkan atas kemampuan sendiri bahkan sejak Juni 1977 pemugaran Candi Borobudur dilakukan sepenuhnya oleh tenaga Indonesia. Dalam tahun 1976/77 pembongkaran kembali batu candi mencapai 7.087 m3, sedangkan hingga Maret 1979 pekerjaan pembongkaran kembali pada sisi Utara dan Selatan telah selesai (26.235 m3). Selain itu kompleks Borobudur dijadikan pula Pusat Pendidikan dan latihan pemugaran kepurbakalaan baik secara nasional maupun internasional dalam rangka SEAMEC dan ASEAN.<br /><br />Pada tahun 1978 pemugaran Candi Borobudur diteruskan dengan mempekerjakan 117 orang tenaga yang terdiri dari berbagai tenaga ahli, untuk kegiatan-kegiatan survai arkeologi, pembongkaran, penelitian laboratorium, penyediaan peralatan dan fasilitas pemugaran. Sela-ma Repelita II dalam rangka pemeliharaan peninggalan sejarah dan<br />kepurbakalaan telah dikeluarkan biaya pemeliharaan bagi 1.000 buah bangunan candi, makam kuno dan peninggalan-peninggalan lainnya.<br /><br />(5)Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah<br />Kegiatan ini menitik beratkan pendokumentasian 5 aspek kebudayaan daerah di seluruh Indonesia yaitu: sejarah daerah, adat istiadat, legenda rakyat, geografi budaya dan musik rakyat. Di samping itu juga disusun sejarah kesenian, pencak silat, terjemahan buku etnografi dari Bahasa asing ke Bahasa Indonesia, biografi Pahlawan Nasional, album alat-alat musik Indonesia dan lain-lain.<br />Hasil yang telah dicapai adalah 326 buku/naskah tentang berbagai bidang seperti: sejarah daerah termasuk sejarah kebangkitan nasional, zaman Jepang, Revolusi fisik, Adat Istiadat daerah (seperti upacara perkawinan, sistem gotong royong dan kehidupan masyarakat desa di Indonesia), geografi budaya daerah (seperti pengaruh migrasi penduduk terhadap perkembangan kebudayaan dalam wilayah pembangunan), legenda rakyat, ensiklopedia musik dan tari daerah, sejarah kesenian Indonesia, permainan rakyat yang mengandung nilai kepahlawanan dan ketangkasan, naskah ensiklopedia alat musik Indonesia dan penerbitan kembali dari naskah lontar daerah. Dalam rangka peningkatan mutu telah ditatar 126 orang tenaga peneliti di tingkat pusat dan daerah.<br />(6)Pengumpulan Benda Purbakala dan Benda Kebudayaan Daerah/Permuseuman<br />Kegiatan ini diarahkan pada perluasan sarana museum di pusat dan daerah sebagai wadah hasil inventarisasi dan penelitian kebudayaan daerah, sehingga dapat menumbuhkan perhatian masyarakat Indonesia terhadap sejarah dan karya budaya bangsanya. Di samping itu fungsi museum diperluas menjadi tempat belajar, penelitian dan rekreasi.<br />Dalam bidang permuseuman selama Repelita II telah dibangun sebuah museum di tiap propinsi serta rehabilitasi sarana Museum Pusat di Jakarta. Selama Repelita II telah dapat dimanfaatkan atau<br />ditingkatkan sarana dan fungsi dari museum-museum di DKI Jakarta (Museum Pusat), Jawa Timur, Bali, DI Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Maluku.<br />Sedangkan pembangunan di propinsi-propinsi lain secara bertahap akan diselesaikan. Bantuan-bantuan kepada museum-museum daerah/ swasta telah diberikan pula antara lain untuk Museum Batik di Pekalongan, Museum Sekolah di Slawi, Museum Guesan Wun di Sumedang, Museum Sumenep, Museum Bundo Kandung di Bukit tinggi, Museum Kedaton Ternate di Ternate. Museum Gowa dan Bone di Sulawesi Selatan, Museum Tekstil dan Bahari di DKI Jaya.<br />Koleksi etnografi, historika, arkeologi pada 26 museum propinsi ditingkatkan, pertambahan koleksi mana selalu didahului oleh suatu survai koleksi. Demi peningkatan apresiasi masyarakat terhadap museum, telah diadakan pula penataan kembali/pengaturan koleksi, dokumentasi penerbitan pembinaan tenaga permuseuman dan pengelolaan museum.<br />Peningkatan pelayanan terhadap masyarakat dalam bidang permuseuman ditunjang oleh peningkatan kemampuan dari personalia museum antara lain diusahakan melalui penataran sebanyak 117 orang dalam bidang pengetahuan dasar, 32 orang dalam tingkat kejuruan 12 orang dalam ilmu permuseuman sehingga jumlah tenaga yang ditatar dalam bidang permuseuman pada akhir Repelita II sebanyak 161 orang.<br />b. Pengembangan dan Pendidikan Kesenian serta Kebudayaan Indonesia<br />Kegiatan ini menitik beratkan pada peningkatan mutu seniman yang berbakat daya cipta dan kreativitas yang tinggi. Selain itu program ini bertujuan mempertinggi daya pemahaman dan penghayatan kesenian di kalangan masyarakat luas, sehingga dengan sendirinya akan meningkatkan partisipasi masyarakat dan memberi peranan yang lebih besar kepada perkumpulan kesenian melalui pembinaan dan pengembangan jenis dan variasi kesenian. Tujuan ini dicapai melalui kegiatan-kegiatan antara lain :<br />(1)Pengembangan Pusat Pendidikan Kesenian<br />Peningkatan sarana dan fasilitas lembaga pendidikan kesenian yang sudah ada dimaksudkan agar dapat lebih berfungsi. Berbagai kegiatan telah diadakan seperti inventarisasi kesenian dan persiapan naskah buku pelajaran dan bacaan kesenian, penelitian metode pengajaran kesenian untuk sekolah umum dan masyarakat dalam rangka penyusunan naskah metode pengajaran kesenian di sekolah umum, dan kursus-kursus bagi masyarakat. Kegiatan-kegiatan ini meliputi bidang seni rupa, seni tari, seni karawitan dan seni drama. Di samping itu telah diadakan standar persyaratan tenaga guru pendidikan kesenian, dan pendidikan kesenian secara informal lewat TVRI.<br />Pula telah dikembangkan alat-alat kesenian guna pendidikan berupa prototipe seruling diatonis dan pentatonic dari bahan murah.<br />(2)Pengembangan dan Pembentukan Pusat Kebudayaan di Propinsi<br />Sarana Pusat Kebudayaan bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan berbagai bentuk kesenian tradisional termasuk kesenian rakyat, sehingga menggairahkan kehidupan seni dan memberi hiburan sehat dan bermutu kepada masyarakat. Selama Repelita II sebanyak 6 Pusat Kebudayaan di Sumatera Utara, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur telah diresmikan, sedangkan Pusat Kebudayaan di propinsi lainnya dalam tahap penyelesaiannya.<br />Pusat Kebudayaan dimanfaatkan sebagai sarana menyelenggarakan berbagai kegiatan kebudayaan seperti pagelaran, pameran, pe- kan seni dan untuk menunjang kegiatan tersebut diadakan pula pengumpulan dokumentasi data tentang kebudayaan. Pengembangan pemahaman dan penghayatan seni telah dilakukan melalui pagelaran-pagelaran, pengiriman duta seni dalam lomba seni dan lomba vokal ditingkat propinsi dan nasional serta pengadaan benda seni untuk pameran. Pengamanan kebudayaan Indonesia dari pengaruh nega- tif secara inter-departemental dilakukan melalui pemantapan organisasi, pengumpulan data, dan pengendalian serta penyusunan pedo- man pengawasan.<br /><br />901<br />(3)Melakukan persiapan Pendirian Wisma Seni Nasional<br />Dalam Repelita II telah diselesaikan rencana arsitektur Wisma Seni Nasional. Suatu Panitia Nasional telah menilai desain tersebut yang masih perlu disesuaikan dengan arsitektur yang lebih bersifat Indonesia. Di samping itu telah dilakukan pengumpulan benda-benda berbagai jenis seni budaya yang bermutu untuk Wisma Seni Nasio- nal tersebut.<br />Data kesenian daerah telah dikumpulkan yang mencakup 5 (lima) bidang seni yaitu seni tari, seni musik, seni rupa, seni teater, dan seni pedalangan di 26 propinsi. Selain itu telah dibuat film-film kesenian dari ke 5 bidang seni tersebut, penulisan dan penerbitan naskah, bimbingan untuk empat bidang seni, penyusunan kriteria ketrampilan seni teater modern dan tradisional serta pemberian bimbingan dengan pengarahan teknis kesenian kepada peserta dari 26 daerah.<br />(4)Pengadaan Sistem Penghargaan<br />Kegiatan ini ditujukan untuk merangsang penciptaan baru dalam kesenian melalui hadiah. Dalam bidang kesenian telah dilakukan sayembara karya seni: seni musik dan seni tari dengan memberikan hadiah dan piagam. Di samping telah pula diberikan penghargaan dan hadiah kepada seniman yang telah menunjukkan prestasi yang tinggi. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat telah diberikan bantuan dana dan bimbingan teknis kepada perkumpulan/organisasi/yayasan kesenian.<br />Dalam bidang bahasa, guna menunjang dan menggairahkan minat terhadap bahasa serta sastra Indonesia dan daerah diselenggarakan sayembara mengarang bahasa Indonesia secara nasional, yang diikuti oleh Guru SD, murid SD, murid SL, dan mahasiswa. Di samping itu juga diberikan bea siswa kepada 156 orang mahasiswa jurusan bahasa dan sastra, dan penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan bahasa melalui mass media RRI dan TVRI. Dalam bidang kepurbakalaan telah diberikan hadiah/imbalan jasa terhadap penemu benda-benda purbakala dan pemilik benda-benda purbakala sebagai ganti rugi atau jasa pemeliharaannya.<br />c. Pengembangan Bahasa dan Kesusasteraan<br />Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan pemakaian bahasa Indonesia secara tepat dan benar sebagai sarana komunikasi antar warga Indonesia, sebagai bahasa Negara, sebagai bahasa dalam pendidikan, serta sebagai sarana komunikasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Program ini berusaha menggairahkan perhatian masyarakat terhadap Sastra Indonesia dan menggunakannya sebagai sumber untuk memperkaya bahasa dan sastra Indonesia.<br />(1)Penyusunan Buku Pedoman dan Buku Sumber<br />Kegiatan ini ditujukan untuk menyusun dan menerbitkan buku-buku pedoman/sumber tentang bahasa Indonesia seperti pedoman pembentukan istilah, kamus umum dan berbagai kamus bahasa daerah, kamus filologi, pembakuan tata bahasa, sejarah bahasa dan sastra Indonesia dan daerah, perekaman dan pemetaan bahasa daerah, pedoman ujian bahasa Indonesia dan kompilasi sereta sinoptis tulisan bahasa dan sastra.<br />Pula telah diterbitkan berbagai kamus bahasa daerah seperti kamus Mandar-Indonesia, dan bahasa Jawa Banten-Indonesia. Semen-tara itu naskah siap dicetak yang ada mencakup kamus Ekabahasa Indonesia, kamus Administrasi, kamus Biologi, kamus Geografi, kamus Ilmu Pengetahuan Sosial, kamus Kesenian, kamus Kimia Organik, kamus Kimia Umum, kamus Linguistik, kamus Pertanian, kamus Psikologi dan kamus Sejarah.<br />Dalam rangka ini telah diterbitkan baik karya sastra klasik dalam bahasa asalnya, maupun transkripsinya ke dalam bahasa Indonesia seperti Centini, Hikayat Putri Gombak Mas (Aceh), Panji Wulung (Jawa Barat), Panji Parangraras (Bali), Bharatayuda, Nitisastra (Jawa), Syair Burung Nuri dan lain-lain guna meningkatkan pengetahuan pelajar dan mahasiswa serta dunia universitas tentang sastra Indonesia.<br />(2)Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah<br />Dalam Repelita II kegiatan ini diarahkan kepada pembinaan tenaga pengajar pengembangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Hasil-hasil yang telah dicapai selama Repelita II antara lain pening‑<br /><br />903<br />katan pengetahuan 30 orang tenaga penyusun kamus; peneliti dialek-tologi 30 orang, peneliti sosiolinguistik 30 orang, peneliti sastra dan penyuluh bahasa 30 orang. Pula telah diberikan beasiswa kepada mahasiswa jurusan bahasa dan sastra 156 orang. Selain itu melalui sayembara telah diusahakan peningkatan kegairahan menulis dan mengarang dalam bahasa Indonesia untuk siswa SD, SLTP dan SLTA, mahasiswa dan para guru.<br />Dalam rangka ini telah diterbitkan sebanyak 150.000 eksemplar pedoman ejaan, pedoman pembentukan istilah dan pedoman penulisan. Telah diusahakan pula Seminar Politik Bahasa Nasional dan Seminar Pengembangan Sastra Indonesia dan Daerah yang lelah menghasilkan buku-buku pedoman masing-masing sebanyak 2.000 eksemplar dalam bidang-bidang ini.<br />Hubungan kerjasama kebahasaan telah ditingkatkan dengan beberapa negara di lingkungan ASEAN, Eropa, Amerika dan Australia. Penyuluhan Bahasa Indonesia diadakan melalui TVRI 200 kali, RRI Pusat dan Daerah 200 kali, pertemuan berkala dengan wakil media massa 60 kali.<br />Dalam kaitan dengan hubungan kerjasama kebahasaan di kawasan ASEAN kegiatan yang penting adalah kerjasama dengan Malaysia melalui Majelis Bahasa Indonesia — Malaysia yang bersidang dua kali setahun.<br />d. Pengembangan perbukuan dan majalah pengetahuan<br />Kegiatan perbukuan dan majalah pengetahuan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan bahan-bahan bacaan populer dan seni ilmiah dikalangan masyarakat.<br />(1) Penyelamatan Buku/Naskah berharga dan terjemahan Karya Sastra Daerah.<br />Tujuan kegiatan ini adalah menyelamatkan buku dan naskah klasik atau yang hampir punah dengan jalan membeli, membuat mikro- film dan menerbitkannya kembali dalam bahasa Indonesia.<br />Kegiatan yang telah dilakukan adalah membeli beberapa naskah bahasa sastra kuno (klasik) serta menerbitkan kembali naskah kuno<br />tersebut seperti Syair Burung Nuri, ceritera Panji Galuh Matebuk, Geguritan. dari Bali, Panji Kuda Semirang, Panji Anggraini, Panji Wulung, Telah Sastra Daerah, Novel-novel Minangkabau, dan naskah Melayu.<br />Di samping itu, telah dibeli beberapa judul buku tentang bahasa dan sastra Indonesia untuk menghindari mengalirnya karya-karya kuno tersebut ke luar negeri. Buku-buku dan bahan-bahan kepustakaan lain mengenai bahasa dan sastra disimpan untuk kepentingan dokumentasi penelitian.<br />(2) Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan<br />Pembinaan dan pengembangan perpustakaan pada dasarnya bertujuan antara lain untuk memenuhi kebutuhan membaca masyarakat, khususnya generasi muda. Kebiasaan membaca berarti mengisi waktu senggang dengan hiburan sehat dan bermutu, memperluas pengetahuan dan peningkatan ketrampilan demi partisipasi yang aktip dan sadar dalam pembangunan. Kegiatan standardisasi sistem perpustakaan nasional ditujukan guna meningkatkan koordinasi, kerjasama antar lembaga pemerintah dan swasta dalam pengadaan bahan kepustakaan demi peningkatan pelayanan masyarakat.<br />Selama Repelita II telah ditingkatkan kemampuan pelayanan Perpustakaan Negara di Banda Aceh, Medan, Pekanbaru, Padang, Palangkaraya, Banjarmasin, Samarinda, Menado, Singaraja, Bandung, Surabaya, Mataram dan Kupang.<br />Melalui kerjasama dengan fihak Pemerintah Daerah, sedang dirintis 212 Perpustakaan Daerah Tingkat II.<br />Untuk memantapkan pola koordinasi dan pelayanan masyarakat telah diadakan beberapa proyek yakni : 27 Perpustakaan Umum ting-kat Desa, 14 Perpustakaan Keliling, 11 Perpustakaan perintis bagi Sekolah dan 2 Perpustakaan Umum.<br />Untuk mengatasi kebutuhan tenaga yang terdidik dan terampil telah diadakan penataran tenaga perpustakaan/pustakawan yang telah melibatkan 724 orang. Untuk pemantapan pendidikan tenaga pustakawan telah didirikan pula dua buah Pusat Latihan Perpustakaan di Jakarta dan Yogyakarta.<br /><br />905<br />Guna mempermudah pelayanan informasi perpustakaan telah diadakan petunjuk/pedoman pelaksanaan, penerbitan Peraturan Kata-logisasi Nama-nama Indonesia Daftar Tajuk Subyek, Terjemahan DDC Direktori Perpustakaan, Direktori Majalah dan Surat Kabar Indonesia, Bahan Pegangan untuk Perpustakaan Sekolah, dan Pedoman Standar Perpustakaan di Indonesia.<br />(3) Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah<br />Tujuan kegiatan ini antara lain mengamankan naskah/buku sastra tradisional dari kehancuran, meningkatkan minat baca dan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra, kamus dan mendorong penerbitan buku bacaan sastra.<br />Selama Repelita II telah diterbitkan buku bacaan Sastra Indo- nesia dan Daerah sebanyak 200 judul, diadakan Sastra Melayu/ Indonesia edisi baru 48 judul, Sastra Jawa 57 judul, Sastra Sunda 32 judul, Sastra Bali 17 judul, Sastra Batak 15 judul, Sastra Gayo/Aceh 8 judul, Sastra Minangkabau 4 judul, Sastra Sasak 4 judul, Sastra Kutai 5 judul, Sastra Bugis/Makasar 4 judul, Sastra Toraja 1 judul, Sastra Minahasa 3 judul dan Sastra Ambon 2 judul.<br />TABEL XIV – 7<br />KEGIATAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN NASIONAL<br />(1974/75 – 1978/79)<br /><br /><br />907<br />TABEL XIV – 8<br />PENATARAN TENAGA KEBUDAYAAN <br />(1974/75 – 1978/79)<br /><br /><br /><br />908<br /><br /><br />909openmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-74280989419367563522008-09-01T14:03:00.000+07:002008-09-01T14:16:23.127+07:00PEMANFAATAN KEBERAGAMAN BUDAYA INDONESIA DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING (BIPA)PEMANFAATAN KEBERAGAMAN BUDAYA INDONESIA <br />DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA <br />BAGI PENUTUR ASING (BIPA)<br />1<br />Oleh <br />Abdul Gaffar Ruskhan <br />Pusat Bahasa <br />Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia <br />1. Pendahuluan <br />Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus bahasa negara <br />Indonesia. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah dikumandangkan dalam <br />Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 oleh para pemuda Indonesia pada waktu itu yang <br />merupakan wakil berbagai daerah di Indonesia. Mereka bersepakat menjadikan bahasa <br />Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia dengan mamasukkannya dalam salah satu <br />butir Sumpah Pemuda yang berisi (1) Kami putra dan putri Indonesia mengaku <br />bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; (2) Kami putra dan putri Indonesia <br />mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; (3) Kami putra dan putri Indonesia <br />menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Mengapa disebut Sumpah <br />Pemuda? Jawabnya adalah karena para pemuda waktu itu berasal dari berbagai daerah <br />dan wilayah di Indonesia dengan latar belakang etnis dan budaya, termasuk bahasa, <br />yang berbeda-beda bersepakat menanggalkan identitas kedaerahan dan keetnikan yang <br />melebur dalam satu pengakuan bersama, yakni menjunjung bahasa persatuan, bahasa <br />Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa kebangsaan Indonesia <br />dengan mengukuhkannya dalam Sumpah Pemuda. <br />Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi kenegaraan <br />yang berfungsi juga sebagai bahasa pendidikan, bahasa perencanaan dan <br />pembangaunan, sarana pengembangan ilmu, teknologi, dan budaya, serta bahasa <br />media massa. Hal itu dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia <br />1945 (dalam amandemen tidak berubah) Bab XV, Pasal 36 yang mengatakan ”bahasa <br />negara adalah bahasa Indonesia”. <br />Dalam konteks pengembangan ilmu, teknologi, dan budaya, tampaknya bahasa <br />Indonesia sudah mengambil peran. Dalam pengembangan ilmu dan teknologi, bahasa <br />Indonesia telah mampu menjadi sarana pengembangan ilmu dan teknolosi yang <br />ditandai dengan pengindonesiaan istilah bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. <br />Tidak kurang dari 350.000 istilah asing dalam berbagai bidang ilmu telah <br />diindonesiakan. Malah, Microsoft telah bekerja sama dengan Pusat Bahasa untuk <br />menerjemahkan istilah komputer ke dalam bahasa Indonesia, yang dikenal dengan <br />program komputer berbasis bahasa Indonesia. Dalam pengembangan budaya, bahasa <br />Indonesia pun telah melaksakanan peran itu karena keberagaman budaya Indonesia <br />1<br />Makalah yang disajikan dalam Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia Pertemuan Asosiasi Jepang-<br />Indonesia di Nanzan Gakuen Training Center, Nagoya, Jepang, 10—11 November 2007<br /><br />Page 2<br />2<br />mengharuskan adanya sarana bahasa yang mencakup semua bahasa di Indonesia, <br />dalam hal ini dilakukan melalui bahasa Indonesia. <br />Dalam kaitannya dengan keberagaman budaya Indonsia, penulis akan mencoba <br />menawarkan pemanfaatan keberagaman budaya dalam pengajaran BIPA. Hal itu <br />penulis maksudkan agar dapat diperoleh beberapa kemanfaatan dalam pengajaran <br />BIPA. Seperti pepetah (ungkapan bijak dalam bahasa tradisional) mengatakan, ”sekali <br />merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” (satu kali melakukan pekerjaan akan <br />diperoleh banyak manfaat dari pekerjaan yang kita lakukan itu). <br />2. Indonesia dengan Keberagaman Budaya <br />Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah yang luas, terbentang<br />dari Aceh sampai ke Papua. Ada 17.504 pulau yang tersebar di seluruh kedaulatan <br />Republik Indonesia, yang terdiri atas 8.651 pulau yang bernama dan 8.853 pulau yang <br />belum bernama (Situmorang, 2006). Di samping kekayaan alam dengan <br />keanekaragaman hayati dan nabati, Indonesia dikenal dengan keberagaman budayanya. <br />Di Indonesia terdapat puluhan etnis yang memiliki budaya masing-masing. Misalnya, <br />di Pulau Sumatra: Aceh, Batak, Minang, Melayu (Deli, Riau, Jambi, Palembang, <br />Bengkulu, dan sebagainya), Lampung; di Pulau Jawa: Sunda, Badui (masyarakat <br />tradisional yang mengisolasi diri dari dunia luar di Provinsi Banten), Jawa, dan<br />Madura; Bali; Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur: Sasak, Mangarai,<br />Sumbawa, Flores, dan sebagainya; Kalimantan: Dayak, Melayu, Banjar, dsb.; <br />Sulawesi: Bugis, Makassar, Toraja, Gorontalo, Minahasa, Manado, dsb.; Maluku: <br />Ambon, Ternate, dsb.; Papua: Dani, Asmat, dsb.) (Lihat Bangun, 2002:94—116; <br />Bagus, 2002:286—306; Dananjaja, 2002: 118—142; Kalangie, 2002:143—172; <br />Subyakto, 202: 173—189; Koentjaraningrat, 2002: 190—204; Sjamsuddin, 2002: <br />229—247; Junus, 202:248—265; Mattulada, 2002:266—285;l Bagus, 2002:286—<br />306; Harsono, 2002:307—328; Kodiran, 2002:329—352). Ada sekitar 726 bahasa <br />daerah yang tersebar di seluruh nusantara (Sugono, 2005). Mulai dari penutur yang <br />hanya berjumlah belasan orang, seperti bahasa di Papua, sampai dengan penutur yang <br />berjumlah puluhan juta orang, seperti bahasa Jawa dan Sunda. <br />Suku bangsa dan etnis itu adakalanya menempati daerah atau wilayah dalam <br />sebuah provinsi dan adakalanya menempati lintas provinsi. Etnis Jawa, misalnya, <br />menempati tiga provinsi, yakni Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah <br />Istimewa Yogyakarta. Walaupun begitu, suku Jawa tersebar ke seluruh pelosok <br />Indonesia, bahkan sampai ke negara Suriname. Di setiap daerah itu terdapat pula sub-<br />subetnis dengan subbudaya yang berbeda pula, misalnya, Solo, Yogyakarta, sampai ke <br />Banyuwangi, Jawa Timur. Umumnya orang Indonesia mengenal, misalnya, bahwa <br />orang Solo di Daerah Istimewa Yogyakarta sering dikatakan sebagai masyarakat yang <br />memiliki budaya yang halus, tutur sapa yang lembut, dan budi bahasa yang santun. <br />Hal itu menandai keunggulan budayanya. Akan tetapi, tidak jarang pula masyarakat <br />daerah tertentu yang berbicara dan bersikap keras, namun pada hakikatnya hatinya <br />lembut. <br /><br />Page 3<br />3<br />Selain itu, di Sumatra dikenal pula suku bangsa Minangkabau, yang <br />menempati Provinsi Sumatra Barat, sebagian Provinsi Jambi dan Bengkulu, di <br />samping tersebar di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke Semenanjung Malaysia. <br />Orang Minang—sebutan untuk masyarakat Minangkabau—memiliki budaya yang <br />unik jika dibandingkan dengan masyarakat suku lain. Mereka terkenal dengan pandai <br />berdagang dan banyak menjadi sastrawan semasa Balai Pustaka dan Pujangga Baru <br />dan tokoh kemerdekaan di awal kemerdekaan Republik Indonesia. Keunikan budaya <br />Minang terlihat dari sistem kekerabatan menurut jalur ibu (matrilineal). Sosok ibu <br />menjadi dasar penentuan nama keluarga (family). Bahkan, dalam adat Minang selain <br />nama keluarga berasal dari keluarga ibu, seseorang laki-laki yang sudah menikah akan <br />diberi gelar adat sehingga, menurut adat yang berlaku di Minang—yang bersangkutan <br />harus dipanggil dengan gelarnya, bukan nama kecilnya. Misalnya, seseorang bernama <br />Abdullah yang setelah menikah diberi gelar Sutan Maharajo (’Sultan Maharaja’) harus<br />dipanggil dengan Sutan atau Marajo, sesuai dengan pepatah ”Ketek banamo, gadang <br />bagala” (kecil diberi nama, besar diberi gelar). Di luar Minang biasanya seorang istri <br />akan tinggal di rumah keluarga suami, sebaliknya di Minang suami akan tinggal di <br />rumah istri. Apabila keluarga suami-istri ingin membangun rumah baru, lokasinya <br />masih berada di sekitar rumah orang tua istri (mertua). Dengan demikian, akan <br />berkembang keluarga besar dari pihak istrinya. Akibatnya, anak akan hidup di <br />lingkungan keluarga istri dan itulah uniknya budaya kekerabatan di Minang. <br />Sebagai masyarakat yang menganut agama Islam, budaya Minang terlihat <br />berpadu dengan budaya Islami. Dasar kemasyarakatan di Minang tertuang dalam <br />prinsip adat, yakni ”adat bersandikan syarak (aturan agama Islam), syarak bersandikan <br />Kitabullah (Alquran)”. Dengan demikian, masyarakat Minang memiliki tradisi <br />keberagamaan yang kuat. Biasanya, tradisi itu tetap dibawa ke mana pun mereka <br />merantau ke negeri orang. Di mana pun mereka tinggal, kebiasaan keberagamaan yang <br />kuat itu masih terlihat. Ada yang agak unik bagi masyarakat Minang, yakni di mana <br />pun mereka tinggal atau hidup di lingkungan masyarakat lain, mereka mampu <br />berintegrasi dengan masyarakat setempat. Itu pula yang menyebabkan bahwa di mana<br />pun di Indonesia kita tidak akan menemukan nama kampung atau kawasan dengan <br />Kampung Minang. Agak berbeda dengan masyarakat etnis lain, seperti Jawa, Madura, <br />Bugis, atau Cina akan kita temukan kawasan Kampung Jawa, Kampung Madurua, <br />Kampung Bugis, atau Kampung Cina. <br />Keberagamaan masyarakat Minang tidak berbeda dengan keberagamaan<br />seperti masyarakat Aceh, Melayu, Sunda, Madura, dan Bugis. Etnis itu dikenal dengan <br />penganut Islam yang taat walaupun tidak dapat dimungkiri bahwa pengaruh teknologi<br />modern berdapak terhadap keberagamaan masyarakat. <br />Bali pun--yang sudah dikenal oleh masyarakat mancanegara--memiliki agama <br />mayoritas Hindu. Bahkan, pengaruh Hindu mewarnai kehidupan sosialnya. Begitu <br />menyatunya Hindu dalam kehidupan mereka, kehidupan sosial dan pemerintahan pun <br />dipengaruhi Hindu. Barangkali tingkat keberagamaan di Bali lebih tinggi jika <br />dibandingkan dengan tingkat keberagamaan masyarakat dari etnis lain. Hal itu <br />ditandai dengan setiap aktivitas mereka tidak lepas dari pemujaan kepada Tuhan Yang <br /><br />Page 4<br />4<br />Maha Esa (Shang Widhi) yang terlihat dalam upacara keagamaan (Bagus, 2002). Ada<br />hal yang menarik lagi di Bali, yakni sistem pertanian yang diatur dalam subak. Dalam <br />sistem itu setiap sawah mendapatkan jumlah air yang sama sehinga tidak ada sawah <br />yang tidak mendapatkan jatah air. Hal itu berlaku pada semua perkampungan yang <br />diatur dalam atruran masyarakatnya. Sistem pengairan seperti itu tidak ditemukan di <br />wilayah lain di Indonesia. <br />Agama pun berbeda-beda. Tidak dapat diingkari bahwa masih ada sistem religi <br />masyarakat Indonesia yang menganut kepercayaan kepada benda-benda alam <br />(animisme). Akan tetapi, pada umumnya masyarakat Indonesia menganut enam<br />agama resmi, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan yang terakhir diakui <br />Konghucu. Semuanya hidup berdampingan yang diatur dalam kerukunan hidup <br />beragama. Memang konsep kerukunan lahir pada masa Orde Baru yang sudah <br />tumbang, tetapi keberadaannya masih dipertahankan, yakni kerukunan intraumat dan <br />antarumat beragama. Apalagi sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang <br />ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Soharto, mantan Presiden Kedua Republik <br />Indonesia, kehidupan masyarakat Indonesia lebih transparan. Setiap orang mempunyai<br />hak yang sama di negara Indonesia. Hal itu terbukti dengan tumbuh berkembangnya<br />budaya Cina, termasuk pengakuan terhadap agama Konghucu bagi masyarakat <br />keturunan Cina di Indonesia. Angin segar itu disambut bahagia oleh masyarakat <br />keturunan Cina, yang selama ini mereka agak dimarginalkan dalam sistem <br />pemerintahan Orde Baru. <br />Dari sudut keagamaan itu, Islam di Indonesia mencapai 87 persen. Dengan <br />jumlah itu tidaklah berarti bahwa kehidupan sosial politik tidak memperhatikan<br />keberagaman agama. Di Indonesia tradisi keberagaman agama dalam kehidupan <br />bermasyarakat dan berbangsa sangat menonjol. Sebagai warga dengan jumlah<br />mayoritas, umat Islam di Indonesia sangat memperhatikan kerukunan antarumat<br />beragama. Prinsip-prinsip agama sebagai pembawa rahmat dan kedamaian untuk <br />seluruh isi alam sangat mereka perhatikan Hal itu sudah menjadi dasar <br />kemasyarakatan yang tidak dapat diingkari. Malah, ada masyarakat yang begitu tinggi <br />toleransinya sehingga gesekan apa pun yang menerpanya tidak akan menggoyahkan <br />sendi-sendi kemasyarakat yang toleran. Memang tidak dapat disangkal bahwa situasi <br />politik kadangkala memengaruhi kehidupanan masyarakat yang rukun dan aman. Ada<br />upaya-upaya untuk memecah belah persatuan bangsa melalui goncangan terhadap <br />kerukunan umat beragama dengan mencuatkan sentimen keagamaan. Hal itu sengaja <br />diciptakan oleh orang-orang yang tidak senang dengan kondisi politik yang stabil. <br />Akibatnya, umat beragama terpengaruh ke dalam konflik tertentu. Kondisi itu kadang-<br />kadang disesalkan oleh masyarakat itu sendiri mengapa mereka terjerumus ke dalam <br />konflik yang tidak mereka inginkan. Walaupun begitu, kehidupan rukun yang telah <br />mereka warisi secara turun-temurun mengekalkan mereka dalam kebersamaan dan <br />kerukunan yang sejati. <br /><br />Page 5<br />5<br />3. Pengenalan Budaya Indonesia melalui Pengajaran Bahasa Indonesia <br />Dalam pengajaran BIPA memang ada buku yang telah memanfaatkan budaya <br />Indonesia, namun belum semua buku penbgajaran BIPA menyajikan materi yang <br />menyentuh kebudayaan Indonesia. Berdasarkan penelitian Mustakim (2003), dari 43 <br />buku yang diteliti, terdapat 24 buku (56%) buku yang menyajikan materi sosial <br />budaya Indonesia. Hal itu berarti ada 19 buku (44%) yang belum menyajikan sosial <br />budaya Indonesia secara optimal. Walaupun begitu, dari 19 judul itu sebanyak 11 <br />buku tidak menyajikan sama sekali aspek sosial budaya, sedangkan yang lain ada <br />menyinggungnya, tetapi porsinya sangat sedikit. <br />Dari gambaran itu, dapat dikatakan bahwa materi BIPA belum dapat dikatakan <br />menyentuh tujuan pengajaran BIPA. Pada dasarnya pengajaran bahasa asing, dalam <br />hal ini bahasa Indonesia, diharapkan agar pelajar dapat menggunakan bahasa <br />Indonesia dengan baik dan benar. Karena bahasa Indonesia—berlaku juga bagi bahasa <br />lain—tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan sosial budaya masyarakat <br />Indonesia, penyajian aspek sosial budaya menjadi penting. Bagaimanapn juga, <br />pengajaran BIPA dapat juga berfungsi sebagai pemberian informasi budaya dan <br />masyarakat Indonesia kepada pelajar asing. Keberhasilan pengajaran BIPA tidak akan <br />optimal apabila pengajaran itu tidak melibatkan aspek-aspek sosial budaya yang <br />berlaku dalam masyarakat bahasa tersebut. <br />Ada beberapa aspek budaya yang dapat dimanfaatkan dalam penyajian materi <br />ajar BIPA. Ababila kita merujuk pada unsur budaya yang dikemukakan oleh <br />Koentajaraningrat (1991), maka ada tujuh unsur, yakni (1) sistem peralatan dan <br />perlengkapan hidup (alat produktif, alat distribusi dan transportasi, wadah dan tempat <br />untuk menaruh, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan <br />perumahan, serta senjata); (2) sistem mata pencarian hidup (berburu dan meramu, <br />pereikanan, bercocok tanam, peternakan, dan perdagangan); (3) sistem<br />kemasyarakatan (sistem kekerabatan, sistem kesatuan hidup setempat, asosiasi dan <br />perkumpulan, sistem kenegaraan); (4) bahasa (bahasa lisan dan bahasa tulis), (5) <br />kesenian (seni patung, seni relief, seni lukis dan gambar, seni rias, seni vokal, seni <br />instrumental, seni sastra, dan seni drama); (6) sistem pengetahuan (pengetahuan alam, <br />flora, fauna, zat dan bahan mentah, tubuh manusia, kelakuaan sesama manusia, ruang, <br />waktu, dan bialangan, dan (7) sistem religi (sistem kepercayaan, kesustraan suci, <br />sistem upacara keagamaan komunitas keagamaan, ilmu gaib, dan sistem nilai dan <br />pandangan hidup). Mustakim (2003) mengelompokkan materi yang perlu disajikan <br />dalam buku BIPA yakni (1) benda-benda budaya, (2) gerak-gerik anggota badan, (3) <br />jarak fisik ketika berkomunikasi, (4) kontak pandang mata dalam berkomunikasi, (5)<br />penyentuhan, (6) adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat, (7) sistem nilai yang <br />berlaku dalam masyarakat, (9) sistem religi yang dianut masyarakat, (10) mata <br />pencarian, (11) kesenian, (12) pemanfaatan waktu, (13) cara berdiri, duduk, dan <br />menghormati orang lain, (14) keramah-tamahan, tegur sapa, dan basa basi, (15) pujian, <br />(16) gotong-royong, (17) sopan santun, termasuk eufimisme. Namun, belum semua <br />unsur itu disajikan dan masih ada unsur yang belum mendapat perhatian dam buku <br />ajar BIPA. <br /><br />Page 6<br />6<br />Berdasarkan klasifikasi di atas, banyak hal yang dapat disajikan dalam materi <br />BIPA. Tampaknya unsur-unsur budaya itu sangat banyak dan beragam di Indonesia. <br />Keberagaman budaya itu terkristalisasi dalam beraneka macam etnis dengan <br />budayanya masing-masing. Penyusun bahan ajar BIPA dapat memilih unsur-unsur<br />budaya mana yang diperlukan disajikan sebagai materi pembelajaran. Jika kembali <br />kepada unsur budaya yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat tampaknya sistem<br />peralatan dan <br />perlengkapan hidup, sistem mata pencarian hidup, sistem <br />kemasyarakatan, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi menjadi pilihan. <br />Suatu kenyataan dalam pengajaran bahasa asing, dalam hal ini bahasa <br />Indonesia bagi orang asing, bahwa ada realitas sosial masyarakat Indonesia yang <br />pluralisme yang menggunakan bahasa Indonesia dengan latar belakang budaya yang <br />berbeda. Dengan keberbedaan itu, pelajar asing akan dapat memahami karakteristik <br />masing-masing. Dengan demikian, pengetahuan yang menyeluruh tentang pluralisme<br />masyarakat Indonesia, di samping kemahiran berbahasa Indonesia, akan diperoleh <br />oleh pelajar secara bersama. <br />Memang selama ini terdapat gambaran yang tidak lengkap tentang masyarakat <br />Indonesia. Mungkin ada yang memandang Indonesia itu adalah Bali, atau sebaliknya. <br />Bahkan, ada citra seolah-oleh Indonesia tidak ada hubungannya dengan Bali. Memang <br />tidak diingkari bahwa promosi objek pariwisata tertentu yang gencar dapat saja <br />mengubah citra masyarakat dunia tentang Indonesia yang luas dan beragam. Namun, <br />apabila Indonesia yang luas dengan aneka ragam masyarakatnya dipahamkan melalui <br />pengajaran BIPA, pasti hal itu akan memberikan gambaran yang positif bagi pelajar <br />tentang Indonesia. Dengan demikian, gambaran yang keliru tentang Indonesia akan <br />dapat diluruskan akibat berkembangnya citra yang tidak sehat. Apalagi ada upaya-<br />upaya yang dapat menimbulkan citra yang tidak baik terhadap kelompok tertentu di <br />Indonesia. Akibatnya, hubungan yang sudah harmonis, baik di kalangan masyarakat<br />Indonesia sendiri mapun antarmasyarakat luar, akan terganggu. Hal itu tentu tidak <br />diinginkan. Salah satu sarana pemberian informasinya adalah pengajaran BIPA. <br />Pendekatan lintas budaya melalui pengajaran bahasa asing itu merupakan cara <br />pemahaman budaya sebagai suatu keseluruhan hasil respons kelompok manusia<br />terhadap lingkungan dalam rangka memenuhi kubutuhan dan pencapaian tujuan <br />setelah melalui rintangan proses interaksi. Ada hal-hal pokok yang perlu diperhatikan <br />yaitu kebutuhan dan tujuan mempelajari budaya, lingkungan target budaya, dan <br />integrasi sosial yang diinginkan. Dengan demikian, kecurigaan-kecurigaan dalam <br />berinteraksi akan dapat dihilangkan. <br />Dalam kaitan itu, penulis dan pengajar BIPA dapat memilih unsur-unsur <br />budaya Indonesia dalam buku ajar dan pengembangannya di kelas. Pemilihan itu <br />dilakukan sesuai dengan tujuan pengajaran BIPA, yang menurut saya adalah mahir <br />berbahasa Indonesia dan paham terhadap keberagaman budaya Indonesia. <br />Pusat Bahasa telah mencoba menyusun buku pengajaran BIPA dengan <br />memesukkan sosial budaya sebagai teks percakapan dan memberikan catatan budaya<br />dalam setiap unit buku itu. Buku yang berjudul Lentera Indonesia: Penerang untuk <br />Memahami Masyarakat dan Budaya Indonesia menekankan pengenalan masyarakat <br /><br />,<br />7<br />dan budaya Indonesia melalui pengajaran BIPA. Cara demikian dilakukan untuk dapat<br />menyelami kehidupan masyarakat Indonesia lebih jauh lagi. Dengan demikian, pelajar <br />BIPA lebih akrab dengan masyarakat bahasa Indonesia melalui pengajaran BIPA. <br />4. Penutup<br />Indonesia yang memiliki kebegaraman budaya penting dipahami oleh pelajar <br />BIPA. Masalahnya, pengajaran BIPA bukan hanya sekadar menghasilkan pelajar yang <br />mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar, melainkan juga menjadi wahana <br />untuk memahami keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia. Walaupun pelajar <br />BIPA belum berkunjung ke Indonesia, diharapkan melalui pengayaan materi BIPA <br />dengan keberagaman budaya Indonesia mereka akan mampu menyerapkan informasi<br />yang utuh tentang Indonesia, khususnya dari khazanah budayanya. Buku ajar yang <br />belum memuat materi keberagaman budaya Indonesia dapat dilengkapi dan <br />diupayakan menjadi sarana strategis untuk mengetahui masyarakat Indonesia. <br />Para penulis dan guru BIPA diharapkan mampu mengolah bahan ajar BIPA <br />menjadi sesuatu yang menarik melalui penyajian materi yang mengutamakan <br />informasi tentang keadaan masyarakat dan budaya Indonesia. Hal itu penting agar <br />gambaran yang jelas tentang Indonesia dapat dimiliki oleh pelajar BIPA. Kurangnya <br />pemahaman dan pengeahuan tentang Indonesia akan dapat menimbulkan <br />kesalahpahaman tentang masyarakat Indonesia yang kaya dengan berbagai budayanya. <br />Daftar Pustaka <br />Aziz, Aminuddin. 2003. ”Aspek-Aspek Budaya yang Terlupakan dalam Praktik <br />Pengajaran Bahasa Asing”. Dalam Nyoman Riasa dan Danise Finney (Editor). <br />Proseding Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi <br />Penutur Asing IV. Denpasar: Indonesian Australia Language Foundation <br />(IALF). <br />Bagus, I Gusti Ngurah. 2002. ”Kebudayaan Bali”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). <br />Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. <br />Bangun, Pajung. 2002. ”Kebudayaan Batak”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia <br />dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. <br />Canale, M. 1980. “Theoretical Bases of the Communicative Approach to Second <br />Language Teaching and Learning”. Dalam Applied Linguistics. 1.1. <br />Canale, M. 1983. ”From Communicative Competence to Communicative Language <br />Pedagogy”. Dalam J.C. Richards dan R. Schmidt (Ed.) Language and <br />Communication. London: Longman. <br />Danandjaja, J. 2002. ”Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah”. Dalam <br />Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. <br />Harsojo. 2002. ”Kebudayaan Sunda”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan <br />Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. <br /><br />Page 8<br />8<br />Junus, Umar. 2002. ”Kebudayaan Minangkabau”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). <br />Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. <br />Kodiran. 2002. ”Kebudayaan Jawa”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan <br />Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. <br />Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentaliteit, dan Pembangunan. Jakarta: <br />Gramedia. <br />Koentjaraningrat. 1985. ”Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan”. Dalam Alfian <br />(Ed.) Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: <br />Koentjaraningrat. 2002. ”Kebudayaan Flores”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). <br />Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. <br />Mahfud, Chairul. 2006. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Pustaka Pelajar. <br />Mattulada. 2002. ”Kebudayaan Bugis-Makassar”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). <br />Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. <br />Mustakim. 2003. ”Peranan Unsur Sosial Budaya dalam Pengajaran BIPA”. Dalam <br />Nyoman Riasa dan Danise Finney (Editor). Proseding Konferensi <br />Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing IV. Denpasar: <br />Indonesian Australia Language Foundation (IALF). <br />Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia<br />Indonesia. <br />Situmorang, Sodjuangan. 2006. ”Pentingnya Dokumentasi Toponimi untuk <br />Mendukung Tata Pemerintahan yang Baik”. Makalah dalam The 13th Asia <br />South East & Pacific South West Divisional Meeting, 24—25 August 2006. <br />Jakarta. <br />Sjamsuddin, Teuku. 2002. Kebudayaan Aceh”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). <br />Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. <br />Subiyakto. 2002. ”Kebudayaan Ambon”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan <br />Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. <br /><br />Page 9<br />9<br />BIODATA <br />Drs. Abdul Gaffar Ruskhan, M.Hum. dilahirkan di Bukittinggi, Sumatra Barat, <br />18 Agustus 1951. Setelah menamatkan studinya di Institut Agama Islam Negeri <br />(sekarang Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta, tahun 1979, pada <br />tahun 1980 yang bersangkutan bergabung dengan Pusat Bahasa (dulu Pusat <br />Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), Departemen Pendidikan Nasional Republik <br />Indonesia. Pada tahun 1995 ia menyelesaikan kuliah tingkat magister linguistik di <br />Universitas Indonesia, Jakarta. Sampai sekarang ia masih menjadi pegawai negeri dan <br />peneliti di Pusat Bahasa dan menjabat sebagai Kepala Bidang Pengkajian Bahasa dan <br />Sastra sampai dengan 20 September 2007. <br />Selain bekerja di Pusat Bahasa, sejak 1984 ia menjadi dosen tamu di Institut <br />Teknologi Indonesia dan Universitas Trisakti Jakarta. Pada tahun 2002 ia menjadi <br />dosen tamu di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta. <br />Selain itu, ia pengasuh tetap (kolumnis) rubrik Ulasan Bahasa di surat kabar Media <br />Indonesia Jakarta sejak tahun 2004. <br />Selain menulis sejumlah artikel kebahasaan di majalah ilmiah, ia menulis<br />beberapa buku, baik perseorangan maupun tim, antara lain, Kamus Besar Bahasa <br />Indonesia (1988, 1992, 2002), Pungutan Padu dalam Bahasa Indonesia (2002), <br />Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia: Kajian Analisis Pemungutan Bahasa (2007), <br />dan Kompas Bahasa Indonesia (2007). <br />Ia menjadi Sekretaris Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia <br />(Mabbim) (2001—2006) dan Wakil Ketua Majelis Sastra Asia Tenggara (2005openmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-11676755143539979542008-09-01T14:01:00.000+07:002008-09-01T14:02:00.527+07:00Pragmatic Functions of Crisis – Motivated Proverbs in Ola Rotimi's The Gods Are Not to BlamePragmatic Functions of Crisis – Motivated Proverbs in Ola Rotimi's The Gods Are Not to Blame<br />Akin Odebunmi (Ibadan)<br /> <br />1 Introduction<br /><br />A large concentration of the studies on Ola Rotimi's The Gods are not to Blame, henceforth The Gods, come from the literary (e.g. Dasylva 2004) and sociological (e.g. Green/Korubo-Solomon 2002) perspectives. Extremely little attempts have been made to carry out linguistic analyses of the text, when compared to other plays of the author. The reason for this relative neglect is, however, not the concern of this paper. Oloruntoba-Oju (1998) is a major study of Ola Rotimi's plays. It does a stylistic analysis of actional tradition in The Gods, Kurunmi and Ovonramwen Nogbaisi.<br /><br />The fact is that it is rare to find a whole work devoted to the linguistic analysis of The Gods. The situation is worse with the use of proverbs in the text. Except Monye (1995) which analyses all the proverbs in the text, other studies such as Dairo (2001) and Ogbulogo (2002) merely mention the subject with reference to The Gods in their discussions of other works of Ola Rotimi. Monye (1995) restricts himself to broadly identifying the fifty-three proverbs in the play and discussing each in relation to the context in which it is used, without anchoring his analysis on any theoretical framework. This approach leaves a lot undone in a linguistic enterprise. We shall, therefore, in this paper, unlike Monye who does a broad analysis, classify the proverbs in The Gods and analyse them using Mey's (2001) theory of pragmatic acting. It is expected that this paper provide additional paremiological insights into the literature and help in language teaching.<br /><br />The choice of The Gods has been informed, not only by the little attention paid to the use of proverbs in it, but also by the richness of its language, especially its faithful translation of Yoruba proverbs. For data, only the crisis-motivated proverbs (one of the classes of proverbs identified) in The Gods are selected and these are analysed through the theory of pragmatic acting.<br /><br />2 Language, Culture and Proverbs<br /><br />There is an intricate relationship between language and culture. This relationship is exhibited in terms of language being a part of culture, and yet being its vehicle. Culture is "the way of life for an entire society" (Jary and Jary 1991: 101), which means that aspects of human life such as codes of manners, dressing, religion, ritual norms, behaviour, belief systems and language are subsumed under culture. This large scope, which is outside the focus of this paper, has generated issues on the universalistic and relativistic dimensions of culture (cf. Khadka 2000).<br /><br />Culture is lived, and language, through all its manifestations, projects that living, giving it form and texture. According to Leigh and Stanbridge (1991: 2), culture is:<br />A mixture which incorporates behaviour (thoughts, actions and language), knowledge, belief, art morals, law, custom, and other qualities acquired by man as a social being.<br /><br />Language, therefore, expresses the patterns and structures of culture, and consequently influences human thinking, manners and judgement.<br /><br />Four key components of culture have been identified in the sociological literature, namely, values, norms, institutions and artifacts (Hoult 1969). Values, which control other components of culture, deal with what a society attaches importance to; norms relate to patterns of behaviour designed for individual members of a society in particular situations; institutions relate to the divisions of a society where values and norms are applied; artifacts are objects that are produced from the values and norms of a culture. All these components are largely relativistic in nature, and they illuminate a society's systems, beliefs and worldviews<br /><br />Proverbs deal with issues that border on the values, norms, institutions and artifacts of a society across the whole gamut of the people's experiences. Two examples of the way proverbs do this can be cited from the Yoruba culture:<br />Omo beere, osi beere.<br />Many children, much poverty<br />Bi oko ba moju aya tan, alarina a yeba<br /><br />The moment a love relationship/marriage is intiated/contracted, the matchmaker steps aside.<br /><br />The proverb in Example 1 touches on an aspect of the socio-economic values of the Yoruba. It simply suggests that having a few children, and by so doing, planning one's family, helps to rule out poverty. This proverb has proved particularly useful in the Southwestern Nigerian electronic media campaigns on family planning by non-governmental organizations and hospitals. In Example 2, the proverb reveals the practice in the marriage culture of the Yoruba, and specifies a norm that is associated with the institution. That the matchmaker's duty ends at the initiation of the relationship or contracting of the marriage implies that the Yoruba believe that no external influence is, or should be, allowed in the marital lives of couples. Proverbs thus become a tool to describe and express social, cultural, natural and other events/ practices. This point will be clearer in the next section where we attempt a discussion of popular and literary proverbs.<br /><br />3 Popular and Literary Proverbs<br /><br />Given that proverbs are strictly context-dependent, it is essential to explore them in terms of how their meanings emerge in situations of use According to Firth (1926: 134):<br />The essential thing about a proverb is its meaning [...]. The meaning of a proverb is made clear only when side by side with the translation is given a full account of the accompanying social situation – the reason for its use, its effects, and its significance in speech.<br /><br />Firth's point is that a clear meaning of a proverb can be appreciated when the social situation of its use is considered. Working within Firth's functional perspective and considering other structural variables, Yusuf and Methangwane (2003: 408) define proverbs as "relatively short expressions, which are usually associated with wisdom and are used to perform a variety of social functions". This is the definition that shall adopt in this paper.<br /><br />Discussions of proverbs in the paremiological literature have often concerned their structures, types and functions. Proverbs in terms of structure show a quadripartite structure, a topic-comment pattern, are oppositional/non-oppositional and fixed in shape. They are also sometimes poetic or non-poetic in nature (Mieder 1989; Odebunmi 2006).<br /><br />In terms of function, proverbs in Africa have been observed to "occur on all occasions when language is used for communication either as art or as tool [...] Proverbs are used in oratory, counselling, judging, embellishing speeches and enriching conversations" (Finnegan 1994: 36). Achebe (in Ogbaa 1981: 5) re-states these functions explicitly when he says:<br />A proverb is both a functional means of communication and also a very elegant and artistic performance itself [...]. So, when I use these forms in my novels, they both serve a utilitarian purpose; which is to re-enact the life of the people that I am describing and also delight through elegance and aptness of imagery.<br /><br />The functions are projected through exploring the allusive, ironic and sarcastic potentials of proverbs (Odebunmi 2006).<br /><br />Three types of American proverbs have been identified namely, legal proverbs, medical proverbs and weather proverbs (Mieder 1989). Much as these categories cut across the uses of proverbs in many cultures of the world, cultural differences and other situational factors often necessitate emergence of local categories. Some of these are the flora/fauna types Odebunmi (2006). A few more categories will be added in this paper as will be dictated by the intertextual functions of proverbs in The Gods.<br /><br />Mieder (1974: 889) asks the following questions with reference to literary proverbs:<br />In what contexts do these proverbs appear?<br />How do they function in the popular piece of literature?<br />Which way do they offer new insights into the creative process of an author?<br /><br />We shall address questions (i) and (ii) above in this paper: In what contexts do proverbs appear in The God, [and] how do they function in the text? Meanwhile, it is necessary to turn to the playwright himself, the rationale for the choice of the play and information about the text.<br /><br />Ola Rotimi, who died in 2002, is an internationally acclaimed Nigerian playwright. He has written seven published plays to date, namely, Our Husband has gone Mad Again (1966/1974), The Gods are not to Blame (1971), Kurunmi (1971), Ovonramwen Nogbaisi (1974), Holding Talks (1979), If (1983) and Hopes of the Living Dead. The Gods has been selected in this paper because of the relative little attention paid to its linguistic analysis in general, and the analysis of its proverbs in particular.<br /><br />The Gods is a story of King Odewale who, at birth, is divined to kill his father, King Adetusa and marry his mother, Queen Ojuola. To avoid this unsavoury incident, Odewale is ordered to be killed in a grove. But Gbonka, the palace messenger detailed with this instruction, fails, out of pity for the barren Ogundele and Mobike, his wife, to kill the child; rather he hands the baby over to the barren couple to foster. When Odewale is fully grown up, the message of the gods are delivered to him again at Ijekun Yemoja. Mistaking his foster parents for his biological ones, Odewale runs away from 'home' to avoid the fulfillment of the prediction, only to achieve fame and royal feats at Kutuye, where he lives to fully act out the wills of the gods by marrying his mother, having inadvertently killed his father over a piece of land at Ede.<br /><br />4 The Theory of Pragmatic Acts<br /><br />This theory of pragmatic acts has been necessitated by the puncture made in the speech act theory especially as being best thought of atomistically (Fairclough 1989: 9) and non-situated (Mey 2001). This makes the speech act theory unsuitable for the analysis of proverbs in dramatic texts, as these proverbs can best be appreciated through a theory of action (Odebunmi 2006: 157). Therefore, our choice of pragmatic acts theory is expedient. Mey (2001) explains the concept of a pragmeme with the model below:<br /><br />Figure 1: A Model of Pragmatic Acts (Mey 2001: 222)<br /><br />In the words of Mey (2001: 221), the pragmatic act theory focuses on "the environment in which both speaker and hearer find their affordances, such that the entire situation is brought to bear on what can be said in the situation, as well as what is actually being said". This perspective is captured as a pragmeme, a generalized pragmatic act regarded as the only force associated with making utterances.<br /><br />A pragmatic act is instantiated through an ipra or a pract, which realizes a pragmeme. "Every pract is at the same time an allopract, that is to say a concrete instantiation of a particular pragmeme" (Mey 2001: 221). What determines a pract is solely participants' knowledge of interactional situation and the potential effect of a pract in a particular context. Thus, practing resolves the problem of telling illocutionary force from perlocutionary force.<br /><br />Figure 1 shows that there are two parts to a pragmeme: activity part, meant for interactants and textual part, referring to the context within which the pragmeme operates). To communicate, the interactants draw on such speech act types as indirect speech acts, conversational ('dialogue') acts, psychological acts, prosodic acts and physical acts. These are engaged in contexts, which include INF representing "inference"; REF, "relevance"; VCE, "voice"; SSK, "shared situation knowledge"; MPH, "metaphor"; and M "metapragramatic joker". The interaction between activity part and textual part results in a pract or an allopract.<br /><br />The metapragmatic joker points to particular metapragmatic activities. Central to it is "indexicality" which, at the pragmatic level, demands good knowledge of the context of the utterance made. Mey (2001) illustrates the metapragmatic nature of indexicality by exploring structural repetitions such as Biblical Pilate's "What I do, I do" (John 19: 22) and Bakhtin's (1994: 108), "Sentences are repeatable. Sentences are repeatable", whose meanings do not depend on the repetitions made, but rather on the indexical context. They point to particular persons who utter them and the conditions that necessitate their utterance. The indexicality here is implicit "and has to be brought out by an analysis of the discourse in which the utterance takes place" (Mey 2001: 199 [Hanks 1992]). Mey (ibid) further observes that the "implicit properties of the utterance reflect on the utterance itself, by indexing its user relation [italics his]: that is [...] they tell us something about how the utterance is produced, respectively received". He asserts that the metapragmatic indexicality plays a very vital role in understanding how pragmatic acts develop discourse.<br /><br />5 Pragmatic Functions of Proverbs in The Gods Are Not to Blame<br /><br />Our analysis of crisis – motivated proverbs in The Gods shall be based on figure 2 below, which is a modified model of pragmatics presented by Mey (2001), and adapted by Odebunmi (2006).<br /><br />Figure 2: A Modified Model of Pragmatic Acts in The Gods are not to Blame<br /><br />Figure 2 shows that proverbs in The Gods are used between a speaker and a hearer, and are broadly divided into two: crisis motivated proverbs (CMP) and non-crisis motivated proverbs (NMP). NMP, which is not our focus in this paper, occurs in a relatively small number of occasions, when compared to CMP, the reason being that the events in the play are predominantly crisis-driven. Instances of NMPs are found where reference is made to the battle with Ikolu (p. 7), where Odewale is venerated (p. 7), where Baba Fakunle is praised (p. 26), where character assessment is made (p. 39) and where identity declaration and conflict are involved (pp. 42, 46, 51).<br /><br />CMPs in The Gods bifurcate into social crisis-motivated proverbs (CMP: soc) and political crisis-motivated proverbs (CMP: Pol). Given that crises make a lot of demand on the psyche, all the instances of CMPs soc and CMPs pol are psychological acts, which interact with contextual features such as reference (REF), metaphor (MPH), inference (INF), shared situational knowledge (SSK), shared cultural knowledge (SCK) and relevance (REL) to produce the following practs: couselling, cautioning, accusing, challenging, veiling, persuading, prioritizing, encouraging, threatening and admitting. SCK was operationally introduced by Odebunmi (2006: 159) to be able to adequately account for the cultural factor in the use of proverbs. We discuss the practs as they relate to social and political crisis-motivated proverbs below.<br /><br />6 Social Crisis-Motivated Proverbs<br /><br />The social crisis situations in The Gods, defined in terms of activities relating to day to day experiences of the Kutuje people including the people's encounter with nature, cover the outbreak of epidemics in Kutuje, divination/riddle of birth concerning Odewale and the contest between Odewale and King Adetusa, the former monarch of Kutuje. Although it bears some political colouration later in the play, the outbreak of epidemics in Kutuje, as seen at the actual point of occurrence is social as it is linked with the wrath of the gods, with no association with the political affairs of the community. But the contest between Odewale and King Adetusa is strictly social as it is over land, and not in any way, at least at the point of the contest, connected with the latter's throne. What is known to the two contesters at the instance is one trying to rob the other of his property. The proverbs used in these situations derive their sources from the faunal and flora resources of the Yoruba, their geography and their social structures. Driven by the exigencies of the situations already mentioned, the characters, using CMPs: soc counsel, accuse, challenge, persuade and encourage. In the dialogue between Odewale and the priest of Ifa in Act Three Scene3, we have the following utterances:<br />Voice: You have a curse on you, son.<br />Odewale: What kind of curse, Old one?<br />Voice: You cannot run away from it, the gods have willed that you will kill your father, and then marry your mother!<br />Odewale: Me! Kill my own father, and marry my own mother?<br />Voice: It has been willed.<br />Odewale: What must I do then not to carry out this will of the gods?<br />Voice: 'Nothing. To run away would be foolish. The snail may try, but it cannot cast off its shell. Just stay where you are.<br />(p. 60)<br /><br />By the proverb, "the snail may try, but it cannot cast off its shell", Voice co-textually works on his earlier statements: "You cannot run away from it, the gods have willed it [...]" and "it has been willed". He makes reference to the faunal resources of his environment, i.e. the snail and the shell of snail. The proverb rides on a metaphor. The interpretation is assisted by SCK, Odewale being a member of the culture i.e. Yoruba, in which the proverb exists, and SSK, given the circumstance necessitating the use of the proverb. All these are complemented by the relevance of the proverb to the question that stirs Odewale's mind. Odewale is thus, given all these contextual factors, able to draw appropriate inferences. To him, as projected in his proverbial response move:<br />Continue to stay in the house of my father and mother? Oh, no, the toad likes water but not when the water is boiling (p. 60),<br /><br />his interpretation of the proverbial utterance of the Ifa priest that he should leave the environment completely to avoid the tragedy. What the priest of Ifa, with "the snail[...]", practs therefore is counseling: he has the fore knowledge of the danger lying ahead of Odewale and foresees him staying in his present environment as a probable solution. Other cases of counseling, using proverbs, are found on pages 14 and 60.<br /><br />Many CMPs: soc are used to accuse. Examples abound on pages 9, 10 and 46. For example, when an epidemic breaks out in Kutuje, the townspeople gather at the palace to register their protest over their assumed non-caring attitude of Odewale. Some of their spokespersons speak in the following proverbial language:<br />Second citizen: When the head of a household dies, the house becomes an empty shell. (p. 9)<br />Third citizen: When the chameleon brings forth a child, is not that child expected to dance? (p. 9)<br />Second citizen: When rain falls on the leopard, does it wash it off its spots.<br />Fifth citizen: How long must feverish birds tremble in silence before their keeper? (p. 10)<br /><br />The proverbs largely derive from the fauna of the Yoruba. They make reference to the social structure of the Yoruba community, the genetic dancing skills of the chameleon, the permanent nature of the spots on the leopard and the relationship between birds and their keepers. Each of these demands SCK and SSK for it to appear as an accusation posed to Odewale for not being caring. In fact, in the proverbial utterance of Fifth Citizen, there is a subtle pract of challenging: "How long must feverish birds [...]", implicating that their seeming undue respect for the king might soon end if he continues to be insensitive to their plights.<br /><br />In his response to the accusation of his people, Odewale, first, subtly persuades and, later, encourages, also using proverbs:<br />You do me great wrong, therefore to think that, like a rock in the middle of a lake, forever cooled by flowing waters, I do not know, and cannot know the sun's hotness that burns and dries up the open land. (p. 10)<br /><br />Odewale refers to some geographical phenomena and atmospheric conditions in the Yoruba community i.e. a rock, a lake, the location of a rock in flowing waters, the hotness of the sun and its effect on the open land, the knowledge of all of which the audience are expected to share with Odewale. The proverb, which is a metaphor, states that the rock located in the middle of the lake experiences no hotness. The metaphor implies that Odewale sees his people as nursing the feeling that he luxuriates in the royal grandeur without devoting any attention to their degenerate conditions. What he practs, practically speaking, is explain his true position and role in the matter to them, contrary to their feeling. This point is further made in another proverb, performing the pragmatic function of persuading:<br />Have I been sleeping? If so, I am sick in the head: for only a madman would go to sleep with his roof on fire. (p. 11)<br /><br />After he has convinced the people about the role he plays, he engages proverbs to encourage them to administer herbs properly and patiently. Two of these proverbs are important. The first appears in response to Third Woman's complaints:<br />Third woman: I boiled mine longer – a long time I even added dogoyaro leaves to it.<br />Odewale: And how does the body feel?<br />Third woman: Not as well as the heart wishes, my lord.<br />Odewale: Our talk is of illness, sister. To get fully cured one needs patience.<br />The moon moves slowly but by daybreak it crosses the sky.<br />(p. 14)<br /><br />The proverb, "the moon [...]" reformulates, the co-textual expression: "[...] one needs patience". The clarity of the proverb is not in question, given the general social context, the co-text, SCK and SSK. Another pract of encouragement follows Fourth Woman's question:<br />Fourth woman: My trouble is that I drink medicine from herbs, my husband drinks it too. But the children [...] I don't know how to give it to them so that they can drink it too.<br />Odewale: By trying often, the monkey learns to jump from tree to tree without falling.<br />(p. 14)<br /><br />Odewale evokes the SCK of Fourth Woman to link up the monkey's several attempts leading eventually to skillful acrobatics, with her own experience. This is not clearly reformulated but if SSK is appealed to in addition to SCK, no problem of interpretation would be expected.<br /><br />7 Political Crisis-Motivated Proverbs<br /><br />Political crisis-motivated proverbs in The Gods (describing activities that centre exclusively on the political affairs of the community, especially as related to problems surrounding Odewale's succession to the throne and the complications that attend the succession) are used during the following occasions: when Aderopo brings a message from Baba Fakunle; when the killer of King Adetusa is being sought; when the leaders of Kutuje have actual physical contact with Baba Fakunle; and after Baba Fakunle has left. These situations make the proverb user to draw on the social-cultural experiences of the people, their medical perspectives, their flora and their fauna. Practs of cautioning, threatening, accusing, veiling, prioritizing and admitting characterize the various exchanges.<br /><br />The political crisis in the play begins with the message Aderopo brings from Baba Fakunle when sent to inquire about the cause of the epidemics in the land. The following transaction is very important in this regard:<br />Aderopo: Very well. If a oracle says the curse, your highness is on a man.<br />Second Chief: A man!<br />Odewale: And who is this man?<br />Aderopo: I don't know, your highness, the oracle did not say.<br />Odewale: Very well. This man – the cursed one – what did he do, what offence?<br />Aderopo: The man killed another man [...] King Adetusa – my own father [...]<br />Odewale and chiefs: King Adetusa!<br />Ojuola: Who are we to trust, then?<br />Aderopo: That was why I feared to speak, mother. Until the rotten tooth is pulled out, the mouth must chew with caution.<br />(pp. 20–21)<br /><br />Aderopo's proverb though immediately activated by Ojuola's question, "Who are we to trust?" is on the larger scale motivated by the political crisis on ground. The proverb is a medical one, which is pragmatically engaged to caution Odewale and the chiefs about the approach to use to identify the culprit.<br /><br />Aderopo's message has obviously brought a riddle, which according to Odewale has to be loosened (p. 21). To do this, Odewale sees the need to be systematic. It is this need that necessitates his proverb:<br />Now my people, when trees fall on trees, first the topmost must be removed. (p. 22)<br /><br />Drawing on flora activities, he practs prioritization. This is reformulated and further clarified in his next statement: "First, tell me when was King Adetusa slain?" The trees falling on trees is a reference to the chronological sorting out and temporal location of the issues related to the situation at hand.<br /><br />The crisis situation and expected political intrigues that follow cause participants to accuse each other of one offence or the other, using CMPs: pol. Examples of these proverbs can be found on pages 23, 30, 32, and 51. Two examples of such proverbs can be cited. After Aderopo has delivered Baba Fakunle's message, Odewale begins to dig into the cause of King Adetusa's death. In this bid, he suspects that the chiefs have a hand in the crime. He says:<br />Me an Ijekun man, a stranger in your tribe [stares at CHIEFS] when crocodiles eat their own egg, what will they not do to the flesh of a frog. (p. 23)<br /><br />In this proverb, Odewale expresses the fear that he is not safe with the chiefs, reasoning that it is possible to trace the death of the former king to them. Invariably therefore, he implicitly accuses them of being responsible for the death of King Adetusa, and for possibly posing a threat to his own life as well, whose situation is even worse, being a non-native of Kutuje. The same pract is performed in<br />The hyena flirts with the hen, the hen is happy, not knowing that her death has come. (p. 30)<br /><br />Also, proverbs, which accuse are used in the interaction between Odewale and Aderopo in Act Two, scene 2:<br />If you think you can drum for my downfall, and hope that, drum will sound, then your head is not good. (p. 32)<br /><br />The proverb exploits the knowledge of the socio-cultural functions drums are made to perform in the Yoruba community. By this proverb, Odewale accuses Aderopo of plotting against him. This is clearly stated in his next non-proverbial statement:<br />If you think like a tortoise you can plot against me without my first cutting you down with my own tortoise tricks, then, fellow, madness is in your liver. (p. 32)<br /><br />It is these accusations together with the dysphemisms: "your head is not good" and "madness is in your liver" that prompt Aderopo's rudeness to Odewale, equally expressed with a dysphemism:<br />Your highness, if you think to have heavy suspicion is wisdom, then your head is not well. (p. 32)<br /><br />The situation degenerates into serious verbal combats between the two, leading to Odewale's threat to banish Aderopo from Kutuje, for he sees him as a dangerous contender. This is expressed in the proverb:<br />Two rams cannot drink in the same bucket at the same time. They will lock horns. (p. 34)<br /><br />By this proverb, Odewale threatens Aderopo, who is presented as the ram that tugs his throne with him. Engaging SCK and SSK, Aderopo makes appropriate inferences from this proverb, and reaches Odewale's intended meaning. He asks: "Who is stopping you from being king?" (p. 35). It is this question that now prompts a plain, non-proverbial expression of Odewale's meaning:<br />You [...] trying to. Your intrigues, and blackmail and[...] Ooh! Take your time, child. (p. 35)<br /><br />But he ends this with another threat practing proverb:<br />[...] If you rise too early the dew of life will soak you. (p. 35)<br /><br />Another pract that is associated with CMPs: pol is that of veiling. Two instances of this can be cited.<br />Odewale: Details, son, give us the details.<br />Aderopo: I'd rather tell you those in private my lord.<br />Odewale: Private! What is private about a whole kingdom in pain?<br />Aderopo: It is said that the secrets of a home should be know first to the head of the home.<br />Odewale: I refuse to listen alone. Speak openly son before all – a cooking pot for the chameleon is a cooking pot for the lizard.<br />(p. 19)<br /><br />This scene is where Aderopo comes fresh with the unsavoury message from Baba Fakunle, which he feels should not be announced publicly at that moment. He draws on the proverb "the secrets of [...]." equalling Odewale with that head who deserves a foreknowledge of the news. Odewale refuses to co-operate with Aderopo, countering with another proverb, "a cooking pot.." with which he declares that no privacy is warranted as far as the present situation is concerned. In fact, he means to say, though rather wrongly given the social structure of the Yoruba community, that all of the people present are equal, which removes need for a preferential treatment, as offered by Aderopo. By Aderopo's act, he is veiling the news to honour Odewale, as the king and head of the community.<br /><br />Veiling is also employed in another proverb. After Alaka has declared that Ogundele and Mobike are Odewale's foster parents, Odewale insists on knowing his root:<br />Odewale: Hunter Ogundele is not my father; his wife Mobike is not my mother. You said so. Well, who gave me life?<br />Alaka: It is well, I will tell you [...] but [...] I beg you let us go inside, you and I alone, in private. Secrets of the owl must not be known in the daylight.<br />(p. 62)<br /><br />Alaka's proverb unlike that of Aderopo is not meant to honour Odewale, but rather to conceal the truth, which he feels would stigmatize Odewale. However, while Odewale recognizes his intention, he does not subscribe to his offer rather he opts for Alaka proving publicly that he is "indeed without father and mother" (p. 62).<br /><br />Finally, after the truth of Odewale's parentage has been revealed, he gouges out his own eyes and asks his children to lead him out of the town, serving the punishment he earlier pronounced on the culprit. When chiefs rush to stop him, he utters a CMP: Pol:<br /><br />When the wood-insect gathers sticks, on its own head it carries them.<br /><br />Odewale, through the proverb, refers to the wood-insect, which carries its burden by itself. He expects, working on SSK, his audience to understand that he admits responsibility for the crime committed and is ready to face the appropriate music.<br /><br />8 Conclusion<br /><br />By and large, we have shown that two types of crisis – motivated proverbs characterize The Gods, namely, social crisis-motivated proverbs and political crisis-motivated proverbs. The social ones are situated in the events of the outbreak of epidemics in Kutuje, divination/riddle of birth concerning Odewale and the contest between Odewale and King Adetusa over a piece of land in Ede. These proverbs are sourced from the flora and faunal resources of the Yoruba, their geography (and atmospheric conditions) and their social structures. The political ones are found in scenes where Aderopo brings a message from Baba Fakunle, where the killer(s) of King Adetusa is sought, and where Baba Fakunle makes physical presence (and when he has departed).<br /><br />Given the relatively little attention paid to the use of proverbs in The Gods, the work has contributed significantly to the paremiological literature. It has also provided useful information that could assist in language teaching. The classification of proverbs into CMP: soc and CMP: pol, for example, can be used as a guide to explain related proverbs. Also, further context-derived classifications can be made, using insights provided in this paper. The events corresponding with the proverbs and the non-proverbial reformulations of the proverbs in the play can also be exploited both as interpretations and demonstrations of the meanings of the proverbs. Future research can concentrate on how the non-crisis-motivated proverbs in the play contribute to the development of the theme(s) and plot of the text.<br /><br />References<br /><br />Bakhtin, Mikhali (1986/1994): Speech Genres and Other Late Essays (trans. Vern W. Mc Gee). Austin.<br /><br />Fairclough, Norman (1989): Language and Power. London.<br /><br />Finnegan, Ruth (1994): "Proverbs in Africa". In: Mieder, Wolfgang/Dundes, Alan (eds.): The Wisdom of many. Essays on the Proverb. London: 10–42.<br /><br />Firth, John (1926): "Proverbs in Native Life with Special Reference to those of Maori". Folklore 37: 134–153.<br /><br />Green, E./Korobo-Solomon, F. (2002): "Aspects of Traditional region in Ola Rotimi's 'The Gods are not to Blame'". Journal of Religion and Culture 3, 1 & 2: 33–38.<br /><br />Hanks, William (1992): "The Indexical Ground of Deictic Reference". In: Duranti, Alessandre/Goodwin, Charles (eds.): Rethinking Context. Language as an Interactive Phenomenon. Cambridge: 43–76.<br /><br />Hoult, Thomas (ed.) (1969): Dictionary of Modern Sociology. New Jersey.<br /><br />Khadka, Netra (2006): "Culture. A Dynamic Process of Social Behaviour". International Journal: Language, Society and Culture. http://www.educ.utas.edu.au/users/tle/JOURNAL/Articles/Khadka/Khadka2.html (accessed August 29, 2007).<br /><br />Leigh, James/Stanbridge, David (1991): Multicultural Communication. Nicosia.<br /><br />Mey, Jacob (2001): Pragmatics. An Introduction. Oxford.<br /><br />Mieder, Wolfgang (1974): "The Essence of Literary Proverbs". Proverbium 14: 379–383.<br /><br />Mieder, Wolfgang (1989): "American Proverbs. A Study of Texts and Contexts". Sprichwörterforschung 13: 195–221.<br /><br />Monye, Ambrose (1995): "The Use of Proverbs in Ola Rotimi's 'The Gods are not to Blame'". Proverbium 12: 251–262.<br /><br />Odebunmi, Akin (2006): "A Pragmatic Reading of Yerima's Proverbs in 'Yemoja Attahiru' and 'Dry Leaves on Ukan Trees'". Intercultural Pragmatics 3, 2: 153–170.<br /><br />Ogbaa, Kalu (1981): "Interview with Chinua Achebe". Research in African Literatures 12, 1: 1–13.<br /><br />Ogbulogo, Charles (2002): "Proverb as Discourse. The Example of Igbo Youth and Culture Heritage". Journal of Cultural Studies 4, 1: 37–49.<br /><br />Oloruntoba-Oja, Taiwo (1998): Language and Style in Nigerian Drama and Theatre. Ibadan.<br /><br />Rotimi, Ola (2000): The Gods are not to Blame. Ibadan.<br /><br />Yusuf, Yisa/Methangwane, Joyce (2003): "Proverbs and HIV/AIDS. Proverbium 20: 407–422.openmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-40580834231732575792008-09-01T13:58:00.001+07:002008-09-01T13:58:35.716+07:00KERAJAAN SALAKANAGARA (BANTEN, TELUK LADA -PANDEGLANG)KERAJAAN SALAKANAGARA (BANTEN, TELUK LADA -PANDEGLANG)<br /><br />Masa pemerintahan kerajaan ini dari tahun 200 SM (menurut catatan sejarah dari India yang menyebutnya sebagai Java Dwipa) sampai tahun 362 M. Tokoh awal dari kerajaan ini bernama Aki Tirem. Kerajaan ini berkedudukan di Teluk Lada Pandeglang namun ada juga yang menyatakan kerajaan ini berkedudukan di sebelah Barat Kota Bogor di kaki gunung Salak, konon nama gunung Salak diambil dari kata Salaka.<br /><br />1. Dewawarman I<br />2. Dewawarman II<br />3. Dewawarman III<br />4. Dewawarman IV<br />5. Dewawarman V<br />6. Dewawarman VI<br />7. Dewawarman VII<br />8. Dewawarman VIII<br /><br />KERAJAAN TARUMANAGARA<br /><br />1. Jayasingawarman (358 – 382) dia adalah menantu dari Dewawarman VIII<br />2. Dharmayawarman (382 – 395)<br />3. Purnawarman (395 – 434)<br />4. Wisnuwarman (434 – 455)<br />5. Indrawarman (455 – 515)<br />6. Candrawarman (515 – 535)<br />7. Suryawarman (535 – 561)<br />Tahun 526 menantu Suryawarman yang bernama Manikmaya mendirikan kerajaan baru di wilayah Timur (dekat Nagreg Garut) yang kemudian cicit dari Manikmaya yang bernama Wretikandayun mendirikan kerajaan baru tahun 612 yang kemudian dikenal dengan nama kerajaan Galuh.<br />8. Kertawarman (561 – 628)<br />9. Sudhawarman (628 – 639)<br />10. Hariwangsawarman (639 – 640)<br />11. Nagajayawarman (640 – 666)<br />12. Linggawarman (666 – 669)<br />Anak Linggawarman yang bernama Sobakancana menikah dengan Daputahyang Srijayanasa yang kemudian mendirikan kerajaan Sriwijaya. Anaknya yang bernama Manasih menikah dengan Tarusbawa yang kemudian melanjutkan kerajaan Tarumanagara dengan nama kerajaan Sunda. Karena Tarusbawa merubah nama kerajaan Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda maka Wretikandayun pada tahun 612 menyatakan kerajaan Galuh adalah sebagai kerajaan yang berdiri sendiri bukan dibawah kekuasaan kerajaan Sunda walaupun sebenarnya kerajaan-kerajaan itu diperintah oleh garis keturunan yang sama hanya ibukotanya saja yang berpindah-pindah (Sunda, Pakuan, Galuh, Kawali, Saunggalah).<br /><br />KERAJAAN SUNDA/GALUH/SAUNGGALAH/PAKUAN<br /><br />1. Tarusbawa (670 – 723)<br />2. Sanjaya/Harisdarma/Rakeyan Jamri (723 –732) ibu dari Sanjaya adalah putri Sanaha dari Kalingga sedangkan ayahnya adalah Bratasenawa (raja ke 3 kerajaan Galuh) Sanjaya adalah cicit dari Wretikandayun (kerajaan Galuh) Sanjaya kemudian menikah dengan anak perempuan Tarusbawa yang bernama Tejakancana.<br />3. Rakeyan Panabaran/Tamperan Barmawijaya (732 - 739) adalah anak Sanjaya dari istrinya Tejakancana. Sanjaya sendiri sebagai penerus ke 2 kerajaan Sunda kemudian memilih berkedudukan di Kalingga yang kemudian mendirikan kerajaan Mataram Kuno dan wangsa Sanjaya (mulai 732)<br />4. Rakeyan Banga (739 – 766)<br />5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)<br />6. Prabu Gilingwesi (783 – 795)<br />7. Pucukbumi Darmeswara (795 – 819)<br />8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819 – 891)<br />9. Prabu Darmaraksa (891 – 895)<br />10. Windusakti Prabu Dewageng (895 – 913)<br />11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)<br />12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916 – 942)<br />13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)<br />14. Limbur Kancana (954 – 964)<br />15. Prabu Munding Ganawirya (964 – 973)<br />16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)<br />17. Prabu Brajawisesa (989 – 1012)<br />18. Prabu Dewa Sanghyang (1012 – 1019)<br />19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 – 1030)<br />20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030 – 1042) Ayah Sri Jayabupati (Sanghyang Ageng) menikah dengan putri dari Sriwijaya (ibu dari Sri Jayabupati) sedangkan Sri Jayabupati sendiri menikah dengan putri Dharmawangsa (adik Dewi Laksmi istri dari Airlangga)<br />21. Raja Sunda XXI<br />22. Raja Sunda XXII<br />23. Raja Sunda XXIII<br />24. Raja Sunda XXIV<br />25. Prabu Guru Dharmasiksa<br />26. Rakeyan Jayadarma, istri Rakeyan Jayadarma adalah Dyah Singamurti/Dyah Lembu Tal anak dari Mahesa Campaka, Mahesa Campaka adalah anak dari Mahesa Wongateleng, Mahesa Wongateleng adalah anak dari Ken Arok dan Ken Dedes dari kerajaan Singasari.<br />Anak Rakeyan Jayadarma dengan Dyah Singamurti bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya. Karena Jayadarma meninggal di usia muda dan Dyah Singamurti tidak mau tinggal lebih lama di Pakuan maka pindahlah Dyah Singamurti dan anaknya Raden Wijaya ke Jawa Timur yang kemudian Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit pertama.<br />27. Prabu Ragasuci (1297 – 1303) dia adalah adik dari Rakeyan Jayadarma. Istri Ragasuci bernama Dara Puspa seorang putri dari Kerajaan Melayu. Dara Puspa adalah adik Dara Kencana (yang menikah dengan Kertanegara dari Singasari).<br />28. Prabu Citraganda (1303 – 1311)<br />29. Prabu Lingga Dewata (1311 – 1333)<br />30. Prabu Ajigunawisesa (1333 – 1340) menantu Prabu Lingga Dewata<br />31. Prabu Maharaja Lingga Buana (1340 – 1357)<br />32. Prabu Mangkubumi Suradipati/Prabu Bunisora (1357 – 1371) adik Lingga Buana<br />33. Prabu Raja Wastu/Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475) anak dari Prabu Lingga Buana. Istri pertamanya bernama Larasarkati dari Lampung memiliki anak bernama Sang Haliwungan setelah menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri keduanya adalah Mayangsari putri sulung Prabu Mangkubumi Suradipati/Bunisora memiliki anak yang bernama Ningrat Kancana setelah menjadi Raja Galuh bergelar Prabu Dewaniskala.<br />Setelah Prabu Raja Wastu meninggal dunia kerajaan dipecah menjadi 2 dengan hak serta wewenang yang sama, Prabu Susuktunggal menjadi raja di kerajaan Sunda sedangkan Prabu Dewaniskala menjadi raja di kerajaan Galuh.<br />Putra Prabu Dewaniskala bernama Jayadewata, mula-mula menikah dengan Ambetkasih putri dari Ki Gedeng Sindangkasih kemudian menikah lagi dengan Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa yang menjadi raja Singapura) setelah itu ia menikah lagi dengan Kentringmanik Mayang Sunda, putri Prabu Susuktunggal.<br />Pada tahun 1482 Prabu Dewaniskala menyerahkan kekuasaan kerajaan Galuh kepada puteranya (Jayadewata), demikian pula dengan Prabu Susuktunggal, ia menyerahkan tahta kerajaan kepada menantunya (Jayadewata), maka jadilah Jayadewata sebagai penguasa kerajaan Galuh dan Sunda dengan gelar Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.<br /><br />KERAJAAN PAJAJARAN<br /><br />1. Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi / RADEN DJAYADEWATA (1482 – 1521) A.D /MASEHI<br />Pada masa inilah kerajaan Pajajaran mengalami kemajuan serta kemakmuran.<br />2. Surawisesa (1521 – 1535)<br />3. Ratu Dewata (1535 – 1543)<br />4. Ratu Sakti (1543 – 1551)<br />5. Raga Mulya (1551 – 1579)<br />Sekelumit tentang kisah kerajaan Pajajaran sampai dengan tanggal penetapan hari jadi kota Bogor telah ditulis dibagian awal dari tulisan ini.<br /><br />Bila kita bandingkan dengan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, maka kerajaan Salakanagara di Jawa Barat-lah yang pantas dikatakan sebagai kerajaan tua, dan dari situlah seharusnya asal muasal sejarah Indonesia ini diungkapkan dengan benar.<br /><br />Semoga tulisan ini bermanfaat, terima kasih.<br /><br />disadur dari sahabat sejati<br /><br />Tambahan.....<br /><br />Salakanagara<br /><br />Asal Muasal<br /><br />Sejarah menurut G.R. Elton dan Henry Pirenne berdasarkan studi displin ilmu yang bersumber pada ; 1.Filologi (ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa pada naskah-naskah kuno; daun lontar, daluwang, kertas).2. Epigraf (ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa kuno pada batu, kayu, logam, dikenal sebagai prasasti), 3.Arkeologi (ilmu yang mempelajari benda-benda peninggalan sejarah/artefak).<br /><br />Kerajaan Hindu pertama Salakanagara menurut Yoseph Iskandar dibuktikan berdasarkan literatur yang sebelumnya pernah ada. Sumber literatur berasal dari Pangeran Wangsakerta-Kasepuhan Cirebon dan bukti-bukti fisik yang ada di Pulau Panaitan serta tersebar diwilayah Gunung Pulosari.<br /><br />Menurut pakar sejarah Edi S. Ekajati, dalam buku Naskah Sunda (1988), Pangeran Wangsakerta pada tahun 1677 M hasil pertemuan kekeluargaan (mapulung rahi) dan musyawarah (gotraswala) menyusun naskah berseri berjumlah 47 naskah, 4 (empat) diantaranya ditemukan di Banten. Huruf yang ditulis umumnya berasal dari Bahasa Kawi (Jawa Kuno) gaya Cirebon dengan menggunakan tinta Jafaron.<br /><br />4 (empat) naskah kuno Pustaka Wangsakerta tersebut yaitu :<br /><br />1. Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara,<br />2. Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadhipa<br />3. Pustaka Nagara Kretabhumi,<br />4. Pustaka Carita Parahiyangan.<br /><br />Dari 47 naskah Pangeran Wangsakerta tebal tiap jilid bervariasi antara 100-250 halaman, dengan isi 21 sampai 23 baris tiap halaman.Naskah kuno tersebut mencakup pengetahuan sejarah, hukum, kesehatan, dsb. Bahasa yang digunakan juga terdiri dari; Jawakuna, Melayukuna, Balikuna, dan Sundakuna.<br /><br />Setiap jilid karya Wangsakerta terdiri dari 3 (tiga) bagian : 1.Purwaka, 2.Uraian kisah sejarah, 3. Kolofon (sumber : ayatroehadi, 1985: 530-557)<br /><br />Purwaka, memberikan keterangan tentang nama naskah, parwa dan sarga, penyusun, sumber, alasan penyusunan, tujuan penyusunan, dsb. yang berkaitan dengan tanggung jawab secara ilmiah dari para penyusun.<br /><br />Bagian kedua, merupakan bagian isi tentang sejarah sesuai dengan jilid yang bersangkutan.<br /><br />Kolofon, berisi akhir penulisan jilid tersebut.<br /><br />Pertemuan (mapulung rahi) dan musyawarah (gotraswala) Nusantara tersebut diakomodir oleh Pangeran Wangsakerta dan dihadiri para ahli sejarah serta arkeolog dimasanya pada tahun 1677 M (1599 Saka), sebagai pengemban amanat dari Sultan Kasepuhan sebelumnya yaitu Pangeran Girilaya. Banyak karya dari berbagai penjuru nusantara tersebut disalin dan diambil isinya bahkan diserahkan kepada Sultan Cirebon, termasuk diantaranya karya Mpu Prapanca yang dibawa mahakawi dari Bali.<br /><br />Pertemuan dan musyawarah tersebut juga mendapat restu sangat kuat dari Susuhunan Banten (Sultan Ageng Tirtayasa) dan Susuhunan Mataram (Sultan Amangkurat II). Bukti otentik dan tradisi lisan yang diperoleh merupakan referensi sejarah yang tidak ternilai harganya.<br /><br />Yosep Iskandar sebagai penulis sejarah Salakanagara selain menggunakan data pustaka Wangsakerta, juga menggunakan data Sejarah Babad Banten yang ditulis oleh Hussein Djayadiningrat.<br /><br />Sebelumnya pakar sejarah Ayatroehadi dan Edi S Ekadjati pada tahun 2001 dalam acara Bedah Naskah Sejarah Banten di Puri Salakanagara milik Triana Syamun menyimpulkan, bahwa Kerajaan Salakanagara pernah ada di wilayah pesisir barat Pandeglang.<br />Kerajaan tersebut dipimpin oleh Dewawarman I (130-168 M) sampai dengan IX. Terakhir merdeka hanya pada masa dinasti Dewawarman VIII (348-363 M), sebelum akhirnya takluk oleh Purnawarman raja ketiga yang perkasa (434-455M) dari Kerajaan Tarumanegara pada masa dinasti Dewawarman IX, raja terakhir Salakanagara.<br /><br />Kerajaan Salaka Nagara<br /><br />Salakanagara, berdasarkan Naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara.<br />Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang.<br /><br />Raja pertama Salakanagara bernama Dewawarman yang berasal dari India. Ia mula-mula menjadi duta negaranya (India) di Pulau Jawa. Kemudian Dewawarman menjadi menantu Aki Tirem atau Sang Aki Luhurmulya. Istrinya atau anak Aki Tirem bernama Pohaci Larasati. Saat menjadi raja Salakanagara, Dewawarman I ini dinobatkan dengan nama Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 363 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).<br />Sementara Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.<br />Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman pemuja fanatik Dewa Wishnu aliran Hindu itu mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara disebelah barat Citarum. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.<br /><br />Referensi<br />Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005<br />Iskandar, Yoseph: Sejarah Banten, Dari Masa Nirleka (Prasejarah) Hingga Akhir Masa Kejayaan Kesultanan Banten (abad ke 17), Tryana Syam'un Corp. Jakarta, 2001<br /><br />disadur dari sahabat sejati<br /><br />Tambahan Kedua...........<br /><br />Sejarah Sunda (130 - 1579 M)<br /><br />* Purwacarita<br />Pengertian sejarah secara tradisi adalah beberapa kisah dongeng, legenda, babad, tambo dll. Sesungguhnya hal itu berada dibawah disiplin ilmu sastra, sedangkan sejarah, pembuktiannya harus berdasarkan disiplin ilmu : filologi (ilmu yang mempelajari naskah kuna), epigrafi (ilmu yang mempelajari aksara prasasti), arkeologi (ilmu yang mempelajari artefak-artefak peninggalan sejarah), dan geografi (ilmu yang mempelajari permukaan bumi).<br />Karya sastra bisa diuji dan dikaji oleh disiplin ilmu sejarah sejauh karya sastra yang bernilai sejarah itu dapat menunjang temuan sejarah itu sendiri. Sebaliknya hasil penelitian sejarah dapat disusun menjadi karya sastra yang sering kita sebut roman sejarah. Naskah Pangeran Wangsakerta, menurut Edi S. Ekadjati dan menurut Ayat Rohaedi, adalah naskah sejarah. Sistematika dan pengungkapannya sudah dalam bentuk sejarah, menggunakan referensi atau sumber-sumber tertulis lainnya.<br /><br />* Purwayuga<br />Sejarah Sunda dimulai dari masa Purwayuga (jaman purba) atau dari masa Nirleka (silam), yang terbagi atas :<br />o Prathama Purwayuga (jaman purba pertama), dengan kehidupan manusia hewan Satwapurusa, antara 1 jt s.d. 600 rb th silam<br />o Dwitiya Purwayuga (jaman purba kedua), dengan kehidupan manusia yaksa, antara 500 rb sampai 300 rb tahun silam<br />o Tritiya Purwayuga (jaman purba ketiga), dengan kehidupan manusia kerdil (wamana purusa), antara 50 rb sampai 25 rb tahu silam.<br /><br />* Dukuh Pulasari Pandeglang<br />o menurut naskah Pangeran Wangsakerta, kehidupan masyarakat Sunda pertama di pesisir barat ujung pulau Jawa, yaitu pesisir Pandeglang. Dipimpin oleh seorang kepala suku (panghulu) Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya. Sistem religi mereka adalah Pitarapuja, yaitu pemuja roh leluhur, dengan bukti sejumlah menhir seperti Sanghiyang Dengdek, Sanghiyang Heuleut, Batu Goong, Batu Cihanjuran, Batu Lingga Banjar, Batu Parigi, dll. Refleksi dukuh Pulasari dapat kita lihat di kehidupan masyarakat Sunda Kanekes (Baduy).<br /><br />* Salakanagara<br />o Putri Aki Tirem yaitu Pohaci Larasati, menikah dengan seorang duta niaga dari Palawa (India Selatan) bernama Dewawarman. Ketika Aki Tirem wafat, Dewawarman menggantikannya sebagai penghulu dukuh Pulasari.<br />o Dewawarman mengembangkan Dukuh Pulasari hingga menjadi kerajaan corak Hindu pertama di Nusantara, yang kemudian diberi nama Salakanagara. Salaka berarti Perak dan Nagara berarti negara atau negeri. Oleh ahli dari Yunani, Claudius Ptolomeus, Salakanagara dicatat sebagai Argyre. Dalam berita China dinasti Han, tercatat pula bahwa raja Yehtiao bernama Tiao-Pien mengirimkan duta keChina tahun 132 M. menurut Ayat Rohaedi, Tiao berarti Dewa, dan Pien berarti Warman.<br />o Salakanagara didirikan tahun 130 M, dengan raja pertamanya Dewawarman I dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Rakja Gpura Sagara. memerintah hingga tahun 168 M. Wilayahnya meliputi propinsi banten sekarang ditambah Agrabintapura (Gunung Padang Cianjur) dan Apuynusa (Krakatau).<br />o Raja Terakhir (ke-8) Dewawarman VIII bergelar Prabu Darmawirya Dewawarman (348-363 M).<br /><br />* Tarumanagara<br />o Didirikan oleh Jayasingawarman pada 358 M dengan nobat Jayasingawarman Gurudarmapurusa.<br />o Penerusnya adalah Purnawarman yang memindahkan pusat pemerintahan dari Jayasingapura (mungkin Jasinga) ke tepi kali Gomati (bekasi) yang diberi nama Sundapura (kota Sunda), bergelar Harimau Tarumanagara (Wyagraha ning tarumanagara), dan disebut pula Sang Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng) dan juga Panji Segala Raja. Sedangkan nama nobatnya adalah Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati.<br />o Raja terakhir Sang Linggawarman sebagai raja ke-12<br /><br />* Kerajaan Sunda<br />o Tarumanagara dirubah namanya menjadi Kerajaan Sunda oleh Tarusbawa, penerus Linggawarman. Akibatnya belahan timur Tarumanagara dengan batas sungai Citarum memerdekakan diri menjadi Kerajaan Galuh<br />Kerajaan Sunda berlangsung hingga tahun 1482 M, dengan 34 raja.<br />o Prabu Maharaja Linggabuana dinobatkan menjadi raja di kerajaan Sunda pada 22 februari 1350 M. Ia gugur bersama putrinya, Citraresmi, dalam tragedi Palagan Bubat akibat ulah Mahapatih Gajahmada. Peristiwa itu terjadi pada 4 September 1357 M.<br />o Mahaprabu Niskala Wastu Kancana menggantikan posisi Linggabuana pada usia 9 tahun. Dia membuat Prasasti Kawali di Sanghiyang Linggahiyang atau Astana Gede Kawali. Dia juga yang membuat filsafat hidup :" Tanjeur na Juritan, Jaya di Buana" (unggul dalam perang, lama hidup di dunia).<br />o Wastukancana memerintah selama 103 tahun 6 bulan dan 15 hari dalam keadaan damai.<br />o Sri Baduga Maharaja adalah putra Prabu Dewa Niskala, cucu dari Prabu Wastukancana. Ia adalah pemersatu kerajaan Sunda, ketika Galuh kembali terpisah. Kerajaan ini lebih dikenal dengan sebutan Pajajaran. Dialah raja pertama yang mengadakan perjanjian dengan bangsa Eropa, yaitu Portugis. Ia berkuasa dari tahun 1482 s.d. 1521M.<br /><br />* Kerajaan Galuh<br />o Pendirinya adalah Prabu Wretikandayun pada 612 M.<br />o Prabu Sanjaya Harisdarma. Ia disebut Taraju Jawadwipa, dan sempat menjadi Maharaja di tiga kerajaan : Kalingga - Galuh - Sunda.<br />o Sang Manarah yang dalam dongeng disebut Ciung Wanara. Ia putera Prabu Premana Dikusumah dari Naganingrum.<br /><br />* Kerajaan Pajajaran<br />o Pajajaran adalah sebutan pengganti atas bersatunya kerajaan Galuh dengan kerajaan Sunda, yang dipegang oleh satu penguasa : Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran atau Sri Sang Ratu Dewata.<br />o Penggantinya adalah Prabu Sanghyang Surawisesa, yang berkuasa di belahan barat Jawa barat, karena di sebelah timur sudah berdiri kerajaan Islam Pakungwati Cirebon, yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah Iman. Dia adalah putra sulung Sri Baduga Maharaja dari Subanglarang yang beragama Islam. Subanglarang adalah murid Syekh Quro Hasanudin Pura Dalem Karawang.<br />o Tahta kerajaan Pajajaran berlangsung turun-temurun : Ratu Dewata; Ratu Sakti, Prabu Nilakendra dan yang terakhir Prabu Ragamulya Suryakancana.<br />o Di pihak Cirebon sendiri, putera Susuhunan Jati Cirebon, yaitu Pangeran Sabakingkin, telah berhasil mendirikan kerajaan bercorak Islam Surasowan Wahanten (Banten) dan melakukan beberapa kali penyerbuan ke Pajajaran.<br />o Pakuan Pajajaran direbut dan dimusnahkan oleh Maulana Yusuf, putra Maulana Hasanudin.<br />o Pajajaran sirna ing bhumi, atau Pajajaran lenyap dari muka bumi pada tanggal 11 bagian terang bulan wasaka tahun 1511 Saka atau 11 Rabi'ul Awal 978 hijriah atau tanggal 8 mei 1579 M.<br />o Sebagai tunas-tunas Pajajaran, muncullah 3 kerajaan Islam di tatar Sunda :<br />+ Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon;<br />+ Kerajaan Islam Surasowan Banten; dan<br />+ Kerajaan Islam Sumedanglarang.<br /><br />disadur dari sahabat sejati<br /><br />Tambahan Ketiga.........<br /><br />SEJARAH SUNDA<br /><br />Apakah manfaat pengetahuan sejarah bagi kita ?<br />Pertanyaan itu dijawab oleh Muiler (1952:38), "Our task is to creatiea "usable past" for our own living purpose" yaitu tugas kita ialah mereka instruksi masa lalu untuk mencari manfaat bagi kehidupan sekarang jelasnya lagi, yaitu kita harus mampu menyerap unsur sejarah yang bermanfaat bagi<br />kemajuan bangsa dan dapat mentransformasikan dalam kehidupan.<br /><br />Manfaat sejarah dapat disimpulkan dalam Ciri Jati Diri (Identitas)<br />a. Sejarah untuk menjadikan Ciri Jati Diri (Identitas): Identitas diri atau kelompok dapat tumbuh dari rasa bangga akan hasil peradaban atau kebudayaannya. Sehingga pada akhirnya memotivasi generasi penerus untuk lebih berprestasi kerja agar terwujud identitas diri dan bangsa.<br />b. Sejarah Sebagai Sumber Nilai Budaya Dan Peradaban: Dalam kandungan sejarah banyak terdapat nilai-nilai peradaban yang menjadi ukuran derajat peradaban bangsa tersebut. Nilai peradaban itu harus dapat disampaikan kepada generasi selanjutnya.<br /><br />Periodesasi Sejarah Sunda<br />Drs. Saleh Danasasmita, pakar Sejarah Sunda membuat periodesasi Sejarah Sunda berdasarkan "Ide Dasar" yang menjiwai masyarakat pada masanya. Pembagiannya yaitu:<br />A. Ide dasar Nusantara, Bercirikan Megalitik.<br />B. Ide dasar Hinduisme.<br />C. Ide dasar Budisme.<br />D. Ide dasar Islamisme.<br />E. Ide dasar Kejawen.<br /><br />Tetapi ada pula pakar yang membuat periodesasi berdasarkan kurun waktu. Periodesasi sejarah sunda Sbb :<br />a) Jaman Pra Sejarah (Purwayuga), Pada jaman ini dikatakan bahwa mahluk yang pernah hidup disebutnya.<br />- Satwapurusa (manusia hewan), 1.000.000 - 600.000 th S.M.<br />- Bhutapurusa (manusia bhuta, Raksasa) 750.000 - 300.000 th S.M.<br />- Yaksapurusa (manusia yaksa, sejenis raksasa) 500.000 - 300.000 th S.M.<br />- Wamanapurusa (manusia cebol) 50.000 - 25.000 th S.M.<br />- Antara 25.000 - 10.000 th S.M. berdatangan manusia dari Yuwana, Campa, Syangka, hidup berbaur dengan penduduk asli.<br />- Antara 10.000 S.M. sampai dengan awal tarikh Masehi, berdatangan manusia baru dari daerah utara.<br />Catatan: pada jaman pra-sejarah terdapat tradisi Nusantara (Megalitik). Manusia penghuni asli berbaur dengan pendatang baru.<br /><br />b) Jaman Sunda Mandiri (Yuga ning Rajakawaca)<br /><br />- Kerajaan Salakanagara :<br />ini adalah kerajaan yang pertama yang ada di tatar Sunda, juga di Nusantara. Salakanagara (Negara Perak), kotanya Rajatapura (Kota Perak). Rajanya yaitu Dewawarman, yang berasal dari India Selatan dan menikah dengan Pohaci Larasati, putra dari Aki Tirem (Aki Luhur Mulya). Wilayah negaranya adalah daerah Banten sekarang sampai ke pesisir Sumatera Selatan.<br />Catatan :<br />A. Sudah ada ahli ilmu hundagi (arsitektur).<br />B. Konsep kerajaan bersumber kepada tradisi India.<br />C. Raja Yeh-Tiao yang bernama Tiao-piem, kemungkinan yang dimaksud yaitu Yavadwipa dengan Dewawarman.<br />D. Dalam pemerintahan Dewawarman VII baru terceritakan adanya kerajaan Bakulapura (Kutai) di Kalimantan. Jadi lebih awal adanya Kerajaan Salakanagara daripada Kutai.<br /><br />- Kerajaan Tarumanagara :<br />Tahun 348 M, seorang Maharesi dari Calakayana, India selatan, datang ke tatar sunda, membuka pedesaan di tepi sungai Citarum. Diambil mantu oleh Dewawarman VIII, diberi julukan Jayasingawarman (sang resi Rajadi Rajaguru). Jayasingawarman inilah yang menurunkan raja-raja di kerajaan Tarumanagara (dari tahun 568 M – 669 M).<br />Catatan:<br />A. agamanya Hindu, istilah kasta yang menyerap sampai sekarang dalam bahsa Sunda ialah kata : nista, maja (madya), utama.<br />B. Yang paling termashyur adalah Raja Purnawarman dari tahun (395-434 M) bergelar Narendrayajabutena (Panji Sagala Raja). Raja ke III Tarumanagara. Raja yang namanya ditulis dalam prasasti paling lama memerintah (Prasasti Ciaruteun). Memerintah untuk menggali sungai (Bangawan) Gamati. Mendirikan Kota Sundapura, membuat pelabuhan angkatan perang, Ahli perang, sudah mengenakan pakaian dari besi (kere, zirah). Bergelar Wyagra Tarumanagara (maung Tarumanagara). Nyusuk, membendung dan memelihara sungai Gangga (Cirebon), sungai Cupu Nagara, sungai Surasah Manukrawa (Cimanuk), sungai Gomati, sungai Candrabaga, sungai Citarum. Armada perangnya paling hebat dan kuat. Pimpinan perang dipegang sendiri mentampas bajak laut di laut Jawa. Kerajaan-kerajaan kecil yang dibawahinya terdiri atas 46 kerajaan.<br />C. Raja terakhir dari kerajaan Tarumanagara, yaitu Linggawarman (666-669 M). Menantunya bernama Tarusbawa, sejak raja inilah nama Raja Wreti Kandayun dari negara Galuh (di daerah Ciamis sekarang), melepaskan negaranya dari Tarumanagara, jadi negara Galuh mandiri, kedudukannya di daerah selatan tatar sunda. Tahun 670 M wilayah Tarumanagara dibagi dua, yaitu kerajaan Sunda di daerah barat, kerajaan Galuh (Parahyangan) disebelah timur. Batasnya Sungai Citarum.<br /><br />- Kerajaan Galuh:<br />Menerangkan kerajaan Galuh, harus dimulai dari awal yaitu dari mulai Kendan (Daerah Nagreg, Cicalengka). Kendan adalah asal muasalnya Kerajaan Galuh. Tokohnya bernama Resiguru Manikmaya, Orang India (Wangsa Calakayana). Diangkat rajaresi di daerah Kendan (536-568 M). Raja Kendan yang tidak mendirikan lagi keraton yaitu ialah Wretikandayun. Wretikandayun meneruskan wangsa Kendan dengan mendirikan Kerajaan Galuh tempatnya di daerah Karang Kamulyan sekarang Ciamis. Jaman Wretikandayun, Galuh lepas dari kerajaan Tarumanagara. Galuh ada hungungan yang erat sekali dengan Kalingga, karena Raja Galuh (Sang Mandiminyak) menikah dengan Dewi Parwati, putranya Ratu Sima dari Kerajaan Kalingga. Kerajaan Galuh berdiri sejak tahun 591-852 M.<br />Catatan:<br />A. Cerita asal muasal Kerajaan Galuh, ada dalam naskah kuna 'Carita Parahyangan' (Naskah akhir abad Ke 16).<br />B. Di Galuh pernah terjadi perang saudara, disebabkan diangkatnya sang Sena menjadi raja di Galuh, dan ini menimbulkan amarah dari putra Mandiminyak yang sah, yaitu Purbasora dan Demunawan. Sang Sena bisa lolos dan melarikan diri ke Kalingga Utara (Jawa tengah).<br />C. Sena (putra Mandiminyak + Rababu) menikah dengan Sahana (putra Mandiminyak + Parwati) mempunyai putra Sanjaya.<br />D. Sanjaya (putra Sena) yang ada di Kalingga Utara, membalaskan sakit hati ke ayahnya dengan menyerang Kerajaan Galuh. Sanjaya berhasil merebut Galuh dari Purbasora.<br />E. Sanjaya menikah dengan Teja Kancana, putra dari Tarusbawa (Raja Sunda) dan akhirnya diangkat menjadi Raja Nagara Sunda.<br />F. Akhirnya Sanjaya menjadi Raja yang mengusasai Nagara Sunda dan Nagara Galuh. Berdiamnya tidak di kota Galuh tapi di keraton (Purasaba) Sunda.<br />G. Di Galuh mengangkat wakilnya, yaitu Premana Dikusumah (cucunya Purbasora), mempunyai putra Surotama (Manarah, Ciung Manarah).<br />H. Premana Dikusumah suka bertapa. Patihnya yang bernama Tamperan mempunyai hubungan gelap dengan istri kedua Premana Dikusumah, maka lahirlah Banga.<br /><br />- Kerajaan Sunda :<br />Kerajaan Sunda adalah nama baru dari Kerajaan Tarumanagara. Di dirikan oleh Tarusbawa (669 M). Keratonnya di daerah Batu tulis, Bogor. Kotanya disebut Pakuan. Istananya (keraton) disebut Sang Bima –Punta-Narayana Madura-Suradipati, disingkat Sang Bima atau Sri Bima. Salah seorang raja dari nagara Sunda yang termasyur, bernama Sri Jayabhupati (Prabu Detya Maharaja). Dalam Prasasti Citatih disebut Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Cakala bhuwanamanda-laeswaranin-dita Hargowardhana Wikromotunggaluewa.<br />Catatan:<br />A. Waktu jaman kerajaan Sunda, ada di dalam daerah khusus yang dianggap mandiri yaitu kerajaan Galunggung. Rajanya bernama Batari Hyang menurut prasasti Geger Hanjuang.<br />B. Mengenai raja Sunda yang bernama Darmasiksa (1175-1297 M), ini ada fragmennya dalam naskah kuna carita parahyangan. Beliau mendirikan pusat pemerintahan baru di daerah Tasikmalaya sekarang, yang disebut Saunggalah (senama dengan Saunggalah di Kuningan).<br /><br />- Kerajaan Kawali :<br />Raja kerajaan Sunda yang pertama di Kawali yaitu Ajiguna Linggawisesa, menantu prabu Linggadewata. Kejadian perang Bubat (pasundan Bubat) yaitu pada jaman Raja Linggabuana (1350-1357 M). Dua putranya yang tersohor yaitu bernama Dyah Pitaloka (Citraresmi) seorang putri yang terkenal dengan kecantikannya dengan Niskala Wastu Kencana. Citraresmi tadinya akan dipersunting oleh Prabu Hayam Wuruk dari Majapahit. Tetapi pernikahan tidak terlaksana karena terjadinya peristiwa Bubat. Prabu Wastukancana (Niskala Wastu Kancana, Prabu Resi Buanatunggal dewata, Prabu Linggawastu). Prabu Niskala Wastukancana yang membuat prasasti di Astana Gede yang berbunyi :<br /><br />Prasasti I: Nihan tapa kawali nu siya mulia tanpa bhagya parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali nu mahayu na kadatuan surawisesa nu marigi sakuliling dayeuh nu najur sagala desa aya ma nu padeuri pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana.<br /><br />Dalam bahasa sunda: Nu tapa di Kawali ieu teh nu mulya nu tapa nu bagja Prabu Raja Wastu nu jumeneng di kota Kawali nu mapaes karaton Surawisesa, nu nyusuk (kakalen) sakuriling dayeuh, nu ngaraharjakeun sabudeureun nagri. Muga-muga aya nu pandeuri nu ngabiasakeun migawe karahayuan malar lila jayana di buana.<br /><br />Dalam Bahasa Indonesia : Yang bertapa di Kawali ini yang mulia yang bertapa yang bahagia Prabu Raja Wastu yang berkedudukan di Kota Kawali yang menghiasi keraton Surawisesa, yang menggali parit sekeliling kota, yang mensejahterakan sekeliling negri. Mudah-mudahan ada yang dibelakang yang membiasakan mengerjakan kebajikan supaya berjaya di buana.<br /><br />Prasasti II: Aya ma nu ngeusi bhagya kawali bari pakena bener pakeun najeur na juritan.<br /><br />Dalam Bahasa Sunda: Muga-muga aya nu pandeuri nu ngeusian nagara kawali ku kabagjaan bari ngabiasakeun diri migawe karaharjaan Sajati supaya tetep unggul dina pangperangan.<br /><br />Dalam bahasa Indonesia : Mudah-mudahan ada yang dibelakang yang mengisi negara kawali dengan kebahagiaan, dengan membiasakan diri mengerjakan kesejahteraan sejati agar tetap jaya dalam peperangan. Kerajaan Talaga daerah Talaga (Majalengka) besar kaitannya dengan Kawali. Kerajaan Talaga ialah salah satu (satu-satunya) yang menganut Agama Budha.<br />Catatan:<br />A. Naskah Kuna Carita Parahyangan banyak membahas mengenai Kawali.<br />B. Wastu Kancana meninggal tahun 1475 M. Putranya yang bernama Ningrat Kancana (Prabu Dewa Niskala) menggantikannya menjadi Raja Kawali. Putranya yang seorang lagi bernama Sang Haliwungan (Prabu Susuk Tunggal) jadi raja di nagara Sunda, berkedudukan di daerah Pakuan.<br />C. Putra Dewa Niskala,bernama Jayadewata di ambil menantu oleh Prabu Susuk Tunggal. Oleh karena itu nantinya Jayadewata menjadi raja di dua negara yaitu di Kawali dan di Sunda. Kerajaan yang dipegang oleh oleh Prabu Jayadewata disebut Pajajaran (1482-1579 M).<br />D. Prabu Jayadewata dikenal juga dengan nama Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi (1482-1521 M).<br /><br />- Kerajaan Pajajaran :<br />Raja pertama kerajaan Pajajaran adalah Prabu Jayadewata (Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi, sang pemanah rasa, Keukeumbingan Raja Sunu) menikah dengan Ambetkasih (dari daerah Sindangkasih), dengan putri Subanglarang, dengan Kentringmanik Mayang Sunda, (Putra raja Susuk tunggal, dari Nagara Sunda). Beliau disebut Siliwangi, karena dianggap keharuman namanya mengganti keharuman nama Sang Prabu Wangi (Linggabuana) yaitu uyutnya, yang meninggal di Bubat. Prabu Siliwangi menjadi raja dari tahun 1482-1521 M. Jasa-jasa Prabu Siliwangi dicatat dalam prasasti Kebantenan dan Batu Tulis. Terdapat pada prasasti yang lainnya, isinya mengenai kewajiban rakyat kepada negara. Karya Prabu Siliwangi antara lain Telaga dengan nama Rena. Mahawijaya, membuat jalan, membuat benteng kota, memberikan daerah baru kepada para pendeta demi kemajuan agama, membuat keputren, kesatriaan, menciptakan formasi perang, tempat kesenian, menyusun angkatan perang, mengatur undang-undang, dll. Pada jaman Pajajaran inilah di mulai ada hubungan dengan Portugis yaitu tahun 1513 M. Tome Pires (bangsa Portugis) seorang penjelajah mengatakan Nagara Sunda (Pajajaran) disebutnya negara Ksatri yang dipimpin oleh seorang pahlawan laut. Raja Pajajaran yang terakhir bernama Ragamulya Suryakencana (1567-1579 M).<br />Catatan:<br />A. Kerajaan Pajajaran paling dikenal oleh orang Sunda, dengan rajanya yang sangat terkenal yaitu Prabu Siliwangi.<br />B. Pada jaman Pajajaran mulai masuk pengaruh agama Islam dengan derasnya.<br /><br />- Kerajaan Surasowan :<br />Berkedudukan di Banten, merupakan kerajaan yang meneruskan kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang sudah bubar. Di mulai dengan pemerintahan Sultan Hasanuddin (1478 M). Termasyur sebagai kerajaan Banten-Islam. Putra Hasanuddin yaitu Panembahan Yusuf, yang menumpas Pakuan Pajajaran tahun 1579 M. Raja terakhir kerajaan Surasowah ialah Pangeran Muhamad (Kangjeng Ratu Banten 1580-1605 M).<br />Catatan:<br />Kerajaan Surasowan erat kaitannya dengan Cirebon dan Demak.<br /><br />- Kerajaan Pakungwati :<br />Pakungwati adalah nama dari keraton di Cirebon di dirikan oleh Walang Sungsang. Cirebon Larang di dirikan tahun 1445 M. Sultan-sultan dari Pakungwati (Cirebon) mempunyai tempat khusus dalam sejarah Sunda terutama erat kaitannya dengan menyebarnya Agama Islam.<br />Catatan:<br />A. Salah satu tokoh yang terkenal dari Kerajaan Pakungwati ialah Sunan Gunung Jati, salah satu wali yang paling melekat di hati masyarakat sebagai tokoh Islam.<br />B. Keraton Cirebon, terhitung tempat yang paling lengkap yang memberi informasi mengenai sejarah Sunda.<br /><br />- Kerajaan Sumedang Larang :<br />Pusat di kota Sumedang sekarang. Di Dirikan oleh Prabu Tajimalela kurang lebih tahun 1340-1350 M. Waktu yang memegang tampuk pemerintahan Ratu Sintawati hubungan dengan kerajaan Talaga (di Majalengka sekarang) terjalin erat sekali. Putrinya yaitu Ratu Satyasih (pucuk umum) nikah dengan Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang, cucu dari pangeran Panjunan dari Cirebon). Pangeran Santri adalah Raja Sumedang Larang yang pertama menganut Agama Islam. Salah satu putera Pangeran Santri yang terkenal yaitu Pangeran Angkawijaya (Geusan Ulun).<br />Catatan:<br />A. Senapati/pembesar Pajajaran yang membantu Geusan Ulun, yaitu Jaya Perkosa, Wiradijaya (Nangganan), Kondang Hapa, Pancar Buana. Senapati berempat inilah yang membawa mahkota Pajajaran dengan atribut lainnya, diserahkan kepada Geusan Ulun. Sekarang ada di museum Sumedang. Atribut ini dipakai sebagai pengesahan (Legitimasi), bahwa Sumedang Larang meneruskan Kerajaan Pajajaran.<br />B. Geusan Ulun erat sekali dengan kejadian Ratu Harisbaya.<br /><br />- Kerajaan Galuh Pakuan :<br />Kedudukannya di Pasir Huut, Kampung Galuh Pakuan, Kecamatan Blubur –Limbangan sekarang. Dari situ pindah ke daerah Limbangan-Leles (Windupepet). Tokoh terkenal yaitu Prabu Sangkan Beunghar, keturunan dari Prabu Siliwangi.<br />Catatan:<br />Kerajaan Galuh Pakuan sering disebut dalam cerita Babad dan Pantun, namun tidak ada tertulis dalam naskah-naskah Kuno sekalipun.<br /><br />c) Jaman Kasosok Ti Luar (pengaruh dari luar), yaitu maksudnya banyaknya pengaruh baik kekuasaan, budaya, tekhnik dari luar daerah Sunda. Umpamanya saja pengaruh dengan datangnya bangsa Belanda dan Inggris. Pengaruh kekuasaan dan Budaya dari Jawa (Kejawen, Mataram). Pengaruh budaya dari Timur Tengah. Mengenai periodesasi Jaman ini sudah banyak di bahas di buku-buku sejarah, diantaranya buku-buku pelajaran di SD, SLTP, SLTA, dari perguruan Tinggi.<br />d) Jaman Tandangna Kebangsaan, Kebangkitan nasional di tandai dengan berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908 dan organisasi-organisasi lainnya. Adapun kebangkitan rasa kebangsaan di tatar Sunda di tandai dengan berdirinya Organisasi Paguyuban Pasundan pada September 1914.<br />e) Jaman Bhinneka Tunggal Ika, Yang dimaksud adalah peran sejarah Sunda setelah berkumandangnya Kemerdekaan republik Indonesia, dari tahun 1945 sampai sekarang.<br /><br /><br /> Seperti yang sudah ditulis dalam Purwa Carita, tulisan ini hanya memberi ciri-ciri sejarah Sunda. Semoga Ki Sunda tidak selebar daun kelor, namun sunda selebar jagat. Nenek moyang sunda telah memperlihatkan kesadaran mengenai pentingnya kesejarahan yang paling hakiki yaitu isi Prasasti Kawali I, II dan isi Kropak 632 dari kabuyutan Ciburuy yang berbunyi:<br /><br /> Hana nguni hana mangketan hana nguni tan liana mangke aya ma baheula hanteu tu ayeuna hana tunggak hana ratan tan hana tunggak tan hana watang hana ma tunggulna aya tu catangna.<br /><br /> Aya bihari aya kiwari teu aya baheula moal aya ayeuna ku ayana baheula nya ayana ayeuna mun taya bihari moal aya kiwari aya tunggak (tangkal) aya dahan mun taya tunggak moal aya dahan mun aya tunggulna tangtu aya sirungna.<br /><br /> Ada dulu ada sekarang tidak ada dahulu tidak ada sekarang adanya sekarang adanya dahulu kalau tidak ada dahulu tidak ada sekarang ada batang ada cabang kalau tidak ada batang tidak ada cabang kalau ada tunggulnya mungkin ada tunasnya.<br /><br /> Artinya : Tunggul = metafora dari arti Karuhun (leluhurnya), Sirung = metafora dari Urang Pisan (keberadaan keturunannya).***<br /><br /><br /><br />Tambahan Keempat........<br /><br />SEJARAH PENGGUNAAN BAHASA SUNDA DI TATAR SUNDA<br /><br />Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.<br /><br />Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).<br /><br />Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi "Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana"<br />(inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).<br /><br />Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw'un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.<br /><br />Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas. Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:<br /><br />1) Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) "Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu" (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)<br /><br />2) Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) "Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma" (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).<br /><br />Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.<br /><br />Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.<br /><br />Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.<br /><br />Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.<br /><br />Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi sosial secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.<br />Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.<br /><br />Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.<br /><br />Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.<br /><br />Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.<br /><br />MOGA BERMANFAAT BAGI SEMUA.AMIEN<br /><br />Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh<br /><br /><br />Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.<br /><br />Karena Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batas.<br /><br /><br />Lokasi ibukota Sunda<br /><br />Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya, di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.<br /><br />Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.<br /><br />Keterlibatan Kalingga<br /><br />Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Cicit Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.<br /><br />Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.<br /><br />Prasasti Jayabupati<br /><br />Isi prasasti<br /><br />Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):<br /><br />D 73 :<br />//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-<br /><br />D 96 :<br />gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.<br /><br />D 97 :<br />sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.<br /><br />sekilas Galunggung<br /><br />Biru Langit Galunggung<br />Galunggung<br /><br />Biru langit Galunggung<br />Rumput bergoyang menggapaimu<br />Saat kutiup bunganya<br />Terbang berhamburan terbawa angin<br /><br />Kaldera<br />Kawah raksasamu<br />Ada pulau samosir di tengah<br />Ada bangunan mungil di tepinya<br />Ada rakit untuk berlayar<br /><br />Air terjun menyembul di antara pepohonan<br />Hijau daun<br />Terjalnya bukit-bukitmu<br />Adalah harmoni<br /><br />Air dingin menyapu wajahku<br />Mengalir tanpa henti<br />dari pancuran alami<br />yang mengalir lembut dari dalam bumi.<br />Perang Bubat dan Prabu Siliwangi<br />Perang Bubat dan Prabu Siliwangi<br /><br /><br /><br />TULISAN Her Suganda, "Memandang Bubat dari Jauh", menarik untuk diberi catatan tambahan. Artikel tersebut menegaskan bahwa Perang Bubat itu benar-benar pernah terjadi dan membuat luka batin yang panjang dalam relung hati orang Sunda. Menafikan Perang Bubat tidak hanya membuang sebagian memori kolektif orang Sunda, lebih jauh berarti menghilangkan pula peran historis Prabu Siliwangi. Tanpa peristiwa syahidnya Prabu Wangi, tidak akan ada sang pengganti bernama Silih-wangi itu. Padahal semua orang Sunda bangga mengaku sebagai seuweu-siwi Siliwangi.<br /><br />Artikel ini coba melihat Bubat dari sisi lain, yakni hikmah sejarah dari peristiwa Bubat, munculnya tokoh Siliwangi. Allah Anu Maha Ngersakeun, telah menganugerahkan Siliwangi kepada orang Sunda, sebagai pengganti dan pemimpin dari tewasnya Linggabuana dan Dyah Pitaloka.<br /><br />Siapakah Prabu Siliwangi?<br /><br />Dalam prasasti Batutulis, Prabu Surawisesa tidak menuliskan nama Siliwangi untuk ayahnya. Prasasti untuk mengabadikan jasa-jasa Sri Baduga Maharaja, itu dibuat tahun 1455 Saka atau 1533 M, dua belas tahun setelah ayahnya wafat. Dalam prasasti itu disebutkan, "Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (bagi) prabu ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga! Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusalarang. yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan-jalan yang diperkeras dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuatnya). (dibuat) dalam tahun Saka 1455".<br /><br />Demikian pula dalam prasasti yang lain, nama Siliwangi tidak tertera. Fakta ini sempat membuat penasaran para sejarawan yang bertemu di Keraton Kasepuhan Cirebon tahun 1677 M. Sebagaimana diketahui, di keraton itu pernah diadakan gotrasawala sejarah, yang hasilnya kemudian dikenal sebagai naskah Wangsakerta. Mengenai naskah ini bisa dilihat dalam polemik di harian ini antara Edi S. Ekadjati (1) Persoalan Sekitar Hari Jadi Jawa Barat (2/2/ 2002), (2) Sekitar Naskah Pangeran Wangsakerta (19/2/2002), (3) Sekali Lagi Sekitar Naskah Wangsakerta (27/5/ 2002), dan Nina H. Lubis (1) Naskah "Wangsakerta" dan Hari Jadi Jawa Barat (20/1/2002), (2) Naskah Wangsakerta Sebagai Sumber Sejarah? (6-7/03/2002).<br /><br />Karena menjadi pembicaraan luas pada gotrasawala itu, secara khusus Sultan Sepuh I menugaskan adiknya, Pangeran Wangsakerta, yang menjadi ketua panitia pertemuan, untuk meneliti lebih jauh mengenai tokoh tersebut. Terlepas dari sifat "kontroversi"-nya, naskah Wangsakerta memberikan gambaran cukup jelas mengenai tokoh Siliwangi.<br /><br />Pangeran Wangsakerta mencatat, pertama, dalam Nusantara Parwa II Sarga 2 (1678 M), "Sesungguhnya tidak ada raja Sunda yang bernama Siliwangi, hanya penduduk Tanah Sunda yang menyebut Prabu Siliwangi."<br /><br />Kedua, dalam Kretabhumi I/4 (1695: 47), "Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua penduduk Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi itu bukan pribadinya. Jadi, siapa namanya Raja Pajajaran ini?"<br /><br />Ketiga, dalam naskah yang sama halaman 47-48, "Raja Pajajaran dinobatkan dengan nama Prabu Guru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata."<br /><br />Keempat, masih dalam Kretabhumi halaman 51, "Rahiang Dewa Niskala berputra Sri Baduga Maharaja Pajajaran yang menurut (oleh) orang Sunda disebut Prabu Siliwangi."<br /><br />Dengan demikian, nama Siliwangi adalah julukan penduduk Sunda untuk Sri Baduga Maharaja (w. 1521). Nama ini sebenarnya sudah muncul ketika beliau masih hidup, sebagaimana termaktub dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) yang ditulis tahun 1518 M. Dalam naskah itu disebutkan, "Bila ingin tahu tentang pantun, seperti Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun."<br /><br />Siliwangi berarti silih-wangi, pengganti Prabu Wangi (Linggabuana) yang gugur tahun 1357 M bersama putrinya Dyah Pitaloka. Jayadewata (Manahrasa) dianggap memiliki keberanian seperti buyutnya itu. Karena itu, ia berhak menyandang gelar Sri Baduga Maharaja. Sementara dalam perilakunya, ia merepresentasikan pribadi, Wastukancana, kakeknya (w. 1475 M).<br /><br />Jayadewata memang sangat layak dikenang segenap orang Sunda. Hingga sekarang kita bangga disebut sebagai seuweu-siwi Siliwangi. Keagungannya itu antara lain ditandai oleh kemampuannya menyatukan kembali kerajaan Sunda. Setelah Wastukancana wafat, kerajaan terbagi dua. Anak sulungnya, Susuktunggal (Sang Haliwungan), bertakhta di Pakuan (Bogor), sementara anaknya yang lain, Dewa Niskala (Ningrat Kancana), berkedudukan di Kawali (Ciamis).<br /><br />Lalu datanglah cobaan besar pada tahun 1478 M, ketika Majapahit diserang Demak. Sejumlah pembesar dari timur melarikan diri ke arah barat, meminta suaka kepada penguasa Kawali. Di antara pengungsi itu terdapat Raden Baribin (putra Brawijaya IV) dan seorang "istri larangan" (gadis yang sudah bertunangan). Dalam hukum Sunda, perempuan seperti itu "haram" dinikahi kecuali tunangannya sudah meninggal atau pertunangannya dibatalkan. Namun Dewa Niskala tetap menikahi "istri larangan" itu dan Raden Baribin dijadikan menantunya, dinikahkan dengan Ratu Ayu Kirana.<br /><br />Tindakan Dewa Niskala itu membuat keluarga keraton dan Susuktunggal marah. Mereka menganggapnya telah melanggar hukum yang berlaku dan "tabu kerajaan". Sebagaimana diketahui, setelah peristiwa Bubat, keluarga Keraton Kawali ditabukan menikah dengan keluarga dari Majapahit. Maka perbuatan Dewa Niskala dianggap sebagai pelanggaran yang tidak bisa dimaafkan. Di tengah suasana genting itulah, Jayadewata tampil sebagai penengah. Ia mewarisi kerajaan dari ayah dan mertuanya tahun 1482 M. Oleh karena itu, ia dinobatkan dua kali, di Kawali dan Pakuan, serta memperoleh dua gelar, Prabu Guru Dewataprana dan Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.<br /><br />Harta karun Siliwangi<br /><br />Salah satu harta karun paling berharga dari Prabu Siliwangi ialah naskah bernama Sanghyang Siksa Kangda ng Karesian (SSKK). Naskah ini ditulis pada tahun 1518. Naskah ini secara jelas memaparkan apa yang harus dilakukan oleh pemimpin (menak) dan rakyat (somah), jika ingin meraih keunggulan. Menegaskan apa yang bisa membuat tugas hidup kita di dunia ini paripurna. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kupasan optimal atas naskah ini setelah ditransliterasi oleh Atja dan Saleh Danasamita tahun 1981.<br /><br />SSKK adalah penjelasan dari Amanat Galunggung/AG (+ 1419 M). AG ditulis sebagai nasihat Prabu Darmasiksa kepada putranya, Sang Lumahing Taman. Dalam AG tercatat bahwa nasihat-nasihat itu bersumber kepada tokoh nu nyusuk na Galunggung (yang membuat parit di Galunggung). Menurut prasasti Geger Hanjuang, pada tahun 1033 Saka atau 1111 M, Batari Hyang membuat parit pertahanan. Di rajyamandala (kerajaan bawahan) Galunggung. Tepatnya di Rumantak, Linggawangi (sekarang Leuwisari, Singaparna, Tasikmalaya). Tokoh Batari Hiyang inilah yang dianggap telah mengodifikasi petuah-petuah yang kelak menjadi AG dan SSKK.<br /><br />Menurut Ayatrohaedi (2001), dalam bagian pertama naskah ini tercatat Dasakrjta sebagai pegangan orang banyak, dan bagian kedua disebut Darmapitutur berisi hal-hal berkenaan dengan pengetahuan yang seyogianya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup berguna di dunia. Uraian naskah itu tampak didasarkan kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara. Atau dalam bahasa Atja dan Saleh Danasasmita (1981), naskah tersebut berisi aturan hidup warga negara (citizenship).<br /><br />Substansi naskah itu masih sangat relevan untuk dikaji pada saat sekarang. Terutama ajaran tentang kejujuran dan keluhuran perilaku hidup lainnya. Naskah ini dibuka dengan anjuran menjaga sepuluh anggota tubuh (dasaindria) yang kita miliki, dari mata hingga kaki. Misalnya tangan, dianjurkan agar tidak sembarang mengambil segala sesuatu yang bukan haknya, karena akan menjadi pintu bencana dan kenistaan. Dalam konteks sekarang bisa dimaknai, jangan korupsi.<br /><br />Demikian pula dengan dasapasanta yang menjelaskan sepuluh syarat jika seorang pemimpin ingin berwibawa di mata rakyatnya. Ditaati dan dijalankan perintah/instruksinya. Yaitu guna (bijaksana), rama (ramah), hook (proporsional, bukan like and dislike), pesok (membangkitkan semangat), asih (penuh kasih), karunya (pembagian tugas yang jelas), mupreruk (membujuk), ngulas (membangkitkan harga diri), nyecep (menumbuhkan percaya diri), dan ngala angen (mengambil hati).<br /><br />Walhasil, sambil terus beradaptasi secara kritis dengan setiap perkembangan zaman, menjaga tradisi leluhur yang baik itu tetaplah penting dan relevan.***<br /><br /><br /><br />Ranggap, Raja Pisang yang Kesepian<br /><br /><br />PISANG ranggap cukup besar dibandingkan dengan pisang-pisang yang lain. Besarnya sekitar dua kali pisang ambon cavendis. Rasanya juga lain dari yang lain, sehingga pisang ini sering dikatakan sebagai raja pisang. Pisang ranggap sementara ini hanya ditemui di sekitar kaki Gunung Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat.<br /><br />Karena letaknya di daerah sepi, maka pisang itu juga disebut sebagai raja yang kesepian. Keberadaannya belum diketahui banyak masyarakat. Seandainya banyak orang tahu, sudah pasti diserbu banyak orang. Apalagi pisang ranggap diyakini berkhasiat sebagai obat beberapa penyakit.<br /><br />"Saya belum pernah mendengar nama pisang itu," kata Kepala Sub-Dinas Hortikultura, Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, Turjaman, terheran-heran ketika ditanya perihal pisang ranggap. Oleh karena belum mengetahuinya, Dinas Pertanian Tasikmalaya tidak memasukkan pisang ranggap menjadi salah satu dari sekitar 10 jenis pisang yang banyak dikembangkan di Kabupaten Tasikmalaya.<br /><br />Kesepuluh jenis pisang yang sekarang mendominasi rumpun pisang yang di Tasikmalaya jumlahnya sekitar 2.933.056 buah, menurut Turjaman, antara lain pisang ambon, raja bulu, nangka, kapas, kepok, raja cere, dan siam.<br /><br />Keheranan serupa juga disampaikan Rohayah, penjual pisang goreng di Jalan Pemuda, Tasikmalaya. Rohayah yang sejak dua tahun terakhir biasa membeli pisang tanduk atau pisang kapas untuk digoreng ini, mengaku juga belum mengetahui perihal pisang ranggap. "Saya tidak pernah melihat pisang itu di Pasar Cikurubuk," katanya.<br /><br />Dari puluhan pedagang pisang yang ada di Pasar Induk Cikurubuk, Tasikmalaya, selama ini memang tidak ada seorang pun yang menjual pisang ranggap. Bahkan ketika ditanya perihal pisang tersebut, umumnya mereka menjawab tidak mengerti.<br /><br />Namun, jawaban sebaliknya akan ditemui jika pertanyaan itu ditujukan kepada para pedagang kaki lima (PKL) yang ada di sekitar kompleks pemandian air panas Cipanas Gunung Galunggung, sekitar 20 kilometer sebelah barat Kota Tasikmalaya. Dengan lancar, mereka akan menawarkan dan menjelaskan asal usul serta khasiat dari pisang ranggap yang banyak mereka jual di kios-kios sederhana yang ada di tempat tersebut.<br /><br />Bahkan, seandainya pisang tersebut sedang tidak tersedia karena kebetulan telah habis atau tidak ada pasokan dari para petani, para pedagang akan memberi informasi kapan pisang itu akan kembali tersedia.<br /><br />Di kompleks pemandian air panas Cipanas Gunung Galunggung, keberadaan pisang ranggap ini mudah dikenali dari ukurannya yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pisang lainnya. Panjang pisang ranggap memang hanya sekitar 25 sentimeter, atau sedikit lebih panjang dari pisang ambon. Namun, diameter buah ini sekitar tujuh sentimeter atau lebih dari dua kali diameter pisang ambon.<br /><br />Besarnya ukuran pisang ranggap membuat berat sebuah pisang ini dapat mencapai 0,5 kilogram atau sekitar tiga kali berat umumnya pisang ambon.<br /><br />Ciri lain untuk mengenali pisang ranggap adalah dari kulitnya yang jika sudah masak akan berwarna merah dengan buah berwarna kuning tua seperti buah pisang kepok. "Jangan memakan pisang ranggap yang kulitnya masih kuning keemasan seperti pisang mas. Apalagi yang kulitnya masih hijau karena belum matang. Pisang ranggap yang belum matang akan menimbulkan rasa gatal di mulut jika dimakan," jelas Fatonah (29), seorang PKL di kompleks pemandian air panas Cipanas Gunung Galunggung.<br /><br />Menurut Fatonah, adanya rasa gatal dari pisang ranggap yang rasanya seperti pisang kepok ini, kabarnya justru merupakan salah satu indikasi bahwa pisang itu berkhasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit. "Tahun 1999 lalu ada seorang dokter dari Tasikmalaya yang membeli satu sisir pisang ranggap untuk diteliti di laboratorium. Namun, sampai sekarang saya belum tahu hasil penelitian itu," ujar Fatonah yang tinggal di Dusun Gedong Muncang, Desa Linggajati, Kecamatan Sukaratu, Tasikmalaya.<br /><br />Meski demikian, lanjut Fatonah, dari pengalaman sendiri dan penjelasan para pembeli pisang ranggap selama ini, pisang itu berkhasiat untuk menyembuhkan sakit ginjal, pinggang, dan memperlancar buang air kecil. Namun, setelah makan pisang ranggap, untuk sementara waktu air seni akan berwarna kuning tua.<br /><br />Untuk menghilangkan rasa gatal dari pisang ranggap, sebagian besar PKL di Cipanas Gunung Galunggung menjual pisang tersebut dalam bentuk digoreng atau direbus. Sebab, dengan dimasak seperti itu, rasa gatal akan hilang. "Jika digoreng atau direbus, pisang juga dapat dipotong-potong menjadi lebih kecil. Sehingga dapat langsung habis dalam satu kali makan," tutur Fatonah.<br /><br />Dari sisi rasa, pisang ranggap setelah direbus tidak banyak berbeda dengan pisang kepok yang sudah direbus.<br /><br />MESKI diyakini berkhasiat menyembuhkan beberapa penyakit, keberadaan pohon pisang ranggap sekarang hanya ditemui di sekitar kaki Gunung Galunggung. Itu pun jumlahnya tidak banyak.<br /><br />"Di Tasikmalaya, pohon pisang ranggap memang hanya tumbuh di Galunggung, khususnya di Desa Linggajati. Di kabupaten lain saya tidak tahu," kata Dede, warga Dusun Jalan Cagak, Desa Linggajati.<br /><br />"Beberapa waktu lalu ada orang yang bermaksud menanam pisang ini di Bandung, Jawa Barat. Namun, saya tidak tahu hasilnya. Yang jelas, pisang ranggap hanya dapat tumbuh di daerah yang memiliki banyak air dan bersuhu dingin," tambah Dede yang memiliki tiga rumpun pohon pisang ranggap.<br /><br />Selain untuk sementara waktu diketahui hanya tumbuh di Gunung Galunggung, masa pertumbuhan pisang ranggap juga relatif lambat. Jika pohon pisang lain sudah dapat diambil buahnya ketika berumur sekitar sembilan bulan, maka pisang ranggap baru dapat dipanen saat berusia dua tahun.<br /><br />Lamanya pertumbuhan ini mungkin dikarenakan pohon pisang ranggap yang memiliki tinggi sama dengan pohon pisang lainnya, yaitu sekitar empat meter, ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperkuat batangnya. Sebab, meskipun memiliki ukuran batang yang sama dengan pohon pisang lainnya, batang pohon pisang ranggap memang tampak lebih kuat untuk menahan buah. Pasalnya, tandan buah dari pisang ranggap tidak ke bawah seperti layaknya pisang lainnya, tetapi terus menjulur ke atas.<br /><br />"Setelah melihat letak buahnya yang tegak mengarah ke atas, sebagian orang Jakarta menyebut pisang ranggap dengan pisang merdeka," tegas Dede.<br /><br />Setiap pohon pisang ranggap, selama ini juga diketahui hanya memiliki satu hingga tiga anak. Jumlah itu jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan anak pohon pisang lainnya yang dapat mencapai lima batang. "Selain sedikit, anak pohon pisang ranggap juga belum tentu dapat hidup semua," tambah Dede.<br /><br />Menurut Dede, anak pohon pisang ranggap pasti akan mati jika dipisahkan dari induknya ketika induk belum berbuah sampai matang. "Jadi, anak hanya dapat dipisahkan dari induknya ketika induk sudah mau ditebang karena buahnya telah matang," tutur Dede.<br /><br />Pohon pisang ranggap yang tumbuh baik, ketika berbuah dalam satu tandan dapat berisi hingga 70 pisang yang terbagi dalam enam hingga delapan sisir. Sementara pohon yang kurang baik hanya menghasilkan sekitar 20 pisang. (Rakaryan S/M Hernowo)<br /><br /><br />Sejarah Singkat Kabupaten Tasikmalaya<br /><br />Dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, diketahui adanya suatu bentuk Pemerintahan Kebataraan dengan pusat pemerintahannya di sekitar Galunggung, dengan kekuasaan mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan.<br /><br />Kerajaan ini bernama Kerajaan Galunggung yang berdiri pada tanggal 13 Bhadrapada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111 dengan penguasa pertamanya yaitu Batari Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya. Dari Sang Batari inilah mengemuka ajarannya yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.<br /><br />Periode selanjutnya adalah periode pemerintahan di Sukakerta dengan Ibukota di Dayeuh Tengah (sekarang termasuk dalam Kecamatan Salopa, Tasikmalaya), yang merupakan salah satu daerah bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Penguasa pertama adalah Sri Gading Anteg yang masa hidupnya sejaman dengan Prabu Siliwangi. Dalem Sukakerta sebagai penerus tahta diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (1521-1535 M) Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi.<br /><br />Pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Sunan Gunung Jati sejak tahun 1528 berkeliling ke seluruh wilayah tanah Sunda untuk mengajarkan Agama Islam. Ketika Pajajaran mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri. Mungkin sekali Dalem Sukakerta atau Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Sukakerta yang merdeka, lepas dari Pajajaran. Tidak mustahil pula kedua penguasa itu sudah masuk Islam.<br /><br />Periode selanjutnya adalah pemerintahan di Sukapura yang didahului oleh masa pergolakan di wilayah Priangan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII Masehi: Mataram, banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Wirawangsa sebagai penguasa Sukakerta kemudian diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura, dengan gelar Wiradadaha I, sebagai hadiah dari Sultan Agung Mataram atas jasa-jasanya membasmi pemberontakan Dipati Ukur. Ibukota negeri yang awalnya di Dayeuh Tengah, kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan "negara" disebut "Sukapura".<br /><br />Pada masa pemerintahan R.T. Surialaga (1813-1814) ibukota Kabupaten Sukapura dipindahkan ke Tasikmalaya. Kemudian pada masa pemerintahan Wiradadaha VIII ibukota dipindahkan ke Manonjaya (1832). Perpindahan ibukota ini dengan alasan untuk memperkuat benteng-benteng pertahanan Belanda dalam menghadapi Diponegoro. Pada tanggal 1 Oktober 1901 ibukota Sukapura dipindahkan kembali ke Tasikmalaya. Latar belakang pemindahan ini cenderung berrdasarkan alasan ekonomis bagi kepentingan Belanda. Pada waktu itu daerah Galunggung yang subur menjadi penghasil kopi dan nila. Sebelum diekspor melalui Batavia terlebih dahulu dikumpulkan di suatu tempat, biasanya di ibukota daerah. Letak Manonjaya kurang memenuhi untuk dijadikan tempat pengumpulan hasil-hasil perkebunan yang ada di Galunggung.<br /><br />Nama Kabupaten Sukapura pada tahun 1913 diganti namanya menjadi Kabupaten Tasikmalaya dengan R.A.A Wiratanuningrat (1908-1937) sebagai Bupatinya.<br /><br />Tanggal 21 Agustus 1111 Masehi dijadikan Hari Jadi Tasikmalaya berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang dibuat sebagai tanda upacara pentasbihan atau penobatan Batari Hyang sebagai Penguasa di Galunggung.<br />Prasasti Geger Hanjuang Bukti Sejarah Tasik<br /><br />Peletakan Prasasti Geger Hanjuang yang berada di Monumen Geger Hanjuang, Desa Linggamulya Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya, menjadi bukti adanya peninggalan sejarah Pemerintahan Tasikmalaya.<br /><br />Kendati keberadaan prasasti di dalam monumen yang belum memperlihatkan pembangunan secara menyeluruh, batu bertulis tersebut cukup menjadi daya tarik tersendiri bagi warga setempat. Terbukti, mereka datang berduyun-duyun menuju lokasi itu untuk menanti Wakil Bupati Tasikmalaya, H.E. Hidayat yang akan meresmikannya dalam acara "Napak Tilas Mengenang Perjalanan Sejarah Tasikmalaya", Jumat (18/8).<br /><br />Dalam kesempatan itu, Hidayat menjelaskan penyebab belum dituntaskannya pembangunan monumen tersebut karena keterbatasan dana. Sementara, keberadaan monumen itu diharapkan dapat menjadi salah satu objek wisata maupun kajian bagi anak sekolah, mahasiswa, dan pihak yang berkepentingan.<br /><br />Pada kesempatan itu, Asisten Daerah (Asda) II, Drs. Tahman Iding Husain, membacakan fungsi dari prasasti yang ditemukan oleh K.F. Holle pada tahun 1877 di Jawa Barat tersebut. Dalam riwayat prasasti yang disimpan di Museum Pusat Jakarta itu diterangkan adanya tulisan tentang pusat organisasi ketertiban masyarakat dalam bentuk Pemerintahan Galunggung pada 21 Agustus 1111.<br /><br />Dengan demikian, muncul riwayat Pemerintahan Tasikmalaya terutama setelah mengalami beberapa periode, dari periode pemerintahan di Galunggung, Sukakerta, Sukapura, Manonjaya, dan di Tasikmalaya hingga kini yang telah mencapai usia ke-895 tahun.<br />Penelusuran Awal Letusan Gunung Galunggung<br /><br />Penelusuran Awal Letusan Gunung Galunggung<br /><br />SECARA alami, bumi Jawa Barat memang lebih tua. Ia lebih dahulu ada dibandingkan dengan bagian Pulau Jawa lainnya. Batuan yang paling tua berumur berjuta-juta tahun ditemukan di Ciletuh, Kabupaten Sukabumi. Proses pengangkatan dan pembentukan gunung api di Jawa Barat sungguh luar biasa.<br /><br />Gunung-gunung lahir jauh sebelum manusia menghuni kawasan ini, bahkan banyak kawasan yang asalnya berupa gunung api, saat ini sepertinya bukan bekas kawah atau bekas kaldera gunung api lagi. Oleh karena itu banyak peristiwa alam yang tidak tercatat kegiatan letusannya.<br /><br />Begitupun setelah manusia mengenal tulisan. Tradisi mencatat peristiwa-peristiwa alam tampaknya belum biasa untuk periode tertentu. Banyak peristiwa alam yang luar biasa lewat begitu saja tak diketahui waktu dan kejadiannya. Kalaupun sudah ada yang mencatatnya, tapi tidak dicantumkan kapan suatu peristiwa alam itu terjadi.<br /><br />Sesungguhnya buku Paririmbon merupakan kumpulan hasil catatan dari setiap peristiwa alam, misalnya tentang peristiwa gempa bumi (lini/lindu). Pencatatan dalam waktu yang sangat panjang, sehingga dapat dianalisis pola guncangan per harinya, lalu dihubungkan dengan upaya penanggulangannya. Paririmbon, pada zamannya merupakan jawaban akan peristiwa alam yang berlaku saat itu.<br /><br />Gunung, pasir/bukit, merupakan bagian dari permukaan bumi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah di sekelilingnya. Begitu kuatnya pengaruh gunung, nama-nama kawasan sering menggunakan nama gunung yang paling berpengaruh terhadap kehidupan. Ini artinya, masyarakat di sana sudah mengamati. Mereka sudah mengenal hubungan antara manusia dengan gunung. Masyarakat sudah menamai gunung–gunung itu. Adakah dalam catatan sejarah, sejak kapan gunung itu diberi nama, dan mengapa diberi nama demikian?<br /><br />Nama Galunggung, misalnya. Sebagai nama mandala, Galunggung tercatat dalam Carita Parahiyangan:<br /><br />"…Dalam perkawinannya, Dewi Candrarasmi dengan Sang Wretikandayun, beranak laki-laki tiga orang, masing-masing namanya adalah: Pertama Sang Jatmika atau Rahyangta Sempakwaja namanya. Ia diangkat sebagai resi guru di wilayah Galunggung. …"<br /><br />(Carita Parahiyangan Sakeng Bhumi Jawa Kulwan, Prathama Sargah, diterjemahkan Drs. Atja dan Dr. Edi S. Ekadjati, Jakarta: 1998).<br /><br />Berdasarkan Carita Parahiyangan, Kerajaan Galuh berdiri tahun 570/571 M. Rajanya adalah Sang Wretikandayun dengan gelar penobatan Maharaja Suradharmma Jayaprakosa. Ia menikah dengan Pwahaci Bungatak Mangalengale, yang ketika masa kanak-kanak sampai remaja namanya Manawati.<br /><br />Setelah menjadi Ratu, Sang Wretikandayun mengganti nama istrinya menjadi Dewi Candrarasmi. Pasangan Raja dan Ratu Galuh ini dikaruniai tiga putra, salah satunya adalah guru resi Sempakwaja yang dinobatkan di Galunggung.<br /><br />Rahiyangta Sempakwaja menikah dengan Pwahaci Rababu atau Dewi Wulansari. Mereka dikaruniai dua anak laki-laki, yaitu Rahiyangta Purbasura (lahir 643/644 M), dan Rahiyangta Demunawan (lahir 646/647 M).<br /><br />Dalam Carita Parahiyangan (Koropak 406), seperti dikutip Saleh Danasasmita (1975), batas kawasan (alas) Galunggung adalah Gunung Sawal di Utara, Pelangdatar di Timur, Ciwulan di Selatan (dan lebih ke Selatan, walaupun tidak tertulis, pastilah Samudra Hindia). Saat ini kawasan itu meliputi Tasikmalaya, Ciamis, dan bagian barat Banyumas.<br /><br />Galunggung sebagai mandala, termuat juga dalam naskah nasihat panjang Rakeyan Darmasiksa kepada keturunannya dan masyarakat pada umumnya. Naskah itu berasal dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Kabupaten Garut.<br /><br />Naskah itu kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta, dengan kode nomor Koropak 632. Drs. Saleh Danasasmita menjuduli naskah ini "Amanat dari Galunggung".<br /><br />"Peliharalah (agar tetap) ditaati oleh orang banyak, agar aman tenteram, menghimpun bahan makanan, sang disi unggul perangnya. Tetaplah mengikuti ucap orang tua, melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya (panjang umur), sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama, warisan dari para suwargi." (Saleh Danasasmita, dkk., Amanat Galunggung, Bandung: 1987).<br /><br />Kata Galunggung sebagai mandala juga terdapat dalam catatan yang lebih muda lagi (setelah Islam masuk?), yaitu dalam Babad Sajarah Galuh Bareng Galunggung. Dalam babad ini ditulis, mandala Galunggung dipimpin Syekh Batara Galunggung atau Syekh Batara Guru Haji. (Edi S. Ekadjati, dkk., Naskah Sunda Lama Kelompok Babad, Jakarta: 1985).<br /><br />Warga Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya adalah masyarakat yang bermukin di tebing dengan ramah lingkungan. (Naga bisa juga ditafsirkan berasal dari singkatan na gawir, na atau dina = di, gawir = tebing). Warga Sanaga adalah seuweu-siwi Eyang Singaparana. Oleh karena itu bagi mereka terasa calutak, tidak sopan, bila menyebut nama tempat yang hampir sama dengan nama leluhurnya itu.<br /><br />Warga Sanaga tak kuasa menyebut nama tempat Singaparna, sehingga mereka menggantinya dengan kata Galunggung. Jadi kalau ada warga kampung Naga yang menyebut akan pergi ke Galunggung, sangat mungkin mereka akan pergi ke Singaparna!<br /><br />Letusan sebelum 1822<br /><br />Letusan Gunung Galunggung yang tercatat dalam sejarah adalah letusan pada tanggal 8 Oktober 1822. Titimangsa letusan Gunung Galunggung ini didasarkan pada laporan Reindwart, seperti ditulis K. Kusumadinata (Bandung: 1979). Padahal, letusan yang sangat dahsyat hingga meruntuhkan sebagian besar badan gunung ini terjadi sebelum tahun 1822.<br /><br />Para ahli ilmu-ilmu kebumian mencoba merekonstruksi peristiwa itu, dikaitkan dengan evolusi pembentukan perbukitan yang jumlahnya begitu banyak di sekitar Kota Tasikmalaya sekarang. Bagi masyarakat saat itu, jumlah seribu, sarewu, merupakan jumlah yang sangat banyak, malah cenderung tak terhitung. Oleh karena itu masyarakat di sana menyebutnya Pasir/Gunung Sarewu untuk menyebut perbukitan yang begitu banyak yang tersebar di sana.<br />Namun bagi ahli geologi Escher (1925), ukuran seribu masih kurang menunjukkan jumlah yang banyak, maka ia menyebutnya The Ten Thousand hills of Tasikmalaya (Bukit Sepuluh Ribu di Tasikmalaya) untuk menyebut perbukitan yang jumlahnya lebih dari 3.684 bukit.<br /><br />Escher mengajukan hipotesis rekonstruksi letusan gunung ini yang disertai giga banjir lahar. Material lahar beserta blok lava berdiameter hingga 10 meter mengendap di Tenggara gunung ini antara Manonjaya hingga Tasikmalaya. Bahkan tersebar menyeberang Sungai Citanduy hingga kaki Gunung Sawal. Setelah tererosi, material itu membentuk perbukitan yang sangat banyak, yang tingginya antara 5 – 100 meter.<br />Kalau dihubungkan dengan mandala Galunggung, adakah resi guru atau para bujangga yang menyaksikan letusan Gunung Galunggung sebelum tahun 1822? Resi guru di wilayah Galunggung adalah Rahyangta Sempakwaja yang menikah dengan Dewi Wulansari.<br /><br />Mereka dikaruniai dua putra, yang pertama lahir tahun 643/644 M., dan yang kedua lahir tahun 646/647 M. Kalau saja pernikahan resi guru ini tiga tahun sebelum mereka mempunyai anak, maka akan diperoleh tahun pernikahannya, yaitu tahun 640 M.<br />Apakah resi guru Sempakwaja adalah orang yang membabad alas membangun mandala Galunggung, ataukah hanya melanjutkan resi guru sebelumnya?<br /><br />Kalau berpegang pada tarih di atas, berarti penobatan resi guru Sempakwaja di mandala Galunggung terjadi tahun 1182 atau sebelum Gunung Galunggung meletus di tahun 1822. Periode letusan Gunung Galunggung yang tercatat adalah tahun 1822, 1894, 1918, 1982-1983.<br /><br />Antara letusan tahun 1822 – 1894 rentang waktunya 72 tahun, dari 1894 – 1918 selama 72 tahun pula, dan antara tahun 1918 – 1982 rentang waktunya 64 tahun. Jadi, kalau dihitung mundur dengan rata-rata setiap 72 tahun dari letusan tahun 1822 sampai waktu atau tahun penobatan resi guru Sempakwaja di mandala Galunggung, maka telah terjadi setidaknya 16 kali letusan ([1822 – 640]/72 = 16), yaitu sekira tahun-tahun: 1750, 1678, 1606, 1534, 1462, 1390, 1318, 1246, 1174, 1102, 1030, 956, 886, 814, 742, 670, 598, 526, 454, …. dan seterusnya.<br /><br />Kalau melihat angka-angka tahun di atas, seharusnya ada catatan yang menerangkan terjadinya letusan Gunung Galunggung. Sangat mungkin, rakyat di mandala Galunggung mengalami letusan dahsyat yang mengakibatkan giga banjir lahar dan blok lava yang membentuk Pasir Sarewu atau The Ten Thousand hills of Tasikmalaya.<br /><br />Para ahli atau siapa saja yang paham membaca naskah-naskah Sunda kuno, harus terus menggali informasi ini karena akan sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan mitigasi bencana alam di Tatar Sunda.<br /><br />Para ahli bahasa, ahli arkeologi, ahli sejarah, geologi, geomorfologi, geografi, geogesi, ahli serbuk sari purba, seniman, budayawan, dan ahli stategi perang kuno harus berupaya untuk terus menggali naskah-naskah itu untuk dimanfaatkan dalam penelitian lapangan.<br /><br />Sampai saat ini kita hanya mengetahui bagaimana dahsyatnya bencana di Pompei, padahal tak jauh dari kita, di Tasikmalaya, peristiwa serupa pernah terjadi. Ini merupakan PR bagi kita. Penelitan ini penting agar sejarah alam dan sejarah manusia dapat segera terbuka.<br /><br />Ada yang selamat?<br /><br />Walaupun Escher menyebut letusan sebelum tahun 1822 itu sebagai letusan prasejarah, karena tak ditemukan dalam catatan para penjelajah atau ahli sejarah, sesungguhnya mandala Galunggung sudah menjadi tempat berlangsungnya pemerintahan sejak 11 abad lebih (1822 M – 640 M = 1182 tahun) sebelum letusan Gunung Galunggung tahun 1822.<br /><br />Menurut Brandes, seperti dikutip Saleh Danasasmita (Bandung: 1975), jauh sebelum Bangsa Eropa datang ke nusantara, penduduknya sudah memiliki sepuluh keahlian/kemahiran. Kesepuluh kemahiran itu adalah wayang, gamelan, astronomi, pelayaran, sistem uang, sistem ukuran, pengolahan logam, bertenun, bersawah, dan pemerintahan.<br /><br />Sesungguhnya masyarakat yang dipimpin resi guru Sempakwaja dan penggantinya, sudah mempunyai kemahiran yang tinggi. Rasanya tidak mungkin para bujangganya tidak mencatat peristiwa alam yang luar biasa dahsyatnya. Saya berkeyakinan, masih banyak naskah kuno yang belum digarap, yang mungkin saja ada informasi kejadian alam, khususnya tentang letusan Gunung Galunggung. Atau, naskah kuno yang ada sudah hancur dimakan zaman, sebelum isinya kita pahami? Sungguh sayang.<br /><br />Namun, bila mempelajari penamaan kawah di Gunung Galunggung, terdapat kawah yang bernama Kawah Guntur. Sangat mungkin penamaan ini setelah terjadinya letusan mahadahsyat yang telah menyebabkan amblasnya sebagian gunung, sehingga kawahnya berbentuk seperti sepatu kuda yang mengarah ke tenggara, dan membentuk Pasir Sarewu jauh di bawahnya.<br /><br />Dalam peristiwa letusan maha dahsyat itu ada penduduk yang selamat. Mereka dapat menyaksikan peristiwa alam yang luar biasa. Penduduk yang selamat lainnya ada juga yang menyaksikan begitu banyaknya pasir (keusik) dan bongkah batuan dari ukuran yang kecil hingga yang seukuran gajah, yang ngalayah menutupi suatu wilayah.<br /><br />Dalam kebiasaan memelihara ikan di balong (kolam), bila lumpur di kolam itu sudah terlalu banyak sehingga mendangkalkan kolam, maka lumpur itu akan dihanyutkan dengan bantuan derasnya air. Lumpur (leutak) akan dibuang, dibersihkan dengan cara mendorong dan membuangnya bersama derasnya air mengalir. Membersihkan lumpur di kolam biasa disebut ngaguguntur (Kamus Umum Basa Sunda, LBSS, Bandung: 1980).<br />Kebiasaan ngaguguntur itu, dianalogkan pada giga banjir lahar dan blok lava yang luar biasa, sehingga kawah sebagai pusat letusan yang letah menyebabkan suatu wilayah terkubur, maka kawah tersebut dinamai Kawah Guntur.<br /><br />Karena giga banjir lahar dan blok lava itulah maka kawasan di tenggara gunung ini ditutupi pasir (keusik) dan bongkah bebatuan. Tafsiran nama Tasikmalaya pun berasal dari kata tasik dan malaya, lautan gunung, atau keusik ngalayah, pasir yang terhampar luas. Penamaan ini pun sangat berhubungan dengan peristiwa alam sebelum letusan Gunung Galunggung tahun 1822.<br />Jadi sangat tidak mungkin peristiwa alam yang luar biasa dahsyatnya itu tidak ada dalam catatan atau cerita lisan masyarakat di bekas mandala Galunggung! Saya berkeyakinan ini hanya belum terungkap.<br /><br />Peristiwa alam yang dahsyat, biasanya yang menyebabkan pusat kota berpindah. Di Tasikmalaya ada tempat seperti Sukaraja, Manonjaya, Rajapolah, perlu menjadi perhatian untuk diamati, karena sangat mungkin mempunyai hubungan dengan mandala Galunggung, atau dengan kepindahan pusat kota karena peristiwa alam.<br /><br />Dua puluh tiga tahun yang lalu, Gunung Galunggung meletus luar biasa. Letusannya berkali-kali dengan rentang waktu yang cukup lama, sejak 5 April 1982 hingga Januari 1983.<br /><br />Mempelajari sejarah alam, akan sangat bermanfaat bagi manusia-manusia yang hidup saat ini dan nanti. Misalnya saja bila diketahui ada catatan sejarah peristiwa alam, apakah itu letusan gunung api atau gempa bumi, akan sangat membantu dalam mempelajari perilaku letusan di suatu kawasan.<br /><br />Bila para bujangga mencatat peristiwa alam di mandala Galunggung selama hampir 12 abad, rasanya lebih dari cukup untuk mempelajari perilaku alam di kawasan itu. Ini akan menjadi peringatan bagi penduduk dalam mempersiapkan diri menghadapi suatu peristiwa alam bila siklusnya sudah matang.<br />Para perencana kota pun dapat mempelajari catatan sejarah bencana itu ketika membuat rancangan suatu kawasan. Dengan cara ini, kita berusaha untuk meminimalkan korban manusia. Dari pengungkapan ini kita dapat mengambil hikmahnya untuk kesejahteraan di dunia, dan sebagai bekal untuk kembali ke keabadian yang hakiki. Insya Allah!***<br /><br /><br />Prasasti Geger Hanjuang<br /><br />Ngahanjuang-siangkeun Hari Jadi Tasikmalaya<br /><br />[Mangle No. 495, September 1975]<br /><br />Sabada sawala dua poe lilana, tanggal 1 Agustus 1975, DPRD DT. II<br />Tasikmalaya netepkeun yen Hari Jadi Tasikmalaya teh ninggang kana tanggal:<br />21 Agustus 1111. Ari mimitina mah puguh ge loba anu heran jeung ngarasa<br />kurang percaya kana tanggal jeung taun anu kasebut di luhur teh. Tapi da<br />kitu buktina, hasil panalungtikan "Team Peneliti Hari Jadi Tasikmalaya"<br />teh, puguh cukcrukan galurna, puguh sasaran bejana, jeung puguh bukti<br />historisna anu jadi panyangga kana kuatna jeung benerna katangtuan tanggal<br />21 Agustus 1111 teh. Kuat teh dina harti kamampuan hasil panalungtikan<br />kiwari anu maksimal. Cenah, eta ka hareup aya deui anu mampuh menerkeun,<br />eta mah da ciri elmu nu sipatna salawasna teu weleh panasaran, anu pancenna<br />neangan bebeneran, teu aya halanganana mun salah tea mah pada nalungtik<br />jeung pada menerkeun.<br />Team Peneliti Hari Jadi Tasikmalaya mimitina diangkat ku Bupati<br />Tasikmalaya, Kolonel Husen Wangsaatmadja, tanggal 11 Desember 1973,<br />diketuaan ku Sdrk. Herniwan Wirasubrata (Sekda). Team ieu teh kakara nyieun<br />dadasar panalungtikan jeung nangtukeun lengkah-lengkah pikeun ngumpulkeun<br />sumber-sumber sajarah. Ku lantaran tugas Sekda pohara lobana, nya tanggal<br />11 Mei 1974 Team dirobah deui ku Drs. Kartiwa Suriasaputra, Bupati nu<br />ngaganti Kolonel Husen Wangsaatmadja. Nu diangkat Ketua: Sdrk. R. Unang<br />Sunardjo, SH (Petinggi), ari anggota-anggotana mah kawilang angger keneh,<br />nyaeta: Drs. Agus Permadi, Drs. Ietjeu Marlina, Drs. Edi Ekadjati, jeung R.<br />Djaka Suryawan. Ari anu dijieun Konsultan Ahli nyaeta Drs. Atja ti Bandung<br />jeung Drs. Saleh Danasasmita ti Bogor.<br />Dasar pamikiran Team, mimiti nyeleser ti wewengkon pamarentahan anu<br />disebut Tasikmalaya. Katimu wae, yen Tasikmalaya mah minangka pucukna.<br />Tasikmalaya teh pindahan ti Manonjaya, ari Manonjaya pindahan ti Sukapura,<br />Sukapura teh pindahan ti Sukakerta, ari Sukakerta teh pindahan ti<br />Galunggung. Nepi ka Galunggung kandeg bongkotna mah kurang tetela laratan<br />sajarahna.<br />Nya ti dinya Team ngaleunjeurkeun sajarahna. Lain neangan iraha kota<br />Tasikmalaya diadegkeun, nya kitu deui lain neangan iraha ngadegna Kabupaten<br />Tasikmalaya, tapi neangan sajarah anu aya patalina jeung Tasikmalaya. ari<br />dipapay, enya runtuyanana teh masih natrat bisa kapapay. Harita ge timbul<br />rupa-rupa pertanyaan, atuh rek neangan Hari Jadi Tasikmalaya mah ti kota<br />Tasik we da ari ti Galunggung mah meureun kudu disebut Hari Jadi<br />Galunggung. Kacindekan Team, ari neangan Hari Jadi teh, lain neangan iraha<br />ngadegna kota, da Kabupaten Bandung ge moal ngarobah hari jadina ku<br />diadegkeunana kota Bale Endah, tapi bakal angger mieling tanggal anu aya<br />tumalina jeung sajarah Kabupaten Bandung.<br />Jadi, Tasikmalaya di dieu mah, nyaeta ngaran tempat anu nuluykeun<br />ayana organisasi kamasarakatan atawa pamarentahan ti baheula nepi ka<br />ayeuna, anu geus kungsi ngalaman robahan struktur, legana wewengkon, jeung<br />robahna ngaran pamarentahan atawa pusat pamarentahan. Sabab, ngaran<br />Tasikmalaya moal aya hartina mun henteu jadi ngaran pameungkeut ayana hiji<br />pamarentahan. Ajenna teh moal beda ti ngaran-ngaran kampung atawa tempat<br />anu bacacar di wewengkon Tasikmalaya.<br />Naon atuh nu jadi udagan tujuan nalungtik Hari Jadi teh? Naha gehgeran<br />bae, pedah batur nyarieun Hari Jadi?<br /><br />Lain gehgeran, tapi perluna mah ngawawuhkeun diri. Hari Jadi tangtu<br />kaguarna teh tina sajarah kamekaran manusa-manusa nu ngancik di hiji<br />wewengkon. Manusa, tempat, jeung waktu ngarupakeun hiji katunggalan kapan,<br />dina sajarah mah. Dina patilasan-patilasan budaya anu ditinggalkeun, bakal<br />bisa nerangkeun olahan kamekaran tina usaha-usaha manusa ngahontal<br />kabagjaan lahir batin. Patilasan-patilasan budaya teh bakal jadi sumber<br />sajarah anu bisa dicokot kacindekan-kacindekan. Sumber jeung fakta sajarah<br />kudu ditapsirkeun, dianyam deui jadi leunjeuran sajarah. Ku hasil eta urang<br />bakal bisa ngadeukeutan hadirna jeung kagiatan-kagiatan manusa di jero<br />masarakatna dina mangsa biharina. Tinemuna sajarah daerah pribadina, bakal<br />tumuwuh rasa reueus. Tina rasa reueus, tumuwuh harga diri. Tina harga diri,<br />bakal tumuwuh kamotekaran-kamotekaran anu bisa dimangpaatkeun pikeun<br />nunjang pembangunan nagara urang kiwari, boh jasmani, boh rohani. Tujuan<br />kadua, milu neangan bahan pikeun milu "nyambungan" kana sajarah regional<br />Jawa Barat, nu engkena meureun bakal disusun. Atuh jembarna mah kaentragan<br />nu pandeuri sina boga rasa talungtik pikeun nguatan rasa harga dirina, jadi<br />bangsa anu merdika, tur ngabogaan katahanan nasional anu kuat.<br />Dina panalungtikan Team manggihkeun 6 moment anu jadi puncak<br />kajadian-kajadian kamekaran Tasikmalaya ti mimiti Galunggung nepi ka jadi<br />Tasikmalaya ayeuna:<br />1. Pusat Pamarentahan di Galunggung, anu disaksian ku prasasti Geger<br />Hanjuang.<br />2. Pusat Pamarentahan di Sukakerta.<br />3. Ngadegna Kabupaten Sukapura jeung kamekaranana.<br />4. Pindahna Ibu Kota Kabupaten Sukapura ka Manonjaya.<br />5. Pindahna Ibu Kota Kabupaten Sukapura ti Manonjaya ka Tasikmalaya, anu<br />disusul ku robahna ngaran Kabupaten Sukapura jadi Kabupaten Tasikmalaya.<br />6. Tasikmalaya dina lingkungan Nagara Republik Indonesia.<br /><br />Tah anu 6 moment ieu teh, mangrupa milik masarakat Tasikmalaya anu<br />henteu bisa dileungitkeun kitu bae. Turug-turug deuih, jajaran caritana<br />masih natrat anu dikuatkeun ku saksi-saksi anu bisa nunjang benerna eta<br />kajadian-kajadian. Dina 6 moment anu kasebut di luhur teh, ngandung<br />galeuh-galeuh parumajaan, kamotekaran, karancagean, kasadaran masarakat,<br />kasadaran boga pamarentahan sorangan jeung kadaolatan dina wilayahna.<br />Sanajan tangtu, ajen tina galeuh-galeuh anu dikandung unggal moment teh<br />henteu sarua.<br /><br />NGARAN TASIKMALAYA<br /><br />Aya dua katerangan anu nerangkeun harti Tasikmalaya. Nu kahiji,<br />nerangkeun yen Tasikmalaya teh tina kecap "tasik" jeung "laya", hartina<br />"keusik ngalayah". Maksudna mah pedah di Tasikmalaya loba keusik di<br />mana-mana. Harti ieu bisa ditumalikeun jeung bituna Gunung Galunggung anu<br />nyemburkeun keusik panas ka kota Tasikmalaya ayeuna. Anu kadua nerangkeun,<br />asal tina kecap "tasik" jeung "malaya", hartina "tasik" = talaga, laut, cai<br />ngembeng, atal. "Malaya" dihartikeun "jajaran gunung-gunung" (di basisir<br />Malabar, India). Harti sagemblengna "jajaran gunung-gunung lir ibarat cai<br />laut lobana", atawa "talaga gunung-gunung". Ieu oge ditumalikeun kana<br />bituna Gunung Galunggung keneh. Malah cek para ahli mah lobana<br />gunung-gunung anu parentul di kota Tasikmalaya teh aya kana 3.648 gunung<br />(laleutik) lobana.<br />Kawasna anu merenah mah katerangan anu kadua, anu dumasar kana<br />katerangan ti Topographisen Dienst anu biasana sok sakalian nerangkeun<br />asal-usul ngaran tempat (toponimi).<br />Upama nitenan kitu, ngaran Tasikmalaya mimiti aya teh, kudu sabada<br />bituna Gunung Galunggung samemeh taun 1822, da dina bitu taun 1822 mah<br />sabagian tina gunung-gunung eta mah geus aya.<br />Memeh dipake ngaran Tasikmalaya, tempat nu ayeuna disebut Tasikmalaya<br />teh tadina mah disebut "Tawang Galunggung", nyaeta tempat panyawangan anu<br />plungplong ka ditu ka dieu. Mimiti dipake ngaran resmi nu dipake meungkeut<br />organisasi kamasarakatan mah:<br />Hiji, dina taun 1813, waktu R.T. Surialaga, tedak Sumedang diangkat Bupati<br />Sukapura. Nya ku lantaran Gedong Kabupaten Sukapura di Sukaraja harita mah<br />lain Gedong Nagara, bupati nu lain terah Sukapura mah henteu bisa nempatan<br />Gedong Kabupaten di Sukaraja. Dina taun 1813-1814 kalungguhan Bupati<br />Sukapura aya di kota Tasikmalaya.<br />Dua, dina taun 1821 ayana Afdeeling Tasikmalaya.<br />Tilu, dina tanggal 1 Oktober 1901, Ibu Kota Kabupaten Sukapura ti Manonjaya<br />pindah ka kota Tasikmalaya.<br />Opat, dina taun 1913, ngaran Kabupaten Sukapura diganti jadi Kabupaten<br />Tasikmalaya, jaman Bupati R.A.A. Wiratanuningrat.<br /><br />GALUNGGUNG NGABOGAAN AJEN ANU LEUWIH LUHUR<br /><br />Saenyana mah, ayana karajaan Galunggung teh geus lana kakubur ku usum.<br />Dongeng-dongengna ngan kapanggih sesemplekanana mimitina mah. Tapi ku<br />lantaran kaancikan ku panasaran, Team terus maluruh. Nya kapanggih mimitina<br />mah tina Laporan Kepurbakalaan Jawa Barat (Rapporten Oudheidkundige Dienst<br />van West Java) anu disusun ku Dr. N.J. Krom. Dina kaca 73 nepi ka kaca 82<br />eusina husus ngeunaan barang-barang purbakala anu aya di wewengkon<br />Tasikmalaya. Nya di antarana disebutkeun yen di Geger Hanjuang kapanggih<br />batu tulis anu eusina aya tilu jajar, kaasup tipe Pajajaran. Ngandung taun<br />saka 1333.<br />Disusud terus, katimu tulisan K.F. Holle anu judulna "Beschrevensteen<br />uit de afdeeling Tasikmalaya" TBG XXIV, 1877. Tulisan C.M. Pleyte anu<br />ngaitkeun oge Geger Hanjuang dina bukuna "Het Jaartal op den Batoe Toelis<br />na bij Buitenzorg" TBG, 53, 1911; jeung tina "Twentieth Century Impressions<br />of Netherlands India" anu disusun ku Triscott & Son (1910).<br />K.F. Holle nerangkeun yen, ari aksarana mah tetela, ngan henteu bisa<br />meunangkeun katerangan anu leuwih gampang, sabab dina jajaran kadua teu<br />bisa kabaca kalimah anu aya hartina. Tapi, tanpa katerangan anu rada<br />lengkep, Holle geus netepkeun yen ea prasasti teh ngabogaan candrasangkala<br />1333 Saka. Hasil transkripsi Holle kana Prasasti Geger Hanjuang:<br />bah o goenna apuy le-<br />dya (?) wwang ga bu ti sakakala ru mata-<br />k di yuyu ku batari hyang pun<br />C.M. Pleyte sapamadegan tina candrasangkala 1333 Saka, ngan Pleyte<br />netelakeun angka rebuan anu teu tetela diterangkeun ku Holle. Anu dibaca<br />"ledya" (?) ku Holle, ku Pleyte mah dibaca "dica", nya eta ngandung angka<br />hiji (rebuan).<br />Sabada Holle jeung Pleyte, teu aya deui sarjana anu nalungtik Prasasti<br />Geger Hanjuang anu masih atah keneh tina panalungtikan. Malah loba anu tega<br />penulis sajarah ngaluarkeun Prasasti Geger Hanjuang tina jalur sajarah kuno<br />Jawa Barat. Dianggapna meureun, ku lantaran ngan tilu jajar ieuh, moal aya<br />matakna kana leunjeuran sajarah kuno Jawa Barat. Jeung meureun, bisi kudu<br />nyieun tiori anyar upama Prasasti Geger Hanjuang disebut-sebut. Padahal ku<br />saeutikna prasasti nu kapanggih di Jawa Barat, eta teh sakuduna mah sing<br />jadi bahan panasaran anu enya-enya.<br /><br />HASIL BACA JEUNG KOREKSI<br /><br />Sabada nitenan jeung ngabanding-banding ti nu sejen, jeung nalungtik<br />kasang tukang tina kahirupan masarakat Sunda, Drs. Saleh Danasasmita<br />ngaluarkeun tulisan anu make judul "Hubungan antara Sri Jayabhupati dengan<br />Prasasti Geger Hanjuang" anu dikaluarkeun ku Lembaga Kebudayaan Unpad 1974<br />jeung tulisan anu make judul "Prasasti Geger Hanjuang, Kabuyutan<br />Linggawangi, Singaparna, Tasikmalaya".<br />Ringkesna mah hasil titenan Drs. Saleh Danasasmita jeung Drs Atja mah<br />tulisan dina Prasasti Geger Hanjuang teh:<br />1. tra ba i gunna apuy na-<br />2. sta gomati sakakala nu mata-<br />3. k disusu(k) ku batari hyang pun<br />Memang aya aksara anu samar-samar, nyaeta aksara panungtung dina jajaran<br />kahiji, tapi upama neangan nu ngandung harti mah dibacana teh kudu "nasta"<br />atawa "lesta" (aksara n meh sarua jeung aksara l). Hartina kabehanana ge<br />sarua ngandung harti 0.<br />"Tra" tina "trayodasi", hartina 13 (tiluwelas), luyu jeung prasasti<br />Mantyasih, yen kecap "tra" teh mangrupa akronim (wancahan) tina<br />"trayodasi". "Ba" - wancahan tina "Badrapada", ngaran bulan anu dipake<br />baheula, anu dina jaman kiwari mah sarua jeung bulan Agustus. Jadi, "tra ba<br />i gunna apuy nasta gomati sakakala" teh hartina: 13 Badrapada dina 1033<br />waktu Saka. Atawa sanggeus diitung, kapanggih eta teh sarua jeung: tanggal<br />13 Sapar 505 Hijriah, atawa sarua jeung 21 Agustus 1111 Masehi.<br /><br />{ terakeuneun ]<br /><br />Pulau Jawa adalah satu daerah penuh dengan legenda, kekuatan gaib dan mistis serta kepercayaan manusia tentang hantu-hantu, roh-roh leluhur, mahluk halus dan sebagainya. Laporan ini adalah satu pemeriksaan ke dalam dunia gaib yang berada di Jawa terutama kepercayaan manusia Jawa terhadap gunung-gunung. Saya dulu menjadi tertarik dalam topik ini waktu saya naik sampai puncak Gunung Merapi pada bulan Oktober tahun 1999. Kemudian waktu saya baru datang di Malang saya berjalan ke Gunung Bromo di daerah Tengger. Waktu saya sedang naik Gunung Bromo tersebut saya melihat keindahan dan kekuatan gunungnya hingga membuat saya merasa terpesona. Dari pengalaman itu saya kemudian ingin tahu lebih banyak hingga kalau saya bisa merasa terpesona dari gunungnya, bagaimana perasaan masyarakat setempat dan peran yang ada pada gunungnya dalam sistim kepercayaan masyarakatnya. Sejak waktu itu saya hanya memikirkan tentang hal-hal gaib untuk memeriksa aktivitas para mahluk halus, terutama memeriksa hubungan dunia manusia dengan dunia gaib.<br />Walaupun fokus topik saya adalah kepercayaan manusia terhadap gunung, penelitian ini tidak hanya tentang legenda atau upacara tradisional tetapi juga mengarahkan saya kepada bidang-bidang yang lain. Bidang-bidang tersebut termasuk kosmologi dan pemandangan dunia masyarakat Jawa, agama Islam, agama Hindu-Budha, kepercayaan animisme serta kepercayan masyarakat Jawa terhadap dunia akhirat. Dalam bab II laporan ini saya berbicara tentang agama di Jawa saat ini dan latar belakang mengenai kepercayaan manusia dan gunung-gunung. Walaupun kebanyak orang di Jawa beragama Islam, agama Islam yang dilakukan di Jawa berada perbedaan dari agama Islam ortodoks yang dilakukan di daerah Timur Tengah. Agama Islam yang dilakukan di Jawa juga punya unsur-unsur yang lain, yaitu kepercayaan animisme dari zaman prasejarah serta agama Hindu-Budha dari zaman kerajaan Hindu-Budha. Mengenai pemeriksaan saya ke dalam kepercayaan masyarakat terhadap gunung, itu perlu untuk saya berbicara tentang dua unsur terakhir yaitu kepercayaan animisme dan agama Hindu-Budha. Agama Hindu-Budha menguasai pulau Jawa selama delapan abad, abad 8 sampai abad 16. Orang beragama Hindu percaya dalam Gunung Meru sebagai rumahnya para dewa-dewa serta gunungnya melambangkan hubungan diantara dunia manusia (bumi) dan Kayangan atau dunia para dewa-dewa. Kepercayaan tersebut memang pengaruhi kepercayaan masyarakat Jawa mengenai gunung. Orang Jawa percaya gunung adalah tempat sakral dan biasanya didiami oleh mahluk halus, roh-roh leluhur atau dewa. Selain unsur agama Hindu-Budha, manusia Jawa juga punya kepercayaan bahwa tempat-tempat atau obyek punya semangat diri sendiri. Kepercayaan manusia seperti di atas adalah kepercayaan animisme dan termasuk kepercayaan tentang mahluk halus, roh-roh leluhur atau hantu-hantu yang mendiami macam-macam tempat. Kedua unsur di atas dicampurkan dengan agama Islam dan masih ada sampai saat ini.<br />Salah satu masalah dengan penelitian lapangan saya semester ini adalah bahwa setiap daerah di Jawa berada kepercayaan manusia diri sendiri terhadap gunung di daerahnya. Oleh karena itu saya memfokuskan penelitian saya di dalam dua daerah. Daerah penelitian yang pertama adalah daerah Tengger yang termasuk Gunung Mahameru serta Gunung Bromo. Saya tinggal di daerah Tengger tersebut selama tiga minggu pada bulan Maret tahun 2000. Sementara di daerah itu saya melakukan wawancara dengan orang dukun dan berbicara dengan penduduk daerah Tengger serta orang non-Tengger yang datang ke daerahnya. Selain wawancara dan pembicaraan dengan penduduk daerah Tengger saya juga membaca banyak buku latar belakang yang saya pakai untuk menyiapkan laporan saya.<br />Pada zaman kerajaan Hindu-Budha daerah Tengger dipakai sebagai tempat semedi dan untuk menghormati dewa Brama, yaitu dewa api serta dewa arah selatan dalam kosmologi Hindu. Orang Tengger beragama Hindu dan Gunung Bormo adalah gunung paling penting untuk orangnya, juga gunungnya mendapat namanya dari dewa Brama. Mengenai kepercayaan manusia Tengger terhadap gunung dulu saya menemukan cerita dari para dukun tentang Legenda Kasada serta Upacara Kasada. Legenda Kasada itu adalah cerita mengenai asal usul cikal bakal manusia Tengger dan hubungan mereka dengan mahluk halus Gunung Bromo. Dalam legenda itu satu nenek moyang Tengger bernama 'Dewa Kusuma' mengkorbankan jiwanya untuk kemakmuran anak cucunya. Akibatnya dari legendanya adalah perjanjian diantara manusia Tengger dan Dewa Kusuma untuk memberi sesajian setiap satu tahun sekali di Gunung Bromo. Perjanjian itu berbentuk Upacara Kasada yang dilakukan setaip pada tanggal 14 bulan Kasada dalam ketanggalan Tengger.<br />Selain legenda Kasada dan upacaranya saya juga menemukan kosmologi manusia Tengger yang menanggap Gunung Bromo sebagai tengah alam semesta serta perlabuhan kosmologinya. Selamatan orang Tengger selalu dilakuakan berhadap Gunung Bromo atau ke arah selatan. Ada teori bahwa perbedaan itu muncul dari kosmologi manusia Tengger pada zaman dulu yang percaya dari desanya selau berada Gunung Bromo ke selatan menurut kosmologi Hindu. Perbedaan muncul dari waktu orang Tengger mulai memakai sistim mata angin yang sama dengan orang Jawa yang lain. Selain itu di dalam desa-desa Tengger yang terpisah ada kepercayaan manusia tentang dunia akhirat yang termasuk Gunung Mahameru dan Gunung Bromo. Gunung di daerah Tengger tidak hanya penting untuk orang Tengger, juga untuk orang non-Tengger punya kepercayan tersendiri. Ada penduduk daerah lebih rendah yang menghormati mahluk halus yang menjaga sumber mata airnya serta orang daerah lainnya yang mau mendengar suara tuhan.<br />Setelah saya selesai meneliti daerah Tengger saya pindah sampai daerah penelitian kedua saya, yaitu daerah Gunung Merapi. Saya meneliti di dalam daerahnya selama empat minggu pada bulan April tahun 2000. Daerah Gunung Merapi dipilih sebagai daerah perbandingan terhadap Daerah Tengger, karena dua daerah beragama dan bersejarah yang berbeda. Daerah Tengger di atas orang beragama Hindu-Budha serta di Daerah Gunung Merapi orang beragama Islam dan bersejarah Kerajaan Mataram. Gunung Merapi adalah salah satu gunung berapi paling aktif di kepulauan Indonesia. Oleh karena itu menurut penduduk daerahnya, Gunung Merapi adalah pemberi dan pengambil yaitu memberi pupuk dari letusan gunungnya yang penting untuk kehidupan manusia dan juga letusan yang sama sudah mematikan ribuan jiwa sepanjang sejarah letusannya.<br />Kepercayaan serta kosmologi manusia Gunung Merapi didasarkan dalam Legenda Kyai Sapujagad. Cerita legenda itu terjadi pada waktu Kerajaan Mataram kedua muncul dan mengambarkan hubungan pendiri kerajannya yaitu 'Panembahan Senopati' dengan dunia gaib. Kosmologi manusia Daerah Gunung Merapi terdiri dari lima bagian yaitu Kraton Mataram Yogyakarta di tengah yang berada di dunia manusia dan Kraton Mahluk Halus Gunung Merapi ke utara, Kraton Laut Selatan ke selatan, Gunung Lawu ke timur dan Khayangan, Dlephi ke barat yang berada dalam dunia gaib. Akibatnya dari Legenda Kyai Sapujagad adalah perjanjian bahwa Kraton Mataram Yogyakarta bertanggungjawab untuk memberi sesajian kepada para mahluk halus di empat tempat yang lain dalam kosmologi manusia. Dalam kembalinya rakyatnya akan dilindungi oleh para mahluk halus tersebut. Perjanjian itu berbentuk Upacara Labuhan yang dilakukan setiap tahun sekali dan mulai pada tanggal 25 bulan Bakdamulud di Laut Selatan.<br />Kraton Mahluk Halus Merapi di dalam kosmologi Kraton Yogyakarta dipercayai oleh penduduk dipimpin oleh mahluk halus bernama 'Empu Rama' dan 'Permadi' dan menurut orang yang lain oleh 'Kyai Merlapa. Selain pemimpin di dalam kratonnya penduduk juga percaya dalam macam-macam tokoh lain yang mendiami kraton itu. Kepercayaan manusia tentang Kraton Mahluk Halus Merapi tidak hanya dipercayai oleh Kraton Yogyakarta tetapi juga memperluas sampai rakyat desa-desa di lereng gunungnya. Rakyat tersebut punya kepercayaan tentang dunia akhirat. Menurut mereka waktu manusia meninggal rohnya akan mendiami tempat-tempat yang tergantung pada perlakuan hidupnya. Kalau orang waktu manusia melakukan hidupnya yang baik, rohnya akan tinggal di dalam Kraton Mahluk Halus Merapi atau Kraton laut Selatan. Sebaliknya kalau orang waktu manusia melakukan hidupnya yang tidak baik, rohnya akan dibuang dari kratonnya dan mendiami batu, pohon, tempat sepi dan sebagainya. Selain kepercayaan dunia akhirat itu manusia Gunung Merapi juga punya kepercayaan mengenai tempat-tempat angker serta binatang-binatang sakral di daerahnya.<br />Menurut kepercayaan penduduk daerah Gunung Merapi kalau gunungnya akan meletus mahluk halus Kraton Merapi akan memberikan tanda kepada manusia. Biasanya tanda itu dalam bentuk mimpi yang termia oleh para dukun atau 'juru kunci' Gunung Merapi. Saat ini ada ramalan bahwa Gunung Merapi sedang menjadi aktif lagi, menurut para paranormal dan para dukun. Ramalan itu didasarkan dalam rasionil bahwa manusia akan kena kemarahan para mahluk halus karena keadaan politik dan manusia di Indonesia pada saat ini. Walaupun menurut Direktorat Vulkanologi di Yogyakarta Gunung Merapi masih sedang tidur selama dua tahun sekarang. Kalau Gunung Merapi akan meletus tahun 2000 ini atau tidak, kami harus tunggu saja.<br />Dari dua daerah yang saya melakukan penelitian lapangan semester ini saya menemukan beberapa persamaan dan hanya sedikit saja perbedaan. Walaupun kepercayaan manusia di dalam kedua daerah penelitian memang adalah kepercayaan berbeda, kepercayaannya didasarkan dalam asal usul yang sama. Dalam pemeriksaan saya ke dalam asal usulnya saya menemukan tiga unsur yang bersama. Semua legenda dan upacara didasarkan dan disah dalam sejarah, yaitu Daerah Tengger bersejarah kerajaan Majapahit dan Daerah Gunung Merapi bersejarah kerajaan Mataram kedua. Lagi pulau kebanyakan kepercayaan manusia terhapap gunung berunsur agama Hindu-Budha dari zaman kerajaan Hindu-Budha atau kepercayaan animisme dari zaman prasejarah. Kalau orang Jawa beragama Islam, Kristen atau agama yang lain biasanya mereka juga punya kepercayan yang berasal Jawa. Dalam kepercayaan manusia berasal Jawa tersebut gunung-gunung memang berperan yang sangat penting.<br /><br />galunggung ??? yg kanglana bikin banga meskipun kanglana blom ke galunggung lagi , terakhir kali aku ke galunggung th 2002 ,ga nyangka aku dah 5 tahun .rasanya kangennnnnnnnn..... pengen ke gunung galunggung lagi . dan sekarang kanglana ga tau lagi perobahan gunung galunggung mudah mudahn masih indah alami pemandangannya yg super dingin dg bermacam macam jenis pohon yg lebat bikin suasana alam yg maikin betah dibarengi dg kicowan burung ..serasa alam ini menyatu dg alam.....openmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-10553284321676602422008-09-01T13:56:00.000+07:002008-09-01T13:57:10.501+07:008 Raja - raja Galuh (Tarumanagara 14)8 Raja - raja Galuh (Tarumanagara 14)<br /><br /><br />Manarah menjadi penguasa Galuh dari tahun 739 - 783 M dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana. Gelar ini diperolehnya dalam musyawarah di galuh. Karena Banga, raja Sunda, menjadi raja bawahannya, maka wilayah kekuasaan Manarah sama dengan Tamperan. Seperti kedudukan Premana Dikusuma terhadap Sanjaya, demikian pulalah posisi Banga terhadap Manarah.<br /><br />Dari permaisuri Kancana Wangi, Manarah memperoleh puteri bernama Puspasari. Mungkin tokoh inilah yang disebut Purbasari dalam lakon pantun dan babad sebab dalam silsilah versi babad, Prabu Lutung Kasarung itu di-sebutkan menantu Prabu Ciungwanara. Dalam tahun 783 M, Manarah meng-undurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan manurajasunya (fcirun tahta untuk melakukan tapa sampai akhir hayat). Ia wafat tahun 798 M dalam usia 80 tahun (dalam CP I 80 tahun itu disebutkan sebagai mana pemerintahannya).<br /><br />Manarah digantikan oleh menantunya, Manisri, dengan gelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara (783 — 799 M). Dalam kisah tradisional tokoh ini lebih terkenal dengan nama Guru Minda atau Lutung Kasarung. Sumber yang dikutip oleh Pangeran Wangsakerta tidak menyebutkan tempat asal atau pun asal-usul tokoh ini. Mungkin karena 'kegelapan" asal-usulnya itulah kemudi-an juru pantun melegalisirnya sebagai orang kahiyangan.<br /><br />Manisri kemudian digantikan oleh puteranya, Sang Tariwulan (799 -806 M), dengan gelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh berikut-nya ialah Sang Welengan (806 - 813 M) dengan gelar Prabu Brajanagara Jayabuana. Ia digantikan oleh Prabu Linggabumi (813 - 852 M).<br /><br />Karena Linggabumi tidak mempunyai keturunan, maka tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya, yaitu Rakeyan Wuwus, raja Sunda keturunan Banga. Keturunan Manarah dan Banga lewat para puteri Saung Galah akhirnya bercampur. Posisi Galuh dengan Sunda sudah sederajat. Dalam tahun 759 M setelah Banga memperkuat kedudukannya dengan menunduk-kan kerajaan-kerajaan lain di daerah sebelah barat Citarum, ia melepaskan kedudukannya sebagai raja bawahan Galuh.<br />Hal itu tidak menimbulkan pertentangan tajam dengan Manarah karena<br /><br />dilaksanakan dengan perantaraan jasa-baik Resiguru Demunawan. Raja Saung Galah ini baru wafat dalam tahun 774 M setelah mencapai usia 128 tahun, jauh melebihi ayahnya, Sempakwaja (109 tahun) dan kakeknya, Wretikanda-yun (111 tahun). Sanjaya wafat tahun 754 M masih sempat menyaksikan cucunya, Banga, menjadi penguasa Kerajaan Sunda yang merdeka. Sebalik-nya, Resiguru Demunawan pun membuktikan kejujurannya dalam Perjanjian Galuh tahun 739 M. Penempatan Sunda sebagai bawahan Galuh merupakan kemungkinan maksimal yang dapat diupayakannya waktu itu. Setelah keada-an niemungkinkan ternyata ia bersedia menghubungi Manarah untuk meya-kinkannya bahwa agar kerukunan Sunda — Galuh lebih abadi, seyogyanya kedua negara itu hams berdiri sejajar sebagai negara yang mahardhika.<br /><br />Perkawinan Rakryan Wuwus, raja Sunda keturunan Banga, dengan adik linggabumi raja Galuh membuktikan bahwa kedua belah pihak sangat rukun. Terbukti kesediaan Manarah untuk mengikuti saran Resiguru Demunawan itu merupakan langkah politik yang bijaksana untuk kepentingan anak-cucunya. Resiguru Demunawan alias Sang Seuweukarma atau Rahiyangtang Kuku telah berhasil menghapus noda darah yang pemah menggenangi keraton Galuh akibat ulah kakaknya, Sang Purbasora. Dia itulah yang mengawali pisuna di Galuh dengan menyingkirkan Sena.<br /><br />Bayang-bayang Kerajaan Galunggung<br /><br />Sri Jayabupati wafat tahun 1042 M. la digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabuana (1042 - 1065 M) atau sang mokteng Winduraja. Jadi, ia dipusarakan di Win-duraja. Tempat bernama demikian dan menyimpan pantulan kepurbakalaan adalah Desa Winduraja di Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis. Ada gcjala bahwa setelah Sri Jayabupati wafat sampai tahun 1187 M pusat pemerintahan terletak di kawasan timur tidak di Pakuan. Cicit raja ini, Prabu Darmakusuma (1157 - 1175 M) juga dipusarakan di Winduraja.<br /><br />Prabu Darmaraja digantikan oleh puteranya yaitu Prabu Langlangbumi (1065 - 1155 M) atau sang mokteng Kerta. Mungkin sekali salah seorang cucunya diperisteri oleh penguasa Kadiri-Janggala Maharaja Jayabuana Ke-sanananta Wikramotunggadewa (1102 - 1104 M) atau Prabu Surya Amiluhur. Raja ini hanya dua tahun memerintah karena kekuasaannya direbut oleh Jayawarsa Digjaya Sastraprabu. Prabu Jayabuana melarikan diri ke Jawa Barat karena permaisurinya berasal dari sini. Mungkin tokoh inilah yang disebut Prabu Banjaransari pelarian dari Kediri dalam Babad Galuh.<br />Peristiwa sejarah yang menarik dalam masa pemerintahan Maharaja Langlangbumi ialah berita yang termuat dalam prasasti Gcgcr Hanjuang atau prasasti Galunggung karena ditemukan di lereng Gunung Galunggung, Prasasti ini ditemukan di bukit Geger Hanjuang yangoleh penduduk setempat disebut Kabuyutan Linggawangi karena terletak di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor D-26.<br /><br />Isi prasasti itu ditulis dalam huruf dan bahasa Sunda Kuno yang cukup terang untuk dibaca. Walau pun hanya liga baris pendek namun di dalamnya tercantum tanggal dan tahun. Bacaannya baris demi baris sebagai berikut :<br /><br /> tra ba i gune apuy na- sta gomati sakakala rumata- k disusu(k) ku batari hyang pun<br /><br /><br /><br />Prasasti itu bertanggal tra (trayodasi = ke-13) ba (badramasa = bulan Badra) atau tanggal 13 bulan Badra (Agustus/September) tahun 1 (gomati) 0 (nasta) 3 (apuy) 3 (gune). Arti lengkapnya: Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (seleai) disusuk oleh Batari Hyang.<br /><br />Karena tidak disebutkan paksa (separuh bulan) dalam prasasti ini diguna-kan sistem amanta (perhitungan tanggal dari bulan baru ke bulan baru) yang hitungan tanggalnya diteruskan sampai 30. Perhitungan menurut tarih Masehi kira-kira tanggal 21 Agustus HUM.<br /><br />Rumatak yang oleh penduduk setempat disebut Rumantak adalah bekas ibukota Kerajaan Galunggung yang terletak tidak jauh dari bukit Geger Hanjuang tempat prasasti itu ditemukan. Disusuk berarti dikelilingi dengan parit untuk pertahanan. Berita serupa dapat kita baca dalam prasasti Kawali dan Batutulis di Bogor. Dengan demikian tokoh Batari Hyang pun dapat kita duga sebagai penguasa Kerajaan Galunggung waktu itu. Ia tentu keturunan dan ahli waris Resiguru Sempakwaja pendiri Kerajaan Galunggung.<br /><br />Prasasti itu membuktikan bahwa perjanjian Galuh tahun 739 masih tetap dihomiati. Dalam kropak.632 tokoh Batari Hyang disebut sebagai nu nyusuk na Galunggung. Ajaran yang tertulis dalam naskah itu disebutkan sebagai ajarannya. Tokoh ini pula yang dalam kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian) disebut sang sadu jati (sang bijaksana atau sang budiman). Cukup unik karena "pencipta" ajaran tentang kesejahteraan hidup yang harus menjadi pegangan para raja dan rakyatnya itu adalah seorang wanita.<br />Mengapa Batari Hyang membangun parit pertahanan sebagai perlindung-an pusat pemerintahannya beluni dapat dijelaskan secara memuaskan. Mungkin ia beijaga-jaga karena melihat pusat pemerintahan Kerajaan Sunda-Galuh berada di kawasan timur atau mungkin karena sebab lain. Kerajaan Galunggung dapat mempertahankan kehadirannya setelali Galuh dan Pajaja-ran runtuh. Dalam awal abad ke-18 sisa kerajaan itu masih ada dengan nama '"Kabupaten" Galunggung dan berpusat di daerah Singaparna. Karena alasan historis, penduduk kampung Naga di Salawu tabu menyebut nama Singaparna. Mereka berkukuh menggunakan nama Galunggung.<br /><br />Dalam tradisi masa silam Galunggung dianggap sebagai sumber ilmu karena sejak didirikannya merupakan "kerajaan agama". Batas-batas alas Galunggung menurut fragmen Carita Parahiyangan ialah: Gunung Sawal di sebelah utara, Pelang Datar di sebelah timur dan Ciwulan di sebelah selatan. Sebuah naskah yang dimiliki oleh sesepuh di Singaparna (berbahasa Sunda berhuruf Arab) dan berasal dari bagian akhir abad ke-19 masili menyebutkan tokoh Sempakwaja di antara generasi pertama Kerajaan Galunggung. la masih dikenal dan disebut dalam berbagai mant.ra dan do'a. la sudah "didewakan" orang.<br />Jalan Panjang Menuju Gunung Galunggung, Tasikmalaya<br />Jalan Panjang Menuju Gunung Galunggung, Tasikmalaya<br />Located in Tasikmalaya, West Java<br /><br />Gunung Galunggung, Singa yg Tidur Lelap<br /><br />Gunung berketinggian 2,167m mdpl, terletak 20km baratdaya kota Tasikmalaya. Dalam sejarahnya pernah meletus bbrp kali, terakhir tahun 1982. Letusan terakhir bertipe "vulcanian vertical" (spt letusan cendawan bom atom) mencapai ketinggian 20 km ke angkasa, diikuti semburan piroclastic (debu halus) yg menghujani kota Bandung, Tasik, Garut, Cianjur dan kota lainnya dlm radius 100km. Debu tebal selama 4 bulan yg mengguyur kota2 tsb. membuat kesengsaraan yg cukup. Setelah letusan, 100,000 ha daerah sekitar rata dgn tanah tertimpa batu, lahar dan debu, Puncak gunungnya telah runtuh hanyut terbawa lahar dingin ke daerah sekitarnya, batu dan pasirnya menjadi berkah yg tidak habis2nya untuk ditambang.<br /><br />Pada saat letusan tsb, sebuah Jumbo Jet Boeing 747 British Airways Sidney- London yg sedang melintas diselatan Jabar di ketinggian jelajah 11,000 meter, keempat mesinnya mati tiba2 pada saat yg hampir bersamaan, menghisap debu Galunggung, namun menit2 terakhir berhasil dihidupkan kembali dan mendarat darurat di Soekarno Hatta dan kembali diterbangkan setelah mengganti seluruh mesinnya dan winshield yg tergores berat debu2 silika.<br /><br />Saat ini Gunung Galunggung sedang dlm keadaan tidur lelap, sehingga dpt. Didekati dgn aman. Menilik sejarahnya, siklus berikutnya mungkin 43 tahun lagi.. Kepundan Galunggung saat ini sudah diberi 620 anak tangga utk menggapi 200m sisa ketinggianya dari tempat parkir terakhir. Dari bibir kawah, kota Tasik terlihat jelas berada di sebelah timurnya. Sejauh mata memandang terlihat pepohonan berwarna hijau, dgn batangnya yg nampak masih kecil2. Memandang kearah dalam, dpt disaksikan 40 ha danau baru bentukan letusan 1982 berwarna kehijauan.<br /><br />Air danau dijaga tidak melebihi 1 juta m3 dgn mengalirkan sisanya melalui terowongan pelimpah ke sungai Cibanjaran dan Cikunir di timur kaldera. Tanpa campur tangan manusia ini, dinding kawah bisa jebol membuat air bah dahsyat spt. yg pernah terjadi di G. Kelud di Kediri ditahun 1920-an. Air sungai yg cukup hangat, bisa dinikmati di pemandian bernama Cipanas atau sungainya yg berada 3km sebelum kawah tak jauh dari tempat parkir bawah.<br /><br />Dinding kaldera berbentuk tapal kuda. Dari kedua ujungnya kita bisa turun ke dasar kaldera dgn hati2. Di lantai kawah, selain danau juga terdapat aliran sungai dgn batu batuan yg sebesar kepala kerbau berserakan dimana-mana. Salah satu tempat yg dituju didasar kaldera adalah sebuah Mesjid yg berada kira2 2 km di ujung selatan dekat dinding kawah baru. Dibelakang mesjid tsb. terdapat semacam gua kecil, tempat bermeditasi. Di dasar kawah, di pinggir danau, di sepanjang sungai yg mengalir ataupun didekat Masjid, adalah tempat yg biasa dipakai utk berkemah.<br /><br />Untuk mencapai kawah Galungggung tdk terlalu sulit, dari tepi jalan Bandung-Tasikmalaya tepatnya di kawasan Indihiang belok kanan kearah selatan, menempuh 15km jalan desa yg agak sempit bercabang-cabang tanpa plang penunjuk jalan yg jelas, cukup membingungkan pada awalnya, jadi harus sering bertanya. Juga akan sering berpapasan dgn truk pasir yg kadangkala salah satu kendaraan harus mundur krn di bbrp bagian jalan dan belokan yg sempit.<br /><br />Tantangan Sejarah "Urang" Sunda<br /><br />Keterbatasan sumber<br /><br />Untuk bisa mengenali secara utuh sejarah Sunda bukanlah merupakan sesuatu yang mudah. Hal itu khususnya akan terjadi pada sejarah Sunda dari masa prasejarah dan masa Hindu-Budha. Dari kedua masa tersebut sumber-sumber yang tersedia dapat dikatakan sangat terbatas. Oleh karenanya, tidak mengherankan misalnya bila upaya untuk melakukan rekonstruksi sejarah kerajaan Tarumanegara dan kerajaan Sunda secara relatif lengkap masih sulit untuk dilakukan. Hal yang sama juga sebenarnya terjadi dengan masa sesudahnya. Namun, keterbatasan sumber pribumi dari masa pasca. Hindu-Budha seringkali "terselamatkan" oleh ketersediaan sumber-sumber kolonial, khususnya arsip-arsip berbahasa Belanda, baik dari masa VOC maupun pemerintah Hindia Belanda.<br /><br />Keterbatasan sumber pribumi dalam sejarah Sunda besar kemungkinan berkorelasi dengan rendahnya budaya tulis pada masyarakat Sunda. Padahal, sejarah membuktikan bahwa urang Sunda termasuk etnis terdepan yang pertama kali melek huruf. Menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa hal ini bisa terjadi. Benarkah etnis Sunda miskin akan budaya tulis sebagaimana terlihat dari sedikitnya sumber-sumber pribumi yang mampu menjelaskan sejarah Sunda? Ataukah sebaliknya bahwa etnis Sunda tidaklah miskin akan budaya tulis.<br /><br />Adapun realitas sejarah yang hingga kini tampil ke permukaan belumlah dapat menggambarkan realitas sebenarnya karena sesungguhnya masih banyak sumber-sumber sejarah milik etnis Sunda, khususnya sumber benda dan tertulis, yang masih "terkubur" alias belum tergali oleh para sejarawan dan peminat sejarah pada umumnya. Kalaulah boleh memilih, mudah-mudahan kondisi kedualah yang kini tengah terjadi sehingga menjadi tantangan bagi siapa saja, khususnya mereka yang mengaku urang Sunda untuk terus berupaya keras menggali sumber-sumber sejarah milik urang Sunda sehingga dapat lebih memperjelas perjalanan sejarah urang Sunda, khususnya perjalanan sejarah urang Sunda di tatar Sunda.<br /><br />Frame sejarah nasional<br /><br />Realitas keterbatasan sumber-sumber pribumi yang mampu menjelaskan sejarah Sunda dalam masa-masa awal perkembangannya tentu tidak terjadi pada masa-masa sesudah kemerdekaan. Untuk era pascakemerdekaan kalaupun sumber-sumber tertulis masih sangat terbatas masih dapat ditutupi oleh sumber lisan, benda, bahkan visual. Seiring dengan ketersediaan sumber yang relatif lengkap, kajian-kajian tentang sejarah Sunda pun kini cukup banyak dilakukan, meskipun sebagian besar lebih terfokus di perguruan-perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi yang memiliki jurusan sejarah.<br /><br />Kalaulah akan dikemukakan tantangan bagi penulisan sejarah Sunda di era kemerdekaan maka salah satunya adalah bagaimana membuat sejarah Sunda agar tidak terperangkap kaku dalam frame sejarah nasional. Dalam kaitan itu, perlu ada pengayaan pendekatan dalam melakukan rekonstruksi sejarah Sunda. Sejarah Sunda dapat direkonstruksi melalui berbagai pendekatan, seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Sebagai contoh, melalui pendekatan politik, sejarah Sunda di era kemerdekaan dapat dipilah ke dalam masa pemerintahan para gubernur yang pernah dan sedang memerintah di tatar Sunda.<br /><br />Anggapan bahwa putra daerah akan lebih baik dalam membangun geliat daerah dibanding yang bukan putra daerah, bisa benar tetapi bisa jadi juga jauh dari kebenaran. Oleh karenanya, dari eksplanasi perjalanan pemerintahan para gubernbur yang kebanyakan urang Sunda dapat diformulasikan pula dengan lebih cerdas tentang konsep putra daerah di tatar Sunda.<br /><br />Pencerahan konsep isu putra daerah dalam era yang serba kompetitif tentunya sangat diperlukan agar urang Sunda tidak terkerdilkan oleh tujuan sempit, "pokoknya urang Sunda", "asal urang Sunda", "yang penting urang Sunda". Dengan demikian, kalaulah konsep putra daerah hendak dikembangkan sebagai wacana politik bagi kepemimpinan di tatar Sunda maka profil putra daerah tersebut setidaknya harus diformulasikan dengan memperhatikan dua parameter. Pertama, keturunan atau hubungan darah, serta sosial budaya. Kedua, dan yang lebih penting, track record-nya yang berkaitan dengan kapasitas kepemimpinan dan manajerial serta dalam memperjuangkan nasib urang Sunda dan budaya Sunda, baik di tatar Sunda maupun di luar tatar<br /><br /><br />Perilaku ahistoris<br /><br />Permasalahan sekaligus tantangan sejarah Sunda dalam perkembangannya yang paling kontemporer adalah rendahnya kesadaran urang Sunda akan pentingnya sejarah Sunda. Sejarah Sunda sebagai milik urang Sunda tampak kurang mendapat perhatian untuk dimumule (dipelihara) dengan baik. Sejarah Sunda sepertinya sudah dianggap tidak penting oleh sebagian besar urang Sunda. Belajar sejarah Sunda adalah belajar sesuatu yang membosankan dan sia-sia. Jadilah, sejarah Sunda teralienasikan dari pemiliknya.<br /><br />Realitas ahistoris urang Sunda terhadap sejarah Sunda ini sebenarnya bukanlah milik eksklusif urang Sunda tetapi juga sepertinya sudah menjadi milik nasional. Artinya, perilaku dan pola pikir ahistoris urang Sunda terhadap sejarah Sunda tercermin pula dalam perilaku dan pola pikir ahistorisnya bangsa Indonesia terhadap sejarah nasional. Akibatnya, tidak mengherankan bila urang Sunda saat ini tampak seperti kehilangan jati dirinya. Tidak jelas lagi siapa dirinya dan bagaimana bumi tempat dirinya berpijak.<br /><br />Lepasnya roh kesejarahan (historisitas) dari urang Sunda membawa akibat lanjutan pada memudarnya rasa memiliki terhadap sunan ambu (ibu pertiwi) yang menjadi lemah cai urang Sunda. Oleh karenanya untuk menyikapi itu semua dan agar urang Sunda dapat kembali menemukan identitas dirinya maka penanaman nilai-nilai kesejarahan perlu dilakukan. Jadikanlah sejarah sebagai inspirasi urang Sunda dalam mengenal identitas dirinya. Belajarlah dari sejarah Sunda dan jadilah urang Sunda yang sadar akan kekuatan dan kelemahan dirinya. Bacalah dengan saksama "pelajaran" yang terkandung dalam sejarah Sunda dan jadilah urang Sunda yang memiliki kekuatan dalam mengenal dan memaknai masa lalu untuk kemudian dijadikan pijakan dalam memahami masa kini dan mengekstrapolasikannya bagi kepentingan masa yang akan datang.<br />Daftar raja-raja Sunda<br />Daftar raja-raja Sunda<br /><br />Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati yang berjumlah 20 orang :<br /><br />1. Maharaja Tarusbawa (669 - 723 M)<br />2. Sanjaya Harisdarma, cucu-menantu no. 1,(723-732 M).<br />3. Tamperan Barmawijaya (732-739 M).<br />4. Rakeyan Banga (739-766 M).<br />5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M).<br />6. Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M).<br />7. Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).<br />8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).<br />9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 - 895 M).<br />10. Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913 M).<br />11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).<br />12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).<br />13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).<br />14. Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).<br />15. Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).<br />16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M).<br />17. Prabu Brajawisesa (989-1012 M).<br />18. Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).<br />19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M).<br />20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042 M)<br /><br />Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4) - Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelat barat Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.<br /><br /><br />Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya<br />Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya<br />Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 - 766).<br /><br />Manarah di Galuh memerintah sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat, dan baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.<br /><br />Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua. Tapi, juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan abad 18.<br /><br />Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat. Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah pertemuan Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad.<br /><br />Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan<br /><br /><br />Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton: Sunda-Galuh-Kuningan (Saunggalah).<br /><br />[sunting] Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya<br /><br />Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.<br /><br />Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.<br />Manarah dan Banga<br />Manarah dan Banga<br /><br />Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.<br /><br />Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.<br /><br />Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.<br />Tamperan sebagai raja<br />Tamperan sebagai raja<br /><br />Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.<br /><br />Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.<br /><br />Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.<br /><br />Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.<br /><br />Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.<br /><br />Premana, Pangreyep dan Tamperan<br /><br />Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.<br /><br />Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.<br /><br />Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di ibukota Galuh.<br /><br />Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.<br /><br />Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).<br /><br />Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.<br /><br />Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.<br /><br />Sejarah Sunda<br /><br /><br /> urang sunda<br /> mojang<br /> jajaka<br /> hudang euy!!!<br /><br /> Ki Sunda seja midang<br /><br /> sing sumanget ngawangun bangsa!!!<br /> ngawangun agama<br /> ngawangun silaturrahmi<br /><br /> tuh diditu<br /> kudu ditempo<br /> kudu nyakseni<br /> kudu sabilulungan<br /><br /> sunda berjaya deui<br /><br /> prabu siliwangi,ciung wanara,<br /> karajaan kembar<br /> sunda, galuh<br /><br /> tatar sunda<br /><br /> parjuangan kudu diteruskeun<br /> kabudayaan kudu dilestarikeun<br /> kudu dimumule<br /> kudu ngajadi anak incu<br /><br /> Dihaturanan Kasadaya Urang Sunda Dimana Wae Ayana<br /> Geura Paamprok Yeuh<br /> Cang Ngobrol<br /> Kaayaan Ayena<br /> Nu Kudu Dipikirjeun<br /> Keur Kamajuan Urang Sunda<br /><br /> Urang sunda tong era ngomong sunda<br /><br /><br />Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh adalah dua kerajaan yang merupakan pecahan dari Kerajaan Tarumanagara. Dalam catatan perjalanan Tome Pires (1513), disebutkan bahwa ibukota kerajaan (Dayo, dari bahasa Sunda dayeuh, kota) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Sungai Ciliwung. Keterangan mengenai keberadaan kedua kerajaan ini juga terdapat pada beberapa prasasti. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.<br /><br />Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh<br /><br />#Pembagian Tarumanagara<br /><br />Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.<br /><br />Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.<br /><br />#Lokasi ibukota Sunda<br /><br />Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan.[1] Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.<br /><br />Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.<br /><br />#Keterlibatan Kalingga<br /><br />Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri ini adalah cicit Wretikandayun bernama Rakeyan Jamri, yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda ke-2. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan Galuh dikenal dengan nama Sanjaya.<br /><br />Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian juga menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.<br /><br />Prasasti Jayabupati<br /><br />#Isi prasasti<br /><br />Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak, Sukabumi. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):<br /><br />D 73 :<br />//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-<br /><br />D 96 :<br />gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.<br /><br />D 97 :<br />sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.<br /><br />Terjemahan isi prasasti, adalah sebagai berikut:<br /><br />Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.<br /><br />Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).<br /><br />#Tanggal prasasti<br /><br />Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.<br /><br />Penyebab perpecahan<br /><br />Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Tiongkok yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Kaisar Tiongkok dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.<br /><br />#Sanna dan Purbasora<br /><br />Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M), sekaligus paman dari Sanjaya. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).<br /><br />Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.<br /><br />Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan nenek isterinya, Maharani Shima.<br /><br />#Sanjaya dan Balangantrang<br /><br />Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.<br /><br />Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.<br /><br />Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir" atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gègèr Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.<br /><br />Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.<br /><br />Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.<br /><br />#Premana, Pangreyep dan Tamperan<br /><br />Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.<br /><br />Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.<br /><br />Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di ibukota Galuh.<br /><br />Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.<br /><br />Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).<br /><br />Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.<br /><br />Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.<br /><br />#Tamperan sebagai raja<br /><br />Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.<br /><br />Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.<br /><br />Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.<br /><br />Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.<br /><br />Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.<br /><br />#Manarah dan Banga<br /><br />Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.<br /><br />Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.<br /><br />Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.<br /><br />Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya<br /><br />Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739-766).<br /><br />Manarah, dengan gelar Prabu Suratama atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur panjang dan memerintah di Galuh antara tahun 739-783.[2] Dalam tahun 783 ia melakukan manurajasuniya, yaitu mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat. Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.<br /><br />Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua, tapi juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru, yang ditulis pada pertengahan abad ke-18. Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat.<br /><br />Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga; sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).<br /><br />Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya<br /><br />Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.<br /><br />Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.<br /><br />Daftar raja-raja Sunda-Galuh<br /><br /><br /><br />1 Maharaja Tarusbawa 669-723<br />2 Sanjaya Harisdarma 723-732 cucu-menantu no. 1<br />3 Tamperan Barmawijaya 732-739<br />4 Rakeyan Banga 739-766<br />5 Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766-783<br />6 Prabu Gilingwesi 783-795 menantu no. 5<br />7 Pucukbumi Darmeswara 795-819 menantu no. 6<br />8 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891<br />9 Prabu Darmaraksa 891-895 adik -ipar no. 8<br />10 Windusakti Prabu Dewageng 895-913<br />11 Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi 913-916<br />12 Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa 916-942 menantu no. 11<br />13 Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa 942-954<br />14 Limbur Kancana 954-964 anak no. 11<br />15 Prabu Munding Ganawirya 964-973<br />16 Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung 973-989<br />17 Prabu Brajawisesa 989-1012<br />18 Prabu Dewa Sanghyang 1012-1019<br />19 Prabu Sanghyang Ageng 1019-1030<br />20 Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati 1030-1042<br /><br />Catatan: Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Sungai Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.<br /><br />Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon<br /><br />Di bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon, yang berjumlah 13 orang<br /><br />Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon<br /><br />1 Wretikandayun 670-702<br />2 Rahyang Mandiminyak 702-709<br />3 Rahyang Bratasenawa 709-716<br />4 Rahyang Purbasora 716-723 sepupu no. 3<br />5 Sanjaya Harisdarma 723-724 anak no. 3<br />6 Adimulya Premana Dikusuma 724-725 cucu no. 4<br />7 Tamperan Barmawijaya 725-739 anak no. 5<br />8 Manarah 739-783 anak no. 6<br />9 Guruminda Sang Minisri 783-799 menantu no. 8<br />10 Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan 799-806<br />11 Sang Walengan 806-813<br />12 Prabu Linggabumi 813-852<br />13 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891 ipar no. 12<br /><br />Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).<br /><br />Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati<br /><br />Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah 14 orang :<br />Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati<br /><br />No Raja Masa pemerintahan Keterangan<br />1 Darmaraja 1042-1065<br />2 Langlangbumi 1065-1155<br />3 Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur 1155-1157<br />4 Darmakusuma 1157-1175<br />5 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175-1297<br />6 Ragasuci 1297-1303<br />7 Citraganda 1303-1311<br />8 Prabu Linggadéwata 1311-1333<br />9 Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 menantu no. 8<br />10 Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350<br />11 Prabu Maharaja Linggabuanawisésa 1350-1357 tewas dalam Perang Bubat<br />12 Prabu Bunisora 1357-1371 paman no. 13<br />13 Prabu Niskala Wastu Kancana 1371-1475 anak no. 11<br />14 Prabu Susuktunggal 1475-1482<br /><br />Hubungan Kerajaan Sunda-Galuh dan Berdirinya Majapahit<br /><br />Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota RAKEYAN JAYADARMA, dan berkedudukan di Pakuan.<br /><br />Menurut PUSTAKA RAJYARAJYA i BHUMI NUSANTARA parwa II sarga 3: RAKEYAN JAYADARMA adalah menantu MAHISA CAMPAKA di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan putrinya MAHISA CAMPAKA bernama DYAH SINGAMURTI alias DYAH LEMBU TAL. Mahisa Campaka adalah anak dari MAHISA WONGATELENG, yang merupakan anak dari KEN ANGROK dan KEN DEDES dari kerajaan SINGHASARI.<br /><br />Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera SANG NARARYA SANGGRAMAWIJAYA atau lebih dikenal dengan nama RADEN WIJAYA (lahir di PAKUAN). Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke 4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur.<br /><br />Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susurh dari Pajajaran yang kemudian menjadi Raja MAJAPAHIT yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Jadi, sebenarnya, Raden Wijaya, Raja MAJAPAHIT pertama, adalah penerus sah dari tahta Kerajaan Sunda Galuh apabila Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnumangkat.<br /><br />Pemisahan dan Penyatuan Kembali Kerajaan Sunda-Galuh<br /><br />Saat Wastu Kancana wafat, kerajaan kembali dipecah dua diantara anak-anaknya yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa di Kawali (Galuh). Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh akhirnya benar-benar menyatu dalam pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521), yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal, dan sejak itu kerajaan ini dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran.<br /><br />Garis waktu kerajaan di Jawa Barat dan Banten<br /><br />Referensi<br /><br />1. ^ Naskah Carita Parahyangan (1580), fragmen Kropak 406. Naskah beraksara Sunda Kuno, bahasa Sunda Kuno. Koleksi: Perpustakaan Nasional RI.<br />2. ^ Sukardja, H. Djadja, (2002). Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S. Cet-2.<br /><br />Kampung Muara dekat tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "Kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Menurut cerita, dahulu di dekat gunung kapur tersebut memang merupakan suatu pelabuhan yang biasa dikenal dengan nama dermaga, barangkali itulah sebabnya di sekitar Kampus IPB sekarang disebut daerah Darmaga. Hingga awal abad ke 19 tempat tersebut memang masih digunakan sebagai pelabuhan terutama oleh para pedagang bambu.<br /><br /><br />Kerajaan Salaka Nagara, rajanya bernama Dewawarman (I – VIII), tidak diketahui pasti kapan kerajaan ini berdiri, letak kerajaan Salaka Nagara ini diperkirakan berada di sekitar Pandeglang Banten, namun ada juga yang beranggapan bahwa letak Salaka Nagara ada di kaki gunung Salak di sebelah Barat kota Bogor. Menurut cerita kerajaan ini didirikan oleh seseorang yang bernama Aki Tirem, yang kemudian keturunannya mendirikan kerajaan Salaka Nagara, konon nama gunung Salak diambil dari asal kata Salaka.<br />Pada catatan sejarah India, para cendekiawan India telah menulis tentang nama Dwipantara atau kerajaan Jawa Dwipa di pulau Jawa sekitar 200 SM. Dan dari catatan itupun diketahui bahwa Kerajaan Taruma menguasai Jawa sekitar tahun 400 M. Salakanagara (kota Perak) pernah pula disebutkan dalam catatan yang disebut sebagai ARGYRE oleh Ptolemeus pada tahun 150 M.<br /><br />Dari peninggalan sejarah yang berhasil ditemukan hingga saat ini, asal mula kota Bogor dapat ditelusuri mulai dari Ciaruteun, Ciampea. Di Ciaruteun terdapat sebuah prasasti peninggalan kerajaan Taruma Nagara (358 – 669 M), prasasti tersebut diperkirakan dibuat pada tahun 450 M, jauh sebelum Kerajaan Pajajaran dan Majapahit serta kerajaan-kerajaan lainnya berdiri di Indonesia. Letak prasasti itu sendiri saat ini sudah dipindahkan, semula prasasti itu berada di tengah-tengah sungai Ciaruteun yang kemudian dipindahkan ke tepi karena prasasti tersebut beberapa kali terbawa arus pada saat banjir bandang di sungai Ciaruteun.<br />Selain itu di area yang sama terdapat pula prasasti lainnya yang biasa disebut dengan prasasti Tapak Gajah. Prasasti ini diperkirakan dibuat bersamaan dengan prasasti yang ada di sungai Ciaruteun. Arti dari isi prasasti ini kira-kira: "Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa"<br />Di salahsatu bagian kaki gunung Salak ada pula ditemukan sebuah prasasti di desa Jambu kampung Pasirgintung kecamatan Nanggung, oleh karena itu biasa disebut dengan Prasasti Jambu. Pada prasasti ini terukir 2 telapak kaki dan 2 baris huruf palawa dalam bahasa sansekerta, kemungkinan prasasti ini dibuat pada masa yang hampir bersamaan pula dengan dengan Prasasti Ciaruteun. Prasasti ini bertuliskan: "Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya".<br /><br />Pada prasasti Ciaruteun dipahat juga sepasang telapak kaki serta tulisan dengan huruf palawa dalam bahasa sansekerta, bunyi tulisan tersebut kira-kira "Inilah telapak kaki yang mulia Sang Purnawarman Raja Negeri Taruma yang gagah berani, yang menguasai dunia sebagai telapak kaki Dewa Wisnu"<br /><br />Tidak diketahui dengan pasti mengapa prasasti-prasasti tersebut ada di daerah itu, apakah karena pusat pemerintahannya ada disana atau tempat tersebut merupakan salah satu tempat penting pada masa itu yang berada dikawasan kerajaan.<br /><br />Pada masa Kerajaan Taruma Nagara kerajaan ini diperintah oleh 12 orang raja, berkuasa dari tahun 358 – 669 M.<br />Kerajaan Sunda, nama baru dari kerajaan Taruma Nagara, diperintah 28 orang raja, tahun 669 – 1333 M. Pada masa ini, kerajaan tersebut dipecah menjadi 2 bagian, di sebelah Barat bernama kerajaan Sunda dan di sebelah Timur bernama kerajaan Galuh dengan sungai Citarum sebagai batasnya.<br />Kerajaan Kawali, diperintah oleh 6 orang raja, tahun 1333 – 1482 M.<br />Kerajaan-kerajaan diatas adalah kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh "garis keturunan" yang sama.<br /><br />Kerajaan Taruma didirikan oleh Jayasingawarman, keturunan-keturunan raja Kerajaan Taruma pergi ke luar wilayah kerajaan serta membentuk kerajaan-kerajaan baru di wilayah lain. Ini terlihat dari berdirinya kerajaan-kerajaan baru yang lebih "muda" usianya dibandingkan dengan kerajaan Taruma Nagara. Pada masa abad ke 7 hingga abad ke 14 kerajaan Sriwijaya berkembang di Sumatera. Penjelajah Tiongkok yang bernama I Ching pernah mengunjungi ibukotanya yaitu Palembang sekitar tahun 670. Pada abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan di Jawa Timur yaitu Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, yang bernama Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Mungkin karena senioritas atau karena kekerabatan atau juga karena sebab lainnya, kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh tidak pernah dikuasai oleh kerajaan Majapahit.<br />Ada 2 orang keturunan Taruma Nagara yang menjadi raja besar diluar tanah Sunda:<br />1. Sanjaya / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama, raja ke 2 Kerajaan Sunda (723 – 732M), menjadi raja di Kerajaan Mataram (732 - 760M). Ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno, dan sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.<br />2. Raden Wijaya, penerus sah Kerajaan Sunda ke – 27, yang lahir di Pakuan, menjadi Raja Majapahit pertama (1293 – 1309 M).<br />Selain itu dikisahkan pula bahwa Putri Sobakancana anak dari Linggawarman, raja Taruma Nagara terakhir menjadi isteri Dapuntahyang Srijayanasa yang kemudian mendirikan kerajaan Sriwijaya di Sumatera.<br />Di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja-raja daerah yang kekuasaannya membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga) di Jawa Tengah. Secara tradisional Ci Pamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa bagian Barat pada masa silam.<br />Kerajaan Galuh Pakuan (516 – 852 M), berada di sekitar wilayah kota Ciamis sekarang. Pendiri kerajaan Galuh adalah keturunan raja Taruma Nagara yang pergi menuju sekitar Selatan Jawa. Kerajaan Galuh didirikan oleh cicit dari Manikmaya, menantu Suryawarman (raja Taruma Nagara ke 7). Ada sebagian dari keturunan raja Galuh (yang juga keturunan Taruma Nagara) yang kemudian kembali menuju Utara dan mendirikan kerajaan dengan nama baru Pakuan Pajajaran. Sedangkan sebagian lainnya pergi menuju Timur untuk kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan baru di wilayah Jawa Tengah (Sanjaya, mendirikan Mataram) dan Jawa Timur (Raden Wijaya, mendirikan Majapahit).<br /><br />Kerajaan Pakuan Pajajaran biasa disebut kerajaan Pajajaran saja (1482 – 1579 M). Pada masa kejayaannya kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang sangat terkenal yaitu Sri Baduga Maharaja dengan gelar Prabu Siliwangi dinobatkan sebagai raja pada usia 18 tahun. Raja tersebut terkenal dengan "ajaran dari leluhur yang dijunjung tinggi yang mengejar kesejahteraan".<br /><br />Pusat kota Pajajaran ini terdapat di sekitar wilayah Batutulis sekarang, ini diketahui dari ditemukannya sisa-sisa bekas bangunan istana yang ditemukan di sekitar wilayah itu. Ini terungkap dalam ekspedisi yang dilakukan pihak VOC sebelum menguasai suatu wilayah baru.<br /><br />Untuk kesejahteraan rakyatnya yang sebagian besar bertani dan juga untuk menghalangi serangan pihak musuh maka pada masa itu dibuat sebuat sodetan sungai yang sekarang dikenal dengan nama kali Cidepit dan Cipakancilan. Sungai Cidepit dan Cipakancilan adalah sungai buatan yang sumber airnya berasal dari sungai Cisadane.<br /><br />Sama seperti kerajaan sebelumnya, kerajaan Pajajaran sendiri pada masa kejayaannya sudah menjalin hubungan dagang dengan negara-negara di Asia, Timur Tengah serta Eropa. Pelabuhan lautnya ada di Sunda Kalapa yang kemudian berubah nama menjadi Batavia dan kemudian berubah lagi menjadi Jakarta yang sekarang.<br /><br />Prabu Siliwangi memiliki beberapa orang anak dari beberapa orang isteri. Dari istrinya yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda (beragama Islam) (puteri Prabu Susuktunggal, raja kerajaan Sunda) keturunan-keturunannya pergi mengembara serta membangun wilayah pesisir Utara di wilayah Karawang. Dari istrinya yang bernama Subang Larang (beragama Islam) (puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi raja Singapura), Prabu Siliwangi memiliki 3 orang anak yaitu Kian Santang, Lara Santang dan Cakrabuana. Kian Santang adalah anaknya yang paling sakti serta memiliki ilmu yang sangat tinggi, konon dalam menuntut ilmu Islam Kian Santang mengembara hingga ke Timur Tengah. Ada juga kisah yang menceritakan bahwa Kian Santang dapat pergi menuju Pelabuanratu melalui sebuah goa besar yang terdapat di sungai Ciliwung (dulu bernama cihaliwung). Letak goa itu sendiri sampai sekarang belum ada yang berhasil menemukannya, tetapi dari mitos yang berkembang letak goa itu berada di leuwi sipatahunan, sebuah bagian sungai yang paling dalam yang sekarang berada di tengah-tengah lokasi kebun raya Bogor. Bagi kalangan spiritual, leuwi sipatahunan ini konon memiliki aura misteri yang sangat kuat. Lara Santang mengembara hingga ke Sumatera dan daratan Asia, menyebarkan agama Islam yang di Sumatera dikenal dengan nama Ibu Syarifah Mudaif. Lara Santang adalah ibu dari Syarif Hidayatullah, raja Cirebon yang pada tahun 1579 ikut menyerang ke Pajajaran. Cakrabuana mengembara di sekitar wilayah Cirebon, menurut cerita versi Pajajaran beliau yang mendirikan asal muasal kota Cirebon.<br /><br />Perbedaan yang mencolok antara Ibu Subang Larang dengan Ibu Kentring Manik Mayang Sunda adalah keunggulannya yang berbeda; Ibu Subang Larang mencerminkan sosok ibu yang idealnya seperti seorang ibu sedangkan Ibu Kentring Manik Mayang Sunda mencerminkan sosok seorang wanita yang perkasa dan mandiri. Bagi sebagian orang Bogor, Ibu Subang Larang-lah yang biasa disebut dengan nama Ibu Ratu bukan Nyai Roro Kidul seperti yang diyakini sebagian masyarakat.<br />Menurut cerita, Prabu Siliwangi tidak meninggal dunia tetapi beliau menghilang (sunda:ngahiyang), karena itulah makam Prabu Siliwangi tidak pernah ditemukan hingga saat ini. Legenda masyarakat yang berkembang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menghilang dan kadang-kadang menampakan diri dengan wujud seekor harimau besar. Mungkin ini dihubungkan dengan seorang anggota ekspedisi pimpinan Scipio pada tahun 1687 yang diterkam harimau besar di tepi sungai Cisadane di sekitar prasasti Batutulis.<br /><br />Pada masa masa kejayaan Kerajaan Pajajaran ada 4 orang patih Pajajaran yang terkenal:<br />Ranggagading, paling sakti dan bertindak sebagai pimpinan para patih, petilasan Ranggagading dapat ditemukan di desa Cipinang Gading di Batutulis Bogor. Entah bagaimana cerita ini bermula tapi ada sebagian orang yang mempercayai bahwa Ranggagading-lah yang selama ini disebut-sebut sebagai patih Gajahmada di kerajaan Majapahit.<br />Ranggawulung, petilasannya ada di dekat kota Subang<br />Ranggadipa, petilasannya ada di dekat kaki gunung kapur Ciampea<br />Ranggasukma, hingga saat ini petilasannya belum ditemukan<br /><br />Di sekitar kota Bogor banyak "nama-nama lama" peninggalan bekas kerajaan Pajajaran pada saat masih berdiri, misalnya Lawang Gintung, Lawang Saketeng, Pamoyanan, Pasirkuda, Cibalagung, Pagentongan, Balekambang, Panaragan, Pagelaran dan lain-lain.<br /><br />Peninggalan kerajaan Pajajaran yang terkenal adalah prasasti Batutulis, isi prasasti ini kira-kira berarti: "Semoga selamat, ini adalah tanda peringatan untuk Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana dinobatkan dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran. Sri sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit pertahanan Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, undakan untuk hutan Samida dan Sahiyang Talaga Rena Mahawijaya. Dibuat dalam saka 1455." Selain prasasti banyak pula peninggalan-peninggalan kerajaan Pajajaran yang ditemukan di sekitar komplek ini, salah satunya adalah bangunan sisa kerajaan Pajajaran (ditemukan oleh Scipio, seorang ekspedisi Belanda pada tahun 1687) pada saat sesudah dibumihanguskan pada tahun 1579 oleh Kerajaan Banten (Maulana Yusuf) yang berkoalisi dengan Kesultanan Cirebon (Syarief Hidayatullah).<br />Kerajaan Pajajaran dibumihanguskan oleh Kerajaan Banten dan Cirebon karena Raja Pajajaran pada saat itu menolak untuk di-Islamkan, agama "resmi" kerajaan yang dianut saat itu adalah agama Sunda (Sunda Wiwitan?). Konon agama Sunda memang tidak mensyaratkan untuk membangun tempat peribadatan khusus, oleh karena itu maka sisa-sisa peninggalan yang berupa bangunan mirip candi hampir tidak ditemukan di Jawa Barat.<br /><br />Pada saat pembumihangusan, raja terakhir kerajaan Pajajaran yang bernama Raga Mulya (1567 – 1579) ikut tewas terbunuh dan sebagian dari para pangeran yang tidak terbunuh lari menuju pakidulan, Selatan Bogor (desa Sirnaresmi di sekitar Pelabuanratu) untuk kemudian menuju ke arah pakulonan, menuju ke Barat (sekarang propinsi Banten), menurut cerita ada anggapan bahwa kemungkinan mereka inilah yang menjadi cikal bakal dari masyarakat Badui yang kita kenal sekarang.<br /><br />Prasasti Batutulis dibuat oleh Prabu Surawisesa pada tahun 1533 M dengan maksud memperingati jasa-jasa ayahandanya Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi yang sakti. Selain itu di Batutulis tersebut adalah tempat upacara dilantiknya raja-raja Pajajaran yang disebut dengan upacara Kuwerabhakti.<br /><br />Sri Baduga Maharaja adalah raja Pajajaran terbesar yang memerintah dari tahun 1482 sampai 1521 M. Pelantikan Sri Baduga Maharaja sebagai raja Pajajaran itu sendiri dilakukan pada saat Sri Baduga Maharaja memindahkan ibukota kerajaan dari Galuh ke Pajajaran (Bogor) pada tanggal 3 Juni 1482. Maka tanggal itulah yang kemudian secara resmi oleh pemerintah ditetapkan sebagai hari jadi kota Bogor, walapun ada juga yang mengganggap bahwa tanggal tersebut terlalu "muda" untuk dijadikan penetapan hari jadi sebuah kota sesusia kota Bogor.<br /><br />Konon kehancuran kerajaan Pajajaran disebabkan pula oleh adanya penghianatan dari "orang dalam" yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Raga Mulya (Suryakancana). Setelah kehancuran kerajaan Pajajaran pada tahun 1579 dan larinya para pangeran kerajaan maka terputuslah sejarah kerajaan ini. Sesuai tradisi, kursi singgasana milik kerajaan Pajajaran oleh Maulana Yusuf ikut diboyong menuju Banten yang secara simbolis menyatakan bahwa kerajaan Pajajaran tidak akan berdiri lagi. Inipun menandakan bahwa kekuasaan kerajaan Pajajaran sebenarnya telah beralih ke Maulana Yusuf dari Banten. Terlebih dengan berdirinya VOC beberapa tahun kemudian yaitu tahun 1602 yang memanfaatkan perbedaan pendapat dan perpecahan diantara kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia, maka berakhirlah sudah masa kerajaan Pajajaran.<br />Pada tahun 1681 Belanda menandatangani kesepakatan dengan kesultanan Cirebon dan tahun 1684 Belanda menandatangani kesepakatan dengan kesultanan Banten. Maka ditetapkanlah batas wilayahnya yaitu sungai Cisadane, untuk itu dilakukan sebuah ekspedisi untuk mencari sisa-sisa kerajaan Pajajaran pada tahun 1687 seperti diceritakan diatas.<br /><br />Cerita ini sebagian bersumber dari catatan dan fakta sejarah dan sebagian lagi dari sebuah cerita yang diceritakan dan diceritakan lagi serta diceritakan lagi secara turun temurun oleh para pangeran kerajaan yang berhasil melarikan diri hingga kemudian cerita ini berubah menjadi sebuah cerita rakyat dan kemudian ada yang berkembang menjadi sebuah mitos.<br /><br />Tidak seperti kisah sejarah "versi pemerintah" yang terdapat dalam buku-buku sejarah SD, SMP dan SMA bahwa yang selama ini selalu disebut-sebut sebagai awal mula peradaban di Indonesia (pulau Jawa) adalah Kerajaan Mataram kuno. Dalam buku sejarah "versi pemerintah" tersebut sedikit sekali tulisan tentang kerajaan Tarumanagara bahkan kerajaan Pajajaran tidak disebutkan samasekali. Maka dalam uraian singkat ini kami mencoba menggali lebih dalam lagi ke masa sebelum adanya Kerajaan Mataram agar tidak ada fakta sejarah yang diputarbalikan hanya demi sebuah kepentingan segelintir orang.<br /><br />Demikian sejarah singkat kota tua Bogor. Tulisan ini memang hanya menceritakan dari awal sejarah dapat terungkap sampai dengan hari jadi kota Bogor. Kesalahan serta kurang lengkapnya nama, tahun dan lokasi kejadian sejarah bukanlah sebuah kesengajaan tapi semata-mata karena kurang lengkapnya referensi kami.<br /><br />Silsilah kerajaan di Jawa Baratopenmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-57700703736985688392008-09-01T13:34:00.000+07:002008-09-01T13:35:26.756+07:00A Rhetorical AnalysisA Rhetorical Analysis of the Discourse of<br />Advertising Herbal Medicine in Southwestern Nigeria<br />Adeyemi Adegoju (Ile-Ife)<br /> <br />Introduction<br /><br />The present researcher grew up in southwestern Nigeria, as an elementary school pupil in the late 1970's, to the consciousness of the advertisement of herbal medicine at strategic locations such as roadsides, markets and motor parks in major towns and cities where the attention of passers-by could easily be attracted. A major channel of reaching the prospective consumers at such settings was the suspension of blaring loudspeakers on the top of stationary vehicles. Although this advertising channel still subsists, a new trend in the advertisement of herbal medicine in modern times is the aggressive marketing drive in both the print and electronic media. Commenting on this, Komolafe (1998: 71) writes:<br />In recent times, a lot of interest and attention have been drawn to the curative claims and norms (ethics) of Traditional Medicine practitioners in Nigeria. Curative claims by herbalists and Traditional Healers have been headline news in our print and electronic media [...].<br /><br />This innovation is remarkable in certain respects. First, it resonates with the revival of interest in herbal healing in modern-day health care delivery. Second, the choice of the mass media channels of radio, television and news magazines as opposed to the traditional channel of reaching only a limited number of audiences is a welcome development in the bid to raise the level of awareness on the place of herbal therapy in modern health care delivery. In the light of the foregoing, this study calls attention to a vexed question that has generated so much interest among scholars (cf. van der Geest 1997, Offiong 1999, Olson 2006 and Iroegbu 2006). While these scholars, among others, focus on the place of herbal medicine in basic health services, little or no attention is paid to the rhetorical style of herbal medical practitioners in launching their products. It is against this backdrop that this article examines the deployment of persuasive techniques to launder the image of herbal medical practitioners and affirm the efficacy of their products, on the one hand, and to negatively label orthodox medicine and its place in the health care system, on the other hand.<br /><br />It is useful here to sketch out the rest of the study. After this introduction, we provide information on the data sampled for the study. We then proceed to give an overview of the art of herbal healing. Next, we highlight the rhetorical principles that underpin the study. It is on this note that we go ahead to exploring the rhetorical dynamics of the therapeutic discourse of marketing herbal medicine. Finally, we give the concluding remarks of the study.<br /><br />The Data<br /><br />The data sampled for this study span both the electronic and print media. For the electronic media, we focus on jingles on radio and television. Apart from such jingles, we also consider special programmes where the advertisers buy airtime that covers at least a quarter-hour or a half-hour slot. Such programmes sometimes involve interview sections where the advertisers field questions from presenters and in some cases the advertisers do the talk alone. The jingles and sponsored programmes are drawn from radio and television stations based in the southwestern Yoruba-speaking states of Nigeria. This delimitation is not an attempt to single out the healing culture of a particular ethnic group for discussion or promote it over and above the healing cultures of other ethnic groups in Nigeria. It is noteworthy that the advertisers sampled in this study would rather pride on their products being of African origin than attempting to whip up ethno-cultural sentiments within Nigeria. Thus, the appeal to a larger trans-national (African) identity even in the national news magazines where we have selected paid advertorials clearly sets the tone for the rivalry between traditional African medicine and conventional western medicine. In this regard, Kayode (2006: 44) posits: "Health care systems differ from one society and from one age to the other. The most obvious differences can be observed between the western health care system and the traditional African system."<br /><br />As to the sample data from the print media, we use select paid adverts in national news magazines – Tell and The News – where the advertisers of herbal medicine seem to have preference for advertising their products. It is interesting to note, however, that there is a considerable degree of overlap between the advertisements across the print and electronic media so much so that focusing on one for analysis would not detract significantly from the patterns of discourse functions which generally characterize the data from the two media. On a final note, we specify the range of the diseases which the herbal medical practitioners claim to have cure for. Such diseases include obesity, diabetes, asthma, arthritis, fibroid and low sperm count. Others are infertility, sexually transmitted diseases (STDs), epilepsy, tuberculosis and prostrate, among others. Having made these basic clarifications, we will have an overview of the art of herbal healing.<br /><br />Herbal Therapy<br /><br />Herbal healing is almost as ancient as history itself, as the knowledge acquired in the field of natural medicine has been passed down through the generations and survive to this day (Morgenstern 2002). Herbal healing is a system of medical treatment in which various parts – leaves, barks, roots, seeds, fruit, latex and resin – of different plants are used in order to treat symptoms and promote good health.<br /><br />Although there are no written records of the origin of herbal practice in Africa south of the Sahara, there are several legends that have been passed down from generation to generation primarily through oral means. Different ethnic groups in Africa have their own legends about the origin of herbal medicine in their own societies. Babalola (2003) draws on a Yoruba legend which explained that the first man to practise the art of herbal healing was Orunmila who was endowed with this knowledge by God.<br /><br />The use of herbal medicine has reached an advanced stage in Asia. In China, for instance, herbal treatment has attained a high level of scientific and technological formulation 1. This is a great challenge to herbal medical practitioners in other parts of the world, especially those in Africa. To this end, Olapade (1998: i) argues:<br />There has been a global resurgence of interest in Traditional Medicines in the last ten years probably because many of the known synthetic drugs in allopathic medicines for the treatment of various ailments are failing or that the causes of these various diseases are developing resistance to the known drugs.<br /><br />Little wonder then that a new class of herbal medical practitioners has emerged in Nigeria, professing to be well talented, educated and versatile in formulating and modernizing herbal medicine. They also claim that their activities have been under control and monitoring by relevant bodies such as the Nigeria Natural Medicine Development Agency and National Agency for Food and Drugs Administration and Control. With this background information, we now highlight the basic tenets of the rhetorical theory that underpin our analysis.<br /><br />Theoretical Model<br /><br />Studies in persuasive speaking basically require an exploration of the art of rhetoric. With close reference to the advertising industry, we posit that the principles of rhetoric in persuading the audience to act or think in the desired manner of the advertiser are noteworthy. Thus, we explicate Aristotle's work on rhetoric which was a remarkable departure from earlier works. Such earlier works had neglected the all-important subject matter of proofs and confined themselves chiefly to appeals to the emotions and things irrelevant to the subject. Aristotle's contribution to the art of rhetoric marked a systematic and scientific orientation to the rhetorical theory (Freese 1959).<br /><br />Aristotle defined rhetoric "as the faculty of discerning the possible means of persuasion". The speech, according to Aristotle, can produce persuasion either through the character of the speaker (ethos), the emotional state of the listener (pathos) or the argument (logos) itself. Rapp (2002) explains that the persuasion is accomplished by character when the speech is delivered in such a way as to render the speaker worthy of credence. He further explains that the success of the persuasive efforts depends on the emotional dispositions of the audience. Thus, the orator has to arouse emotions because emotions have the power to modify our judgements. Finally, the rhetor persuades by the argument itself when he or she demonstrates or seems to demonstrate that something is the case.<br /><br />Aside from the three means of persuasion, there are three kinds of rhetorical speeches, deliberative, forensic and epideictic. In the deliberative kind of speech, the speaker either advises the audience to do something or warns against doing something. Rapp further explains that accordingly, the audience has to judge things that are going to happen in the future and have to decide whether they will cause advantage or harm. The forensic speech either accuses somebody or defends self or someone. Naturally, this kind of speech treats things that happened in the past. In the final analysis, Rapp (2002) explains that while the deliberative and forensic species have their context in a controversial situation in which the listener has to decide in favour of one or two opposing parties, the third species does not aim at such a decision. The epideictic speech praises or blames somebody, as it tries to describe things or deeds of the respective person as honourable or shameful.<br /><br />A persuasive speech, we must emphasize, always occurs in a situation where two or more points of view exist. According to Lucas (1992: 309), "there must be a disagreement, or else there would be no need for persuasion". Given this viewpoint, persuasive speeches centre on four types of arguments or propositions: propositions of fact, value, policy and concern about a problem. O'Hairr et al. (1975: 581–582) explain that propositions of fact assert that something is true or false; propositions of value allege that something is or is not worthwhile; propositions of policy recommend a course of action or policy as necessary and desirable (or unnecessary and undesirable); and the speech designed to create concern about a problem asks an audience to agree that specific conditions should be perceived as a problem requiring solution. We must, however, drop the hint that the classification into these categories is often eclectic as a topic in one category could easily be made to fit into another.<br /><br />Granted the sensitive and universal nature of the concepts of health, disease and (type of) healing in human life, the propositions or arguments described above predominate the persuader's intent to modify, influence, shape and (if possible) change the beliefs, attitudes and behaviour of the audience as we shall see presently in our discussion.<br /><br />Discussion<br /><br />One of the rhetorical strategies employed in advertising herbal medicine in the discourse is source credibility. The advertisers appear to be credible by displaying practical intelligence and knowledge of herbal healing. While attempting to propagate their credibility, they reel off the symptoms of diseases, while on air, in such a clinical manner that the viewer/listener cannot but marvel at the depth of their erudition. Worthy of note is the way the herbal physicians pontificate, giving the impression that they are well versed in pathology and could, therefore, diagnose the patients' diseases even before interacting with them one-on-one.<br /><br />This is a rhetorical strategy geared not only at convincing the audience of their competence but also at refuting the perceived opponents or critics of herbal medicine who negatively label herbal medical practitioners as local, shallow and illiterate. In fact, some of the advertisers refute their opponents by claiming that they embark on research activities before formulating their drugs, that they possess certain specialized equipment and other laboratory facilities for diagnosing patients' diseases and that they repackage their products in form of tablets, capsules and syrups. These claims have some rhetorical effects. First, the advertisers seek to emphasize their own methods of herbal healing which are backed by scientific proof and, therefore, have diverged from the traditional methods of herbal preparations such as concoction, decoction, infusion, powder and dried herbs mixed with food. Second, they serve to demystify contemporary herbal healing as being devoid of ritual/occult practices and divination. Finally, the advertisers try to strike a parallel between the practices of herbal healing in Africa with advances in Asian countries like China and India, on the one hand, and with western medicine, on the other hand. This is an example of a parallel case argumentation in which comparisons are drawn between two entities to underscore areas of similarities or dissimilarities.<br /><br />In order to further make themselves worthy of credence, the advertisers try to appeal to wide geographical spread. Those with limited airtime on radio and television may not be able to read out where all their offices or clinics are located. So, they use such spatial deictic forms as "different locations in Nigeria" or "across the nation", "worldwide", "within Nigeria and overseas". In the news magazine, however, there is the display of plethora of addresses that span major cities and towns in Nigeria. In some cases, some of the advertisers claim to have offices/clinics in London, the United States of America, Switzerland, and so on. Moreover, some claim to have been connected to the global village by displaying their websites on the Internet. All of these claims tend to underscore the herbal practitioners' quest for acceptability.<br /><br />Besides the strategies above, the advertisers attempt to establish credibility by answering such appellations as "Dr", "Prince" and "Chief". As regards the use of "Dr", the advertisers try to draw a parallel between themselves and the practitioners of orthodox medicine, particularly in Nigeria, who are identified with the title 'Dr'. The use of this title generally suggests that the bearer is competent in the diagnosis and treatment of ailment. Therefore, the title confers legitimacy on the herbal medical practitioners as specialists that have undergone training in the art of herbal healing and can, therefore, be entrusted with human life. On the contrary, the use of "Chief" and "Prince" in a traditional society has some implications. Chiefs and Princes are supposedly men of honour and integrity who can be entrusted with great responsibilities in society. The rhetorical factor that is brought to bear here is 'character' which is described by Lucas (1992: 326) as "how an audience regards a speaker's sincerity, trustworthiness, and concern for the well-being of the audience".<br /><br />In some instances, the use of the titles is closely linked to the advertisers' pride in their pedigree in the art of herbal healing. The advertisers usually claim to have inherited the art from their grandfathers or fathers whose healing artistry was extolled as being unrivalled in their days. This is a case of rhetorical appeal to "hereditary endowment" for any trait that is inherited is generally believed to be more enduring than that which is learnt.<br /><br />All in all, the trail-blazing or landmark efforts that the advertisers claim to have made in their own rights in the bid to chart a new and noble course for herbal therapy is summarized in slogans and catchphrases that are attached to their herbal homes. The following are examples:<br />Yemkem International: The Pathfinder and Leading Name in Curative Medicine<br />Ayodele: The Pioneer in African Naturopathic Medicine<br />Kolaq: The Pacesetter<br /><br />Rhetorically, the use of the nominals "pathfinder", "pioneer" and "pacesetter" suggests that herbal healing has been transformed and that some personnel is in the vanguard of the innovation. In addition, the use underlines the kind of rivalry that thrives even among the herbal medical practitioners and the attempt made by each of them to project self as "first among equals".<br /><br />Appeal to motivational proof also serves some rhetorical functions in the discourse. O'Hairr et al. (1975: 585) argues that "at the heart of persuasion is the ability to adapt a message to the feelings, needs, and values of an audience". Advertisers create some needs that the audience would certainly like to meet. In the present discourse, playing on the audience's emotions, especially the desire for things as they used to be is apparent. The advertised herbal product is usually presented as capable of restoring people to their former state of health. This is particularly the hub of the advertisement of herbal medicine when we consider the inevitable transitoriness from sound health to a diseased condition for which the patient would naturally desire healing.<br /><br />The advertisers' bid to launch herbal medicine as an antidote in restoring normal health, especially where conventional medicine has supposedly failed is interesting. Consider the following excerpts:<br />Many victims complain of having visited several hospitals and clinics yet could not get cure for their staph. The reason is that they did not use right medication in the first place. Such people use antibiotics and injection which can hardly cure staph aureus but suppresses it because the herbal medicine is the best for it.<br /><br />(The News, February 14, 2005: 9)<br /><br />Herb and root are the best treatment to avoid re-occurrence, [sic] because it cannot be cured with ejection [sic] or any antibiotic only. Because this bacteria's [sic] called staphylococcus have developed resistance to all form of western antibiotics.<br /><br />(The News, July 25, 2005: 9)<br /><br />In the above extracts, the advertisers use the "We are different and unique" claim which, according to Schrank, "states that there is nothing else like the product being advertised". Schrank further explains that the claim is supposed to be interpreted as a claim to superiority. Here, the advertisers juxtapose both orthodox healing and herbal healing methods and ascribe a claim of superiority to the efficacy of herbal therapy. This attempt lends credence to the spirited touting of herbal products as 'alternative' therapy to orthodox medicine. This claim brings to bear a dominant propaganda technique in advertisement known as 'compare and contrast' where the viewer/listener is led to believe that one product is better than another although no real proof is given.<br /><br />One would expect that the present discourse that makes health or safety claims would be supported by competent and reliable scientific evidence that has been evaluated by certain personnel or bodies qualified to review it to prove where, how and why orthodox medicine has failed, on the one hand, and where, how and why herbal healing makes up for the inadequacies, on the other hand. That the advertiser in the first extract above draws on the statements of patients dissatisfied with orthodox medicine – "Many victims complain of having visited several hospitals and clinics yet could not get cure for their staph" – is not sufficient to support a health or safety claim that requires objective evaluation. It must be hinted, at this point, that Nigeria is such a society where people abuse drugs a lot by just walking up to a chemist to buy drugs on self prescription and even when medical assistance is sought, quacks could have been consulted. Statements obtained from such patients would not be sufficient, therefore, to disprove the efficacy of orthodox medicine. The claim that herbal medicine is the best treatment is not convincing moreso that the word "best" belongs to the class of words referred to as 'glittering generalities' commonly used in advertisements. Glittering generalities are important-sounding 'glad words' that have little or no real meaning and when they are used, they demand approval without thinking simply because such an important concept is involved. This takes us to another common propaganda strategy used in advertisements referred to as 'assertion'. An assertion is an enthusiastic and energetic statement presented as a fact, although it is not necessarily true. So, by claiming that herbal therapy is the best without providing evidence for this, the advertisers are using an assertion, in the hope that the subject would simply agree to the statement without searching for additional information or reasoning.<br /><br />Apart from labeling orthodox medicine negatively, orthodox medical practitioners are also sometimes portrayed in inhuman and unprofessional images by the advertisers of herbal products. Consider this utterance culled from a herbal home's advertisement: "From now on, no doctor can sentence you to death". Naturally, a doctor supports life as a demonstration of his/her human feelings and professional ethics. But since doctors that do not use herbal products supposedly find it difficult to cure certain diseases, the advertisers of herbal products malign them in a most disparaging image of sentencing innocent people to death in the hospital (a place where life should be saved as opposed to a law court where convicted criminals are sentenced to death by the judge). This apparent transposition of actions across divergent fields makes the attack message a forceful one. This is a propaganda technique known as 'name-calling', as negative words are used to create an unfavourable opinion of orthodox medical practitioners in the audience's minds. Meanwhile, the herbal medical practitioners put up a messianic posture in expressions like: "There is permanent cure for your diseases"; "Fibroid. No operations simply take our herbal products"; "All treatments with natural herbs without side effects." These utterances also bring to bear another propaganda technique called 'euphoria'. It is the use of an event to generate happiness or euphoria or to boost morale.<br /><br />In doing so, the advertisers employ the advertising trick called the black/white fallacy. According to Taflinger (1996a), a common way in which this trick is used in advertising is by presenting two situations, one with the product and the other without. The one with the product shows circumstances that the advertiser presumes the target audience would like to be in, and vice versa for the situation without the product. For instance, in the above extracts, the situation with the herbal products promises relief from the worries and pains of perceived incurable diseases and gives hope of cure. In particular, the claim that the advertised herbal products have no side effects is not medically convincing. Speaking generally, every drug that is exogenous to the body system has the tendency to cause certain reactions in the system. There have been reported cases of people reacting to 'ordinary' food such as beans and maize, and even vegetables. By genetic variations, there could be some idiosyncratic reactions; what patient A does not react to may cause adverse reactions in patient B. Therefore, the claim by herbal practitioners that their herbal medicine has no side effects may not be true if the particular drugs about which the statement has been made have not been put to clinical trial and subjected to peer review whereby feedback from patients would be objectively considered. Even the medical parlance 'side effect' among experts is no longer popular, as the expression 'adverse effect' is more scientifically defensible; for every drug has side effect(s) but there are degrees of the effect(s) up to the level to which some could be described as adverse.<br /><br />Evoking pride in one's origins or cultural heritage is a strand of the motivational strategies in the discourse. The advertised herbal products are usually identified as indigenous African products and they need to be so patronized to affirm the consumer's sense of pride in locally made products. This is a solidarity-engineering technique to bolster up the feeling of in-groupness in the Us (African) group while trying to stir up feelings of disenchantment with the Them (Western) group. Let us consider the following:<br />It's a new dawn in Africa [...] Times have changed. Africa has come of age. With Ayodele Clinics and the power of African medicine, there are no mysteries about ailments anymore in Africa.<br /><br />(Tell, August 29, 2005: 15)<br /><br />Here, there is the use of the propaganda technique of appeal to prejudice, as emotive terms are used to attach value or moral goodness to believing the proposition. The sense of pride evoked here is tied to the origins of the products. In fact, in the extract above, the herbal medical practitioner has to coalesce his own identity (personal) with that of a larger cultural (African) identity for acceptability. The advertising strategy used here is called genetic fallacy. It makes a prediction about something based on where it came from or its origins.<br /><br />We must, however, be wary of instances of the abuse of this strategy as evident in the following extract:<br />African ailments are born out of African<br />problems which need only African solution.<br /><br />(Tell, March 7, 2005: 17)<br /><br />The extract above, though found in an advertising discourse, bears a striking semblance of claims in postcolonial writings in African Literature where postcolonial writers strive to debunk Eurocentric universalism which takes for granted both the superiority of what is European or Western, and the inferiority of what is not. Such a statement would then be made in an attempt by the colonized people to find a voice and an identity in an attempt to reclaim their own past and then erode the colonialist ideology by which the past had been devalued. However, granted the cross-cultural interactions within the contact zone of the now globalised world, 'cultural polyvalency' would be more beneficial to humanity as opposed to the politics of polarity. This takes us to the concept of 'hybridity', one of the most disputed terms in postcolonial studies. The term 'hybridity' has been most recently associated with Homi Bhabha. In his piece, "Cultural Diversity and Cultural Differences", Bhabha argues that all cultural systems and statements are constructed in what he calls the "third Space of Enunciation" where claims to the inherent purity and originality of cultures are "untenable". Thus, Elizabeth Laragy argues that "Bhabha urges us into this space in an effort to open up the notion of an inter national culture 'not based on exoticism or multi-culturalism of the diversity of cultures, but on the inscription and articulation of culture's hybridity'" 2. Thus, claiming that African problems require only African solutions is in furtherance of the racial practice of cultural exclusivity.<br /><br />With close reference to the argument put forward in the extract in question, there is the error of hasty generalization in lumping together all ailments as African here. Come to think of it, are obesity, hypertension, fibroid, diabetes mellitus, infertility and the like which the advertisers claim to have cure for really African ailments? Medically, it has been proved that ailments which can be said to be truly African are malaria which is commonly found in the tropics and sickle cell anaemia which is typically African by genetic composition. Thus, if these diseases have been specifically mentioned as African ailments and, therefore, African problems for which the herbal medical practitioners are proffering solutions in the African way, the argumentation will be quite valid.<br /><br />Undoubtedly, it has been discovered that there could be some ailments in the African environment that have proved resistant to synthetic drugs. The success of African Traditional Medicine in such areas where the orthodox medicine has failed has been emphasized by Olapade (1998), Babalola (2005) and Kayode (2006). This is a much-touted opinion in the discourse of advertising traditional medicine in the bid to underlie its place in making up for the so-called inadequacies of orthodox medicine. The way such an argument is generally advanced, however, more often than not tends to discard orthodox medicine as a viable therapy for other ailments. This is an error of attack in propaganda known as 'poisoning the well', where a speaker is so committed to a position that he/she explains away absolutely everything that others offer in opposition.<br /><br />The way the advertisers stir up nostalgic feelings in the audience is also noteworthy. Consider the following:<br />Since the dawn of time, man has understood which leaves, fruits, seeds and roots of plants around him were beneficial for the maintenance of health and effective for the remedy of different ailments that he suffers from.<br /><br />(The News, April 11, 2005: 15)<br /><br />The trick of advertising here is referred to as argumentum ad vercundium. It is an appeal to tradition and authority in support of some contention. According Taflinger (1996b), the use of the fallacy is suggestive of the popular saying: "As it was in the beginning, is now and ever shall be". This is an appeal to the earliest beginnings to counter Eurocentric claims, for example, that Africa had no past, no (healing) culture and therefore no civilization before the introduction of western (healing) culture.<br /><br />The place of evidence, that is, information used as logical proof by a persuasive speaker also deserves careful analysis in the discourse of advertising herbal products. According to O'Hairr (1975: 594), "Evidence in whatever form it takes, increases the persuasiveness of a message [...] highly credible evidence sources are more persuasive than less credible sources." For our present purposes, we shall focus on examples, statistics and testimony as forms of evidence.<br /><br />The use of examples creates vivid images in the minds of receivers. Lucas (1992: 122) argues:<br />Research has shown that vivid, concrete examples have more impact on listeners' beliefs and actions than any other kind of supporting material. Without examples, ideas seem vague, impersonal, and lifeless. With examples, ideas become specific, personal and lively.<br /><br />One kind of example recurrent in the discourse is extended example which involves the use of anecdotes. Recounting an anecdote falls under the rhetorical strategy known as 'narration'. Let us consider the following extract:<br />There have been bizarre cases in our clinics recently which I know no foreign products would have been able to handle. Take for instance a woman who suffered what was diagnosed in the hospital as kidney problem. After a protracted battle using synthetic drugs and those foreign stuffs, the lady was confined to hospital bed [...] We gave her some herbal preparations which made her belch and this cleared all the impurities.<br /><br />(Tell, March 7, 2005: 17)<br /><br />By presenting this anecdote, the advertiser is able to keep the hope of the audience alive, giving the impression that if others got healed by using the advertiser's herbal products, the audience could also experience the same. Using such an appealing event to boost the morale of the audience, as we pointed out earlier, is a case of the use of 'euphoria'. But we should quickly note that the advertiser may just be saying what would interest the audience in order to sway them. This is because examples are either factual or hypothetical. They are factual if the incidents they refer to really happened, while they are hypothetical when they describe an imaginary situation. In view of the fact that the goals of seeking popularity with the people and achieving specific commercial objectives cannot be completely ruled out in the external world of reality, the anecdote the advertiser uses here could be hypothetical just to defraud the audience. As a matter of fact, one must not gloss over the use of the rhetorical strategy 'absolute certainty' in the expression "[...] which I know no foreign products would have been able to handle" which gives the writer's statement an indisputable air. We have to emphasize the fact that knowledge is relative; what the advertiser claims to know here within the limits of his knowledge and exposure may not be tenable when subjected to further tests.<br /><br />The advertisers of herbal products also employ testimony. According to Lucas (1992: 135–136), we could have expert testimony, that is, testimonies from people who are acknowledged authorities in their fields and peer testimony, that is, opinions of ordinary citizens who have first-hand experience on the subject. We shall consider an excerpt here on expert testimony.<br />Tens of thousand who have suffered acute obesity, diabetes, rheumatism, high fever, anemia, fibroid, skin disorders, peculiar ailments, etc., have always attested to the efficacy of these drugs which have been certified by NAFDAC.<br /><br />(Tell, September 5, 2005: 14)<br /><br />In this testimony, two salient issues are brought to the fore. First, the reference to the numerical strength "tens of thousands" invokes the propaganda technique of 'bandwagon' which is an attempt to persuade the target audience to join in and take the course of action that everyone else is taking. Calling on the audience to join the crowd reinforces people's natural desire to be on the winning side. Thus, crave for herbal therapy is presented here as an irresistible mass movement and it is in the best interest of the audience to join. The use of statistics in the discourse creates a definite rhetorical effect. No doubt, we live in an age of statistics but we must be wary of its use for there is usually more to statistics than meets the eye. Darrel Huff cited by Lucas (1992: 128) argues that although numbers do not lie, they can easily be manipulated and distorted. In the extract above, the advertiser's reference to "tens of thousands" who have attested to the efficacy of the advertiser's products sounds rather dubious moreso that there is no way the audience could test or confirm the figure.<br /><br />Other examples of the ab/use of statistics in the discourse include "Our guarantee is 100%", "100% herbal ingredients", and "The medicine will increase sperm count from zero to 85 million". By projecting such staggering figures, the advertiser is trying to give an air of scientific precision that the audience cannot judge for themselves. We have to point out here that the advertisers of herbal medicine seem to borrow the style characteristic of orthodox medical discourse that thrives on scientific proofs based on tests and studies that are statistically driven. But where it can be said in orthodox medical discourse that adequate surveys and tests must have been carried out not just by an individual but in most cases a team of researchers before arriving at statistical data, this cannot be said of herbal medical practice which thrives mainly on idiosyncratic strides, the processes of which are not readily amenable to empirical verification. However, the technique of using statistics here can be linked to the concept of 'intertextuality' which reminds us that each text exists in relation to others. According to Allen (2005: 1):<br />The fundamental concept of intertextuality is that no text, much as it might like to appear so is original and unique-in-itself; rather it is a tissue of inevitable and to an extent unwitting, references to and quotations from other texts. These in turn condition its meaning; the text is an intervention in a cultural system.<br /><br />The second interesting issue that their drugs have been certified by the National Agency for Food and Drugs Administration and Control (NAFDAC) needs to be critically examined. It is interesting that most of the advertisers of herbal products claim that their products have been certified by NAFDAC and, therefore, carry NAFDAC REGISTRATION NUMBER – a semiotic label that has become a stereotype in Nigeria's food(drinks) and drugs industries. The word 'stereotype', according to Quasthoff (1978: 3), could mean "something like 'constantly repeated', 'meaningless' with respect to verbal clichŽs". This is the sense in which we treat the constant NAFDAC REGISTRATION NUMBER in the present situation and in wider national discourse. In this situation, we do not intend to discredit NAFDAC whose achievements under the leadership of Professor Dora Akunyili have been unprecedented:<br />The achievements of the agency under the dynamic leadership of Akunyili are outstanding and encouraging. NAFDAC is now a household name, as her aggressive crusade against fake, counterfeit drugs and unwholesome processed foods has reached the grassroots. Consumers now scrutinize regulated products for the manufactured, expiry dates and NAFDAC registration numbers.<br /><br />(The News, August 22, 2005: 9)<br /><br />It is against this backdrop that manufacturers (not only of herbal products) in Nigeria now attempt to legitimize their products by attaching the ritualistic NAFDAC REGISTRATION NUMBER as the seal of marketability and attendant consumption to them. Although NAFDAC has a directory of certified products, desperate manufacturers could still fake the NAFDAC REGISTRATION NUMBER to deceive the consumers.<br /><br />Another kind of testimony employed in the discourse is the celebrity testimonial. This is in tandem with the 'Endorsement or Testimonial claim'. According to Schrank, "a celebrity or authority appears in an ad to lend his or her stellar qualities to the product". For example, popular musicians, actors and actresses are used to advertise herbal products. Obesere, a popular Fuji musician in Nigeria, endorsed 'Energy 2000' prepared by Yemkem Herbal Home. What is interesting about the use of this claim is that the celebrities usually claim to use the product but we know very often they do not. The reality of the situation is pictured by Lucas (1992: 139) that the celebrities must have been paid "large sums of money to be photographed with the product in hopes that their popularity will rub off on the product".<br /><br />The perceived status of the celebrities and the kind of environments/settings where they are photographed serve some rhetorical functions. In the advertisements, especially on television, men dress corporately in shirt, tie and suit while women dress corporately as well in skirt(suit) and blouse/shirt or in trendy native wears. To complement all of these, the setting or environment where they interact is usually a banking hall or an office space. The dress code and the setting are semiotically deployed to give the impression that herbal products are not consumed by only rural dwellers; the elite in the cities also use them.<br /><br />On a final note, the deployment of temporal deictic forms in the discourse is rhetorically compelling. Consider the following:<br />From now on no doctor can sentence you to death.<br />Time past, it was unending confinement to hospital bed [...] But now times have changed.<br />[...] Get ready for a unique experience of the power of African<br />medicine as never before.<br />It's a new dawn in African medicine.<br /><br />(underlining mine)<br /><br />All of these underlined expressions and others such as "before", "now", and "over the ages", are used to capture the transitional phases in the development of African medicine, on the one hand, and the supposed displacement of orthodox medicine by herbal therapy, on the other hand. Time, therefore, becomes an important variable in the discourse. In some cases, advertisers seem to abuse such temporal deictic forms while attempting to underscore the efficacy of their products. The following examples will suffice:<br />Lose 10kg in five days.<br />Treatment for diabetes under one month.<br />Penis enlargement within one month.<br />We have herbal supplement that reduces blood sugar in two weeks.<br />Gonorrhea: This disease is cured within 24 hours with our herbal solution.<br />Increase in sperm count could be attained within 72 hours after proper medication has been administered.<br /><br />Given the amazingly short time frame within which the advertisers promise to heal diseases and the attendant tone of finality even when the state of the patient has not been determined, we are compelled to call attention to the exaggerative power of the advertisers in the discourse. Thus, we comment on the role of hyperbole as a pragmatic strategy in advertising herbal products. Leech (1983: 145) explains that hyperbole 'refers to a case where the speaker's description is stronger than is warranted by the state of AFFAIRS DESCRIBED [...]' To Swartz (1976: 101) "[...] hyperbole provides a means of focusing on specific aspects of reality (whether social or physical) in such a way as to bring about awareness of values and norms associated with those aspects in an emotionally charged way."<br /><br />The use of hyperbole would normally violate the maxim of 'quantity' in Grice's cooperative principle. According to Grice (1999), the category of Quantity relates to the quantity of information to be provided and under it fall the following maxims:<br />1. Make your contribution as informative as is required (for the current purposes of the exchange).<br />2. Do not make your contribution more informative than is required.<br />(Grice 1999: 78)<br /><br />As seen in the way herbal medical practitioners advertise their products, they flout the maxim of quantity by sounding rather hyperbolic in their claims. This lends credence to Komolafe's (1998: 71) view: "In a state of professional anxiety and insecurity, the Traditional Healers ignorantly and at times intentionally make sensational or headline news with wrong unproven claims of curative ability." This is why critics of herbal medicine have descended heavily on the practitioners that they sometimes claim feats beyond their capabilities, a disposition that can make the unwary patient complacent until more damage is done. Giving herbal practitioners a hard knock, the critics see some of them as charlatans who do not have knowledge of effective treatments they claim they can cure (Danesi 1998).<br /><br />Concluding Comments<br /><br />We have hitherto examined the persuasive techniques employed by medical practitioners in advertising their products. The discussion focuses on the deployment of propaganda techniques such as bandwagon, testimonials, assertion, euphoria, and narration, among others. Besides, the discussion touched on certain rhetorical strategies that make the characters worthy of confidence, and also appeal to the emotions of the audience. Generally, the discussion reveals that the discourse dwells essentially on the four types of arguments or propositions we highlighted at the outset. In the main, the advertisements reflect a general description of a state of affairs in which health matters have truth value (proposition of fact) though ridden with controversial issues. In doing so, herbal healing and orthodox medical practice are evaluated (proposition of value) and the advertisers consider the so-called inadequacies of orthodox medical practice a problem requiring solution (concern about a problem). This informs the projection of herbal therapy as alternative therapy to orthodox medicine (proposition of policy). In advancing these arguments, however, the advertisers have largely engaged in marketing hype. It is interesting that herbal medical practitioners never present their products as those that can control, manage or suppress (symptoms of) diseases. It is permanent cure all the way! Besides, their products are never presented to the consumers as having any side effects. There is, therefore, the overriding effect of the rhetorical strategy of 'absolute certainty' that pervades the discourse. On the contrary, the advertisers embark on the spirited effort at challenging the efficacy of western medicine, thereby creating discontentment with the conventional products that the audience already knowsopenmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-30425038765179313152008-09-01T13:25:00.000+07:002008-09-01T13:26:53.332+07:0010 tokoh sastra sunda berpengaruhSEJAUH dapat dilacak, buku atau penelitian tentang tokoh sastra Sunda yang telah diusahakan masih bisa dihitung jari. Sekadar contoh, penelitian Tini Kartini dkk. yang berjudul Biografi dan Karya Sastrawan Sunda Masa 1945-1965 (1978), Yuhana dengan Sastrawan Sunda (1979), Daéng Kanduruan Ardiwinata, Sastrawan Sunda (1979), dan Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa (1985). Juga Ajip Rosidi dengan Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana (1989). Adapun yang paling mutakhir adalah Ensiklopedi Sunda (2000) dan Apa Siapa Orang Sunda (2003) yang keduanya karya Ajip Rosidi dkk.<br /><br />Dari dokumen yang sedikit itulah, untuk sementara dapat dibentangkan kiprah beberapa tokoh sastra Sunda. Menurut pengamatan saya, sedikitnya ada 16 tokoh yang berpengaruh dalam sastra Sunda yang mewakili zaman dan genre karya yang dihasilkannya. Adapun pemilihan dan penempatan urutan tokoh diniati hanya mengenalkan saja, tidak untuk menilai, apalagi mengesampingkan tokoh lain. Pertimbangannya pun didasarkan pada popularitas dan dominasi hasil karya yang besar pengaruhnya dalam jagat sastra Sunda.<br /><br />Tokoh pertama dan kedua adalah P. H. H. Mustapa (1852-1930) dan Muh. Musa (1822-1886). Keduanya tokoh sastra Sunda terbesar pada zaman kolonial yang banyak menulis dangding dan wawacan. Sekitar tahun 1900-an, misalnya, P.H.H. Mustapa sempat menulis lebih dari 10.000 bait dangding yang kualitas literernya dianggap bermutu tinggi. Selain itu ia pun banyak menulis anekdot dan prosa. Namun kebesarannya baru disebut-sebut pada tahun 1950-an oleh Ajip Rosidi, yang selanjutnya memicu para peneliti untuk mendalaminya. Tahun 1965 P. H. H. Mustapa mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat dan pada tahun 1977 Presiden RI memberikan Anugerah Seni kepadanya sebagai sastrawan daerah Sunda.<br /><br />Sedangkan Muh. Musa (1822-1886) adalah pelopor sastrawan Sunda pada paruh kedua abad 19. Karya-karyanya dalam bentuk wawacan (11 judul) dan prosa (33 judul), baik asli maupun terjemahan, banyak diterbitkan pemerintah kolonial pada waktu itu. Wawacan "Panji Wulung", merupakan salah satu karyanya yang cukup populer di masyarakat Sunda. Berkat jasa dan hubungannya yang baik dengan pemerintah kolonial, Muh. Musa sempat memperoleh medali emas. Muh. Musa pun banyak mengusahakan buku bacaan berbahasa Sunda. Menurut catatan Moriyama (2005), Muh. Musa sedikitnya menerbitkan 14 judul buku yang dicetak pada zaman pemerintah kolonial.<br /><br />Tokoh ketiga dan keempat adalah D.K. Ardiwinata (1866-1947) dan Yuhana. Keduanya tokoh sastra Sunda pada zaman Balai Pustaka yang banyak menulis novel. Baruang ka nu Ngarora (1914) adalah novel pertama berbahasa Sunda yang ditulis oleh D.K. Ardiwinata. Selain itu ia pun menulis dongeng dan banyak menyadur karya-karya pengarang dunia.<br /><br />Pemikirannya yang terpenting adalah bahwa orang Sunda harus banyak menulis prosa ketimbang puisi (dangding) yang sering kali merusak bahasa karena hendak memenuhi aturan pupuh. Adapun Yuhana (nama aslinya Achmad Bassach) adalah pengarang novel Sunda yang karya-karyanya setia diterbitkan oleh penerbit swasta. Tidak tercatat satu pun novelnya yang diterbitkan Balai Pustaka. Novel populernya yang pertama adalah Carios Eulis Acih (1923). Novel tersebut menuai sukses besar pada waktu itu dan sempat dibuat film. Setelah itu keluar novelnya yang lain, seperti Neng Yaya (1923), Agan Permas (1926), dan yang paling terkenal Rasiah nu Goréng Patut (1928) atau lebih dikenal dengan Karnadi Anémer Bangkong karena tokoh utamanya bernama Karnadi.<br /><br />Novel ini dikarang bersama dengan Sukria serta pernah dibuat film. Hal yang membuat Yuhana dapat digolongkan sebagai pembaru sastra Sunda karena karya-karyanya dapat hidup di luar bayang-bayang Balai Pustaka. Meski berbeda gaya dalam berkarya, keduanya berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan novel.<br /><br />Tokoh kelima dan keenam adalah GS dan Tini Kartini (lahir 1933-sekarang). Menurut M.A. Salmun, GS bernama lengkap G. Sastradiredja. Namun menurut R. Éro Bratakusumah, GS bernama lengkap G. Soewandakoesoemah. GS adalah pelopor penulisan cerpen berbahasa Sunda. Dogdog Pangréwong (1930) adalah kumpulan cerpennya yang pertama dalam bahasa Sunda dan merupakan kumpulan cerpen yang pertama terbit di Indonesia. Isinya delapan cerpen bernada humor yang dialog antartokohnya terasa hidup.<br /><br />Selain menulis cerpen, GS pun menulis karangan lepas dalam majalah Parahiangan. Adapun Tini Kartini dapat disebutkan sebagai pengarang wanita cukup kuat dalam cerpen Sunda. Kumpulan cerpennya yang pertama terbit ialah Jurig!, Paméran, dan Nyi Karsih. Selain itu Tini Kartini banyak melakukan penelitian tentang sastra dan sastrawan Sunda. Meskipun keduanya berbeda zaman, namun dalam hal kepengarangannya, baik GS maupun Tini Kartini termasuk tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan cerpen.<br /><br />Tokoh ketujuh dan kedelapan adalah Kis Ws (1922-1995) dan Sayudi (1932-2000). Keduanya pelopor dan pembaru dalam penulisan sajak Sunda. Kis Ws adalah orang Sunda pertama yang menulis sajak Sunda sekitar tahun 1950-an. Sempat terjadi polemik ketika sajaknya untuk pertama kali dimuat dalam Sk. Sipatahunan, karena pada waktu itu orang Sunda lebih mengenal dangding. Selain menulis sajak, Kis Ws pun banyak menulis cerpen dan esai. Adapun Sayudi banyak disebut sebagai penulis sajak epik pertama dalam sastra Sunda. Lalaki di Tegal Pati (1962) merupakan buku kumpulan sajak karya Sayudi dan pertama dalam sastra Sunda. Setelah itu Sayudi mengeluarkan kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Madraji (1983). Banyak ahli menyebutkan bahwa Madraji merupakan carita pantun modern, karena bentuknya seperti paduan antara sajak dan carita pantun. Kis Ws dan Sayudi merupakan tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan sajak.<br /><br />Tokoh kesembilan dan kesepuluh adalah RAF (1929-2008) dan R.H. Hidayat Suryalaga (1941-sekarang). Keduanya sastrawan yang banyak menulis naskah drama, atau setidaknya mempunyai perhatian yang luas terhadap dunia teater. RAF (Haji Rahmatullah Ading Affandie) disebut-sebut sebagai pelopor dalam drama Sunda modern. Lewat jasa-jasanya kita pernah melihat gending karesmen dan drama berbahasa Sunda muncul pertama kalinya di layar kaca TVRI. "Inohong di Bojongrangkong" adalah judul sinetron (?) garapannya yang cukup melegenda dan sangat dipikalandep oleh penonton TVRI pada masanya. Ditayangkan sebulan sekali sampai 110 episode.<br /><br />R.H. Hidayat Suryalaga banyak menulis naskah gending karesmen, longser, dan drama berbahasa Sunda. Penelitian Agus Suherman (1998) mencatat lebih dari 25 naskah gending karesmen, longser, dan drama yang sudah ditulis R.H. Hidayat Suryalaga. Di antara naskah drama yang paling kuat adalah "Sanghyang Tapak", "Cempor", dan "Setatsion Para Arwah". R.H . Hidayat Suryalaga termasuk tokoh yang memelopori berdirinya Teater Sunda Kiwari (1975) dan berhasil menerjemahkan Alquran ke dalam bentuk pupuh. Keduanya bolehlah disebut tokoh berpengaruh dalam penulisan naskah drama dan gending karesmen.<br /><br />Tokoh kesebelas dan keduabelas adalah Ajip Rosidi (1938-sekarang) dan Duduh Durahman (1939-sekarang). Keduanya kritikus kuat dalam sastra Sunda. Ajip Rosidi dipandang sebagai tokoh kritis, frontal, dan pemberani dalam berpolemik. Banyak esai kritik yang telah ditulisnya, di antaranya dikumpulkan dalam buku Dur Panjak! (1967), Dengkleung Déngdék (1985), Hurip Waras! (1988), dan Trang-trang Koléntrang (1999). Selain itu Ajip Rosidi pun banyak berkiprah dalam dunia penerbitan. Namun pekerjaan raksasanya dalam dunia sastra Sunda antara lain penelitian tentang folklor dan pantun Sunda, penyusunan Ensiklopedi Sunda, pemrakarsa Konferensi Internasional Budaya Sunda I, dan sejak tahun 1989 secara rutin memberikan Hadiah Rancagé untuk sastrawan berbahasa Sunda.<br /><br />Adapun Duduh Durahman, banyak menulis kritik terhadap sastra Sunda. Karya kritiknya telah dikumpulkan dalam Catetan Prosa Sunda (1984) dan Sastra Sunda Sausap Saulas (1991). Selain itu Duduh Durahman pun banyak menulis cerpen dan setia mengasuh rubrik sastra di majalah Manglé. Duduh Durahman pun dikenal sebagai aktor dan kritikus film. Maka meskipun tidak sejajar dalam produktivitas berkarya dan aktivitas kegiatan, keduanya tokoh berpengaruh terutama dalam penulisan kritik sastra.<br /><br />Tokoh ketigabelas dan keempatbelas adalah Wahyu Wibisana (1935-sekarang) dan Yus Rusyana (1938-sekarang). Keduanya praktisi sekaligus akademisi sastra Sunda yang banyak menulis sajak, prosa, maupun drama dalam bahasa Sunda. Sebagai akademisi, keduanya memang seorang pendidik dan peneliti. Wahyu Wibisana, misalnya, pernah menjadi guru SD dan dosen tamu di IKIP Bandung. Selain itu Wahyu pun banyak melakukan penelitian dalam bidang sastra Sunda, menyusun kurikulum mata pelajaran bahasa dan sastra Sunda, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menulis berbagai makalah tentang sastra Sunda yang disampaikan dalam forum pendidikan.<br /><br />Yus Rusyana adalah guru besar bahasa dan sastra Indonesia dan Sunda pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Banyak melakukan penelitian, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menyampaikan prasaran dalam forum ilmiah. Beliaulah sastrawan Sunda yang pertama mendapat hadiah Rancagé lewat karyanya Jajatén Ninggang Papastén (1989). Selain sebagai sastrawan, keduanya dapat ditempatkan sebagai tokoh akademisi dalam sastra Sunda.<br /><br />Tokoh kelimabelas dan keenambelas adalah Godi Suwarna (1956-sekarang) dan Etty R.S. (1958-sekarang). Keduanya pengarang sajak Sunda yang sangat potensial. Godi Suwarna pernah menggemparkan jagat Sunda berkat sajak-sajaknya yang dekonsturktif. Kata-kata dalam sajak-sajak Godi punya idiom bahasa Sunda yang khas. Idiom tersebut merupakan paduan antara bahasa Sunda lulugu, dialek, dan populer. Selain piawai menulis, Godi juga sangat terampil membaca sajak.<br /><br />Adapun Etty R.S. merupakan pengarang wanita dalam sajak Sunda yang kuat dalam memilih diksi. Sajak-sajaknya realistis dan sedikit arkhais. Banyak yang menyatakan bahwa Etty pelopor pengarang wanita dalam menulis sajak Sunda kontemporer. Baik Godi maupun Etty R.S., keduanya merupakan pelopor dalam penulisan sajak Sunda kontemporer. Di tangan Godi dan Etty, sajak Sunda dapat disukai oleh remaja dan anak-anak sekolah. Terbukti dalam setiap perlombaan deklamasi sajak Sunda antarpelajar, sajak Godi dan Etty selalu menjadi sajak wajib untuk dideklamasikan.<br /><br />Itulah 16 tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda. Dari jumlah tersebut, beberapa di antaranya sempat mendapat hadiah Rancagé, Yus Rusyana untuk karya (1989) dan jasa (2000), RAF untuk karya (1991) dan jasa (1998), Godi Suwarna untuk karya (1993, 1996, 2008), Kis Ws untuk jasa (1993), Sayudi untuk jasa (1994), Etty RS untuk karya (1995), Wahyu Wibisana untuk jasa (1997), Duduh Durahman untuk jasa (1999), dan Tini Kartini untuk jasa (2003).<br /><br />Sebenarnya masih banyak tokoh sastra Sunda lainnya yang berpengaruh. Sebutlah, antara lain R. Méméd Sastrahadiprawira, Moh. Ambri, Ki Umbara, Sjarif Amin, Muh. Rustandi Kartakusuma, Abdullah Mustapa, Yoseph Iskandar, H. Rusman Sutiasumarga, Dedy Windyagiri, Holisoh MÉ, dan Tatang Sumarsono. Dengan demikian, maka apa yang dapat dilakukan? Kiranya harus ada tulisan tentang 100 tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda. ***<br /><br />* Deni Hadiansah, Mahasiswa S-2 Kajian Sastra Kontemporer Unpad Bandung, pengasuh acara "Ngamumulé Basa Sunda" di RRI Bandung, aktif di Yayasan Atikan Sunda (YAS) Bandung.<br /><br />Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 24 Mei 2008openmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-7089696269101657722008-09-01T13:21:00.000+07:002008-09-01T13:23:28.618+07:00Diakronis Ilmu Bahasa (Linguistik)Jurnal Online Nur Latif<br />28 Juni 2008<br />Diakronis Ilmu Bahasa (Linguistik)<br /><br /><br />I. Pendahuluan<br /><br />Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai ‘ilmu bahasa’ atau ‘studi ilmiah mengenai bahasa’ (Matthews 1997). Dalam The New Oxford Dictionary of English (2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut:<br /><br />“The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics.”<br /><br />Program studi Ilmu Bahasa mulai jenjang S1 sampai S3, bahkan sampai post-doctoral program telah banyak ditawarkan di universitas terkemuka, seperti University of California in Los Angeles (UCLA), Harvard University, Massachusett Institute of Technology (MIT), University of Edinburgh, dan Oxford University. Di Indonesia, paling tidak ada dua universitas yang membuka program S1 sampai S3 untuk ilmu bahasa, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Katolik Atma Jaya.<br /><br />II. Sejarah Perkembangan Ilmu Bahasa<br /><br />Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang bahasa sejak zaman Yunani (abad 6 SM). Secara garis besar studi tentang bahasa dapat dibedakan antara (1) tata bahasa tradisional dan (2) linguistik modern.<br /><br />2. 1 Tata Bahasa Tradisional<br /><br />Pada zaman Yunani para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Tetapi mengenai hakikat bahasa – apakah bahasa mirip realitas atau tidak – mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles.<br /><br />Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis; pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti oleh kaum konvensionalis. Perbedaan pendapat ini juga merambah ke masalah keteraturan (regular) atau ketidakteraturan (irregular) dalam bahasa. Kelompok penganut pendapat adanya keteraturan bahasa adalah kaum analogis yang pandangannya tidak berbeda dengan kaum naturalis; sedangkan kaum anomalis yang berpendapat adanya ketidakteraturan dalam bahasa mewarisi pandangan kaum konvensionalis. Pandangan kaum anomalis mempengaruhi pengikut aliran Stoic. Kaum Stoic lebih tertarik pada masalah asal mula bahasa secara filosofis. Mereka membedakan adanya empat jenis kelas kata, yakni nomina, verba, konjungsi dan artikel.<br /><br />Pada awal abad 3 SM studi bahasa dikembangkan di kota Alexandria yang merupakan koloni Yunani. Di kota itu dibangun perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan. Para ahli dari kota itu yang disebut kaum Alexandrian meneruskan pekerjaan kaum Stoic, walaupun mereka sebenarnya termasuk kaum analogis. Sebagai kaum analogis mereka mencari keteraturan dalam bahasa dan berhasil membangun pola infleksi bahasa Yunani. Apa yang dewasa ini disebut "tata bahasa tradisional" atau " tata bahasa Yunani" , penamaan itu tidak lain didasarkan pada hasil karya kaum Alexandrian ini.<br /><br />Salah seorang ahli bahasa bemama Dionysius Thrax (akhir abad 2 SM) merupakan orang pertama yang berhasil membuat aturan tata bahasa secara sistematis serta menambahkan kelas kata adverbia, partisipel, pronomina dan preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah dibuat oleh kaum Stoic. Di samping itu sarjana ini juga berhasil mengklasifikasikan kata-kata bahasa Yunani menurut kasus, jender, jumlah, kala, diatesis (voice) dan modus.<br /><br />Pengaruh tata bahasa Yunani sampai ke kerajaan Romawi. Para ahli tata bahasa Latin mengadopsi tata bahasa Yunani dalam meneliti bahasa Latin dan hanya melakukan sedikit modifikasi, karena kedua bahasa itu mirip. Tata bahasa Latin dibuat atas dasar model tata bahasa Dionysius Thrax. Dua ahli bahasa lainnya, Donatus (tahun 400 M) dan Priscian (tahun 500 M) juga membuat buku tata bahasa klasik dari bahasa Latin yang berpengaruh sampai ke abad pertengahan.<br /><br />Selama abad 13-15 bahasa Latin memegang peranan penting dalam dunia pendidikan di samping dalam agama Kristen. Pada masa itu gramatika tidak lain adalah teori tentang kelas kata. Pada masa Renaisans bahasa Latin menjadi sarana untuk memahami kesusastraan dan mengarang. Tahun 1513 Erasmus mengarang tata bahasa Latin atas dasar tata bahasa yang disusun oleh Donatus.<br /><br />Minat meneliti bahasa-bahasa di Eropa sebenarnya sudah dimulai sebelum zaman Renaisans, antara lain dengan ditulisnya tata bahasa Irlandia (abad 7 M), tata bahasa Eslandia (abad 12), dan sebagainya. Pada masa itu bahasa menjadi sarana dalam kesusastraan, dan bila menjadi objek penelitian di universitas tetap dalam kerangka tradisional. Tata bahasa dianggap sebagai seni berbicara dan menulis dengan benar. Tugas utama tata bahasa adalah memberi petunjuk tentang pemakaian "bahasa yang baik" , yaitu bahasa kaum terpelajar. Petunjuk pemakaian "bahasa yang baik" ini adalah untuk menghindarkan terjadinya pemakaian unsur-unsur yang dapat "merusak" bahasa seperti kata serapan, ragam percakapan, dan sebagainya.<br /><br />Tradisi tata bahasa Yunani-Latin berpengaruh ke bahasa-bahasa Eropa lainnya. Tata bahasa Dionysius Thrax pada abad 5 diterjemahkan ke dalam bahasa Armenia, kemudian ke dalam bahasa Siria. Selanjutnya para ahli tata bahasa Arab menyerap tata bahasa Siria.<br /><br />Selain di Eropa dan Asia Barat, penelitian bahasa di Asia Selatan yang perlu diketahui adalah di India dengan ahli gramatikanya yang bemama Panini (abad 4 SM). Tata bahasa Sanskrit yang disusun ahli ini memiliki kelebihan di bidang fonetik. Keunggulan ini antara lain karena adanya keharusan untuk melafalkan dengan benar dan tepat doa dan nyanyian dalam kitab suci Weda.<br /><br />Sampai menjelang zaman Renaisans, bahasa yang diteliti adalah bahasa Yunani, dan Latin. Bahasa Latin mempunyai peran penting pada masa itu karena digunakan sebagai sarana dalam dunia pendidikan, administrasi dan diplomasi internasional di Eropa Barat. Pada zaman Renaisans penelitian bahasa mulai berkembang ke bahasa-bahasa Roman (bahasa Prancis, Spanyol, dan Italia) yang dianggap berindukkan bahasa Latin, juga kepada bahasa-bahasa yang nonRoman seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Swedia, dan Denmark.<br /><br />2. 2 Linguistik Modern<br /><br />2. 2. 1 Linguistik Abad 19<br /><br />Pada abad 19 bahasa Latin sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam pemerintahan atau pendidikan. Objek penelitian adalah bahasa-bahasa yang dianggap mempunyai hubungan kekerabatan atau berasal dari satu induk bahasa. Bahasa-bahasa dikelompokkan ke dalam keluarga bahasa atas dasar kemiripan fonologis dan morfologis. Dengan demikian dapat diperkirakan apakah bahasa-bahasa tertentu berasal dari bahasa moyang yang sama atau berasal dari bahasa proto yang sama sehingga secara genetis terdapat hubungan kekerabatan di antaranya. Bahasa-bahasa Roman, misalnya secara genetis dapat ditelusuri berasal dari bahasa Latin yang menurunkan bahasa Perancis, Spanyol, dan Italia.<br /><br />Untuk mengetahui hubungan genetis di antara bahasa-bahasa dilakukan metode komparatif. Antara tahun 1820-1870 para ahli linguistik berhasil membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologisnya. Pada tahun 1870 itu para ahli bahasa dari kelompok Junggramatiker atau Neogrammarian berhasil menemukan cara untuk mengetahui hubungan kekerabatan antarbahasa berdasarkan metode komparatif.<br /><br />Beberapa rumpun bahasa yang berhasil direkonstruksikan sampai dewasa ini antara lain:<br /><br />1. Rumpun Indo-Eropa: bahasa Jerman, Indo-Iran, Armenia, Baltik, Slavis, Roman, Keltik, Gaulis.<br /><br />2. Rumpun Semito-Hamit: bahasa Arab, Ibrani, Etiopia.<br /><br />3. Rumpun Chari-Nil; bahasa Bantu, Khoisan.<br /><br />4. Rumpun Dravida: bahasa Telugu, Tamil, Kanari, Malayalam.<br /><br />5. Rumpun Austronesia atau Melayu-Polinesia: bahasa Melayu, Melanesia, Polinesia.<br /><br />6. Rumpun Austro-Asiatik: bahasa Mon-Khmer, Palaung, Munda, Annam.<br /><br />7. Rumpun Finno-Ugris: bahasa Ungar (Magyar), Samoyid.<br /><br />8. Rumpun Altai: bahasa Turki, Mongol, Manchu, Jepang, Korea.<br /><br />9. Rumpun Paleo-Asiatis: bahasa-bahasa di Siberia.<br /><br />10. Rumpun Sino-Tibet: bahasa Cina, Thai, Tibeto-Burma.<br /><br />11. Rumpun Kaukasus: bahasa Kaukasus Utara, Kaukasus Selatan.<br /><br />12. Bahasa-bahasa Indian: bahasa Eskimo, Maya Sioux, Hokan<br /><br />13. Bahasa-bahasa lain seperti bahasa di Papua, Australia dan Kadai.<br /><br />Ciri linguistik abad 19 sebagai berikut:<br /><br />1) Penelitian bahasa dilakukan terhadap bahasa-bahasa di Eropa, baik bahasa-bahasa Roman maupun nonRoman.<br /><br />2) Bidang utama penelitian adalah linguistik historis komparatif. Yang diteliti adalah hubungan kekerabatan dari bahasa-bahasa di Eropa untuk mengetahui bahasa-bahasa mana yang berasal dari induk yang sama. Dalam metode komparatif itu diteliti perubahan bunyi kata-kata dari bahasa yang dianggap sebagai induk kepada bahasa yang dianggap sebagai keturunannya. Misalnya perubahan bunyi apa yang terjadi dari kata barang, yang dalam bahasa Latin berbunyi causa menjadi chose dalam bahasa Perancis, dan cosa dalam bahasa Italia dan Spanyol.<br /><br />3) Pendekatan bersifat atomistis. Unsur bahasa yang diteliti tidak dihubungkan dengan unsur lainnya, misalnya penelitian tentang kata tidak dihubungkan dengan frase atau kalimat.<br /><br />2. 2. 2 Linguistik Abad 20<br /><br />Pada abad 20 penelitian bahasa tidak ditujukan kepada bahasa-bahasa Eropa saja, tetapi juga kepada bahasa-bahasa yang ada di dunia seperti di Amerika (bahasa-bahasa Indian), Afrika (bahasa-bahasa Afrika) dan Asia (bahasa-bahasa Papua dan bahasa banyak negara di Asia). Ciri-cirinya:<br /><br />1) Penelitian meluas ke bahasa-bahasa di Amerika, Afrika, dan Asia.<br /><br />2) Pendekatan dalam meneliti bersifat strukturalistis, pada akhir abad 20 penelitian yang bersifat fungsionalis juga cukup menonjol.<br /><br />3) Tata bahasa merupakan bagian ilmu dengan pembidangan yang semakin rumit. Secara garis besar dapat dibedakan atas mikrolinguistik, makro linguistik, dan sejarah linguistik.<br /><br />4) Penelitian teoretis sangat berkembang.<br /><br />5) Otonomi ilmiah makin menonjol, tetapi penelitian antardisiplin juga berkembang.<br /><br />6) Prinsip dalam meneliti adalah deskripsi dan sinkronis<br /><br />Keberhasilan kaum Junggramatiker merekonstruksi bahasa-bahasa proto di Eropa mempengaruhi pemikiran para ahli linguistik abad 20, antara lain Ferdinand de Saussure. Sarjana ini tidak hanya dikenal sebagai bapak linguistik modern, melainkan juga seorang tokoh gerakan strukturalisme. Dalam strukturalisme bahasa dianggap sebagai sistem yang berkaitan (system of relation). Elemen-elemennya seperti kata, bunyi saling berkaitan dan bergantung dalam membentuk sistem tersebut.<br /><br />Beberapa pokok pemikiran Saussure:<br /><br />(1) Bahasa lisan lebih utama dari pada bahasa tulis. Tulisan hanya merupakan sarana yang mewakili ujaran.<br /><br />(2) Linguistik bersifat deskriptif, bukan preskriptif seperti pada tata bahasa tradisional. Para ahli linguistik bertugas mendeskripsikan bagaimana orang berbicara dan menulis dalam bahasanya, bukan memberi keputusan bagaimana seseorang seharusnya berbicara.<br /><br />(3) Penelitian bersifat sinkronis bukan diakronis seperti pada linguistik abad 19. Walaupun bahasa berkembang dan berubah, penelitian dilakukan pada kurun waktu tertentu.<br /><br />(4) Bahasa merupakan suatu sistem tanda yang bersisi dua, terdiri dari signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Keduanya merupakan wujud yang tak terpisahkan, bila salah satu berubah, yang lain juga berubah.<br /><br />(5) Bahasa formal maupun nonformal menjadi objek penelitian.<br /><br />(6) Bahasa merupakan sebuah sistem relasi dan mempunyai struktur.<br /><br />(7) Dibedakan antara bahasa sebagai sistem yang terdapat dalam akal budi pemakai bahasa dari suatu kelompok sosial (langue) dengan bahasa sebagai manifestasi setiap penuturnya (parole).<br /><br />(8) Dibedakan antara hubungan asosiatif dan sintagmatis dalam bahasa. Hubungan asosiatif atau paradigmatis ialah hubungan antarsatuan bahasa dengan satuan lain karena ada kesamaan bentuk atau makna. Hubungan sintagmatis ialah hubungan antarsatuan pembentuk sintagma dengan mempertentangkan suatu satuan dengan satuan lain yang mengikuti atau mendahului.<br /><br />Gerakan strukturalisme dari Eropa ini berpengaruh sampai ke benua Amerika. Studi bahasa di Amerika pada abad 19 dipengaruhi oleh hasil kerja akademis para ahli Eropa dengan nama deskriptivisme. Para ahli linguistik Amerika mempelajari bahasa-bahasa suku Indian secara deskriptif dengan cara menguraikan struktur bahasa. Orang Amerika banyak yang menaruh perhatian pada masalah bahasa. Thomas Jefferson, presiden Amerika yang ketiga (1801-1809), menganjurkan agar supaya para ahli linguistik Amerika mulai meneliti bahasa-bahasa orang Indian. Seorang ahli linguistik Amerika bemama William Dwight Whitney (1827-1894) menulis sejumlah buku mengenai bahasa, antara lain Language and the Study of Language (1867).<br /><br />Tokoh linguistik lain yang juga ahli antropologi adalah Franz Boas (1858-1942). Sarjana ini mendapat pendidikan di Jerman, tetapi menghabiskan waktu mengajar di negaranya sendiri. Karyanya berupa buku Handbook of American Indian languages (1911-1922) ditulis bersama sejumlah koleganya. Di dalam buku tersebut terdapat uraian tentang fonetik, kategori makna dan proses gramatikal yang digunakan untuk mengungkapkan makna. Pada tahun 1917 diterbitkan jurnal ilmiah berjudul International Journal of American Linguistics.<br /><br />Pengikut Boas yang berpendidikan Amerika, Edward Sapir (1884-1939), juga seorang ahli antropologi dinilai menghasilkan karya-karya yang sangat cemerlang di bidang fonologi. Bukunya, Language (1921) sebagian besar mengenai tipologi bahasa. Sumbangan Sapir yang patut dicatat adalah mengenai klasifikasi bahasa-bahasa Indian.<br /><br />Pemikiran Sapir berpengaruh pada pengikutnya, L. Bloomfield (1887-1949), yang melalui kuliah dan karyanya mendominasi dunia linguistik sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1914 Bloomfield menulis buku An Introduction to Linguistic Science. Artikelnya juga banyak diterbitkan dalam jurnal Language yang didirikan oleh Linguistic Society of America tahun 1924. Pada tahun 1933 sarjana ini menerbitkankan buku Language yang mengungkapkan pandangan behaviorismenya tentang fakta bahasa, yakni stimulus-response atau rangsangan-tanggapan. Teori ini dimanfaatkan oleh Skinner (1957) dari Universitas Harvard dalam pengajaran bahasa melalui teknik drill.<br /><br />Dalam bukunya Language, Bloomfield mempunyai pendapat yang bertentangan dengan Sapir. Sapir berpendapat fonem sebagai satuan psikologis, tetapi Bloomfield berpendapat fonem merupakan satuan behavioral. Bloomfield dan pengikutnya melakukan penelitian atas dasar struktur bahasa yang diteliti, karena itu mereka disebut kaum strukturalisme dan pandangannya disebut strukturalis.<br /><br />Bloomfield beserta pengikutnya menguasai percaturan linguistik selama lebih dari 20 tahun. Selama kurun waktu itu kaum Bloomfieldian berusaha menulis tata bahasa deskriptif dari bahasa-bahasa yang belum memiliki aksara. Kaum Bloomfieldian telah berjasa meletakkan dasar-dasar bagi penelitian linguistik di masa setelah itu.<br /><br />Bloomfield berpendapat fonologi, morfologi dan sintaksis merupakan bidang mandiri dan tidak berhubungan. Tata bahasa lain yang memperlakukan bahasa sebagai sistem hubungan adalah tata bahasa stratifikasi yang dipelopori oleh S.M. Lamb. Tata bahasa lainnya yang memperlakukan bahasa sebagai sistem unsur adalah tata bahasa tagmemik yang dipelopori oleh K. Pike. Menurut pendekatan ini setiap gatra diisi oleh sebuah elemen. Elemen ini bersama elemen lain membentuk suatu satuan yang disebut tagmem.<br /><br />Murid Sapir lainnya, Zellig Harris, mengaplikasikan metode strukturalis ke dalam analisis segmen bahasa. Sarjana ini mencoba menghubungkan struktur morfologis, sintaktis, dan wacana dengan cara yang sama dengan yang dilakukan terhadap analisis fonologis. Prosedur penelitiannya dipaparkan dalam bukunya Methods in Structural Linguistics (1951).<br /><br />Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah Noam Chomsky. Sarjana inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui bukunya Syntactic Structures (1957), yang kemudian disebut classical theory. Dalam perkembangan selanjutnya, teori transformasi dengan pokok pikiran kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya melalui Aspects of the Theory of Syntax (1965) disebut standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif (generative syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard theory. Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis buku generative semantics; tahun 1980 government and binding theory; dan tahun 1993 Minimalist program.<br /><br />III. Paradigma<br /><br />Kata paradigma diperkenalkan oleh Thomas Khun pada sekitar abad 15. Paradigma adalah prestasi ilmiah yang diakui pada suatu masa sebagai model untuk memecahkan masalah ilmiah dalam kalangan tertentu. Paradigma dapat dikatakan sebagai norma ilmiah. Contoh paradigma yang mulai tumbuh sejak zaman Yunani tetapi pengaruhnya tetap terasa sampai zaman modern ini adalah paradigma Plato dan paradigma Aristoteles. Paradigma Plato berintikan pendapat Plato bahwa bahasa adalah physei atau mirip dengan realitas, disebut juga non-arbitrer atau ikonis. Paradigma Aristoteles berintikan bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip dengan realitas, kecuali onomatope, disebut arbitrer atau non-ikonis. Kedua paradigma ini saling bertentangan, tetapi dipakai oleh peneliti dalam memecahkan masalah bahasa, misalnya tentang hakikat tanda bahasa.<br /><br />Pada masa tertentu paradigma Plato banyak digunakan ahli bahasa untuk memecahkan masalah linguistik. Penganut paradigma Plato ini disebut kaum naturalis. Mereka menolak gagasan kearbitreran. Pada masa tertentu lainnya paradigma Aristoteles digunakan mengatasi masalah linguistik. Penganut paradigma Aristoteles disebut kaum konvensionalis. Mereka menerima adanya kearbiteran antara bahasa dengan realitas.<br /><br />Pertentangan antara kedua paradigma ini terus berlangsung sampai abad 20. Di bidang linguistik dan semiotika dikenal tokoh Ferdinand de Saussure sebagai penganut paradigma .Aristoteles dan Charles S. Peirce sebagai penganut paradigma Plato. Mulai dari awal abad 19 sampai tahun 1960-an paradigma Aristoteles yang diikuti Saussure yang berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer digunakan dalam memecahkan masalah-masalah linguistik. Tercatat beberapa nama ahli linguistik seperti Bloomfield dan Chomsky yang dalam pemikirannya menunjukkan pengaruh Saussure dan paradigma Aristoteles. Menjelang pertengahan tahun 60-an dominasi paradigma Aristoteles mulai digoyahkan oleh paradigma Plato melalui artikel R. Jakobson "Quest for the Essence of Language" (1967) yang diilhami oleh Peirce. Beberapa nama ahli linguistik seperti T. Givon, J. Haiman, dan W. Croft tercatat sebagai penganut paradigma Plato.<br /><br />IV. Cakupan dan Kemaknawian Ilmu Bahasa<br /><br />Secara umum, bidang ilmu bahasa dibedakan atas linguistik murni dan linguistik terapan. Bidang linguistik murni mencakup fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Sedangkan bidang linguistik terapan mencakup pengajaran bahasa, penerjemahan, leksikografi, dan lain-lain. Beberapa bidang tersebut dijelaskan dalam sub-bab berikut ini.<br /><br />4. 1 Fonetik<br /><br />Fonetik mengacu pada artikulasi bunyi bahasa. Para ahli fonetik telah berhasil menentukan cara artikulasi dari berbagai bunyi bahasa dan membuat abjad fonetik internasional sehingga memudahkan seseorang untuk mempelajari dan mengucapkan bunyi yang tidak ada dalam bahasa ibunya. Misalnya dalam bahasa Inggris ada perbedaan yang nyata antara bunyi tin dan thin, dan antara they dan day, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak. Dengan mempelajari fonetik, orang Indonesia akan dapat mengucapkan kedua bunyi tersebut dengan tepat.<br /><br />Abjad fonetik internasional, yang didukung oleh laboratorium fonetik, departemen linguistik, UCLA, penting dipelajari oleh semua pemimpin, khususnya pemimpin negara. Dengan kemampuan membaca abjad fonetik secara tepat, seseorang dapat memberikan pidato dalam ratusan bahasa. Misalnya, jika seorang pemimpin di Indonesia mengadakan kunjungan ke Cina, ia cukup meminta staf-nya untuk menerjemahkan pidatonya ke bahasa Cina dan menulisnya dengan abjad fonetik, sehingga ia dapat memberikan pidato dalam bahasa Cina dengan ucapan yang tepat. Salah seorang pemimpin yang telah memanfaatkan abjad fonetik internasional adalah Paus Yohanes Paulus II. Ke negara manapun beliau berkunjung, beliau selalu memberikan khotbah dengan menggunakan bahasa setempat. Apakah hal tersebut berarti bahwa beliau memahami semua bahasa di dunia? Belum tentu, namun cukup belajar fonetik saja untuk mampu mengucapkan bunyi ratusan bahasa dengan tepat.<br /><br />4. 2 Fonologi<br /><br />Fonologi mengacu pada sistem bunyi bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris, ada gugus konsonan yang secara alami sulit diucapkan oleh penutur asli bahasa Inggris karena tidak sesuai dengan sistem fonologis bahasa Inggris, namun gugus konsonan tersebut mungkin dapat dengan mudah diucapkan oleh penutur asli bahasa lain yang sistem fonologisnya terdapat gugus konsonan tersebut. Contoh sederhana adalah pengucapan gugus ‘ng’ pada awal kata, hanya berterima dalam sistem fonologis bahasa Indonesia, namun tidak berterima dalam sistem fonologis bahasa Inggris. Kemaknawian utama dari pengetahuan akan sistem fonologi ini adalah dalam pemberian nama untuk suatu produk, khususnya yang akan dipasarkan di dunia internasional. Nama produk tersebut tentunya akan lebih baik jika disesuaikan dengan sistem fonologis bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional.<br /><br />4. 3 Morfologi<br /><br />Morfologi lebih banyak mengacu pada analisis unsur-unsur pembentuk kata. Sebagai perbandingan sederhana, seorang ahli farmasi (atau kimia?) perlu memahami zat apa yang dapat bercampur dengan suatu zat tertentu untuk menghasilkan obat flu yang efektif; sama halnya seorang ahli linguistik bahasa Inggris perlu memahami imbuhan apa yang dapat direkatkan dengan suatu kata tertentu untuk menghasilkan kata yang benar. Misalnya akhiran -en dapat direkatkan dengan kata sifat dark untuk membentuk kata kerja darken, namun akhiran -en tidak dapat direkatkan dengan kata sifat green untuk membentuk kata kerja. Alasannya tentu hanya dapat dijelaskan oleh ahli bahasa, sedangkan pengguna bahasa boleh saja langsung menggunakan kata tersebut. Sama halnya, alasan ketentuan pencampuran zat-zat kimia hanya diketahui oleh ahli farmasi, sedangkan pengguna obat boleh saja langsung menggunakan obat flu tersebut, tanpa harus mengetahui proses pembuatannya.<br /><br />4. 4 Sintaksis<br /><br />Analisis sintaksis mengacu pada analisis frasa dan kalimat. Salah satu kemaknawiannya adalah perannya dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Beberapa teori analisis sintaksis dapat menunjukkan apakah suatu kalimat atau frasa dalam suatu peraturan perundang-undangan bersifat ambigu (bermakna ganda) atau tidak. Jika bermakna ganda, tentunya perlu ada penyesuaian tertentu sehingga peraturan perundang-undangan tersebut tidak disalahartikan baik secara sengaja maupun tidak sengaja.<br /><br />4. 5 Semantik<br /><br />Kajian semantik membahas mengenai makna bahasa. Analisis makna dalam hal ini mulai dari suku kata sampai kalimat. Analisis semantik mampu menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, setiap kata yang memiliki suku kata ‘pl’ memiliki arti sesuatu yang datar sehingga tidak cocok untuk nama produk/benda yang cekung. Ahli semantik juga dapat membuktikan suku kata apa yang cenderung memiliki makna yang negatif, sehingga suku kata tersebut seharusnya tidak digunakan sebagai nama produk asuransi. Sama halnya dengan seorang dokter yang mengetahui antibiotik apa saja yang sesuai untuk seorang pasien dan mana yang tidak sesuai.<br /><br />4. 6 Pengajaran Bahasa<br /><br />Ahli bahasa adalah guru dan/atau pelatih bagi para guru bahasa. Ahli bahasa dapat menentukan secara ilmiah kata-kata apa saja yang perlu diajarkan bagi pelajar bahasa tingkat dasar. Para pelajar hanya langsung mempelajari kata-kata tersebut tanpa harus mengetahui bagaimana kata-kata tersebut disusun. Misalnya kata-kata dalam buku-buku Basic English. Para pelajar (dan guru bahasa Inggris dasar) tidak harus mengetahui bahwa yang dimaksud Basic adalah B(ritish), A(merican), S(cientific), I(nternational), C(ommercial), yang pada awalnya diolah pada tahun 1930an oleh ahli linguistik C. K. Ogden. Pada masa awal tersebut, Basic English terdiri atas 850 kata utama.<br /><br />Selanjutnya, pada tahun 1953, Michael West menyusun General Service List yang berisikan dua kelompok kata utama (masing-masing terdiri atas 1000 kata) yang diperlukan oleh pelajar untuk dapat berbicara dalam bahasa Inggris. Daftar tersebut terus dikembangkan oleh berbagai universitas ternama yang memiliki jurusan linguistik. Pada tahun 1998, Coxhead dari Victoria University or Wellington, berhasil menyelesaikan suatu proyek kosakata akademik yang dilakukan di semua fakultas di universitas tersebut dan menghasilkan Academic Wordlist, yaitu daftar kata-kata yang wajib diketahui oleh mahasiswa dalam membaca buku teks berbahasa Inggris, menulis laporan dalam bahasa Inggris, dan tujuannya lainnya yang bersifat akademik.<br /><br />Proses penelitian hingga menjadi materi pelajaran atau buku bahasa Inggris yang bermanfaat hanya diketahui oleh ahli bahasa yang terkait, sedangkan pelajar bahasa dapat langung mempelajari dan memperoleh manfaatnya. Sama halnya dalam ilmu kedokteran, proses penelitian hingga menjadi obat yang bermanfaat hanya diketahui oleh dokter, sedangkan pasien dapat langsung menggunakannya dan memperoleh manfaatnya.<br /><br />4. 7 Leksikografi<br /><br />Leksikografi adalah bidang ilmu bahasa yang mengkaji cara pembuatan kamus. Sebagian besar (atau bahkan semua) sarjana memiliki kamus, namun mereka belum tentu tahu bahwa penulisan kamus yang baik harus melalui berbagai proses.<br /><br />Dua nama besar yang mengawali penyusunan kamus adalah Samuel Johnson (1709-1784) dan Noah Webster (1758-1843). Johnson, ahli bahasa dari Inggris, membuat Dictionary of the English Language pada tahun 1755, yang terdiri atas dua volume. Di Amerika, Webster pertama kali membuat kamus An American Dictionary of the English Language pada tahun 1828, yang juga terdiri atas dua volume. Selanjutnya, pada tahun 1884 diterbitkan Oxford English Dictionary yang terdiri atas 12 volume.<br /><br />Saat ini, kamus umum yang cukup luas digunakan adalah Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Mengapa kamus Oxford? Beberapa orang mungkin secara sederhana akan menjawab karena kamus tersebut lengkap dan cukup mudah dimengerti. Tidak banyak yang tahu bahwa (setelah tahun 1995) kamus tersebut ditulis berdasarkan hasil analisis British National Corpus yang melibatkan cukup banyak ahli bahasa dan menghabiskan dana universitas dan dana negara yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, definisi yang diberikan dalam kamus tersebut seharusnya dapat mudah dipahami oleh pelajar karena semua entri dalam kamus tersebut hanya didefinisikan oleh sekelompok kosa kata inti. Bagaimana kosa-kata inti tersebut disusun? Tentu hanya ahli bahasa yang dapat menjelaskannya, sedangkan para sarjana dan pelajar dapat langsung saja menikmati dan menggunakan berbagai kamus Oxford yang ada dipasaran.<br /><br />V. Penutup<br /><br />Penelitian bahasa sudah dimulai sejak abad ke 6 SM, bahkan perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan sudah dibangun sejak awal abad 3 SM di kota Alexandria. Kamus bahasa Inggris, Dictionary of the English Language, yang terdiri atas dua volume, pertama kali diterbitkan pada tahun 1755; dan pada tahun 1884 telah diterbitkan Oxford English Dictionary yang terdiri atas 12 volume. Antara 1820-1870 para ahli linguistik berhasil membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologisnya.<br /><br />Salah satu buku awal yang menjelaskan mengenai ilmu bahasa adalah buku An Introduction to Linguistic Science yang ditulis oleh Bloomfield pada tahun 1914. Jurnal ilmiah internasional ilmu bahasa, yang berjudul International Journal of American Linguistics, pertama kali diterbitkan pada tahun 1917.<br /><br />Ilmu bahasa terus berkembang dan semakin memainkan peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan semakin majunya program pascasarjana bidang linguistik di berbagai universitas terkemuka (UCLA, MIT, Oxford, dll). Buku-buku karya ahli bahasa pun semakin mendapat perhatian. Salah satu buktinya adalah buku The Comprehensive Grammar of the English Langauge, yang terdiri atas 1778 halaman, yang acara peluncurannya di buka oleh Margareth Thatcher, pada tahun 1985. Respon yang luar biasa terhadap buku tersebut membuatnya dicetak sebanyak tiga kali dalam tahun yang sama. Buku tata bahasa yang terbaru, The Cambridge Grammar of the English Language, tahun 2002, yang terdiri atas 1842 halaman, ditulis oleh para ahli bahasa yang tergabung dalam tim peneliti internasional dari lima negara.<br /><br />Diposting oleh Muhammad Nur Latif di 14:40<br /><br />Muhammad Nur Latif<br /> Nur Latif lahir di Makassar pada hari Kamis, 31 Agustus 1967, adalah dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin Makassar. Saat ini sedang melanjutkan studi S3 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).openmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3344447257249376755.post-68538899885891112742008-09-01T10:55:00.000+07:002008-09-01T13:21:36.627+07:00bahasa daerah..(nyatut dr web orang)Mengembalikan ruh bahasa dan sastra daerah* memang karena sempai saat ini bahasa dan satra daerah telah lama mati suri. Ini tidak jauh karena stigma yang menempel pada bahasa daerah tersebut dan guru sebagai pelaksana pendidikan dan pengajaran merupakan kunci sukses kembalinya ruh tersebut.<br /><br />Seperti data yang ada di situs www.ethnologue.com terdapat 7000 bahasa di dunia, 700 bahasa di Indonesia, dan sekitar 60-70 bahasa di NTT. Jadi dari semua bahasa yang ada di dunia sekitar 10% ada di Indonesia, dan 1% ada di NTT. Jumlah ini lumayan banyak kalau dibandingkan dengan daerah atau negri lain di dunia. Anggapan di NTT, terutama di Alor, terhadap bahasa daerah dicampur. Ada yang positif, ada yang negatif.<br /><br />Sayangnya orang lebih cenderung terhadap anggapan negatif. Banyak orang menganggap bahasa daerah kuno, bahasa yang hanya dipakai oleh orang miskin dan tidak berpendidikan, dan sesuatu yang hanya merupakan halangan untuk orang berhasil dalam hidup. Tetapi anggapan negatif ini bisa menjadi anggapan positif.<br /><br />ANGGAPAN NEGATIF<br />Bahasa daerah kuno, sesuatu dari masa lampau.<br />Bahasa daerah merupakan bahasa orang miskin dan tidak berpendidikan.<br />Bahasa daerah tidak berguna di luar kampung.<br />Bahasa daerah menghalangi kemajuan.<br />Bahasa daerah menghalangi proses belajar dan menjadi orang pintar.<br /><br /><br />ANGGAPAN POSITIF<br />Bahasa daerah merupakan bahasa nenek-moyang.<br />Bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan dan identitas.<br />Bahasa daerah merupakan kunci adat.<br />Bahasa daerah merupakan alat untuk mengerti dunia.<br />Bahasa daerah memberikan dasar yang kuat supaya orang bisa bertumbuh dan menjelajahi dunia.<br /><br />Anggapan negatif terhadap bahasa daerah menimbulkan akibat negatif. Sekarang ini seringkali orangtua mengorbankan bahasa daerah sehingga anaknya hanya bisa berbahasa Melayu. Orangtua pikir mengajar Bahasa Indonesia, tetapi sebenarnya yang Bahasa yang dipakai di rumah dan di lingkungan kampung, bukan Bahasa Indonesia yang baku, tetapi sebuah dialek dari Bahasa Melayu. Jadi kalau anak sampai SD sepertinya harus belajar bahasa baru waktu mulai sekolah lewat Bahasa Indonesia.<br /><br />Menurut saya, dan banyak ahli bahasa, ini permulaan kematian bahasa. Kalau anak tidak memakai bahasa ini, berarti anak dari anak itu tidak memakai bahasa itu. Jumlah orang yang memakai bahasa daerah turun, sampai tidak ada orang lagi yang memakainya hingga bahasa itu mati. Bukan hanya bahasa yang mati tetapi bagian dari budaya yang mati. Sebenarnya bahasa dan budaya tidak bisa dipisahkan. Bahasa mencerminkan budaya daerah, dan budaya daerah dilakukan lewat bahasa.<br /><br />Dari 700 bahasa daerah itu di Indonesia mayoritasnya terancam mati atau punah, terutama bahasa daerah di wilayah timur Indonesia, termasuk NTT. Kematian bahasa bagian dari kehilangan budaya, dan keanekaragaman kebudayaan. Setiap bahasa punya kekhasan yang tidak ada di dalam bahasa lain. Kekhasan itu mencerminkan kekhasan budaya setempat. Dari segi ilmu, struktur dan konsep yang ada di dalam bahasa merupakan kunci untuk mengerti fungsi otak kita terkait dengan bahasa. Di tempat kehilangan budaya dan bahasa orang cenderung merasa tidak mempunyai akar, hidup tidak terarah. Perasaan semacam ini bisa membuat beberapa jenis masalah sosial. Persentase bahasa daerah di Indonesia yang sudah diteliti sedikit sekali (kurang dari sepertiga).<br /><br />Ilmu bahasa - linguistik - sangat rugi kalau tidak ada informasi tentang bahasa daerah sebelum mati. Jenis ilmu pengetahuan lain juga bermanfaat secara tidak langsung dari penelitian linguistik tentang tata bahasa dan bunyi bicara. Misalnya ahli komputer memakai pengetahuan yang didapat dari pengetahuan tentang struktur tata bahasa yang bisa jadi di bahasa sekeliling dunia untuk membuat bahasa program komputer yang baru.<br /><br />Kedua, penelitian bahasa-bahasa di dunia memberikan ahli ilmu dengan informasi yang sangat berguna tentang fungsi otak. Dengan lebih banyak informasi tentang fungsi otak fasilitas neurological dan psychological bisa tersedia. Orang lain, seperti yang terkait dengan hukum dapat manfaat dari penelitian linguistik. Dengan mengerti mekanisme pembicaraan lebih baik bidang linguistik forensik dalam hukum lebih efektif.<br /><br /><br />Menyelami Bahasa Daerah Dalam KBM<br />Salah satu cara untuk menghindari kematian bahasa dan sastra lokal ialah dengan stigmatisasi pada masyarakat bahwa bahasa dan sastra daerah begitu berharga. Salah satu cara untuk melakukan ini ialah lewat bahasa dan budaya diajari di sekolah dan diberikan perangkat resmi. Tahun 2002, contoh konkretnya, di Kabupaten Ngada di Flores dengan diberlakukannya Program Pendidikan Dasar atau NTT PEP. Program ini berusaha untuk meningkat mutu pendidikan di NTT pada kelas rendah di SD, mulai dengan pulau Flores, kemudian menyebar ke pulau lain di NTT.<br /><br />Selain alasan menghindari kematian bahasa, ada alasan lain untuk memakai bahasa daerah di sekolah yaitu alasan pendidikan. Sekarang, seperti di daerah lain di Indonesia, misalnya Bali, Jawa, Lombok, Sulawesi, Kalimantan, bahasa daerah dipakai di kelas rendah di sekolah dasar di Flores.<br /><br />Alasan pendidikan untuk pemakaian bahasa daerah di kelas rendah adalah guru semestinya menggunakan pengetahuan yang sudah ada dalam diri anak. Anak yang sudah berumur 6-7 tahun sudah menguasai bahasa pertamanya dengan penuh. Oleh karena itu, pengetahuan itu mestinya dipakai waktu anak masuk SD. Perbedaan suasana antara rumah dan sekolah mestinya sedikit. Maksudnya supaya anak bisa memusatkan perhatian kepada materi yang diajarkan daripada mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan baru di sekolah. Pemakaian bahasa yang dipakai di rumah atau dalam pergaulan masyarakat merupakan salah satu cara untuk mengurangi perasaan sekolah itu tempat yang menakutkan dan aneh.<br /><br />Anak yang bersemangat belajar, hasil belajarnya lebih baik. Anak harus mempunyai kepercayaan diri yang tinggi supaya mempercayai diri sendirinya mampu belajar. Kalau begitu anak itu cenderung lebih bersemangat. Bagian dari kepercayaan diri yang tinggi ialah rasa bangga atas asal-usul. Kalau anak diberitahu budaya dan bahasanya tidak berguna, mereka secara automatis akan mempunyai kepercayaan diri yang lebih rendah daripada anak yang diajarkan budaya dan bahasanya sesuatu yang berharga.<br /><br />Guru di kelas rendah di SD mestinya menjadi pengganti orangtua daripada diktator, supaya rasa takut diredamkan dan belajar lebih mudah. Jauh lebih gampang untuk seorang guru mendekati anak memakai bahasa pertamanya (biasanya bahasa daerah) daripada bahasa keduanya - Bahasa Melayu - yang pada umumnya belum dikuasai anak.<br /><br />Anak yang belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya biasanya mempunyai keterampilan membaca dan menulis lebih baik daripada anak yang belajar dalam bahasa keduanya. Ketrampilan membaca dan menulis dalam bahasa ibu gampang pindah ke bahasa lain.<br /><br />Manusia yang dibesarkan bilingual (yaitu orang yang bisa dua bahasa) lebih gampang belajar bahasa lain. Artinya, pelajaran Bahasa Inggris mestinya lebih gampang untuk anak yang bisa bahasa daerah dan Bahasa Melayu daripada anak yang hanya bisa salah satu dari bahasa itu.<br /><br />Pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di kelas rendah di SD didukung pada baik tingkat nasional maupun tingkat Propinsi. Dukungan dari tingkat nasional bisa dilihat di dalam kurikulum berbasis kompetensi yang baru. Sedangkan Kurikulum Muatan Lokal dari Propinsi juga mendukung pemakaian bahasa daerah di kelas rendah di SD. Di setiap Kongres Bahasa yang diadakan yang direkomendasi terus ialah untuk wilayah yang perlu memakai bahasa daerah untuk memang memakainya di dalam sekolah dasar sebagai bahasa pengantar.openmindhttp://www.blogger.com/profile/09542555197464519742noreply@blogger.com0